“Cerita Bangsacara” atau “Bangsacara-Ragapatmi” adalah kisah kasih legendaris dari Madura. Kisah tersebut mirip dengan kisah cinta lain di Nusantara, semisal Sri Tanjung-Sidopekso (JawaTimur), Roro Mendut—Pronocitro (Jawa Tengah), dan Jayengtilam—Layonsari (Bali). Namun, “Cerita Bangsacara” mengandung sesuatu yang khas Madura, dan tidak ditemui di daerah lain, apalagi makamnya berada di Pulau Mandangin, Kabupaten Sampang.
“Cerita Bangsacara” menempati habitat dalam tradisi lisan, yang dituturkan dari generasi ke generasi lewat mulut ke mulut. “Cerita Bangsacara” menjadi magnet sejak dulu, terutama dalam jagat literasi. Terhitung sejak zaman Hindia Belanda, ia telah menjadi sumber inspirasi bagi para penulis. Pada perkembangannya, cerita cinta itu juga menjadi bahan penulisan sastra kontemporer, bahkan pementasan teater. Tentu saja, dengan pembacaan dan pendekatan baru yang sesuai dengan semangat kekinian.
Tulisan tertua digurat pada tahun 1874 sebagai usaha untuk menghimpun cerita rakyat oleh sarjana Belanda, yaitu dalam Handleding tot de Begefrning der Madoereeschetaal (kumpulan cerita Madura versi Bahasa Belanda) ditulis A.C. Vreede. Buku ini diterbitkan di Leiden, pada tahun 1874. Untuk penulis Indonesia, sudah ada sejak Bale Poestaka berdiri yang bertujuan menyediakan bacaan bermutu kepada masyarakat Hindia, imbas dari Politik Etis yang dicetuskan van Deventer. Tulisan berbentuk prosa berjudul Tjaretana Bangsatjara karya Sumawidjaja, dan diterbitkan Bale Poestaka, Djakarta, pada 1917. Ada pula berbentuk drama berjudul Bangsatjara-Ragapadmi ditulis Ajirabas pada 1946. Ajirabas adalah nama samaran WJS Poerwodarminto,penyusun kamus bahasa Indonesia yang pertama.
Ada pula yang berbentuk puisi. Judulnya adalah Balada Bangsacara-Ragapadmi, karya Sastradinata ,ditulis pada 1977. Bahkan, sastrawan terkemuka Madura, D. Zawawi Imron juga menulis ulang Cerita Bangsacara dalam bentuk buku cerita rakyat berjudul “Bangsacara-Ragapadmi, Kisah Cinta dari Madura” pada 1980. Cerita tersebut sering pula diangkat sebagai lakon ludruk dan ketoprak. Bahkan, sebuah sumber menyebut bahwa ada naskah kuno yang mengabadikan “Cerita Bangsacara”.
Memang secara sastrawi “Cerita Bangsacara” mirip dengan kisah cinta dari Nusantara dan dunia, tetapi warna lokalnya tetap mengemuka dan menjadi pembeda yang tidak dapat ditemukan pada kisah lain serupa, terutama terkait asal-usul penamaan, karakter tokoh, dan kekhasan sebuah wilayah. Namun, masing-masing cerita itu hidup dan berpijak di ranah sosio-kultural yang berbeda. (MA)
*Libas edisi Januari 2019