Djajus lahir di desa Dempel, Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, pada tanggal 1 Agustus 1948. Dalam karya-karyanya, Djajus sering menggunakan nama samaran Djajus Pete. Tidak ada alasan khusus Djajus menggunakan nama itu. Laki-laki beragama Islam ini menamatkan sekolah dasar (SD) di Kecamatan Purwosari, Kabupaten Bojonegoro pada tahun 1961. Ia kemudian melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) tahun 1967 di Bojonegoro. Pada tahun 1968 ia melanjutkan ke sekolah pendidikan guru (SPG) di Kabupaten Bojonegoro. Pendidikan terakhirnya ditempuh di KPG Bojonegoro pada tahun 1976.
Pengalaman kerja Djajus diawali sebagai guru sekolah dasar (SD) sejak tahun 1971 di Bojonegoro dan pada tahun 1985—1993 bekerja sebagai wartawan Jaya Baya dan Surabaya Post. Kegiatan kepengarangan Djajus dimulai tahun 1967. Ia mengakui dunia tulis menulis baginya adalah semacam bakat yang didukung kerja keras untuk terus belajar menulis dengan lebih baik dari yang telah dihasilkan sebelumnya. Pada awalnya Djajus merasa harus banyak membaca karya-karya sastra untuk memenuhi keinginannya yang sangat besar dalam hal menulis. Materi karya-karya Djajus terutama cerita cekak ‘cerita pendek’ sebagian besar adalah berupa pengutaraan gagasan (menumpahkan uneg-uneg) yang dibumbui dengan latar penceritaan yang inkonvensional .
Karya pertama yang dihasilkan Djajus berupa guritan berjudul “Pepesthen” yang dimuat dalam majalah Panjebar Semangat tahun 1967. Dalam berkarya, Djajus sulit memberikan gambaran bagaimana proses kreatifnya. Hal tersebut, menurutnya, karena sebuah proses kreatif itu bersifat pribadi, cakupannya seperti tidak terhingga, mulai dari bagaimana mengungkap ide (meskipun ide datang dengan sendirinya), hingga berupa sebuah tulisan setelah mengalami proses pengendapan yang sangat lama.
Ia mengakui bahwa pada awalnya selalu dibantu oleh pengarang senior seperti JFX Hoery. Hoerylah yang kali pertama memberikan dorongan dan semangat menjadi penulis sastra Jawa. Suripan Sadi Hutomo dalam suratnya selalu memberikan saran, semangat, dan keyakinan bahwa Djajus akan menjadi pengarang yang besar. Dorongan semangat dari tokoh-tokoh besar tersebut disikapi Djajus dengan rendah hati. Ia bahkan terus-menerus mengasah kemampuan karena berkeyakinan bahwa menjadi penulis sastra Jawa ternyata tidak cukup hanya bermodal semangat, tetapi harus masuk dalam taraf penyerahan diri secara mutlak. Artinya, setiap tingkah laku dan perbuatan, sesuatu yang ia dengar, ia lihat, dan ia rasakan hanyalah untuk kepentingan sastra Jawa.
Peran penerbit dewasa ini, berkaitan dengan profesinya sebagai penulis, menurut Djajus, sangat menunjang dalam mener-bitkan hasil karyanya, walaupun media-media tersebut keberadaannya masih terbatas, khususnya media yang berbahasa Jawa. Tentang penghasilan, Djajus berpendapat bahwa honor yang diterimanya untuk sebuah karya sastra dapat dianggap belum layak. Akan tetapi, masalah utama perkembangan sastra Jawa tidak hanya itu. Ada faktor yang lebih penting yakni kemauan dan kemampuan untuk secara total nguri-uri bahasa dan sastra Jawa.
Walupun demikian, ia sangat optimis bahwa sastra Jawa masih akan terus hidup, apalagi dibantu oleh media-media berbahasa Jawa karena majalah-majalah tersebut merupakan benteng terakhir media ekspresi estetik sastra Jawa. Djajus menulis dalam berbagai genre sastra, baik cerita pendek (cerita cekak), cerita bersambung (cerbung), atau geguritan. Akan tetapi, beberapa tahun terakhir ini ia memfokuskan diri hanya menulis cerita pendek.
Karya monumental Djajus Pete berjudul “Kretek Emas Jurang Gupit”, sebuah buku antologi cerita cekak. Antologi ini berisi sepuluh cerita pendek yang ditulis antara tahun 1986—1998 dan pernah dimuat dalam majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Zed Amidien, seorang wartawan majalah Tempo, menerbitkan buku tersebut dengan dibantu sejumlah pengarang sastra yang ada di Surabaya. Antologi cerita cekak “Kreteg Emas Jurang Gupit” merupakan buku Djajus yang memperoleh penghargaan Rancage.
Kesepuluh cerita pendek tersebut adalah “Bedhug” (Panjebar Semangat, No. 19, 10 Mei 1997), “Dasamuka” (Jaya Baya, No. 19/ XLVI, 5 Januari 1992), “Kadurjanan”(Jaya Baya, No. 41/XLIV, 10 Juni 1990), “Kakus” (Panjebar Semangat, No. 44, 31 Oktober 1992), “Kreteg Emas Jurang Jupit” (Jaya Baya, No. 47/XL, 20 Juli 1986), “Pasar Rakyat” (Panjebar Semangat, No. 25, 22 Juni 1996) dengan judul “Topeng”, “Petruk” (Jaya Baya, No. 4/XLV, 23 September 1990), “Rajapati” (Panjebar Semangat, No. 49, 5 Desember 1998), “Setan-setan” (Panjebar Semangat, No. 31, 31 Juli 1993), dan “Tikus lan Kucinge Penyair” (Jaya Baya, No. 8/XLV, 21 Oktober 1990).
Karya sastra berupa Crita Cekak (1) “Tatu Lawas Kambuh Maneh” (Panjebar Semangat, No. 15, 10 Mei 1971), (2) “Erma” (Dharma Nyata, No. 18, Minggu V, September 1971), (3) “Baladewa Ilang Gapite” (Panjebar Semangat, No. 8, 24 Februari 1972), (4) “Wewadi Tansah Kineker” (Panjebar Semangat, No. 28, 24 Juli 1972), (5) “Antinen Sawetara Dina” (Panjebar Semangat), (6) “Rekasane Urip” (Panjebar Semangat, No. 44, 24 November 1972), (7) “Bapak Ana Kene” (Jaya Baya, No. 40/XXVII, 10 Juni 1973), (8) “Tiwi” (Djaka Lo-dhang, Minggu IV, Oktober 1973), (9) “Ringkih” (Dharma Nyata, No. 131). Djajus saat ini tinggal di Jalan Tambangan II/203, Purwosari, Kabupaten Bojonegoro.
*Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur