Kentrung bermula dari paduan kata “ngreka lan jantrung“. Makna kreatifnya luar biasa. Namun, kini kentrung sedang dilanda nasib pahit, terutama Kentrung Tuban. Sepeninggal Mbah Surati, yang karib disapa Mbah Rati, dalang kentrung dari Desa Bate, Kecamatan Bangilan, tiga tahun lalu, Kentrung Tuban sedang vakum. Jika tidak dilakukan revitalisasi secepatnya,tradisi lisan akan tamat.
Selama ini, Kentrung Tuban telah menghasilkan banyak sarjana, mulai dari taraf S-1 hingga S-3, baik di ilmu etnomusikologi, sosiologi seni hingga etnopuitika tradisi lisan. Peneliti Kentrung Tuban yang dikenal adalah Dr. Suripan Sadi Hutomo, sang doktor kentrung.
Nasib Kentrung Tuban kini sangat ironis. Regenerasi kentrung Tuban mencapai titik nadir. Menurut penuturan seorang budayawan Tuban, ketika usia Mbah Rati menapaki ambang senja, ia tak pernah risau siapa penerusnya. Ia merasa yakin bahwa sepeninggalnya, pasti ada yang meneruskan kentrung. Namun, bukan rahasia lagi, dalam regenerasi seni berbasis tradisi, dibutuhkan pewarisan dan pencantrikan yang sulit dan rumit. Apalagi, mitos yang melingkupi kentrung demikian menakutkan, yaitu dalang kentrung dikutuk buta!
Meskipun mitos itu jauh dari kebenaran, faktanya Kentrung Tuban kini menuju jurang kepunahan. Entah karena zaman, atau karena ruang, tetapi sejatinya tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Kondisi tersebut terkesan kontradiksi dan ironi karena gebyar Kabupaten Tuban kini sedang menuju slogan Tuban sebagai kota berbasis tradisi. (MA)