Permainan Nini Thowok masyhur sebagai permainan rakyat yang melibatkan kekuatan magis. Permainan ini mirip-mirip jailangkung, tetapi lebih terasa Jawa. Konon, asal-muasalnya dari kawasan pinggiran di negerigung Yogyakarta dan Surakarta. Namun, ternyata Malang memiliki permainan yang serupa dengan Nini Thowok, yang menggunakan media boneka dengan melibatkan ‘dunia lain’. Masyarakat Malang tempo dulu menyebutnya dengan permainan Nyai Puthut. Cara memainkannya sangat dekat dengan tradisi lisan karena dengan media mantra.
Dulu, permainan tersebut biasa digelar tepat pada saat candrakirana, alias saat rembulan bersinar purnama. Untuk mengundang arwah datang, dikumandangkan mantra dengan cara menembangkannya. Ada juga yang menyempurnakannya dengan iringan musik gamelan Jawa. Begitu arwah merasuki boneka, boneka yang sudah direkayasa sedemikian rupa dengan dandanan perempuan itu seakan-akan hidup, bahkan dapat meloncat-loncat. Meskipun terkesan menakutkan dan membuat bulu kuduk meremang, permainan tersebut termasuk media hiburan tempo dulu, ketika radio, televisi, dan film masih berdiam di alam khayalan. Meskipun takut, banyak orang yang ingin ikut ambil bagian dan ketagihan.
Sayangnya, permainan itu kini jarang dimainkan dan sangat sulit menemukan orang yang mampu memainkannya. Sebuah riset pada 1993 mencatat, hanya segelintir orang yang mampu memainkannya karena nasib permainan itu pasang surut. Kini, permainan tersebut termasuk langka dan vakum lama. Pasalnya, dalam waktu cukup panjang, permainan ini ‘dilarang’ dan ‘haram’ dimainkan. Meskipun demikian, baru-baru ini, ada seorang budayawan Malang yang masih cukup mahir memainkannya. Dia adalah Yongky Irawan, yang melakukan semacam ‘revitalisasi’ pada permainan tersebut, lengkap dengan filosofinya.
Permainan Nyai Putut ini belum diketahui asal-muasalnya, maupun sejarahnya. Kemiripan dengan Nini Thowok hanya terletak pada asal-usulnya yang menyangkut seorang wanita tua. Meskipun demikian, ada perbedaan dengan Nini Thowok. Dalam permainan Nini Thowok, wanita tuanya bersifat baik hati, sedangkan Nyai Putut berasal dari wanita tua yang masih gemar berdandan, yang lekas marah dan tidak senang jika ada orang yang mengolok-olok dandanannya.
Sifat emosional tersebut menjadikan permainan Nyai Puthut demikian atraktif karena penonton dituntut untuk terlibat aktif. Ihwal pembawaan dan sifat Nyai Puthtut, dapat ditelusuri dari tembang mantranya, yang mengisahkan tentang seorang perempuan yang dulu suka berdandan. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai pelacur. Ia kemudian meninggal dunia dan arwahnya dapat dihadirkan kembali untuk menari dengan media boneka. Dalam tembang mantra disebutkan bahwa ia pernah menjadi pelacur, tetapi akhirnya menjadi bidadari.
Permainan Nyai Putut dapat dimainkan oleh laki-laki atau perempuan. Syaratnya, yang bersangkutan mendapatkan pewarisan mantra dan teknik memainkannya dari orang yang mampu sebelumnya. Sebelum memainkan atau ‘menghidupkan’ boneka Nyai Puthut, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Selain penguasaan tembang mantra, pemain harus menyisir rambut boneka dan memasang kaca di depannya. Pencahayaannya memanfaatkan pantulan sinar rembulan. Karena itu, permainan ini biasa dimainkan ketika rembulan sedang bersinar sempurna, alias rembulan purnama.
Ketika arwah sudah datang setelah dipanggil dengan tembang dan merasuk ke boneka, boneka yang sudah didandani sedemikian rupa itu akan bergerak. Bahkan, ia akan semakin ndadi (menjadi-jadi) sesuai dengan reaksi penonton. Apabila penonton mengejek atau mengolok-oloknya, ia akan semakin aktif bergerak, bahkan apabila emosinya memuncak, ia akan kumat, sampai melompat-lompat, pertanda bahwa ia tidak suka atau sedang marah besar. (MA)
Terimakasih, semoga permainan/dolanan Nyai Puthut bisa kembali menjadi dolanan bocah
apakah ada reverensi untuk tulisan ini?