Mbah Nganten, Mitos yang Membentuk Identitas Budaya di Jombang

Sastra lisan dengan berbagai ceritanya akan terus melekat di masyarakat. Sastra lisan Lebih dari sekadar cerita rakyat, sastra lisan merupakan cerminan nilai-nilai luhur, kearifan lokal, dan jati diri suatu masyarakat. Sastra lisan ini tidak hanya diwariskan melalui kata-kata, tetapi juga melalui gerak isyarat, alat bantu pengingat, dan berbagai bentuk ekspresi lainnya. Mitos di masyarakat sering dikaitkan dengan hal-hal mistis, salah satunya di Dusun Kramat, Desa Tanggung Kramat, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang. Dusun Kramat, menyimpan banyak cerita yang diwariskan secara turun-temurun. Berpusat pada Makam Mbah Nganten, kisah ini menceritakan penemuan tidak biasa yang mengantarkan dusun ini pada namanya yang unik.

Dahulu kala, di wilayah yang kini dikenal sebagai Dusun Kramat, hiduplah masyarakat Dusun Karang Tengah. Suatu hari, gegeran melanda dusun ketika sepasang tangan wanita ditemukan di tepi Sungai Brantas. Uniknya, tangan tersebut masih mengenakan cincin bermata merah dan menggenggam erat sejumput rumput.

Misteri identitas tangan tersebut menyelimuti dusun. Tidak ada satu pun penduduk yang mengenalinya. Namun, tidak lama kemudian, datanglah seorang lelaki dari arah barat. Dengan rasa haru dan duka, lelaki itu menyatakan bahwa tangan tersebut adalah milik istrinya tercinta, yang baru saja dinikahinya kurang dari 40 hari. Saat itu, istrinya pamit ke sungai untuk buang air kecil. Tidak disangka, istrinya tidak kunjung kembali. Sang suami pun mencarinya dengan panik, hingga akhirnya menemukan tangan tersebut di tepi sungai.

Sumber gambar: Kanal Youtube Kahuripan TV (https://www.youtube.com/watch?v=DniG6cHfM7Y

Dengan penuh rasa kehilangan dan hormat, warga Dusun Karang Tengah dan sang suami sepakat untuk memakamkan tangan tersebut beserta cincinnya di atas tanggul tepi Sungai Brantas. Sejak saat itu, tempat tersebut dikenal dengan sebutan Makam Mbah Nganten, yang berarti “Makam Pengantin”.

 

Seiring berjalannya waktu, Dusun Karang Tengah pun berganti nama menjadi Dusun Kramat. Penamaan Dusun Kramat terinspirasi dari keberadaan makam tersebut. Mbah Nganten diyakini sebagai leluhur dan pendiri dusun. Sosoknya dihormati dan dikeramatkan oleh masyarakat. Keberadaan Makam Mbah Nganten tidak hanya menyimpan legenda, tetapi juga melahirkan tradisi dan adat istiadat di Dusun Kramat. Salah satunya adalah larangan bagi pengantin baru yang belum genap 40 hari untuk mendekati sungai. Tradisi ini dipercaya untuk menghindari kejadian tragis seperti yang menimpa Mbah Nganten.

Selain itu, terdapat pula aturan adat yang melarang pertunjukan wayang kulit di Dusun Kramat. Sebagai gantinya, wayang krucil diharuskan dipertunjukkan. Konon, jika aturan ini dilanggar, salah satu rumah warga akan tertimpa musibah kebakaran. Setiap tahunnya, masyarakat Dusun Kramat menggelar tradisi “Sedekah Dusun Kramat” untuk memperingati kematian Mbah Nganten. Acara ini diadakan pada malam Jumat Wage, diiringi dengan pertunjukan wayang krucil di Makam Mbah Nganten.

Kisah Mbah Nganten dan Makam Kramat mencerminkan kekayaan budaya dan tradisi yang dijaga oleh masyarakat Dusun Kramat. Keberadaannya menjadi pengingat akan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. Tradisi dan adat istiadat yang dilestarikan menjadi identitas dan pemersatu masyarakat, sekaligus menjadi bentuk penghormatan kepada leluhur dan pelestarian budaya.***

Sumber: Puspitasari, Indah. (2022). “Sastra Lisan: Pengaruh Mitos di Desa Tanggung Kramat”. KODE: Jurnal Bahasa, 1(1), 150—161.

https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/kjb/article/view/33503/0 

Bookmark the permalink.

Comments are closed.