Saya mendengar Kayangan Api sejak kecil. Konon, berupa api tak kunjung padam di tengah hutan jati Bojonegoro, di punggung Pegunungan Kendeng. Lokasi tepatnya di Dusun Ngembul, Desa Sendangharjo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro. Namun, saya tak kunjung dapat berkunjung. Baru pada pertengahan 2019, ketika saya didapuk sebagai ketua panitia kegiatan Balai Bahasa Jawa Timur terkait dengan pendataan media di Bojonegoro, saya berhasil menunaikan hasrat terpendam ke Kayangan Api.
Meski musim sedang kemarau, dan panasnya kota Bojonegoro begitu dahsyat, tetapi alhamdulillah begitu kami sampai di sana, tidak berapa lama, gerimis turun. Kami pun berteduh di pendapa besar, yang kelihatannya baru dibangun. Sepertinya tempat itu memang dirancang sebagai wisata alam, sekaligus wisata sejarah. Karena itulah, pemkab setempat getol melakukan serangkaian pembangunan di sana.
Pembangunan itu meliputi gapura, pendapa, pelataran, ornamen, tata letak, termasuk juga keberadaan sebuah keris besar sebagai ciri khas Kayangan Api, karena tempat itu dianggap sebagai tempat Mpu Supo membuat keris. Meskipun masalah ini menimbulkan perdebatan menarik di antara budayawan, sejarawan, seniman, dan pemerhati klenik lainnya. Ups! Yang terang, belum ada sepakat di antara para cendekiawan tersebut.
Keberadaan Kayangan Api mengingatkan saya pada Api tak Kunjung Padam di Desa Larangan, Pamekasan, Madura. Bedanya, di Pamekasan, apinya tertimbun dengan abu dan tanah, dan terkesan tidak tertata, meskipun sudah dipagar besi, sedangkan di Kayangan Api, pusat semburan dilokalisir dengan batu-batu dan ditembok rapi.
Kesamaannya keduanya dibalut cerita tutur yang luar biasa. Di Pamekasan dikaitkan dengan relasi antara penyebar agama setempat dengan seorang puteri dari Kerajaan Palembang. Di dekatnya, terdapat artefak kuno, yang diyakini sebagai cikal-bakal tempat tersebut. Berupa sepasang makam. Di Bojonegoro, terdapat kisah yang mengaitkannya dengan Mpu Supo, empu pembuat keris legendari pada zaman Majapahit–Demak, meskipun belum ditemukan artefak yang mendukung kisah tersebut.
Saya sempat bertanya seputar kawasan Kayangan Api tersebut kepada seorang pedagang jagung bakar tua di sana. Tentu juga tentang Mpu Supo dan beberapa karya keris saktinya, yang hingga kini menjadi rujukan putran berbagai keris di Jawa, di antaranya adalah Nagasasra, Sengkelat dan Carubuk —meskipun saya agak mengerti, posisi Mpu Supo sendiri dalam sejarah juga bias. Hal itu karena menurut Bambang Harsrinuksmo (2004), nama Mpu Supo tersebut dianggap sebagai nama umum mpu pembuat keris. Hal itu karena cukup banyak mpu pembuat keris yang bernama Mpu Supo, mulai dari Supo Mandrangi, Supogati, Supodriya, Supojaya, Supo Anom, Jaka Supo, Supowinangun, dan Suposetika. Meskipun bagi ahli perkerisan, nama-nama itu memiliki ‘sejarah’-nya sendiri-sendiri. Hanya saja dalam Winter (1871), nama Mpu Supo dinisbatkan sebagai mpu pembuat keris pada masa peralihan antara Kerajaan Majapahit ke Kerajaan Demak, dengan mahakarya bernama Keris Carubuk. (MA)
Sumber: https://www.facebook.com/mashuri.alhamdulillah
Foto: Koleksi Pribadi KU dan MA