Penyair Madura ini terkenal sebagai penyair yang mencintai budaya leluhurnya dan masih tetap tinggal di Madura sampai saat ini. D. Zawawi Imron dilahirkan di Batang-Batang Laok, sebuah kecamatan yang terletak sekitar 20 kilometer dari Kabupaten Sumenep atau di ujung timur Pulau Madura. Seperti kebiasaan masyarakat desa yang menandai kurun waktu dengan peristiwa-peristiwa besar seperti gunung meletus, banjir, dan sebagainya, Zawawi tidak tahu persis kapan hari, tanggal, dan tahun kelahirannya. Menurut pengakuannya dan berdasarkan perkiraan, ia dilahirkan sekitar tahun 1946, bersuku Madura dan beragama Islam.
Sebagai putra Madura asli, pendidikan Zawawi diwarnai nafas keislaman. Setelah tamat Sekolah Rakyat, Zawawi melanjutkan pendidikan di pondok pesantren Salafiyah selama 18 bulan. Selanjutnya, sebagai seorang otodidak dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar dan pondok pesantren, ia berhasil mengikuti ujian persa-maan pendidikan guru agama.
Sejak 1967—1983 Zawawi Imron bekerja sebagai guru agama sekolah dasar; tahun 1983—1985 menjadi guru agama sekolah menengah pertama, dan sejak 1985—1993 menjabat Kasubsi Penerangan Agama di Kantor Departemen Agama Kabupaten Sumenep.
Zawawi Imron berbeda dengan penyair-penyair lain yang umumnya tinggal di kota. Sampai saat ini, ia tetap tinggal di Batang-Batang dan menurut Zawawi tinggal di desa justru mendukung kreativitasnya dalam bersastra. Zawawi mulai menulis sejak 1960 dan baru tahun 1973 ia mengirim sajak-sajaknya ke Minggu Bhirawa, Surabaya.
Beberapa prestasi yang diperoleh Zawawi Imron antara lain hadiah dalam sayembara nasional menulis puisi yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Sahabat Pena Indonesia tahun 1979; hadiah dari Depdikbud dalam lomba menga-rang buku bacaan SD tahun 1981; tahun 1985 buku kumpulan puisinya Nenek Moyangku Air Mata mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama; dan, tahun 1990 kumpulan puisi Nenek Moyangku Air Mata dan Celurit Emas (1986) mendapat hadiah dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) sebagai puisi terbaik.
Penyair ini kali pertama menginjakkan kakinya di Jakarta tahun 1979 karena mendapat undangan menghadiri Pertemuan Sastrawan Nusantara II (PSN). Zawawi Imron sering diundang untuk membacakan puisi atau menjadi pembicara dalam seminar tentang budaya Madura. Tahun 1982, ia hadir dalam acara “Temu Penyair 10 Kota” di TIM Jakarta. Tahun 2005, Zawawi diundang Balai Bahasa Surabaya (sekarang Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur) sebagai pembicara dalam Seminar Nasional Bahasa Madura.
Kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Semerbak Mayang (1977), kemudian disusul kumpulan Madura Akulah Lautmu (1978). Masih ada kumpulan sajaknya yang telah terbit, antara lain Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996). Kumpulan sajaknya, Bulan Tertusuk Lalang (1982), mengilhami sutradara Garin Nugroho dalam pembuatan film berjudul “Bulan Tertusuk Ilalang”. Masih ada kumpulan sajaknya yang lain, seperti Derap-Derap Tasbih (1993), kemudian sajak hasil pengembaraannya ke Sulawesi Selatan yang terkumpul dalam Berlayar di Pamor Badik (1994). Tahun 1996 terbit kumpulan sajaknya Laut-Mu Tak Habis Gelombang. Sajaknya “Dialog Bukit Kemboja” keluar sebagai pemenang pertama Lomba Nasional Menulis Puisi 50 Tahun Kemerdekaan RI yang diadakan AN-Teve. Sajak-sajak Zawawi Imron sebagian sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa, antara lain bahasa Inggris, Belanda, dan Bulgaria.
Selain sajak, karya sastra Zawawi Imron berupa cerita rakyat dan cerita anak. Cerita rakyat yang telah diterbitkan antara lain Campaka (1979), Ni Peri Tunjung Wulan (1980), Bangsacara-Ragapadmi (1980), dan Raden Sagoro (1984). Karya cerita anak yang sudah diterbitkan berjudul Melihat Kerapan Sapi di Pulau Madura (1988). Kumpulan puisi terbarunya berjudul Madura Akulah Darahmu (2005) merupakan kumpulan puisi-puisi pilihan karya Zawawi sejak 1976.
* Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur
* Sumber Foto: https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Berkas:D._Zawawi_Imron.jpg&filetimestamp=20120710101740&
Pingback: PUISI UNTUK PAKDE - Dimadura