Mitos dan Tradisi Larangan Pernikahan Etan-Kulon Kali Brantas di Kediri 

Mitos telah menjadi bagian integral dari budaya manusia sejak zaman dahulu, dengan banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah keinginan untuk mengatur perilaku manusia, yang seringkali dilakukan melalui cerita-cerita yang memiliki daya tarik emosional dan pengaruh yang kuat. Di samping itu, kecenderungan masyarakat untuk menyukai tutur tinular dan kesulitan untuk menyampaikan pesan secara langsung juga turut berperan dalam pembentukan mitos. Salah satu contoh yang menarik adalah mitos yang berkembang di Jawa, terutama di sekitar Kediri pada masa Kerajaan Kadiri dan sekitarnya.

Sejak zaman dahulu, masyarakat lokal di wilayah tersebut mempercayai mitos tentang larangan pernikahan antara individu yang berasal dari wilayah barat dan timur Sungai Brantas. Meskipun zaman telah berubah dan hidup modern telah mengubah banyak aspek kehidupan, masih banyak masyarakat di Kediri dan sekitarnya yang tetap mempercayai mitos tersebut. Namun, kepercayaan pada mitos ini tidaklah homogen di masyarakat, melainkan menimbulkan konflik antara orang-orang yang percaya dan yang tidak percaya pada keberadaan mitos tersebut.

Sumber gambar: Kanal Youtube Polresta Kediri (https://www.youtube.com/watch?v=ScJq1l1BSww

Selain itu, kesalahan dalam berpikir juga dapat memperdalam perpecahan dalam masyarakat, karena pandangan yang berbeda dalam melihat dan menginterpretasikan mitos. Beberapa masyarakat mungkin menganggap bahwa mempercayai mitos tersebut dianggap tabu atau tidak sesuai dengan keyakinan agama mereka, sementara yang lain tetap teguh pada kepercayaan tersebut dengan alasan turun-temurun dan nilai-nilai yang diwariskan dari nenek moyang mereka.

Kisah tentang Raden Panji Asmara Bangun dan Dewi Sekartaji menjadi salah satu kisah yang sangat memengaruhi pandangan masyarakat di wilayah tersebut, terutama terkait dengan tradisi pernikahan. Populernya cerita ini diambil dari cerita Panji, yaitu kisah cinta Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji yang diibaratkan dengan Tarian Kethek Ogleng.

Tradisi larangan menikah antara orang dari wilayah timur dan barat Sungai Brantas diyakini memiliki kaitan erat dengan kisah cinta mereka yang dipisahkan oleh status kerajaan yang berselisih. Untuk menyelesaikan gejolak yang timbul akibat pernikahan mereka, masyarakat setempat mengembangkan berbagai ritual, seperti penyembelihan ayam dan melemparkannya ke Sungai Brantas saat rombongan pengantin melewati jembatan.

Meskipun zaman terus berubah dan pola pikir manusia semakin modern, kepercayaan pada mitos dan tradisi tetap bertahan kuat di masyarakat. Sebagian masyarakat masih melakukan ritual-ritual yang diwariskan dari generasi sebelumnya untuk menghilangkan hal-hal yang dianggap tidak diinginkan. Namun demikian, pemahaman mengenai mitos ini semakin tercampur dengan nilai-nilai religius, dengan pandangan yang beragam tergantung pada sudut pandang agama masing-masing.

Melalui penelusuran terhadap mitos dan tradisi yang berkembang di seputar Sungai Brantas, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan dan tradisi ini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya dan sejarah masyarakat lokal di wilayah Kediri. Meskipun terkadang dianggap sebagai mitos belaka, keberadaan mitos ini tetap membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat, serta menjadi bagian penting dari identitas dan warisan budaya mereka.***

Sumber: Ulum, Syahrul & Umi Colbyatul Khasanah. (2022). “Mitos Larangan Menikah Etan-Kulon Kali Brantas Kediri: Tinjauan Strukturalisme Lévi-Strauss”. Realita: Jurnal Penelitian dan Kebudayaan Islam, 20(02), 235—252.

http://jurnallppm.iainkediri.ac.id/index.php/realita/article/view/130 

 

Bookmark the permalink.

Comments are closed.