Upacara Larung Saji: Tradisi Tolak Balak oleh Masyarakat Kediri

  Legenda dapat dipahami sebagai cerita magis yang sering dikaitkan dengan tokoh, peristiwa, dan tempat-tempat yang nyata. Berlainan dengan mitos, legenda ditokohi manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa dan seringkali juga dibantu oleh makhluk-makhluk ghaib. Cerita legenda di Jawa Timur sudah banyak, salah satunya adalah legenda Gunung Kelud. Legenda Gunung Kelud sangat erat dengan mitos Lembu Sura. Dalam mitos Gunung Kelud juga digambarkan sistem kepercayaan di masa Prabu Brawijaya dan masyarakat di sekitar Gunung Kelud kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga Prabu Brawijaya memerintahkan kepada rakyatnya untuk mengadakan upacara larung saji agar terhindar dari sumpah Lembu Sura. 

Singkat cerita, tradisi larung saji bermula dari legenda Gunung Kelud dan Lembu Sura. Pada masa Kerajaan Brawijaya, Prabu terlintas dalam benak untuk mengadakan sayembara. Sayembara tersebut dilakukan untuk menikahkan putrinya yang bernama Dewi Kilisuci dengan seorang laki-laki yang mampu melewati dua rintangan yang sudah disediakan olehnya. Apabila laki-laki tersebut berhasil, ia berhak menikah dengan putri. Ketika sayembara dibuka dan akan ditutup karena tidak ada satupun laki-laki yang dapat melakukan tantangan, tiba-tiba datang seorang laki-laki berkepala lembu yang bernama Lembu Sura. Dengan mudahnya Lembu Sura merentangkan busur dan mengangkat gong dengan kekuatan yang dimilikinya. Dewi Kilisuci kecewa dan tidak ingin menikah dengan laki-laki berkepala lembu. Akan tetapi, raja harus bersikap adil. Raja tetap akan menikahkan Lembu Sura dengan Dewi Kilisuci. Melihat putrinya sedih, salah seorang pengawal Dewi Kilisuci memberikan saran agar Lembu Sura membuatkan sumur dipuncak Gunung Kelud dalam waktu satu malam. Dewi Kilisuci pun mengajukan permintaan kepada Lembu Sura dan disetujui olehnya.

Gambar: Ilustrasi Lembu Sura memenangkan sayembara dan dampak pengkhianatan
dari Prabu Brawijaya

Sumber gambar: Kanal Youtube Dongeng Kita (https://www.youtube.com/watch?v=aQu_-41Gu2Q

Sumber gambar: https://ppid.blitarkab.go.id/2022/07/upacara-adat-pemkab-blitar-gelar-larung-saji/#:~:text=BLITAR%20KAB%20%E2%80%93%20Upacara%20Tradisional%20Larung,dan%20masyarakat%20nelayan%20Kabupaten%20Blitar

Sumber gambar: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/larung-sesaji-pantai-tambakrejo-ritual-ini-merupakan-ungkapan-syukur/ 

Ketika Lembu Sura hampir selesai menggali sumur, raja memerintahkan pengawalnya untuk
menimbun sumur tersebut. Tidak ada satu pun pengawal yang berani menolong Lembu Sura ketika ia berteriak minta tolong. Sebelum mati tertimbun, Lembu Sura mengucapkan sumpah serapah. Untuk mengantisipasinya, Raja membuat tanggul yang sekarang menjadi gunung pegat dan mengadakan tolak balak yang disebut dengan larung saji di kawah Gunung Kelud.

Dalam mitos tersebut digambarkan bahwa Prabu Brawijaya dan sebagian masyarakat Kediri, Blitar, dan Tulungagung juga masih percaya terhadap sumpah Lembu Sura, bahwa setiap dua windu sekali, Lembu Sura akan merusak wilayah kekuasan Raja Brawijaya. Sumpah Lembu Sura ketika tahu dikhianati oleh Raja Brawijaya dan Dewi Kilisuci adalah Kediri akan menjadi kali (sungai), Blitar akan menjadi latar (tanah), dan Tulungagung akan menjadi kedung (waduk). Untuk mengatasi sumpah Lembu Sura, Raja Brawijaya menyuruh masyarakat membuat tanggul yang kuat yang bertujuan untuk melindungi pemukiman penduduk dari letusan lahar Gunung Kelud. Terlepas dari hal itu, Prabu Brawijaya juga memerintahkan agar masyarakat melaksanakan upacara larung saji setiap tanggal 1 bulan Muharam. 

Upacara larung saji tersebut sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Kelud. Upacara tersebut dilakukan sebagai bentuk tolak balak agar Lembu Sura tidak marah, sehingga Gunung Kelud tidak meletus. Sebagian masyarakat di Kediri, Blitar, dan Tulungagung juga masih ada yang mempercayai mitos tersebut. Apabila Gunung Kelud meletus, berarti Lembu Sura sedang marah serta melaksanakan sumpahnya untuk merusak wilayah kekuasan Raja Brawijaya. Sumpah tersebut adalah bentuk balas dendam Lembu Sura kepada Prabu Brawijaya dan Dewi Kilisuci yang telah melakukan pengkhianatan terhadap dirinya, yaitu menimbun dirinya dalam sumur yang dibuatnya sendiri sampai meninggal. Hingga saat ini, warga Kediri dan sekitarnya percaya bahwa ketika Gunung Kelud erupsi, itu adalah wujud kemarahan Lembu Sura. 

Sumber: 

  1. Raharjo, Resdianto Permata, Arisni Kholifatun., & Ginanjar Setyo Permadi. (2021). Strukturalisme Sastra Lisan dalam Mitos Dewi Kilisuci dan Mitos Tengger.
    Gresik: Graniti.
  2. Wardani, Intan Kusuma., Rifanda Natasya Wiri Dana., & Encil Puspitoningrum. (2020). “Analisis Nilai Moral Cerita Rakyat Legenda Gunung Kelud dan Lembu Sura Menggunakan Pendekatan Mimetik”. WACANA: Jurnal Bahasa, Seni, dan Pengajaran, 4(2), 70—80. https://ojs.unpkediri.ac.id/index.php/bind/article/view/17655
Bookmark the permalink.

Comments are closed.