“Sampai Pasuruan menyimpang jalan ke selatan menuju Kepanjangan, menganut jalan raya kereta lari beriring-iring ke Andoh Wawang, ke Kedung Peluk dan ke Hambal, desa penghabisan dalam ingatan, segera Baginda menuju kota Singasari bermalam di balai kota.
Prapanca tinggal di sebelah barat Pasuruan ingin terus melancong, menuju asrama Indarbaru yang letaknya di daerah desa Hujung, berkunjung di rumah pengawasnya, menanyakan perkara tanah asrama, lempengan piagam pengukuh diperlihatkan, jelas setelah dibaca.”
Demikianlah kitab Negarakertagama atau Desawarnana pupuh ke-35 menyebut Pasuruan sebagai tempat strategis, sebuah jalan simpang. Pada masa kuno, Pasuruan juga dikenal sebagai bandar kuno terutama di kawasan pesisir dekat Selat Madura. Daerah ini dikenal sebagai pelabuhan transit dan perdagangan antar bangsa sejak tempo doeloe. Letaknya demikian strategis. Tak heran, tempat ini selalu menjadi rebutan beberapa kerajaan besar di Jawa. Namun, pada masa sekarang Pasuruan tidak hanya dikenal dengan bandarnya, tetapi daerah pegunungannya yang ciamik menyimpan banyak cerita, terutama menjadi muara persilangan budaya beberapa kerajaan besar pada masa lampau, sebagaimana gurat kitab kuno yang dinukil dalam pembuka tadi.
Hal itu sebagaimana yang terungkap dalam sejarah, bahwa pada masa klasik, Pasuruan yang nama klasiknya adalah Pasuruhan, cukup lama dikuasai raja-raja kerajaan di Jawa Timur. Tercatat pada dasa warsa pertama abad XVI yang menjadi raja adalah Pati Supetak, ada pula yang menyebutnya Pate Sepetat. yang disebut sebagai pendiri ibukota Pasuruan, dalam Babad Pasuruan dengan nama Gembong. Ia adalah menantu Pati Pimtor, raja yang berkuasa di Blambangan, juga menantu Raja Madura. Ia masih punya keterkaitan keluarga dengan pembesar Majapahit. Nama Sepetat ini diduga identik dengan Menak Sapetak atau Menak Supetak dalam catatan sejarah Blambangan.
Pasuruhan sebagai nama lokasi atau wilayah memang baru pertama kali tercatat dalam kitab Negakertagama atau yang disebut dengan Desawarnana. Kitab itu berbentuk kakawin dan digurat oleh Mpu Prapanca pada saat mengikuti perjalanan Prabu Hayam Wuruk (1350—1389) ke Lumajang pada 1281 Saka (1359 M). Toponimnya mengarah pada dua arti: yaitu tempat daun Suruh tumbuh atau tempat orang yang mendapat perintah raja bertempat tinggal. Meski demikian, berdasarkan tinggalan arkeologis dan khasanah lama, di wilayah Pasuruhan sudah sejak dulu berdiri pemukiman kuno, bahkan tilas peradaban pada masa sebelum Majapahit juga bisa ditemukan di hampir semua wilayah itu. Bukti itu menandakan Pasuruhan merupakan kota tua.
Nama Pasuruhan muncul dua kali dalam kitab Negarakertagama. Pasuruhan disebut pada pupuh 34: 1, yang disambung pada pupuh 35: 1. Selain Pasuruhan, beberapa nama-nama desa yang kini masuk wilayah Pasuruhan, juga disebut dalam karya di era Jawa Kuno tersebut. Nigel Bullough, yang bernama Jawa Hadi Sidomulyo, dalam bukunya ‘Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca’ menyebut tidak kurang dari 25 tempat Pasuruhan disebut dalam 17:10 sampai 21: I. Hal itu berlanjut pada pupuh 34:4—35:3, sebanyak 6 tempat/desa, kemudian pada pupuh 55:2—58:1, terdapat tidak kurang dari 16 tempat/desa yang masuk wilayah administratif Pasuruhan disebut.
Sidomulyo pun ‘mengabadikan’ beberapa tilas atau situs masa lalu dari penanda perjalanan itu dalam gambar-gambar foto seperti kepala ‘kala’ di Desa Banyubiru, Kec. Winongan, watu gong di Desa Pager, bentuk yoni di Desa Kapulungan, Kec. Gempol, Candi Jawi, dan lainnya. Tempat-tempat itu memang dicatat Rakawi Prapanca dalam kitab Negarakertagama.
Jauh sebelum Majapahit berdiri, di wilayah Pasuruhan tempo doeloe sudah terstruktur bentuk pemukiman penduduk. Terbukti, tinggalan masa lalunya yang masih bisa dijumpai hingga kini. Diantaranya, Prasasti Cunggrang yang ditemukan peneliti Belanda pada 1836, di Dusun Sukci, ada pula yang menyebutnya Dusun Suci, Desa Bulusari, Kec. Gempol. Prasasti itu dikeluarkan oleh raja Pu Sindok, yang bertanggal 12 Suklapaksa, bulan Asuji tahun 851 Saka, yang bertepatan dengan 18 September 929 Masehi. Isinya antara lain Pu Sendok memerintahkan agar rakyat Cunggrang, yang termasuk wilayah Bawang, di bawah pemerintahan Wahuta Tungkal untuk menjadi Sima (tanah perdikan) bagi pertapan di Pawitra (Gunung Penanggungan), dan memelihara pertapaan dan prasada juga memperbaiki bangunan pancuran di gunung tersebut.
Lokasi Cunggrang yang dimaksud dalam isi prasasti berlokasi tidak jauh dari situs, yaitu Dusun Jembrung, masuk Desa Bulusari. Masyarakat menyebut dusun itu dengan Jonggrang. Di situ masih dijumpai bukti arkelologis berupa struktur bata kuna yang berbentuk saluran air yang menghubungan dua sungai yang mengalir di kawasan tersebut. “Bukti arkeologis menunjukkan bahwa pada abad X Masehi, di daerah tersebut sudah ada pemukiman yang telah teratur strukturnya,” tegas sumber dari tim yang menelusuri sejarah asal mula Pasuruhan.
Prasasti lain yang dikeluarkan oleh Pu Sindok adalah prasasti Gulung-Gulung. Penanda waktu prasasti ini bulan Baicaka, tahun 851 Saka. Tanggal tersebut bertepatan dengan 20 April 929 M. Isi prasastinya penetapan perdikan sawah di Desa Gulung-Gulung dengan besar pajak 7 su dan hutan di Bantaran untuk bangunan keagamaan di Himad. Disebut juga terdapat tanah perdikan khusus (disebut sima putraswa) di Batwan, Curu, Ergilang, dan Gapuk.
Diantara nama-nama tempat itu Gapuk menarik perhatian karena dalam Negarakertagama disebut berurutan dengan toponim yang ada di Pasuruhan, yaitu Gapuk, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lumbang. Hadi Sidomulyo, menjelaskan Gapuk terletak di selatan Rejoso, jarak dari Winongan 4 km ke arah barat laut. Jika pengidentifikasian itu benar, pada 20 April 920 Masehi, bahkan bisa jauh sebelumnya, di Gapuk yang masuk wilayah Pasuruhan itu telah ada pemukiman yang teratur, malah daerah itu telah menjadi perdikan khusus.
Pascakekuasaan Pu Sendok, yaitu pada masa Prabu Airlangga, Kediri dan Singosari, bukan berarti di kawasan Pasuruhan sepi dari lalu-lintas peradaban. Beberapa situs terbukti merupakan peninggalan zaman ini. Bahkan, berdasar survei Balai Arkeologi Yogyakarta tanggal 14 Nopember 2001, ditemukan sebuah prasasti pendek di Dukuh Pakan, Desa Jembrung. Kec. Gempol. Tulisan dipahat secara timbul, merupakan angka tahun bergaya kuadrat (gaya tulisan Jawa Kuno pada masa kerajaan Kediri), angka tahunnya terbaca 957 Saka atau 1035 Masehi.
Pada masa berdirinya Majapahit, wilayah Pasuruan juga diabadikan dalam prasasti yang sangat mashur yaitu Kudadu. Prasasti ini diterbitkan oleh Raden Wijaya pada 1216 saka atau 11 September 1294, sebagai balas budi Raden Wijaya pada kepala Desa Kudadu yang telah menyelamatkan diri dan pengikutnya. Di antara daerah di Pasuruan yang masih bisa dilihat hingga kini dan tercatat dalam prasasti adalah Kapulungan (Desa Kapulungan, Kec. Gempol), Rabut Carat (Dusun Carat, Kec. Gempol), dan Kedung Peluk. Pasca Hayam Wuruk, pada tahun saka 1395 atau tanggal 14 Mei 1473, seorang raja Majapahit Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramarddhana Namadewabhiseka membuat prasasti, yang disebut Prasasti Pamintihan. Dalam prasasti itu disebut Gempol sebagai salah satu dari 8 desa perdikan. Gempol yang dimaksud dalam prasasti adalah Gempol sekarang.
Pada masa Klasik, posisi Pasuruhan memang demikian strategis. Situs masa lalu telah mengabarkan hal itu. Bahkan, ada yang yang menyebut kawasan ini sebagai daerah dengan seribu situs. Sumberdaya arkelogis Pasuruhan demikian melimpah. Mulai zaman prasejarah, tepatnya Paleolitik atau zaman batu hingga masa kolonial di Indonesia. Bahkan pada masa Klasik, yaitu masa Jawa Kuno atau Hindu, peninggalan masa lalu di Pasuruhan masih bisa dijumpai dan begitu banyak. Situsnya tersebar di pelosok-pelosok desa. (MA)