Dwi Ratih Ramadhany, Menulis Berkat Cerita Nenek Jelang Tidur

Hobi menulis Dwi Ratih Ramadhany, sastrawan asal Sampang, Madura ini bermula dari cerita dongeng yang selalu dibawakan sang nenek jelang tidur sejak TK hingga SD. Saat Ratih duduk di bangku SD, ia menerima pelajaran Bahasa Daerah, lalu mendapat tugas menceritakan kembali sebuah cerita rakyat atau folklor. Pada saat itu, Ratih mengaku tidak kesulitan menceritakan folklor Madura karena kebetulan dirinya suka bercerita, apalagi ayahnya memiliki buku Babad Songenep. buku tentang sejarah Keraton Sumenep yang ditulis Raden Werdisastra, Sekretaris Keraton Sumenep. “Saya memang suka dengan cerita rakyat, jadi saat itu saya semakin suka dengan cerita,” kata Ratih. Lambat laun, ia merasa memiliki latar belakang menulis sehingga saat berkuliah di jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Malang (UM), ia memilih bergabung dengan komunitas dan organisasi menulis. Harapannya agar mampu mengasah kemampuan menulis, menambah relasi dan tema. Dari berbagai aktivitas yang dijalani di komunitas tersebut, motivasi Ratih menulis terus menguat.

Dalam perjalanan menulisnya, Ratih mengaku karyanya tidak jauh dari topik soal tanah kelahirannya di Madura. Baginya, itu menjadi wujud rasa cinta dan bangganya pada Madura sekaligus mengurangi rasa rindu saat berada di tanah rantaunya kini di Kota Bogor. “Untuk tema tulisan yang saya pilih beragam, seperti bentuk eksperimen dengan rekonstruksi ulang pandangan baru dari cerita rakyat dan menggarap mitos-mitos yang ada di masyarakat, hingga sampai isu sosial dan gender,” jelasnya.  Berbagai capaian nasional hingga internasional telah mewarnai perjalanan Ratih sejauh ini. Ia pernah mengikuti Akademi Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2014, lalu terpilih sebagai satu dari 16 penulis emerging pada festival sastra bergengsi internasional Ubud Writers and Readers Festival 2015 di Ubud, Bali dan mengikuti Majelis Sastra Asia Tenggara pada 2016. Prestasinya meliputi juara 3 Lomba Cerpen Peksiminas (2014), juara 2 Lomba Menulis Cerita Rakyat Kemendikbud (2015), dan Beasiswa Peliputan Program Perempuan Berdaya di Media dari Project Multatuli dan We Lead (2022). Karyanya yang telah terbit antara lain Badut Oyen (GPU, 2014), Kata Kota Kita: Kumpulan Cerpen Gramedia Writing Project (GPU, 2015) 17.000 Islands of Imagination, A Bilingual Anthology of Indonesian Writing (UWRF, 2015), Pemilin Kematian (PSM, 2017), Silsilah Duka (Basabasi, 2019), dan Yang Terlupakan dan Dilupakan: Membaca Kembali Sepuluh Penulis Perempuan Indonesia (Marjin Kiri, 2021). Walau kini kerap menjadi editor buku, Ratih mengaku tetap menyempatkan menulis cerpen dan novel. Selain itu,  ibu dua anak yang tinggal di Bogor ini juga aktif di di program Ruang Perempuan dan Tulisan.

Sumber: tribunmadura.com, diolah 

Foto : radarmadura.jawapos.com

Bookmark the permalink.

Comments are closed.