Heru Sang Amurwabumi, Cerpenis Pengidola Ken Arok

Heru Sang Amurwabhumi adalah nama pena penulis Heru Widayanto, kelahiran Dusun Sugih Waras, Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur, 14 Oktober 1979. Sang Amurwabhumi adalah gelar dari Ken Arok, pendiri Kerajaan Singasari yang diidolakannya. Ketua Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk (Kopling) ini mulai gemar menulis cerpen dan puisi sejak SMP melalui majalah dinding sekolah. 

Dalam dirinya mengalir darah seni dari ibunya yang seorang sinden dan kedua kakeknya yang menjadi dalang. Seiring waktu dan bertambahnya pengalaman hidup, penggemar wayang kulit ini mulai memberanikan diri mengikuti kontes penulisan cerpen pada tahun 2016. Dua tahun kemudian, , ia menjadi juara dua Lomba Menulis Cerpen Tingkat Nasional 2018 oleh Jejak Publisher. Selanjutnya Juara Harapan I Sayembara Bunga Tunjung Biru 2019, terpilih sebagai salah satu Emerging Writer di Ubud Writers & Readers Festival 2019 serta cerpenis terpilih Platform Indonesia Kemendikbud 2019. Rentetan prestasinya berlanjut saat menjadi Pemenang Kompetisi Menulis GP Ansor-Ditjen PAI Kemenag 2020, Juara 1 Lomba Cipta Puisi Nasional T-Zone Publisher 2020, juara pertama Lomba Cerpen Tingkat Nasional MJS Publisher 2020,  Juara I Kompetisi Cerpen Se-Jawa Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Universitas Ronggolawe Tuban 2020, dan Cerpenis terpilih Kemenparekraf 2020. Selain dimuat di berbagai media cetak dan daring, beberapa cerpennya telah dibukukan. Karya terbaru pendiri Sanggar Omah Sastra ini diluncurkan medio tahun 2024 lalu berupa kumpulan cerpen budaya Maha Pralaya Bubat

Heru begitu terinspirasi dengan Kang Damar Shasangka, Langit Kresna Hariadi, dan Makinuddin Samin karena dinilainya konsisten mengangkat tema sejarah dan sufisme Jawa dalam karyanya. Saat ini, Heru sedang menyelesaikan sebuah novel sejarah, kumpulan cerpen,dan buku kumpulan puisi.

Sumber : menaramadinah.com, diolah
Foto   : https://www.facebook.com/catatansangmahadewa

Bathara Kala, Integrasi Kepercayaan Jawa dan Islam dalam Tradisi Lokal di Jombang

Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kepercayaan kuat terhadap hal gaib dan mistis. Sebelum datangnya agama-agama besar seperti Hindu, Buddha, dan Islam, orang Jawa sudah memiliki sistem kepercayaan sendiri yang disebut Kapitayan. Ketika agama-agama dari luar mulai dianut oleh masyarakat Jawa, terjadi proses akulturasi yang menarik. Orang Jawa tetap mempertahankan tradisi leluhur mereka. Namun dengan mengintegrasikan unsur-unsur kepercayaan baru yang dibawa oleh agama-agama tersebut, terutama Islam. Integrasi ini menjadikan kepercayaan dan tradisi Jawa semakin kaya serta unik dalam praktiknya.

Salah satu bentuk nyata dari perpaduan kepercayaan lama dan baru ini adalah berbagai ritual adat yang masih dijalankan hingga sekarang. Salah satunya adalah tradisi ruwatan pernikahan di masyarakat Desa Jombok, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Nama “Jombok” sendiri berasal dari kata yang berarti tempat yang becek atau daerah yang memiliki banyak kubangan air dan rawa. Secara historis, Jombang merupakan salah satu daerah yang pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Jejak pengaruh Majapahit di daerah ini masih dapat ditemukan, salah satunya melalui keberadaan Candi Arimbi di Dusun Pulosari, Desa Pulosari, Kecamatan Bareng. Di area Candi Arimbi, terdapat arca Bathara Kala yang menjadi simbol kuat dari warisan mitologi Jawa yang masih dipercaya oleh masyarakat setempat.

Ilustrasi Bathara Kala

Sumber gambar: https://www.youtube.com/shorts/-zHpa-vbr7E 

Bathara Kala, dalam mitologi Jawa, adalah sosok raksasa yang melambangkan waktu dan kekuatan destruktif. Kepercayaan terhadap Bathara Kala masih terlihat dalam berbagai ritual masyarakat Jombang, seperti upacara yang dilakukan saat terjadi gerhana. Di Desa Sumbermulyo, Kecamatan Jogoroto, Jombang, misalnya, masyarakat mengadakan ritual liwetan untuk ibu hamil setiap kali terjadi gerhana. Ritual ini berakar dari mitos yang menyebutkan bahwa Bathara Kala menelan matahari atau bulan saat gerhana terjadi. Sebelum pengaruh Islam masuk, masyarakat Jawa pada masa pra-Islam melakukan tradisi menabuh lesung sebagai simbolisasi untuk “membangunkan” Bathara Kala agar memuntahkan kembali matahari yang ditelannya. Setelah Islam masuk, praktik ini tetap bertahan, tetapi dikombinasikan dengan doa-doa Islami sebagai bentuk harmonisasi antara kepercayaan lama dan keyakinan baru.

Tradisi-tradisi ini menunjukkan bagaimana masyarakat Jawa memiliki cara unik dalam menjaga keseimbangan antara warisan leluhur dan ajaran agama yang lebih modern. Kepercayaan terhadap mitos dan ritual tidak hanya berfungsi sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya masa lalu, tetapi juga sebagai media untuk mempererat hubungan sosial dalam komunitas. Hal ini membuktikan bahwa kepercayaan tradisional tetap dapat berkembang seiring waktu tanpa kehilangan esensi spiritualnya, melainkan beradaptasi dengan perubahan zaman dan keyakinan yang dianut masyarakatnya.

Sumber: Ahmad Musonnif. (2024). Integrasi Mitos dan Religi (Mitologi Jawa dan Religi Islam dalam Ritual Ruwatan Pernikahan oleh Masyarakat Desa Jombok Ngoro Jombang Jawa Timur). Kontemplasi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 12 (01).
https://ejournal.uinsatu.ac.id/index.php/kon/article/view/8245/2616

Fisikawan Cum Penulis 

Azri Zakkiyah, penulis muda kelahiran 19 Maret 1992 asal Malang yang hidup dalam persilangan banyak dunia. Selain sebagai penulis, ia juga ilmuwan, guru, dan santri. Alumnus S1 Fisika Universitas Airlangga, Surabaya dan Master Fisika Medis Universitas Brawijaya, Malang ini menulis tema spiritualitas, fiksi ilmiah dan tentang dunia pesantren. Novel pertamanya Mawar Surga diterbitkan pada tahun 2008 saat ia masih kelas 1 SMA. 

Pada tahun 2016, ia terpilih sebagai salah satu penulis emerging di Ubud Writers and Readers Festival. Ajang sastra internasional itulah yang lantas membawanya tampil di Festival Penulis Internasional, Emerging Writers Festival 2017 di Melbourne, Australia. Azri juga mendapat hadiah dari Kemendikbud dan Komite Buku Nasional (KBN) untuk Program Residensi Penulis 2017 berupa riset kepenulisan di Melbourne, Australia pada Juli-September 2017. 

Sebanyak 21 karyanya telah diterbitkan. Ada novel, antologi cerpen dan antologi bersama. Sejumlah novelnya seperti Alunan Vektor Allah (2009), Twin Ning (2010), And Family Pie (2013), Aif (2016), Gus Faham (2016), I & A (2016), I Bear Witness (2016) dan Khudr (2021). Karya antologinya, Ekipastisi Hidupku (2012), Mahasantri Airlangga (2012), Impian Hebat (2012), Kenapa Sekolah (2015), dan A Bilingual Anthology of Indonesian Writing, Tat Tvam Asi (2016). Novel Alunan Vektor Allah memenangkan Juara 1 Nasional Lomba Penulisan Fiksi Kementerian Agama. Penggalan novelnya, I & A diterbitkan dalam Bahasa Inggris sebagai bahan kuliah di Swinburne University, Australia pada tahun 2017. Selain menulis, Azri juga menjadi guru di Mahad Al Qalam Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 3 Malang, Jawa Timur.

Sumber : tribunnews.com, idwriters.com, diolah
Foto   : facebook.com/dzakeeya

Mitos Surup dalam Kearifan Lokal, antara Kepercayaan dan Harmoni Sosial

Mitos merupakan salah satu bentuk sastra lisan yang memiliki karakteristik dinamis dalam setiap penyampaian dan perwujudannya. Sebagai narasi prosa yang dipercaya sebagai kisah nyata di masa lampau, mitos mengisahkan berbagai aspek kehidupan, seperti aktivitas para dewa, urusan cinta, hubungan keluarga, persahabatan, permusuhan, kemenangan, dan kekalahan. Lebih dari sekadar cerita turun-temurun, mitos menjadi inspirasi bagi lahirnya karya sastra serta berfungsi sebagai pedoman bagi masyarakat dalam menavigasi kehidupan sosial mereka.

Keberadaan mitos tidak hanya sekadar menyajikan reportase mengenai peristiwa masa lalu atau kisah dewa-dewa dan dunia ajaib, tetapi juga memberikan tuntunan moral dan nilai-nilai kehidupan. Mitos berfungsi sebagai peta kebijaksanaan, menawarkan petunjuk bagi manusia dalam berperilaku dan beradaptasi dengan lingkungannya. Dalam perkembangannya, mitos mengalami proses kreatif yang memungkinkan adanya interpretasi baru, menjadikannya relevan dengan konteks zaman yang terus berubah. Fenomena mitos mencerminkan kepercayaan masyarakat yang terus berkembang, menghadirkan pemahaman dan makna yang dapat beradaptasi dengan realitas sosial yang dinamis.

Ilustrasi waktu surup
Sumber gambar: Pinterest (https://id.pinterest.com/pin/496873771392758346/

 

Salah satu bentuk kearifan lokal yang masih bertahan di masyarakat adalah mitos “surup” yang berkembang di Jombang, Jawa Timur. Mitos ini tidak hanya diwariskan sebagai kepercayaan mistis semata, tetapi juga memiliki nilai sosial dan budaya yang mendalam. Kepercayaan mengenai “surup” di Jombang berkembang melalui tradisi lisan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam masyarakat, mitos ini memiliki makna yang beragam, bergantung pada interpretasi dan kepercayaan yang dianut oleh masing-masing komunitas. Kepercayaan ini tidak sekadar menjadi pengingat akan batasan dalam beraktivitas, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai kehati-hatian, penghormatan kepada leluhur, serta upaya menjaga keseimbangan dalam kehidupan sosial.

 

Mitos Surup: Kearifan Lokal yang Masih Terjaga

Mitos “surup” di Jombang memiliki berbagai pemaknaan dan kontribusi dalam kehidupan sosial masyarakat. Kepercayaan ini tersebar di beberapa daerah seperti Desa Mayangan dan Desa Jarak Kulon di Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang. Meski memiliki variasi pemahaman, mitos ini berakar pada keyakinan akan keseimbangan hidup dan keharmonisan dengan alam, serta peringatan akan potensi bahaya yang mengancam jika aturan tidak dipatuhi. Berikut adalah beberapa pemaknaan yang berkembang di masyarakat:

1. Anjuran Menutup Rumah saat Maghrib

Waktu maghrib dipercaya sebagai saat ketika makhluk ghaib mulai berbaur dengan manusia. Oleh karena itu, masyarakat dianjurkan untuk menutup rumah, pagar, pintu, dan jendela agar terhindar dari gangguan makhluk halus. Selain itu, ini juga menjadi waktu untuk beristirahat, membersihkan diri, meluangkan waktu bersama keluarga, serta mendekatkan diri kepada Tuhan.

2. Larangan Menutup Total Bagian Depan Rumah Orang Tua

Dalam tradisi Jawa, membangun bangunan yang menutupi bagian depan rumah orang tua dianggap tidak baik. Kepercayaan ini menyatakan bahwa rumah orang tua yang belum “surup” (meninggal) tidak boleh tertutup oleh bangunan baru yang dibangun anak-anaknya, seperti toko atau garasi. Hal ini dipercaya dapat menghambat rezeki dan menyebabkan kesulitan bagi keluarga. Jika ingin tetap membangun, ukuran bangunan harus disesuaikan agar tidak menutupi “wajah” rumah orang tua secara total.

3. Larangan Keluar Rumah saat Maghrib

Anak-anak dan remaja putri dianjurkan untuk tetap berada di rumah saat maghrib karena dianggap sebagai waktu yang berbahaya. Kepercayaan ini menyebutkan bahwa makhluk gaib seperti Nyi Thowok atau Nenen dapat menculik anak-anak dan remaja dengan cara menyamar menjadi orang yang mereka kenal. Oleh sebab itu, masyarakat percaya bahwa sebaiknya menunggu hingga waktu maghrib berlalu sebelum keluar rumah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Mitos “surup” yang berkembang di Jombang menunjukkan bagaimana nilai-nilai budaya masih berperan dalam kehidupan masyarakat. Meski zaman semakin modern, kepercayaan ini tetap dijaga sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan sebagai pedoman dalam kehidupan sosial. Beberapa masyarakat mungkin tidak lagi menganggapnya sebagai aturan mutlak, tetapi lebih sebagai simbol ajakan untuk menjalani hidup dengan lebih tertib dan penuh kehati-hatian.

Pada akhirnya, mitos seperti “surup” tidak hanya berbicara tentang hal-hal mistis, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat menjaga harmoni sosial, menghormati orang tua, serta menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran akan lingkungan sekitar. Inilah yang menjadikan kearifan lokal tetap relevan di tengah arus globalisasi yang terus berkembang.

Sumber: Krismonika Khoirunnisa. (2021). “Revitalisasi dan Kontribusi Mitologi: Pendidikan dan Pembelajaran Sastra Multikultural Surup di Jombang”. Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa dan Sastra Tahun 2021: Kantor Bahasa Provinsi Kepulauan Riau. https://repository.usd.ac.id/42826/1/8137_Prosiding+Bulan+Bahasa+dan+Sastra+2022.pdf

Stebby Julionatan, Penggiat Literasi Bumi Banger 

Stebby Julionatan, dilahirkan di Kota Probolinggo, Jawa Timur, 30 Juli 1983. Sebagai anak dari guru Bahasa Indonesia, Stebby akrab dengan baca tulis sejak kecil. Meski belum mengerti, ia sudah membaca karya sastra. Di usia belia, Stebby mulai membaca novel seperti Burung-Burung Manyar (1981) karya YB. Mangunwijaya dan buku sejarah Indonesia dari tahun 1934 sampai 1978.

Saking seringnya mengonsumsi karya sastra, membaca dan menulis menjadi kebiasaan hingga mengantarnya menjadi juara menulis cerpen di sekolahnya, SMPN 5 Kota Probolinggo. 

Kesungguhannya menekuni sastra baru muncul tahun 2006 saat ia terpilih sebagai Kang Kota Probolinggo. Ketika itu, ia tengah menempuh kuliah S1 di STKIP PGRI Wiranegara atau Uniwara, Pasuruan.

Dalam sesi wawancara penentuan Kang-Yuk, Stebby ditanya apa yang akan dilakukan jika terpilih menjadi Kang Kota Probolinggo dan menjadi duta wisata.

“Muncul rasa tanggung jawab untuk mempromosikan Kota Probolinggo lewat apa yang aku bisa,” ujar Stebby. Ia pun menekuni sastra dan menggerakkan semangat literasi di Bumi Banger, julukan Kota Probolinggo.

Alumnus S2 Kajian Gender UI (2023) ini pernah dinobatkan Kolomkita sebagai Penulis Muda Berbakat 2007 atas karyanya Ku Nanti Hujan di Pucuk Musim Kemarau. Karyanya yang sudah terbit adalah novel bergenre surealis remaja LAN (2011), buku kumpulan cerpen Barang yang Sudah Dibeli Tidak Dapat Ditukar Kembali (2012), dan kumpulan sajak Biru Magenta (2015) yang membawanya masuk dalam daftar Anugerah Pembaca Indonesia (API) 2015. Pada 2016, manuskrip puisinya Rabu dan Biru, menjadi nominator (5 besar) Siwa Nataraja Awards. Berselang setahun, buku puisinya Di Kota Tuhan, Aku Adalah Daging yang Kau Pecah-pecah masuk nominasi Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jawa Timur. 

Pada tahun 2019, Stebby bersama 19 sastrawan lain menerima penghargaan sebagai sastrawan terbaik Jawa Timur dari Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa. Ia juga terpilih sebagai satu dari 15 Penulis Emerging Indonesia pada festival sastra internasional, Ubud Writers and Readers Festival 2021 di Ubud, Bali. Pendiri Rumah Baca Komunitas Menulis (Komunlis), Probolinggo ini sehari-hari bekerja sebagai staf Diskominfo Kota Probolinggo. Selain itu, mantan Kang Kota Probolinggo 2006, dan finalis Raka-Raki Jawa Timur 2007 ini juga aktif sebagai penyiar radio Suara Kota Probolinggo

 

Sumber : timesindonesia.co.id, bonx.wordpress.com, diolah 

Foto : facebook.com/sjulionatan

Dewi R Maulidah, Sastrawan dari Kota Pudak

Dewi R. Maulidah adalah penulis asal Desa Klangonan, Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Alumnus Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang ini menulis puisi, esai, prosa, dan tulisan-tulisan lepasnya di berbagai media dan antologi bersama. Buku antologi puisi tunggalnya, Daun-daun Rasa (Penerbit Bitread Publishing, 2014) dan Pemeluk Angin (Penerbit Pelangi Sastra, 2019). 

Dewi terpilih sebagai peserta Residensi Penulis Indonesia 2019 oleh Komite Buku Nasional di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pada 2022, ia terpilih sebagai kolaborator pada festival tahunan tentang sastra, seni dan religi nusantara, Borobudur Writers & Cultural Festival di Kawasan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Selepas studi magisternya di Universitas Negeri Malang, Dewi diundang sebagai peserta Residensi Seniman-Peneliti oleh Yayasan Tilik Sarira dalam program Nganteuran: Performative Culinary Arts di Sukabumi, Jawa Barat pada Januari-Februari 2023. Pada Program Laku Dalam Ruang yang terhubung dalam Pekan Kebudayaan Nasional 2023, Dewi terpilih sebagai Seniman Residensi di wilayah Museum Ketransmigrasian Nasional, Lampung. Sejak tahun 2011 tinggal di Kota Malang hingga kini dan bergabung dalam komunitas Pelangi Sastra Malang.

 

Sumber : festivalborobudurwriters id, surya.co.id, diolah
Foto   :  x.com/drmaulidah

Tari Lahbako, Tari Tembakau dari Jember

Tari Lahbako adalah tarian tradisional yang menjadi salah satu ikon Kabupaten Jember, Jawa Timur karena menggambarkan kehidupan para petani tembakau di sana. Tarian ini juga wujud apresiasi terhadap peran perempuan Jember yang terlibat dalam sebagian besar proses produksi tembakau. Gerakan para penari perempuan menggambarkan aktivitas petani tembakau di ladang. Penari memakai busana dan atribut bernuansa daun tembakau. 

Nama Lahbako merupakan gabungan dua kata yaitu “lah” dan “bako”. Kata “lah” diambil dari kata olah atau “mengolah” sedangkan kata “bako” berarti tembakau. Jadi, Lahbako bermakna tarian yang menceritakan pengolahan tembakau. Pentas tari Lahbako dilakukan  4–8 penari perempuan yang diawali dengan gerakan yang menggambarkan perjalanan dari rumah menuju kebun tembakau. Lalu dilanjutkan dengan gerakan menggambarkan pemetikan daun tembakau dan memasukan ke dalam keranjang. Tarian berlanjut dengan gerakan berjalan ke gudang sambil membawa keranjang tembakau lantas dilanjutkan dengan gerakan menjemur daun tembakau hingga kering. Tarian ditutup dengan gerakan menata daun tembakau dan pengemasan.

Semua penggambaran tersebut ditampilkan dengan gerakan yang indah dan penuh makna.  Gerakan lembut dan lugas dalam tarian ini selaras dengan musik patrol sebagai pengiringnya. Musik patrol terdiri atas kentongan, suling, dan gendang yang dimainkan tujuh pria.

Para penari menggunakan atasan kebaya dan bawahan berupa kain panjang dan celemek yang biasa digunakan petani ketika bekerja di kebun tembakau. Pada bagian kepala, penari menggunakan sanggul cemol, jenis sanggul yang memanjang ke atas. Selain itu, berbagai aksesoris seperti tiga bendera kecil berbeda warna dengan arti peran atau tugas petani ketika bekerja. Ada yang memanen, menyortir, dan mengemas. Ada pula anting-anting dan aksesoris lain berbentuk daun tembakau. 

Tari Lahbako terbentuk dari keinginan Bupati Jember tahun 1985 Suryadi Setiawan yang menginginkan adanya tarian sebagai ikon identitas budaya Jember yang sesuai dengan potensi Jember. 

Sumber : kompasiana.com, diolah
Foto : antaranews.com

Lita Lestianti, Penulis dan Planolog 

Planolog dan penulis cerpen, cerita anak, dan novel asal Malang ini menyelesaikan pendidikan S1 Perencanaan Wilayah dan Kota di Universitas Brawijaya, Malang pada tahun 2010. Selanjutnya, ia meraih gelar ganda S2 pada Jurusan Magister Pembangunan Wilayah dan Kota di Universitas Diponegoro, Semarang (2012) dan Master of Social Science Jurusan Géographie et Aménagement di Universite Paris X Nanterre, Prancis (2013). 

Pernah berkarir di bidang perencanaan pada Bappeda Kabupaten Banyumas (2010) dan sebuah perusahaan konsultan arsitektur dan perencanaan (2014) sebelum menjadi penulis lepas. Buku cerita anak karyanya adalah Sahabat Kecil dari Pulau Cincin Api (Badan Bahasa, 2017), Jelajah Pulau Borneo (Badan Bahasa, 2018), Sing Endi Jarite (Let’s Read, 2019), Kopi untuk Bapak (FLP-INOVASI, 2019), Bermain Bersama (FLP-INOVASI, 2019), dan Rumah Terbaik Tungtung, Si Lutung Jawa (WIN, 2023). Cerpennya terhimpun dalam kumpulan cerpen Tot Ziens, Rembang! (FLP, 2020). 

Cerpennya Nyanyian Pilu Meo Oni yang Terdengar dari Hutan Nunsulat membuatnya terpilih sebagai salah satu Penulis Emerging pada festival sastra internasional, Ubud Writers and Readers Festival 2019 di Ubud, Bali. Prestasi lainnya adalah Pemenang Sayembara Gerakan Literasi Nasional Menulis Bahan Bacaan Anak (Badan Bahasa, 2017 & 2018), Penulis Terpilih Bahan Bacaan Anak Yang Inklusif dan Berjenjang (FLP-INOVASI, 2018) Penulis Terpilih Bahan Bacaan Anak Berbahasa Jawa (Litara, 2019), Penulis Terpilih Cerita Anak OHAWE-ADPRC (Airlangga Disease Prevention and Research Center–One Health Collaborating Center (ADPRC-OHCC) 2023), dan Penulis Terpilih Sayembara Bahan Bacaan Literasi (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2024).

Saat ini rutin menulis di blog pribadi, media digital, media sosial berbasis blog, dan platform menulis daring, sembari bekerja di Forum Lingkar Pena (FLP) Malang. 

Sumber : lestelita.com, linkedin.com/lita-lestianti
Foto : lestelita.com

Jamal D Rahman

Jamal D Rahman lahir dan besar di Lenteng Timur, Sumenep, Madura, Jawa Timur, pada 14 Desember 1967. Alumnus Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep (1987) ini menyelesaikan studi S1  Jurusan Aqidah dan Filsafat di Fakultas Ushuluddin, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta pada 1994. Tahun 1999, ia mendapatkan beasiswa Ford Foundation untuk studi S2 Bidang Studi Ilmu Susastra, Program Pascasarjana, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. 

Mulai menulis sajak sejak di pondok pesantren, karyanya berupa puisi, esai, kritik sastra, masalah kesenian, dan kebudayaan telah tersebar di berbagai media massa di dalam dan luar negeri. Seperti Masa Kini, Bernas, Yogya Post, Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Mimbar Pendidikan Agama, Jawa Pos, Surabaya Post, (Surabaya), Pikiran Rakyat (Bandung), Berita Buana, Pelita, Jayakarta, Harian Terbit, Media Indonesia, Kompas, Republika, Ulumul Quran, Amanah, dan Horison. Tulisan esai dan sajaknya pernah merambah majalah Dewan Sastera (Malaysia) dan Bahana (Brunei Darussalam) melalui Lembaran Program Mastera.

Ia kerap diundang mengikuti acara sastra di dalam dan luar negeri. Antara lain Festival Seni Ipoh III, Negeri Perak, Malaysia (1998), Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara bidang Esai di Cisarua, Bogor (1999), Seminar Kritikan Sastra Melayu Serantau, Kualalumpur (2001), dan Pertemuan Penulis Asia Tenggara (South-East Asian Writers Meet) di Kualalumpur (2001), Festival Poetry on the Road di Bremen, Jerman (2004). 

Buku puisinya Airmata Diam (1993), Reruntuhan Cahaya (2003), Garam-garam Hujan (2004), Burn Me with Your Letters (terjemahan Nikmah Sarjono, 2004), dan Rubaiyat Matahari (2015). Puisi-puisinya juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Jerman dan Portugal. Dimuat pula dalam beberapa antologi, seperti Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (2000), Dari Fansuri ke Handayani (2001), Horison Sastra Indonesia 1: Kitab Puisi (2002), Hijau Kelon: Puisi Kompas 2002 (2002), Poetry on the Road (2004), Poetry and Sincerity (2006), dan 60 Puisi Indonesia Terbaik 2009 (2009).

Ia juga menjadi kontributor beberapa buku, di antaranya Islam dan Transformasi Sosial-Budaya (1993), Romo Mangun di Mata Para Sahabat (1997), Tarekat Nurcholishy (2001), Ulama Perempuan Indonesia (2002), Reinventing Indonesia (2008), Gus Mus: Satu Rumah Seribu Pintu (2009), Dermaga Sastra Indonesia (2010), dan 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (2014). 

Jamal pernah menjadi redaktur jurnal pemikiran Islam Islamika (1993-1995), wartawan majalah Ummat (1995-1999), redaktur majalah sastra Horison (1993) dan anggota Dewan Kesenian Jakarta periode 2003 – 2006.

 

Sumber : id.wikipedia.org, pujies-pujies.blogspot.com, diolah
Foto      : mansajululum.ponpes.id

Intan Andaru, Dokter-Sastrawan dari Timur Pulau Jawa 

Intan Andaru, lahir di Banyuwangi, Jawa Timur, 20 Februari 1990. Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) tahun 2012, ia melanjutkan karier sebagai dokter PTT di pelosok Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Berawal dari lomba menulis yang diikutinya semasa SD, Intan punya ketertarikan yang dalam pada dunia tulis menulis. 

Dikenal dengan nama pena Andaru Intan, novelnya Saat Waktu Berkejaran menjadi juara pertama di festival UNSA Book Award 2013 dan novel 33 Senja Di Halmahera membuatnya terpilih sebagai peserta Program Residensi Penulis ASEAN-Jepang dan diundang ke acara ASEAN Literary Festival 2017. Pada 2018, Intan terpilih sebagai salah satu peserta jalur seleksi mandiri dalam Muktamar Sastra di Situbondo, Jawa Timur dan juga terpilih sebagai salah satu penerima Hibah Perempuan Pelaku Kebudayaan di Bidang Sastra Cipta Media Ekspresi.

Tiga tahun berselang, ia memenangkan Juara III Festival Sastra Universitas Gajah Mada, Yogyakarta dan terpilih sebagai Penulis Emerging pada festival sastra internasional bergengsi, Ubud Writers and Readers Festival 2021.

Karyanya berupa novel adalah Teman Hidup (Diva Press, 2017), Namamu dalam Doaku (Diva Press, 2015), Saat Waktu Berkejaran (Self Publishing, 2013 ), dan mini novel LDR Tentang Kamu, Aku, dan Jarak (Grasindo, 2015). Beberapa antologi cerpennya adalah Jatuh di Hatimu (Matahari, 2014), Orang Bunian (Unsa Press, 2015), dan Kupu-Kupu Kematian (Unsa Press, 2016). Sembari tetap menulis, sejak 2021 Intan melanjutkan pendidikan spesialis urologi di FK Unair.

Sumber : surya.co.id, gpu.id, id.wikipedia.org, diolah

Foto : kompas.com