Setiap tahun warga Desa Tlemang, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan, menggelar tradisi Sanggring. Tradisi ini pertama kali digagas Ki Buyut Terik, sesepuh setempat, dan sudah bertahan sejak ratusan tahun silam yang kala itu dimaksudkan sebagai jamuan untuk para tamu dan sedekah bumi. Ada beberapa keunikan dalam tradisi ini, termasuk pentas seni tradisi wayang krucil.
Dari gelar tradisi tersebut,yang paling utama adalah memasak makanan secara massal. Beberapa hal sudah berubah, tetapi masih ada yang tidak boleh diubah. Dulu, jumlah makanannya ditentukan sejumlah 44 piring. Sekarang, jumlahnya disesuaikan dengan jumlah warga desa. Satu hal yang tidak boleh berubah; koki yang memasak makanan harus kaum Adam. Tidak ada syarat khusus untuk kokinya. Hanya jumlahnya yang sebanyak empat puluh laki-laki. Selain itu, hasil masakan pantang dicicipi lebih dulu.
Makanan Sanggring berupa masakan yang berbahan dasar ayam. Ayam-ayam tersebut sumbangan dari warga, begitu juga bumbu lengkap dan kayu bakarnya. Tidak ada ketentuan harus ayam jantan atau betina, termasuk warna ayam, meskipun beberapa tahun silam memang harus berwarna hitam. Tradisi Sanggring selalu dilaksanakan setiap 27 Jumadilawal tiap tahun.
Dalam tradisi Sanggring, masyarakat Desa Tlemang disuguhi seni tradisi berupa wayang krucil dengan menampilkan empat orang sinden. Wayang yang terbuat dari kayu itu telah menjadi satu sajian dalam tradisi Sanggring dengan dalang yang berasal dari Desa Tlemang. Karena dalam tradisi Sanggring wayang kulit tidak boleh dipentaskan, pertunjukan wayangnya harus wayang krucil. Setelah prosesi Sanggring tuntas, kepala desa, tokoh masyarakat dan penduduk Desa Tlemang membawa berbagai macam makanan kiriman dari warga ke punden atau makam Ki Buyut Terik untuk dimakan bersama-sama. (MA)
*Libas Edisi April 2019