Tim visualisasi Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur tiba di Desa Sukorejo, Kecamatan Parengan, Tuban, menjelang magrib. Namun, sinar matahari masih seperkasa mata Joko Tarub ketika mengintip Nawangwulan mandi di sendang Widodaren.
Lekuk jalan menuju desa yang berjarak sejauh 60 km lebih masih menunjukkan keseksiannya. Jalan menuju dusun itu sangat khas kawasan pegunungan Kendeng Utara. Keras, berkelok, sesekali jeglong, dan sempit. Panoramanya khas. Kadang dihimpit tebing batu kapur. Kadang lapang di antara pesawahan. Apalagi sepanjang jalan, rimbun jati tumbuh di punggung bukit. Tampak dominan jati kanak-kanak dan remaja karena yang sudah sepuh telah bermetamorfosis menjadi kursi, tiang, hingga buah-buahan palsu yang menghiasi meja.
Kayu, apapun itu, menjadi sokoguru di kawasan Sukorejo. Ia tidak hanya menjadi sokoguru dalam arti harfiahnya sebagai tiang bangunan atau rumah, tapi juga sebagai penopang sebuah tradisi yang berusia ratusan tahun. Di dusun yang terpencil tersebut, kami disuguhi realitas dan degup hidup seni tradisi yang menggunakan kayu sebagai media ekspresi, yaitu wayang krucil dan wayang tengul (golek). Keduanya terbuat dari kayu.
Kedua wayang tersebut memang tidak hanya di Sukorejo, tapi bagi pemerhati wayang, hanya di Sukorejo dapat ditemukan ‘orisinalitas’ dan kekhasan khas. Wayang krucilnya memiliki iringan musik yang berbeda dengan krucil lainnya, yang disebut lekthung, dan dianggap memiliki silsilah paling tua di Tuban. Wayang tengul-nya pun memiliki ciri khas yang tidak dapat ditemukan di wilayah lain yang hidup di punggung pegunungan Kendeng sisi berbeda, semisal Bojonegoro, karena bonekanya berkaki. Mungkin inilah satu-satunya wayang golek yang berkaki di Nusantara.
“Karena itu cara memainkannya juga butuh teknik khusus,” kata sang dalang.”Karena pakai kaki, menurut kakek saya, ini bisa untuk ruwatan, Begitu pula dengan wayang krucil. Bahkan untuk ruwatan di sini wayang krucil masih yang dipercaya dan menjadi pilihan masyarakat,” lanjut sang dalang.
Yang menarik, kehidupan kesenian di Sukorejo tumbuh subur dan hablur dengan watak pedusunannya. Di sana, ada grup musik salawatan, pencak dor, dan seni tradisi lainnya. Kami melihat beragam seni, dan sebagian besar seni tradisi, hidup bersama masyarakatnya tanpa terjebak seremoni dan kehilangan fungsi hakikinya sebagai seni. (MA)
*Sumber: Libas Edisi Juli 2017 *Foto: Tim Visualisasi Tuban (NN)