Manten Tebu: Harmoni Mistis dan Syukur di Tengah Manisnya Tradisi Jawa

Di tengah perkembangan zaman yang semakin modern, masih ada tradisi-tradisi kuno yang terus hidup dan lestari, menjadi denyut nadi budaya masyarakat lokal. Salah satunya adalah tradisi “Petik Manten Tebu”, sebuah upacara adat unik yang berkembang di wilayah Semboro, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Tradisi ini bukan sekadar ritual biasa, melainkan perwujudan dari keyakinan, harapan, dan rasa syukur masyarakat terhadap hasil bumi, khususnya tebu yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka.

Masyarakat Jawa dikenal memiliki kekayaan budaya berupa beragam upacara adat yang sarat makna simbolik dan spiritual. Kepercayaan yang mengakar kuat di tengah masyarakat membuat mereka meyakini bahwa tradisi-tradisi ini harus dijalankan secara turun-temurun. Tidak dilaksanakannya ritual tertentu diyakini bisa mendatangkan kemalangan, sehingga pelaksanaannya dianggap wajib, lengkap dengan prosesi adat, sesaji, dan simbol-simbol mistis yang menyertainya.

Salah satu bentuk manifestasi dari kepercayaan tersebut adalah tradisi manten tebu, yang dilaksanakan setiap tahun menjelang musim giling di Pabrik Gula (PG) Semboro dan Kebun HGU PT Perkebunan Nusantara XI (PTPN XI) di Desa Nogosari, Kecamatan Rambipuji, Jember. Tradisi ini telah berlangsung selama puluhan tahun dan kini menjadi semacam “ritual pembuka” musim produksi gula, sekaligus wadah spiritual untuk menyelaraskan hubungan antara petani dan pihak pabrik gula.

Sumber: Kanal Youtube the horrorgams (https://www.youtube.com/watch?v=KY295PCbN6o)

Dalam prosesi ini, dua batang tebu dipilih secara khusus, masing-masing mewakili pengantin pria dan wanita. Tebu jantan diberi nama Raden Bagus Rosan, sedangkan tebu betina dinamai Dyah Ayu Roromanis. Keduanya diarak layaknya sepasang pengantin manusia, lengkap dengan hiasan, iringan musik tradisional, serta ragam pertunjukan seni rakyat. Arak-arakan manten tebu ini menyusuri area pabrik dan kebun, membawa serta harapan masyarakat agar kerja sama antara petani dan pabrik berjalan lancar, hasil tebu melimpah, serta berkah mengalir untuk semua pihak yang terlibat.

Makna simbolis dari pernikahan antara “manten tebu” ini sangat dalam. Manten tebu melambangkan penyatuan dua kepentingan, yaitu pihak produsen dan pengelola yang harus bekerja dalam harmoni. Tradisi ini juga menjadi ungkapan rasa pasrah dan ikhlas, bahwa hasil dari kerja keras akan dikembalikan kepada kehendak Sang Pencipta. Bukan sekadar acara simbolik, masyarakat percaya bahwa dengan pelaksanaan upacara ini, mereka juga sedang menjalin komunikasi spiritual dengan leluhur dan makhluk halus penjaga wilayah, agar senantiasa diberi keselamatan dan hasil panen yang berkah.

Ritual manten tebu ini semakin kuat nilai spiritualnya dengan pembakaran kemenyan atau dupa, yang dipercaya sebagai medium pemanggil arwah leluhur. Asap dupa dipercaya membuka “pintu” antara dunia manusia dan dunia roh, memungkinkan leluhur hadir memberi restu dan perlindungan. Dalam kepercayaan tradisional, uap harum dari kemenyan menjadi jembatan tidak kasatmata yang menghubungkan dua dunia.

Tidak hanya berpusat pada mistisme, tradisi ini juga menjadi pesta rakyat yang dinanti-nantikan. Masyarakat sekitar pabrik dan kebun ikut serta dalam kemeriahan acara, mulai dari pagelaran seni tradisional, pasar rakyat, hingga selamatan yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari adat Jawa. Ragam bentuk selamatan yang biasa dilakukan masyarakat seperti selamatan kelahiran, pernikahan, kematian, hingga selamatan berdasarkan penanggalan Jawa (wetonan), semuanya berakar dari keinginan untuk bersyukur dan memohon keselamatan. Dalam konteks manten tebu, selamatan dilakukan sebagai permohonan agar proses produksi gula berjalan lancar dan hasil panen sukses.

Pelaksanaan tradisi ini juga mempertimbangkan hari baik berdasarkan penanggalan Jawa (kejawen). Biasanya, bulan April atau Mei dipilih sebagai waktu yang tepat untuk memulai musim giling, dan hari pelaksanaan manten tebu dipilih dengan cermat oleh tokoh adat atau sesepuh desa.

Tradisi manten tebu bukan sekadar ritual pertanian. Manten tebu adalah penanda budaya, penjaga harmoni sosial, dan sumber identitas lokal yang mengakar kuat di tengah masyarakat Jember. Di balik setiap dupa yang dibakar, tebu yang diarak, dan doa yang dipanjatkan, tersimpan harapan besar agar manusia tetap selaras dengan alam, leluhur, dan sesama.

Maka, ketika manten tebu kembali digelar tahun demi tahun, itu bukan hanya tentang dua batang tebu yang “dinikahkan”, melainkan tentang bagaimana warisan budaya, spiritualitas, dan semangat gotong royong tetap hidup di tengah gempuran modernitas. Semboro, dengan segala magis dan manisnya, menjadi saksi bahwa budaya lokal masih kokoh berdiri dan mengalir bersama harum tebu dan semangat masyarakatnya yang tidak pernah padam. (MNK)

Sumber: Antikasari, Nofi & Octo Dendy Andriyanto. (2023). “Makna Simbolis dalam Ritual Tradisi Manten Tebu di Pabrik Gula Semboro Kabupaten Jember”. JOB: Jurnal Online Baradha, 25(1), 1—31. https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/baradha/article/download/50718/41827/

Bookmark the permalink.

Comments are closed.