Lilik Rosida Irmawati, Penulis dan Pegiat Literasi Bumi Sumekar

Lilik Rosida Irmawati merupakan penulis kelahiran Jember, 16 Juli 1964 yang telah tinggal di Sumenep, Madura, Jawa Timur sejak awal 1983. Penulis dengan nama pena Lilik Soebari dan El Iemawati ini dikenal sebagai penulis yang produktif. Ia menulis cerita pendek (cerpen), puisi, artikel, esai, serta kerap tampil sebagai pembicara untuk tema pendidikan dan budaya. 

“Saya mulai menulis sejak duduk di bangku SPG di Bondowoso,” ungkap ibu tiga anak ini.

Sejak saat itu, cerpen Lilik sudah mulai mengisi lembaran halaman beragam media massa. Baru setelah itu ia mengembangkan diri dengan menulis lepas dalam bentuk bentuk artikel, esai, feature dan lainnya.

“Semuanya mengalir begitu saja,” kata istri sastrawan dan budayawan Madura, Syaf Anton WR ini.

Menurut dia, inspirasi menulisnya banyak didapat dari observasi dan turun langsung ke lapangan. Pengalaman paling berkesan dan berharga baginya saat masih menjadi guru di pelosok Sumenep, Madura.

“Dari sana saya banyak menimba pengalaman, khususnya pengalaman hidup masyarakat pedesaan,” tambahnya.

Hasil observasinya membawanya menulis cerita fiksi realis yang diterbitkan Majalah Fakta Surabaya sebagai cerita bersambung (cerber) tahun 1994 dengan judul Marlena, Perjalanan Panjang Wanita Madura. Karya Lilik berikutnya adalah buku bunga rampai seni tradisi Madura, Berkenalan dengan Kesenian Tradisional Madura (SIC Surabaya, 2004),  kumpulan folklor Madura Gai’ Bintang (Disparbud Sumenep, 2007) Tikaman Penuh Senyum (Rumah Literasi Sumenep, 2019), dan buku puisi Sampai Ambang Senja (Rumah Literasi Sumenep, 2024). 

Menulis rupanya tak cukup baginya. Aktivitasnya sebagai guru SD membuatnya menyaksikan sendiri rendahnya minat baca di sekolah-sekolah di Bumi Sumekar, Sumenep. Gelisah akan kondisi tersebut, ia pun memutuskan untuk berbuat sesuatu.

”Awalnya, kami (guru) gelisah melihat minat baca di Sumenep yang tidak begitu kuat. Hanya beberapa sekolah yang memiliki semangat literasi tinggi,” ujar Lilik. 

Atas dasar itu, Lilik bersama komunitas guru di Kecamatan Kota, Sumenep bersepakat mendirikan Rumah Literasi Sumenep (Rulis) pada 11 November 2016. Rulis fokus pada penguatan dan pembekalan literasi bagi guru sebagai proses belajar berinovasi dan berkreasi sepanjang hayat. 

”Sejak 2017 kita mengadakan pelatihan menulis untuk siswa. Bukan hanya siswa, gurunya juga kita latih. Mereka (para guru) kita suruh baca puisi dan baca cerita,” paparnya.

Bagi Lilik, guru perlu memiliki semangat literasi yang tinggi karena guru yang akan memotivasi siswa untuk gemar membaca. Jika guru tidak bersemangat maka siswa juga akan malas membaca.

“Kami memberikan penguatan dan pembekalan literasi kepada guru-guru di Sumenep agar mereka belajar berinovasi dan berkreasi,” jelasnya kepada Tim KKLP Literasi Balai Bahasa Jatim yang berkunjung ke Rulis pada Maret 2023 silam.

Selain itu, lanjut dia, Rulis juga menggelar pelatihan-pelatihan menulis bagi masyarakat dan memberi kesempatan pada penulis dengan penerbitan buku karyanya. Banyak guru dan penulis yang bergabung dan bersedia menjadi pengurus sekaligus relawan. 

Rulis juga turun ke sekolah-sekolah untuk menyosialisasikan cinta baca kepada guru dan murid. Setiap turun ke sekolah atau kecamatan, ada sekitar 10 pengurus dan relawan yang terlibat. Mereka memotivasi siswa dan guru untuk gemar membaca dan menulis. Target jangka panjangnya, kegiatan yang diprakarsai Rulis ini melahirkan banyak penulis.

Untuk penerbitan buku, sejauh ini Rulis telah melahirkan dua judul buku yaitu Mutiara yang Terserak; Bunga Rampai Cerita Rakyat Sumenep (2018) dan Siti dan Peri Gigi. Buku kedua ini ditulis oleh penulis cilik Yasmin Nadila Fachrunnisa (9 tahun), murid kelas 3 SD dan Alvian Noor Nasyraa, (8), murid kelas 2 SD.

Dedikasi Lilik menggiatkan literasi melalui Rulis ini diganjar penghargaan Anugerah Sutasoma tahun 2018 dari Balai Bahasa Jawa Timur untuk kategori Guru Bahasa dan Sastra Daerah Berdedikasi. Selain itu, ia juga meraih penghargaan Sumenep Award 2018 sebagai Tokoh Literasi. 

Saat ini sudah banyak lembaga yang meminta dibimbing oleh Rulis. Namun, Lilik mengungkapkan, relawan Rulis hanya bisa berkunjung maksimal empat kali dalam sebulan karena aktivitas bekerja para relawan Rulis di hari kerja.

”Kita ngisinya hanya akhir pekan sebab kalau di hari aktif, relawan Rumah Literasi ngajar di sekolah,” ujarnya.

Bagi Lilik, menanamkan cinta literasi di kalangan guru dan siswa ini ibarat siklus air menjadi mata air baru.

”Literasi seperti air yang siklusnya akan menjadi mata air baru. Jadi di situ ada proses yang panjang untuk menjadi mata air baru, dimana pun dan siapa pun,” pungkasnya. (HAN)

 

Foto : radarmadura.jawapos.com 

Sumber : liliksoebari.blogspot.com, radarmadura.jawapos.com, diolah

Bookmark the permalink.

Comments are closed.