Tradisi lisan dalam kebudayaan Indonesia memiliki kekayaan makna yang begitu dalam, salah satunya terwujud dalam ritual adat “methik pari” yang masih dilestarikan masyarakat Desa Argotirto, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Malang. Konteks budaya yang melekat dalam sastra lisan ini bukan sekadar cerita turun-temurun, melainkan sebuah cerminan kehidupan yang menyatu dengan alam, spiritualitas, dan kearifan lokal. Dalam prosesi methik pari—yakni kegiatan memetik padi yang dilakukan di sawah—terdapat rangkaian budaya sakral yang menyertai: mulai dari “cok bakal”, petikan pari, selametan, hingga doa-doa yang dipanjatkan penuh khidmat.
“Cok bakal” merupakan elemen pembuka yang sarat makna filosofis. Dalam tradisi ini, masyarakat mengingat dan menghormati asal mula kehidupan, cikal bakal dari terciptanya jagad raya. Ungkapan Jawa kuno “cok bakal, yaitu “cikal bakaling urip dumadining jagad sakalir” mengajarkan bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat sementara. Melalui kesadaran akan awal dan akhir kehidupan, masyarakat Jawa diajak untuk kembali mengingat bahwa hidup adalah perjalanan spiritual yang tidak lepas dari sang pencipta. Dalam ritual ini, permohonan perlindungan kepada Dewi Sri, dewi kesuburan dan panen, menjadi bagian penting untuk menjaga keselarasan antara manusia dan alam.
Sumber gambar: Kanal Youtube Ahfun (https://www.youtube.com/watch?v=22oI4Ur6t54)
Kemudian, dilanjutkan dengan petikan pari yang menjadi simbol rasa syukur para petani kepada Allah SWT atas hasil bumi yang melimpah. Padi yang menguning menandakan anugerah dan berkah yang layak dirayakan. Sebuah kutipan doa pun dibacakan, yang berisi persembahan kepada tokoh spiritual Syekh Subakir. Doa tersebut berbunyi “lan male kulo cawisi sẽkhul pẽthak arum gandanẽ…” yang bermakna bentuk penghormatan dan ucapan terima kasih, yang diyakini sebagai penjaga spiritual tanah Jawa. Dalam bait doa ini, para petani tak hanya mengucap syukur atas hasil panen, tetapi juga memohon keselamatan bagi keluarga agar terhindar dari gangguan dalam bentuk apa pun.
Selanjutnya, diadakan “selametan” yang menjadi inti dari kebersamaan dan harapan akan keselamatan dalam menjalankan ritual adat. Acara ini menjadi wadah doa bersama, memperkuat ikatan sosial sekaligus spiritual masyarakat desa. Dalam suasana yang penuh kekhidmatan, seluruh proses methik pari dipenuhi oleh lantunan doa, yang tidak hanya diucapkan dalam bahasa Jawa sebagai bahasa Ibu, tetapi juga dalam bahasa Arab sebagai bentuk religiusitas yang kuat. Doa tersebut adalah jembatan antara manusia dengan Sang Pencipta, serta bentuk penghormatan terhadap leluhur yang telah berjasa menjaga nilai-nilai luhur tersebut.
Dengan segala unsur budaya dan spiritual yang terkandung di dalamnya, tradisi methik pari bukan sekadar kegiatan memetik padi semata. Methik pari adalah perwujudan dari harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Desa Argotirto, Malang berhasil mempertahankan warisan budaya yang sarat nilai ini sebagai identitas yang membumi, menjadikannya bukan hanya sebuah ritual, melainkan juga cermin kehidupan yang penuh makna dan keindahan. (Mon)
Sumber:
- Ulya, Lailatul & Moh. Ahsan Shohifur Rizal. (2021). “Konteks Budaya Sastra Lisan Tradisi Adat Methik Pari di Desa Argotirto Kecamatan Sumbermanjing Wetan Serta Relevansi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”. Jurnal Tinta, 3(2), 40—48. https://ejournal.alqolam.ac.id/index.php/jurnaltinta/article/view/606/438.
- https://www.kompasiana.com/fellycia68359/64006d96cf408715e547cd92/methik-pari-hamparan-sawah-yang-merekatkan-jiwa-masyarakat-dampit-meneropong-kembali-nilai-nilai-kearifan-lokal-dalam-mengangkat-pesona-sawah-sebagai-penompang-perekonomian