Takir Mulyosari: Filsafat Hidup dalam Balutan Tradisi

Di desa Mulyosari, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang, terdapat sebuah tradisi Jawa yang terbalut dengan mitos, yaitu Takir Mulyosari. Lebih dari sekadar wadah makanan dari daun pisang, takir adalah cerminan cara berpikir masyarakat Mulyosari: terstruktur, tegas, dan penuh makna. Nama “takir” sendiri berasal dari filosofi “tataq olehe mikir”, yang berarti keberanian untuk berpikir dengan matang. Bentuknya yang segi empat dengan sudut-sudut yang rapi melambangkan keteguhan prinsip dan pemikiran yang sistematis. Di balik kesederhanaannya, takir menjadi simbol moral, refleksi hidup, dan ruang berpikir dalam bentuk fisik.

Isian takir pun bukan asal pilih. Setiap unsur punya filosofi tersendiri yang menyampaikan pesan luhur tentang kehidupan. Seperti Tumpeng, sajian berbentuk kerucut yang menjulang tinggi. Bukan hanya menggoda selera, tumpeng adalah lambang cita-cita dan semangat kolektif—“tumungkulo sing mempeng”, pesan tentang ketekunan dan pengabdian kepada Tuhan. Kerucutnya menggambarkan tekad untuk terus menanjak, menuju puncak harapan dengan kerja keras dan gotong royong sebagai fondasinya.

 

Sumber: Kanal Youtube Sonaedo Channel
(https://www.youtube.com/watch?v=Gx1sxje57HA

Takir juga sering disandingkan dengan jenang abang putih—bubur merah dan putih yang tampak sederhana tapi penuh simbolisme. Jenang abang, dengan warna merah dari gula kelapa, mewakili kasih ibu, keberanian, dan semangat hidup. Sedangkan jenang putih, polos dan suci, mewakili ayah, ketulusan, dan keteguhan. Kombinasi dua warna ini tak hanya mempercantik tampilan, tapi juga menjadi pengingat penting: hidup harus dijalani dengan keberanian dan kesucian hati, serta rasa syukur yang tak pernah putus.

Kemudian ada kembang telon, rangkaian bunga mawar, kenanga, dan kanthil yang menyempurnakan sajian adat ini. Mawar mewakili cinta dan keberagaman perilaku manusia. Kenanga mengajarkan bahwa kebebasan dalam bertindak harus diimbangi dengan kesabaran dan prinsip. Kanthil, simbol kemurnian, mengajak kita untuk menjaga hati dan pikiran tetap bersih—selalu terhubung dengan Sang Pencipta.

Cok Bakal, yang terdiri dari kelapa muda dan telur, menjadi perlambang harapan dan potensi. Kelapa muda menyimbolkan kesegaran awal kehidupan, sementara telur merepresentasikan masa depan yang penuh kemungkinan. Sebuah pesan tentang terus bertumbuh, percaya pada masa depan, dan menjaga semangat untuk meraih impian.

Takir juga tak lengkap tanpa bumbu-bumbu khas yang bukan hanya menambah rasa, tapi juga makna. Bawang merah untuk ketajaman pikiran, bawang putih untuk ketulusan, cabai untuk semangat pantang menyerah, jahe untuk kehangatan cinta, kunyit untuk kebahagiaan, dan laos untuk keteguhan hati. Semua berpadu menjadi harmoni cita rasa dan filosofi.

Dan yang tak kalah penting—daun jati, sebagai alas takir. Filosofi “Sejaning Ati” atau “di dalam hati” terukir dalam penggunaannya. Simbol bahwa segala nilai luhur dalam hidup harus kita hayati dari dalam hati, bukan sekadar tampak luar. Ditambah pisang dua sisir atau “petukno” yang berarti pertemuan, menekankan pentingnya perencanaan dalam setiap langkah hidup.

Takir Mulyosari bukan sekadar tradisi kuliner. Ia adalah miniatur kehidupan—penuh makna, filosofi, dan keindahan spiritual. Tradisi ini adalah warisan berharga yang mengajarkan tentang keberanian berpikir, pentingnya gotong royong, keseimbangan antara keberanian dan kesucian, serta kekayaan budaya yang patut dirawat dan dijunjung tinggi.

Sumber: Aisyah & Kholik. (2025). “Makna Simbolis Tradisi Takir Masyarakat Desa Mulyosari, Gedangan, Kabupaten Malang”. Jurnal Peneroka, 5(1), 1—17. https://ejournal.iaida.ac.id/index.php/Peneroka/article/view/3450/1869

Bookmark the permalink.

Comments are closed.