Legenda Golan Mirah telah dikenal dan dipercaya sejak ratusan tahun silam, terutama bagi masyarakat di Desa Golan dan Desa Mirah, Kecamatan Sukorejo, Ponorogo. Konon kedua desa tersebut tidak dapat menyatu. Hal ini dibuktikan adanya dua warna air sungai di antara kedua daerah itu. Legenda ini tentang kisah cinta terlarang antara dua anak manusia.
Sekitar tahun 1440-an atau awal Babad Ponorogo ada sebuah kisah yang melegenda di sana. Yakni, berawal dari anak Ki Ageng Honggolono yang bernama Joko Lancur ingin mengadu ayamnya. Namun, ayam wiring kuning itu kabur ke Desa Mirah (kini menjadi dusun di Desa Nambangrejo).
Saat itu Mirah Putri Ayu, anak Ki Ageng Honggojoyo atau dikenal dengan Ki Ageng Mirah, sedang sibuk menenun kain di rumahnya. Siapa sangka ayam Joko sampai rumah Mirah. Pencarian Joko pun terhenti dan terpesona dengan kecantikan Mirah. Ia berniat mempersunting Mirah. Namun, kecintaannya pada Mirah tidak berjalan mulus karena Ki Ageng Mirah tidak senang.
Agar bisa mempersunting Mirah, Joko harus mengairi seluruh sawah di Desa Mirah dan diberi waktu hanya semalam. Ternyata Ki Ageng Honggolono menyanggupinya. Malam itu, dia langsung membendung sungai Sekayu untuk mengairi seluruh sawah di Desa Mirah. Namun, apadaya Ki Ageng Honggojoyo tidak terima dan memberikan syarat lagi. Yakni, keluarga Joko harus membawa lumbung yang berisi kedelai dan sekaligus bisa terbang. Di situ Ki Ageng Honggolono merasa dipermainkan, dia pun mengganti isi lumbung itu dengan kawul (jerami) dan kedelai hanya terlihat di atas lumbung.
Keduanya sama-sama murka dan saling melontarkan sabda yang dipercaya masyarakat sampai sekarang. Ki Ageng Mirah menyampaikan bahwa masyarakat Desa Golan tidak bisa menyimpan kawul dan dapat dipastikan langsung terbakar. Ki Ageng Honggolono menyumpahi balik masyarakat Desa Mirah tidak bisa menanam kedelai. Mereka juga menyumpahi masyarakat dari Desa Golan dan Mirah tidak bisa menikahi satu sama lain.
Percaya tidak percaya, mitos ini masih dipegang teguh oleh masyarakat kedua desa ini, agar petaka tak menimpa. (Kris)
Ditulis oleh Kristi Muji Khasiati (Mahasiswa ) sebagai salah satu tugas PKL di Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur