Ulur-Ulur merupakan sebuah upacara adat rasa syukur yang diadakan sebagai bentuk penghormatan atas keberadaan Telaga Buret yang telah menyuburkan sawah di empat desa selama berabad-abad. Desa-desa yang terlibat dalam upacara ini adalah Sawo, Gedangan, Ngentrong, dan Gamping, yang terletak di Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Upacara Adat Ulur-Ulur ini khususnya diadakan di Desa Sawo. Nama “Ulur-Ulur” sendiri berasal dari kata “Ulu” atau “Ulu-Ulu,” yang memiliki arti air, menunjukkan hubungan erat upacara ini dengan unsur air dan Telaga Buret.
Upacara ini telah menjadi tradisi selama berabad-abad dan dijalankan oleh masyarakat yang mengandalkan air dari Telaga Buret untuk pertanian mereka. Setiap tahunnya, Upacara Adat Ulur-Ulur wajib dilaksanakan pada bulan Sela, pada hari Jumat Legi. Telaga Buret, berbentuk bulat seperti sumur dengan diameter ±35 meter, selalu mengalirkan air yang melimpah, bahkan pada musim kemarau. Telaga ini menjadi simbol kesuburan dan kemakmuran bagi petani.
Sumber gambar: Kanal Youtube Shofiyatul Hija (https://www.youtube.com/watch?v=Z8LGoB9rWRA)
Tradisi ulur-ulur diadakan sebagai tanda syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rezeki berupa sumber mata air Telaga Buret yang selalu melimpah tanpa pernah kering. Masyarakat di empat desa menggunakan sumber mata air ini untuk mengairi sawah, terutama pada musim kemarau. Tradisi ulur-ulur merupakan bagian dari kearifan lokal dan menjadi bagian dari kebudayaan. Kebudayaan memiliki fungsi sebagai panduan hidup yang tercermin dalam bentuk hukum, norma, dan nilai. Hukum, norma, dan nilai ini berfungsi sebagai control atau aturan dalam masyarakat, dan itulah yang menjadi dasar tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Upacara ini bukan hanya sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga sebagai penghormatan kepada Dewi Sri dan Joko Sedono, yang menjadi simbol kemakmuran petani. Legenda lokal menyebutkan bahwa empat desa di Kecamatan Campurdarat sebelumnya mengalami paceklik dan kekeringan yang panjang, tetapi setelah hadirnya Telaga Buret, kekeringan tersebut tidak pernah terjadi lagi.
Struktur upacara adat ritual Ulur-Ulur mencakup barisan kirab dengan kelompok-kelompok yang berperan, seperti pembuka barisan, pembawa sesaji, dan tamu undangan. Prosesi inti mencakup pemberangkatan rombongan, penghiasan patung Dewi Sri dan Joko Sedono, serta tabur bunga dan pelarungan sesaji ke Telaga. Selain itu, upacara ini juga memiliki elemen-elemen seperti waktu dan tempat ritual, tata rias dan busana, serta sesaji atau sajen.
Fungsi sosial dari Upacara Adat Ulur-Ulur mencakup permohonan hujan kepada Allah SWT, sarana membersihkan desa, memohon keselamatan, dan sebagai promosi pariwisata di Desa Wisata Pelem dan Kabupaten Tulungagung. Dengan begitu, Ulur-Ulur tidak hanya merupakan warisan budaya yang berakar dalam kepercayaan dan tradisi lokal, tetapi juga memiliki dampak sosial yang signifikan bagi masyarakat setempat.
Sumber:
- Warisan Budaya takbenda (https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=1820)
- Tricahyono, Danan & Sariyatun. (2021). “Tradisi Ulur-Ulur ditinjau dari Pendekatan Konstrukstivisme sebagai Upaya Penguatan Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran IPS”. Aksara: Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal, 7(1), 79—88.
https://ejurnal.pps.ung.ac.id/index.php/Aksara/article/download/365/345