Trinil dapat digolongkan sebagai pengarang generasi muda sastra Jawa. Meskipun tergolong baru, dia banyak dibicarakan karena dianggap memelopori penulisan karya sastra dengan ragam dialek Surabaya, khususnya dalam genre puisi. Trinil lahir di Surabaya tanggal 27 Juli 1965 dengan nama Sri Setyawati. Dia anak ketiga dari empat bersaudara, dua perempuan dan dua laki-laki. Trinil berasal dari suku Jawa dan beragama Islam. Trinil menempuh pendidikan SD tahun 1972—1978, SMP tahun 1978— 1981, SMA Tritunggal 3 tahun 1981—1984, STK Wilwatikta tahun 1985— 1989, dan IKIP Negeri tahun 1992—1997 di kota kelahirannya Surabaya. Atas biaya dari Fakultas, Trinil menyelesaikan pendi-dikan S2 di Universitas Negeri Surabaya. Pendidikan doktor ditempuhnya di Universitas Negeri Malang. Ketika menjadi mahasiswa seni tari, Trinil mendapat penghargaan dari Menpora sebagai pemeran utama dalam lakon Rumah Tak Beratap yang dipentaskan dalam Pekan Teater Nasional tahun 1996 dan dari Direktorat STSI Surakarta sebagai penari eksibisi dalam Pekan Seni Mahasiswa Nasional di Surakarta tahun 1996. Setamat dari Jurusan Seni Tari, IKIP Surabaya, sejak tahun 1998 sampai sekarang, Trinil mengabdikan diri sebagai pengajar di Universitas Negeri Surabaya (dahulu IKIP Surabaya). Sebelumnya, dia pernah mengajar di TK tahun 1984—2000 dan selalu menang dalam lomba sebagai koreografer. Trinil menikah dengan Edhy Brodjowaskito, seorang Pegawai Negeri di Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Dari pernikahan itu, Trinil dikaruniai tiga orang anak, yaitu Randhu Radjawanu (lahir 1989), Dhirgan Grudowaringin (lahir 1992), dan Merak Badra Wakaruyung (lahir 2001). Ayah Trinil bernama Salam Parto Suyidno berasal dari Ngawi dan ibunya bernama Armunah berasal dari Gresik. Trinil memunyai tiga orang saudara, yaitu Endang Sri Purwanti (Guru SMP), Bambang Sukarno (Pegawai PJKA), dan Djoko Setyo Utomo (Swasta). Trinil mulai menulis tahun 1997 di Majalah Jayabaya. Selain dalam bahasa Jawa ragam dialek Surabaya dan Surakarta, dia juga menulis dalam bahasa Indonesia. Tulisan dalam bahasa Indonesianya berupa esai untuk tabloid Wisata dan Budaya dan majalah Budaya Dewan Kesenian Jawa Timur. Tulisannya mengenai pendi-dikan, feminisme, wisata, budaya, seni, dan sejarah ada di majalah Kidung dan tabloid Bromo (1998—2001). Hasil karyanya yang berupa puisi dan novel sudah diterbitkan, yaitu Donga Kembang Waru (2000) dan Sarunge Jagung (2004). Upaya Trinil mengangkat mar-tabat ragam dialek Surabaya menjadi bukti nyata bahwa pengarang yang hidup dalam komunitas budaya tertentu dapat mengekspresikan gagasannya dan pengalaman hidupnya melalui bahasa yang dikuasainya. Trinil berhasil menempatkan budaya Jawa-Surabaya sebagai ruh dalam puisi-puisinya dan hal itu merupakan lompatan langka karena selama ini Surabaya telah ditampilkan dalam berbagai wajah, baik dalam karya seni maupun dalam cultural events, tetapi belum berhasil menghadir kan ruh Surabaya di dalamnya. Ragam dialek Surabaya dianggap sebagai bahasa yang kasar dan hampir tidak pernah dipilih sebagai bahasa sastra, apalagi puisi sehingga keberanian Trinil tergolong istimewa dalam dunia sastra Jawa. Puisi Trinil khas Surabaya karena memiliki rima, mencakup berbagai kata kiasan yang ada di Jawa Timur dan memakai struktur sastra tradisional, seperti Dandhanggula, Pucung, dan Maskumambang. Kekhasan itu terutama dikarenakan menggunakan bahasa ragam dialek Surabaya dan berisi kritik terhadap kota Surabaya. Trinil telah memasarkan ragam dialek Surabaya kepada masyarakat, khususnya kalangan generasi muda agar tidak malu menggunakannya. Ia menunjukkan bahwa karya sastra etnik bukan karya yang memalukan. Trinil pantas disebut sebagai satu-satunya pembaharu dalam dunia sastra Jawa modern ragam dialek Surabaya.