OBITUARI: HASAN SENTOT

Puisi Using tersebut karya almarhum Mas Hansen atau Mas Hasan Sentot, yang memiliki nama pena Sentot Parijata, yang berpulang ke haribaan Sang Khalik, Minggu 4 Juli 2021, di RSUD Genteng Banyuwangi. Gurit tersebut termuat dalam buku kumpulan puisi Using tunggal karyanya, berjudul “Ngeronce Welas”, halaman 9, yang diterbitkan Balai Bahasa Jawa Timur, pada pertengahan tahun 2019. Tersirat, puisi berbahasa daerah itu menyimpan sebuah pesan rahasia. Adapun secara gamblang, puisi itu menerangkan tujuan hidup penulisnya, sebagaimana dalam dua baris terakhir, yang artinya: “memuliakan orang tua dan keluarga, semoga besok diganjar surga”.

Hasan Sentot juga menjadi dosen luar biasa dalam jurnalistik di sebuah universitas. Alasannya ingin menyenangkan anak-anak. Mereka bahagia bila mereka mengaku pada kawan-kawannya bahwa ayahnya bekerja sebagai dosen. Hansen lahir di Banyuwangi, 27 Agustus 1965, tepatnya di Dusun Krajan, Desa Parijatah Kulon, Kecamatan Srono. Beliau juga aktif sebagai pengurus Lesbumi Jawa Timur, tahun 2013—2018 di bagian humas, karena berlatar belakang jurnalistik. Hansen memulai kariernya sebagai wartawan Karya Dharma dan memuncak sebagai salah satu ‘orang penting’ di SCTV untuk wilayah liputan di Jawa Timur.

Hasan Sentot sangat aktif di acara-acara kebudayaan, seperti acara Festival Seni Sastra Pesantren di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Drajat Paciran Lamongan, yang diasuh KH Abdul Ghofur. Juga memperjalankan buku puisi “Tasbih Hijau Bumi” ke beberapa pesantren, madrasah dan sanggar seni-sastra di wilayah Jombang, Mojokerto, dan Kediri, termasuk di Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang dan Pondok Pesantren Darul Falah Mojokerto. Manajer JX Surabaya ini memang tidak sepenuhnya meninggalkan sastra, meskipun lama berkarier di jurnalistik, kemudian menjadi seorang karyawan perusahaan. Dia sangat tertarik dengan hal-ihwal sastra daerah, terutama dalam hal tradisi lisan dan filologi di daerah kelahirannya Banyuwangi dan dalam dunia santri di Jawa Timur.

Ngeronce Welas, 2019

Adapun soal puisi Using, dia memang dikenal menulisnya sudah lama dan memiliki jaringan dengan penyair dan seniman Using. Pada pertengahan tahun 2018, dia diminta bantuannya untuk menghimpun puisi para penyair Using untuk diterbitkan dalam sebuah antologi, sesuai dengan program kerja Balai Bahasa Jawa Timur pada tahun 2019. Namun, sampai tenggat waktu, ternyata belum terhimpun juga. Akhirnya, kumpulan puisi Using “Ngeronce Welas” yang terdiri atas 50-an puisinya pun terbit, meskipun dalam eksemplar yang terbatas, sekitar pertengahan tahun 2019.

Hasan Sentot juga sedang tertarik dengan riset tentang tradisi lisan Using berupa nyanyian rakyat seputar tahun 1955–1965. Dia mengaku punya beberapa narasumber yang masih hidup. Menurutnya, bentuk dan isi tembangnya sangat menarik. Ini adalah keahliannya karena skripsi S1-nya di Jurusan Sastra indonesia, Fakultas Sastra (kini FIB), Universitas Jember termasuk ‘berani’ dan menarik karena berbicara tentang tembang-tembang Using tahun 1965—1975, dari tinjauan semiotik. Apalagi karya itu digarap pada saat Orde Baru sedang berkibar pada tahun 1990-an. Bahkan, karena saking menariknya skripsi itu, hingga ‘paus’ sastra Jawa, almarhum Prof. Suripan Sadi Hutomo, kepincut dengan temuannya dan merekomendasikannya untuk menyajikan karya ilmiahnya dalam sebuah paparan seminar tradisi lisan di TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta pada tahun 1993. (MA)

Bookmark the permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *