Penduduk Desa Jelbuk, Kecamatan Jelbuk, Jember, rata-rata pendatang dari Madura. Sudah dari ‘sono’-nya orang Madura terkenal religius. Tak heran, menjelang kehadiran bulan Ramadan, di desa Jelbuk digelar seni tradisi unik yang berbeda dengan kebiasaan masyarakat lain, yaitu Buto-butoan. Secara harafiah, seni ini mengacu pada bentuk boneka-bonekaan yang melambangkan sosok tertentu, yang dipadu dengan kesenian lokal Jawa dan Madura.
Tidak diketahui sejak kapan kesenian ini hadir di kalangan masyarakat Jelbuk. Yang jelas hingga kini kesenian ini masih tetap eksis dan menjadi ritual tahunan. Apalagi ketika ditelisik lebih jauh, kehadiran kesenian ini tidak hanya melulu untuk menyambut bulan Ramadan. Namun juga pada acara hajatan, baik itu menikah, khitan, dan lainnya, kesenian ini dihadirkan sebagai sarana penghibur bagi masyarakat.
Seni ini merupakan modifikasi antara seni jaranan dan ondel-ondel dalam masyarakat Betawi. Bisa pula sejenis ‘ogoh-ogoh’ dalam tradisi masyarakat Bali. Uniknya, seni ini hanya bisa dijumpai di kalangan masyarakat Jember utara yang mayoritas peneduduknya beretnis Madura, yang kakek moyangnya merupakan imigran dari Madura dan bekerja sebagai buruh perkebunan. Dari sisi tradisi budayanya, mereka termasuk masyarakat santri.
Ihwal makna dari permainan ini memang banyak versi yang berkembang. Ada yang menjelaskan tentang simbol pengendalian nafsu sebagaimana sudah diutarakan karena mengingat simbol ondel-ondel yang dianggap ‘buto’ dan harus ditundukkan. Ada yang menafsirkan sebagai ungkapansuka cita dan bahagia. Tak heran, pada saat pertunjukkan warga terlibat menari, sambal berdendang dan menabuh tetabuan dengan riang. Yang merupakan perwujudan dari rasa suka cita menyambut datangnya bulan suci Ramadan.
Kiranya, seiring dengan laju globalisasi, seni jenis Buto-butoan ini sangat layak untuk dijaga tetap lestari. (MA)
*Sumber: LIBAS Edisi Juli–September 2016