Tjahjono Widijanto lahir di Ngawi, 18 April 1969 dari pasangan H. Soeparmo, B.A. dan Hj. Isdiwati. Terlahir kembar dengan Tjahjono Widarmanto, Tjahjono Widijanto menghabiskan masa kecil hingga SMA di Ngawi. Kedua orangtuanya adalah pensiunan guru. Ayahnya pensiunan guru SPG Negeri Ngawi, sedangkan ibunya pensiunan guru SDN Ronggowarsito 2 Ngawi. Keduanya kini beralamatkan Jalan Hasanudin 18 Ngawi. Selain Tjahjono Widarmanto, ia mempunyai dua kakak yaitu Isdarmawanto dan Widiastuti, S.H. Menikah dengan Lilis—lahir di Nganjuk, 12 Maret 1978— Tjahjono Widijanto dikaruniai seorang putri. Sekarang, Tjahjono Widijanto bersama keluarganya bertempat tinggal di Jalan Hasanudin, Gang Cimanuk, Ngawi. Tjahjono Widijanto menyelesaikan pendidikan sejak tingkat SD (lulus 1983), SMP (lulus 1985), dan SMA (lulus 1987) di Ngawi. Berbeda dengan saudara kembarnya, Tjahjono Widijanto melanjutkan kuliah di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang (sekarang UM). Mendapatkan gelar sarjana pada tahun 1992. Pendidikan informal yang pernah diikuti antara lain MMAS, Intensif Training Pelatihan Teater, Diklat Jurnalistik, Seminar Kebahasaan Tingkat Nasional di Jakarta, dan Kongres Bahasa Indonesia. Karier Tjahjono Widarmanto berawal saat ia menjadi redaktur Majalah Kebudayaan Iklim Malang (1990—1992), Majalah Kebudayaan Kalimas (1990—1994), Majalah Rontal (2000—2002). Dunia kepenulisan yang digelutinya mengasah keterampilan menulis baik karya sastra maupun karya nonsastra. Profesi yang ditekuni hingga kini adalah menjadi pengajar atau guru. Ia pernah mengajar di SMPN di Ngawi pada tahun 1995, kemudian mutasi ke SMAN 1 Ngawi hingga sekarang. Dalam Komunitas Sastra Ketintang Surabaya, ia bertemu dengan teman-teman sastrawan lainnya, seperti R. Giryadi, M. Zaelani Tammaka, Tengsoe Tjahjono, Jack Parmin, Bonari Nabonenar, Suyatno, Sugeng Wiyadi, dan banyak lagi. Menurut pengakuannya, naskah pertamanya dimuat di Harian Berita Buana Jakarta, tahun 1989. Honor pertama yang diterimanya saat itu adalah Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Sekarang, honor yang dapat ia raih untuk satu tulisannya berkisar Rp350.000,00 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah). Sama halnya dengan Tjahjono Widarmanto, setelah lulus kuliah, Tjahjono Widijanto pulang ke Ngawi. Di tanah kelahirannya, Ngawi, ia bersama saudara kembar dan Anas Yusuf, membentuk ‘Kelompok Lingkar Sastra Tanah Kapur’. Kelompok ini pernah menerbitkan antologi puisi 9 penyair Ngawi bertajuk Surat Dari Ngawi. Kumpulan ini memuat karya puisi Mh. Iskan, Junaidi Haes, Aming Aminoedhin, Anas Yusuf, Tjahjono Widarmanto, Tjahjono Widijanto, M. Har Harijadi, Agus Honk, dan Setiyono. Masih di Ngawi, bersama Tjahjono Widarmanto dan Anas Yusuf, ia juga mendirikan komunitas teater bernama Teater Sampar dan sempat mementaskan naskah Motinggo Bosye berjudul “Malam Jahanam”. Selain mendirikan komunitas sastra Kelompok Lingkar Sastra Tanah Kapur dan Teater Sampar, Tjahjono Widijanto bersama kembarannya Tjahjono Widarmanto, juga pernah menerbitkan jurnal sastra Rontal. Kegiatan seni dan budaya yang pernah dilakukan Tjahjono Widijanto bersama komunitasnya antara lain Diskusi Sastra dan Temu Penyair Empat Kota (1994), Pementasan naskah “Sang Juru Nikah” (1994), Dialog Ilmiah Sastra Jawa (1995), Pentas Deklamasi Tunggal (1995), Dialog Kebudayaan Islam (1995), Pameran Lukisan dan Fotografi (1996), Pementasan naskah ‘The Boor’ (1997), Parade Puisi (1998), Malam Sastra Baca Puisi ‘Secangkir Kopi buat Kota Ngawi’, dan Diskusi Kebudayaan (2001). Naskah karya sastra Tjahjono Widijanto banyak dimuat di pelbagai koran dan majalah, antara lain Jawa Pos, Bali Post, Solo Pos, Surabaya Post, Lampung Pos, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Republika, Suara Karya, Bernas, Kedaulatan Rakyat, Kompas, Suara Pembaruan, dan Majalah Sastra Horison, Perisai (Malaysia), Bahana (Brunei Darussalam), serta Radio Suara Jerman. Hasil karya Tjahjono Widijanto antara lain (1) Monolog Ibu, kumpulan puisi, 1990, Malang; (2) Ekstase Jemari, kumpulan puisi, 1996, Malang; (3) Peta Tak Terbaca. Kumpulan puisi, 2003, Surabaya; (4) Birahi Hujan, kumpulan puisi, 2004, Jakarta; (5) Apa Khabar Sastra, kumpulan esai, 2002, Surabaya; (6) Suluk Hitam Perjalanan Hitam di Kota Hitam, 1994, Ngawi, LSTK; (7) Tegak Lurus Dengan Langit, kumpulan esai, 2002, Jakarta; (8) Kumpulan Guritan “Drona Gugat”. 1995. Surabaya; (9) Kumpulan Puisi dan Guritan “Omonga Apa Wae”, Surabaya, 2000, TBJT; (10) Memo Putih, kumpulan puisi, 2000, Surabaya, DKJT; dan (11) Luka Waktu, kumpulan puisi, 1999, Surabaya, Taman Budaya Jatim. Kegiatan sastra yang pernah diikutinya, antara lain Jambore Budaya Nasional di Malimping (Banten, 1996), Surabaya Art Festival (1996), dan Temu Penyair se-Jawa-Sumatera-Bali (Lampung, 1996).