“Dasar generasi tempe!’. Pernah mendengar cemooh tersebut? Jika pernah, Anda tak perlu marah, minder, apalagi malu. Santai saja, karena sejatinya tempe bukanlah makanan yang memalukan. Tempe mengandung segudang gizi. Berbicara tentang tempe, di Ngawi terdapat sebuah menu kuliner berbahan dasar tempe yang konon berusia tua dan populer hingga kini yaitu nasi Lethok.
Sekilas Lethok hampir sama dengan sambel tumpang. Namun, sebenarnya ada perbedaaan di antara keduanya dalam proses pembuatan, campuran, dan bumbu yang digunakan. Di dalam Lethok terdapat campuran lauk, sedangkan sambel tumpang steril dari cuilan daging atau lauk lain. Variasi Lethok terletak pada campuran adonannya. Bahan-bahan sederhana dan tidak sundul langit, seperti tempe mentah segar, sedikit tempe medem (tempe bosok), dan santan dapat dikolaborasikan dengan babat (iso), iga sapi, daging, dan sebagainya. Konon Lethok berunsur tempe dan babat inilah yang mengandung kekhasan dan nilai kesejarahan, yang masih lestari dan digandrungi masyarakat Ngawi hingga sekarang. Untuk menyantap Lethok, selain dengan nasi hangat plus urap, sering pula disandingkan dengan pecel, dan penganan legendaris, yaitu kerupuk beras.
Terkait dengan asal muasalnya, dimungkinkan kuliner ini berkembang ketika Belanda masih bercokol di Ngawi. Kawasan kelurahan Pelem dulunya dikenal sebagai perkampungan Belanda. Di sana ada Benteng Pendem, kompleks pemakaman Belanda, serta tepat jagal sapi di jalan yang kini disebut jalan Ronggolawe. Daging sapi dari rumah jagal itu tentu menjadi konsumsi orang-orang Belanda sedangkan bagian sapi lainnya, terutama babat diobral ke masyarakat. Oleh masyarakat setempat babat tersebut dijadikan tambahan asupan gizi menu sehari-hari, yang dipadu dengan tempe bosok. Leluhur kita memang kreatif. Tak heran dari mereka lahir generasi unggul dan cerdas macam kita, tetapi malu dan minder disebut “generasi tempe”. (MA)
*Libas Edisi Januari 2016