Tari muang sangkal merupakan kesenian yang menjadi salah satu ikon Kabupaten Sumenep. Secara harfiah kata muang membuang, sangkal balak atau petaka, artinya tarian tersebut untuk membuang balak atau petaka yang ada dalam diri seseorang. Kemunculan tari muang sangkal tidak terpisahkan dari Keraton Sumenep. Keberadaan Keraton Sumenep telah melahirkan tradisi budaya baik terkait dengan upacara adat maupun kesenian.
Terinspirasi gerakan tari tayub yang mulai dibakukan sekitar tahun 1891, dengan gerakan yang halus dan lembut, dan kebetulan Kabupaten Sumenep belum mempunyai bentuk tarian yang dijadikan simbol atau ciri khas dari masyarakat Sumenep. Maka salah satu maestro kesenian di Sumenep yaitu Taufiqqurachan pada tahun 1962 menciptakan tari muang sangkal. Gerakan tari muang sangkal dasarnya gerak-gerak Keraton Sumenep yang bertitik tolak tari gaya Yogyakarta yang dipadukan dengan gerak-gerak ciptaan yang tidak menyimpang dari nafas dan ciri-ciri Keraton Sumenep.
Ciri khas tari muang sangkal penarinya harus ganjil, dalam keadaan suci atau perawan tidak menstruasi, busana yang dipakai dodot legha, pada saat menari memegang cemong (mangkok kuningan) yang berisi beras kuning dan aneka kembang (bunga). Menurut fungsinya ada tiga, yaitu (1) sebagi cerminan dan legimitasi tatanan sosial: tari muang sangkal hanya kaum perempuan saja yang boleh menarikan dengan jumlah ganjil terdiri dari gadis-gadis remaja yang berparas cantik dan gemulai, dan akan berhenti menjadi penari ketika sudah menikah atau tidak perawan lagi; (2) sebagai wahana ritus yang bersifat religius: tari mung sangkal suatu tarian yang bersifat sakral dan agamis yang mengungkapkan suatu doa agar diberikan keselamatan; (3) sebagai hiburan sosial: tari muang sangkal semula sebagai seni tari di dalam lingkungan keraton untuk membuang balak dan mengandung doa, namun perkembangannya berubah atau beralih keluar tembok keraton yang sifatnya menjadi tontonan atau hiburan seperti hajatan pernikahan dan acara-acara lain.
Tari muang sangkal tidak hanya menarik kepiawaian dan keluwesan, tetapi dibalik itu mempunyai makna simbolis yaitu pada saat penari menabur beras kuning pada saat menjamu kedatangan tamu ‘agung’ di Pendopo Keraton Sumenep, atau saat acara resepsi perkawinan. Penaburan beras kuning ini sebagai simbol ungkapan doa memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar tamu yang datang diberi keselamatan dan terhindar dari bahaya, dan acara yang diselenggarakan berjalan lancar dan sukses. Pada acara resepsi pernikahan agar prosesi pernikahan berjalan lancar dan mempelai berdua dalam menjalani hidupu rumah tangga berjalan langgeng. Selain itu, dari segi gerakan yang halus dan luwes dan tampak anggun menunjukkan sikap adhep asor dan dapat membentuk karakter penarinya halus dan lembut serta luwes.
Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/home/explore/cultural/4739