Dari Pak Anton Moeliono, Pak Samsuri –sapaan akrab Prof. Samsuri Ph.D., mendapatkan gelar kehormatan “pendekar bahasa”. Namun, beberapa muridnya, lebih suka menyebut beliau sebagai “begawan linguistik”. Dalam pewayangan, pendekar mengacu pada tokoh perkasa seperti Bima atau anaknya, Gatutkaca. Namun, gambaran tentang Pak Samsuri berbeda dengan tipe pendekar seperti itu. Beliau lebih mirip dengan Resi Abiyasa, seorang begawan di Wukir Retawu. IKIP Malang, kini UM, juga mirip dengan padepokan sang begawan karena dikelilingi enam gunung, yaitu Semeru, Bromo, Welirang, Arjuna, Kawi, dan Kelud. Ini bukan argumentasi tentang gelar mana yang lebih cocok, tetapi sekadar menjelaskan selera pilihan pribadi.
Julukan “pendekar” maupun “begawan” sama-sama menunjukkan kehebatan seorang sosok. Pak Samsuri unggul bukan hanya sebagai ilmuwan, melainkan juga sebagai pemimpin. Beliau pernah menjabat sebagai Dekan FKSS (1965-1970) dan Rektor IKIP Malang (1970-1974). Kedua jabatan penting itu jelas menunjukkan bahwa beliau juga andal sebagai seorang pemimpin. Kepeloporannya juga menonjol dalam membina ilmu bahasa. Beliau adalah salah satu pendiri Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI), yang sekaligus langsung terpilih sebagai ketua yang pertama, dan tugas itu diemban selama enam tahun (1975-1981). Selain itu, Beliau juga pernah menjadi anggota steering committee bagi Regional English Language Center (RELC), SEAMEO di Singapura (1967-1972), sebagai wakil (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) Indonesia. Artinya, kepemimpinan dan keahlian beliau juga diakui di kawasan Asia Tenggara.
Berikut ini adalah sepuluh karya penting Pak Samsuri. Karya pertama adalah The Phonology of Javanese (1958), tesis master beliau di Universitas Indiana, Bloomington. Tujuh tahun kemudian, muncul karya kedua, An Introduction to Rappang Bugenese Grammar (1965) yang merupakan disertasi beliau di universitas yang sama. Setelah mendapatkan gelar Ph.D, beliau kembali ke Indonesia dan bertugas diJurusan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan Sastra dan Seni (FKSS), IKIP Malang. Setahun kemudian, beliau menjabat sebagai Dekan FKSS (1966-1969). Berikutnya, beliau memangku jabatan Rektor IKIP Malang (1970-1974). Dalam periode itu, beliau memperoleh gelar guru besar di bidang linguistik dan menyampaikan pidato pengukuhan pada tahun 1972. Karya ketiga berjudul “Memilih Kerangka Acuan Tata-bahasa Bahasa Indonesia”.
Kesibukannya sebagai pemimpin perguruan tinggi menyisakan sedikit waktu untuk meneliti dan menulis. Baru empat tahun kemudian, setelah lengser dari rektorat, beliau menerbitkan Analisis Bahasa: Memahami Bahasa Secara Ilmiah (1978). Karya keempat ini merupakan buku penting bagi para bahasawan dan mahasiswa Jurusan Linguistik di Indonesia. Buku ini membahas tata bunyi, tata kata, dan tata kalimat dengan latihan yang sangat intensif di bidang fonologi dan morfologi. Tujuh tahun kemudian muncullah Tata Kalimat Bahasa Indonesia (1985) sebagai karya kelima, yang menggunakan kerangka acuan gado-gado dengan aroma transformasi generatif yang kental. Pada “Prawacana” dinyatakan bahwa buku tata kalimat ini adalah buku pertama, yang akan disusul oleh buku kedua dan ketiga, tata kata dan tatabunyi bahasa Indonesia. Tahun 1988 muncul buku selanjutnya yang dijanjikan, Morfologi dan Pembentukan Kata. Pada tahun itu juga, lahir karya berikutnya dengan judul Berbagai Aliran Linguistik Abad XX (1988). Buku kajian teori ini merupakan hasil studi pustaka mendalam yang dilakukan Pak Samsuri di Universitas Negara Bagian Ohio selama tiga bulan, Juli–Oktober 1986.
Ketiga karya terakhir berupa artikel: “Referensi dan Inferensi di dalam Wacana” (1990), “Kemampuan Pembicara Bahasa Jawa: Suatu Studi Permulaan” (1993), dan “Pengaruh Bahasa Indonesia pada Pemakaian Unggah-ungguh Bahasa Jawa” (1994). Setelah lengser dari rektorat, Pak Samsuri biasa menaiki sepeda jengki warna biru metalik dan disandarkan pada dinding di sebelah timur gedung H1 ketika mengajar di Fakultas Pascasarjana (sekarang Program Pascasarjana). Alangkah sederhananya Profesor Samsuri, Ph.D., sang pakar linguistik yang mantan dekan dan mantan rektor. Tidak ada post-power syndrome, juga tidak berpura-pura bersahaja. Itulah beliau, yang menjalani kehidupan asketik, tak silau pada kemewahan duniawi dan tampil apa adanya. Semua yang terbaik telah beliau berikan kepada IKIP Malang, kepada murid-muridnya, dan kepada semua pencinta bahasa serta ilmu bahasa di tanah air. Kita semua yakin bahwa saat ini “di sana” mendiang juga tidak mengidap post-worldly life syndrome. Semua yang harus ditunaikan telah dikerjakan sebaik-baiknya. (AR)