SENI BANTENGAN dari PASURUAN

Seni tradisi di Pasuruan masih hidup, di antaranya adalah jaran kepang, tayub, bantengan, wayang, dan lainnya. Kesenian “Bantengan” sampai saat ini masih dilestarikan di Desa Lumbang Rejo, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan. diharapkan dapat diakui oleh Pemprov Jatim sebagai salah satu kesenian konservasi. Seni bantengan yang telah berkembang selama bertahun-tahun ini penuh dengan nilai kebudayaan yang tinggi, di samping selalu dirawat dan dipertahankan sebagai budaya khas masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan itu.

Korintus Mudjiyahya, atau biasa dipanggil Ki Bagong, Ketua Umum Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Pasuruan mengatakan, kesenian banteng yang ada di Kecamatan Prigen memiliki daya tarik tersendiri, bila dibandingkan dengan seni-seni banteng yang ada di daerah lain. Daya tarik yang dimaksud adalah banyaknya alat musik tradisional, seperti gamelan, gendang, dan berbagai alat musik tradisional lainnya, yang dimainkan dalam kesenian tersebut.

Peralatan musik dalam Seni Bantengan

Pertunjukan kesenian bantengan diawali dengan pembacaan mantra-mantra untuk meminta kepada Tuhan YME agar pertunjukan pada hari itu berjalan lancar. Semua peralatan, seperti jaran kepang, barongan, dan cemeti diberi mantra agar tidak terjadi hal-hal di luar kendali. Setelah itu tampil penari jaran kepang yang dibawakan oleh empat orang pemuda. Bagi masyarakat Jawa Timur bagian timur (Surabaya, Malang, Pasuruan, Lumajang hingga Situbondo), tari Jaran Kepang merupakan kisah-kisah raja-raja kecil atau adipati yang saling berperang untuk meluaskan wilayahnya. Seperti kisah peperangan antara Turyanpadha (Turen, Malang) dengan Tuksari (Sumbersari, Malang) atau pemberontakan rakyat Malang, Surabaya, Lumajang dan Pasuruan dalam melawan Sultan Agung dari Mataram. Berdasarkan apa yang dapat kita lihat, tari Jaran Kepang di wilayah Malang, Lumajang dan Surabaya memang berasal dari rakyat jelata atau masyarakat kelas bawah.

Pembacaan mantra sebelum pertunjukan dimulai

Tarian jaran kepang berawal dari keinginan kaum jelata untuk memiliki kuda (dalam bahasa jawa disebut Turangga). Saat itu memang kuda adalah kendaraan yang cepat namun mahal dan hanya dimiliki oleh para adipati atau penguasa setempat. Hal ini tentu mustahil untuk diwujudkan. Oleh karena keinginan yang begitu kuat itulah mereka membuat kuda kepang lalu ditungganggi dengan kaki mereka sebagaimana layaknya kuda. Alat musik dan pakaian yang sederhana semakin menunjukkan bahwa tarian Jaran Kepang di daerah ini berasal dari rakytat jelata. Memang tidak banyak sumber tertulis yang menunjukkan asal-usul tari ini. Kebanyakan hanya didapat dari cerita turun temurun yang sudah terdistorsi kanan dan kiri. Pengaruh kebudayaan baru juga membuat tarian Jaran Kepang ini menjadi tidak diminati masyarakat, terutama anak muda. Oleh karena iru, padepokan Gong Saraswati membina pemuda-pemuda di Kecamatan Prigen khususnya untuk berlatih jaran kepang dan kesenian khas Kabupaten Pasuruan lainnya.

Penampilan kesenian jaran kepang
Penampilan tari barongan
Akhir pertunjukan seni Bantengan

*Sumber: Laporan Kegiatan Visualisasi Kebinekaan Kebahasaan dan Kesastraan di Wilayah Kebudayaan Pandalungan, Pasuruan. 2016.

*Foto: Tim Visualisasi Kebinekaan Kebahasaan dan Kesastraan di Wilayah Kebudayaan Pandalungan, Pasuruan. 2016.

Bookmark the permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *