Herry Lamongan, Sastrawan dari Kota Soto Lamongan

Nama sebenarnya adalah Djuhaeri. Namun, ia lebih akrab dipanggil Herry Lamongan. Lelaki kelahiran Bondowoso, 8 Mei 1959 ini merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Ayahnya bernama Ismail (almarhum), seorang pensiunan polisi (lahir tahun 1930). Ibunya bernama Sukarsih, kelahiran Jember 1933. Herry menikah dengan Ashabul Maimanah, Ama.Pd. kelahiran Gresik, 26 September 1960, yang dinikahinya pada tanggal 8 April 1987.

Bakat menulis Herry berawal dari kegemaran menulis buku harian, mencatat berbagai peristiwa yang terjadi setiap hari, kemudian berkorespondensi dengan banyak kawan di seluruh Indonesia. Kemudian ia ingin menggubah puisi sendiri untuk dipublikasikan/dikirimkan ke media-massa cetak (baik itu koran maupun majalah lokal dan ibu kota). Naskah pertama Herry termuat di koran Eksponen tahun 1983 (Yogyakarta), tanpa mendapatkan honorarium. Hingga kini pekerjaan tersebut terus dilakukan: mencatat, merevisi naskah lama, kemudian mengirimkannya untuk dipublikasikan. Dalam berkorespondensi itu, ia bertemu dengan komunitas HP3N (Himpunan Penulis, Pengarang, dan Penyair Nusantara) yang berpusat di Mataram, dengan ketuanya Putu Arya Tirtawirya. Melalui HP3N inilah, namanya sebagai penyair diakui oleh komunitas sastra seIndonesia. Di Jawa Timur, ada anggota HP3N selain Herry Lamongan, yaitu Ang Thek Khun dan Aming Aminoedhin (Surabaya), Tan Tjin Siong (BatuMalang), Surasono Rashar (Lumajang), dan Yani Aminoedhin (Jember), Herry bersekolah di Sekolah Dasar di Lamongan (lulus 1972), SLTP di Lamongan (lulus 1975), SLTA di Tuban (lulus 1979), dan lulus sarjana S-1 Universitas Islam Darul Ulum Lamongan (2004).

Pendidikan non-formal yang pernah diikuti Herry Lamongan antara lain: Lokakarya Khusus Deklamasi dan Baca Puisi, Kursus Karang-Mengarang & Teknik Penulisan Fiksi, Pelatihan Seniman Teater Jawa Timur. Riwayat latar belakang pekerjaan Herry Lamongan tidak banyak; sejak tahun 1979 hingga 2005, ia menjadi seorang guru sekolah dasar di Lamongan. Dalam dunia sastra, Herry Lamongan banyak aktif di kegiatan komunitas sastra, antara lain HP3N Jatim (1985—1990), PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya) tahun 1991—1994, Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) tahun 2000—2007, DKL (Dewan Kesenian Lamongan) tahun 2003—2007. Tidak hanya aktif di komunitas sastra Lamongan dan Jawa Timur, Herry juga berkalikali menjadi juri lomba tulis dan baca puisi di tingkat Kabupaten Lamongan maupun Jawa Timur. Kumpulan puisinya bersama rekan antara lain: Sang Penyair (1986), Lamat (1987), Surabaya Kotaku (1989), Jejak (1991), Semangat Tanjung Perak (1992), Malsasa 1991, 1992, l994, 1996, 2000, 2005, Bunga Rampai Bunga Pinggiran (1995), Memo Putih (2000), Bulan Merayap (2004), Lanskap Telunjuk (2004), Duka Atjeh Duka Bersama (2005), Khianat Waktu (2006), dan banyak lagi. Penghargaan kesusastraan yang pernah diraih adalah penulis terbaik versi Sanggar Minum Kopi Denpasar (1989), Pemakalah Festival Puisi di Batu-Malang (1990), Penulis Gurit terbaik versi Sanggar Triwida (1995). Herry Lamongan beserta keluarga beralamat di Jalan Madedadi VI/36 Perumahan Made, Lamongan 62251. Dia bisa dihubungi melalui telepon (0322) 315132.

 

Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur

Esmiet, Sastrawan dari Tanah Blambangan

Sastrawan dari Banyuwangi ini memiliki nama asli Sasmito. Esmiet lahir di Kasihan, Dlanggu, Mojokerto, pada 20 Mei 1938. Masa kecil Esmiet dilalui dengan keprihatinan karena pada saat itu merupakan awal Perang Dunia II. Pendidikan SR diselesaikannya di Mojokerto, lulus tahun 1952. Setelah itu, Esmiet melanjutkan ke SGB di Surabaya (1957) dan bekerja sebagai guru SR di Kabupaten Mojokerto. Tidak berapa lama Esmiet pindah ke Banyuwangi sebagai guru SD Sempu, Genteng. Sejak saat itu, Esmiet menetap dan menjadi penduduk Banyuwangi. Ia dan keluarga tinggal di Jalan Merapi 74, Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur.

Tahun 1957, Esmiet menikah dengan Sulistiyana atau So Li Nio, seorang gadis keturunan Tionghoa beragama Islam. Usia perkawinan mereka tidak lama dan tahun 1960 Esmiet menikah dengan Hariwati dan dikaruniai sembilan orang putra. Meskipun sudah berkeluarga, Esmiet melanjutkan pendidikannya ke SPG di Banyuwangi dan lulus tahun 1971. Tahun 1982, Esmiet mencoba kuliah di IKIP Banyuwangi, tetapi gagal. Esmiet banyak diundang sebagai pembicara dalam berbagai pertemuan ilmiah, di antaranya Sarasehan Jati Diri Sastra Daerah (Bojonegoro, 1984), Kongres Bahasa Jawa (1991, 1996, 2001), Temu Budaya Jawa Timur dan Bali (Jember, 1988), Kongres Kebudayaan (1991), Sarasehan Bahasa dan Sastra Jawa (Yogyakarta, 1994), dan Seminar Kritik Sastra dan Temu Pengarang Sastra Jawa (1998). Selain itu, Esmiet beberapa kali memberikan ceramah tentang sastra Jawa di perguruan tinggi luar negeri, misalnya di Leiden, Belanda, bersama Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo dan di ANU, Canberra, Australia.

Karier Esmiet terus menanjak. Ia tidak hanya menjadi guru, tetapi juga Kepala SD Sempu I, Genteng, Banyuwangi. Tahun 1978, Esmiet diangkat menjadi penilik kebudayaan. Tahun 1981 ia diangkat menjadi penilik TK dan SD. Selain itu, ia mengajar kesenian di SMA Negeri 1 Genteng, Banyuwangi. Esmiet pensiun tahun 1992 setelah mengabdi selama 35 tahun.

Selain sebagai pendidik, Esmiet pernah menjadi redaktur majalah Jaya Baya (1964). Esmiet juga aktif di organisasi politik. Awal tahun 1960-an ia menjadi anggota PNI, kemudian tahun 1962 menjadi ketua PNI Ranting Jambewangi, Genteng. Pada tahun 1965 ia dipercaya sebagai ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) Genteng, Banyuwangi. Bahkan, tahun 1966 Esmiet diangkat menjadi anggota DPRD Banyuwangi. Karier Esmiet sebagai anggota dewan memengaruhi proses kreatif karyanya, di antaranya Wong Jompo iku Mati Ping Telu, Geter Desember, dan Sawutuhe ing Birune Langit (ketiga novel ini belum diterbitkan) juga Tunggak-Tunggak Jati (1977). Selepas berkiprah di organisasi politik, Esmiet aktif di bidang kebudayaan dan menjadi ketua Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ) Komda Jatim. Pada 20 Mei 1974 Esmiet mendirikan Sanggar Parikuning.

Kiprah Esmiet dalam sastra Jawa bermula tahun 1956 dan setahun kemudian cerkaknya yang berjudul “Semanding” dimuat dalam Tjrita Tjekak. Bukti bahwa karya Esmiet bermutu tampak dari seringnya mendapat penghargaan dalam berbagai sayembara, yaitu: “Satus Pitung Puluh Lima”, juara I penulisan cerkak majalah Jaya Baya (1971); “Kamar” (1978), penghargaan juara I cerkak majalah Jaya Baya; penghargaan dari PKJT Surakarta untuk cerkak “Diseblakake Ping Pitu” (1976) dan “Angin Puputan Kedhung Srengenge” (1978); novel Nalika Langite Obah (1997) dianugerahi hadiah sastra Rancage tahun 1998; dan tahun 2001 dianugerahi penghargaan Rancage atas jasa-jasanya mengembangkan bahasa dan sastra Jawa. Beberapa karya Esmiet, yakni: Sambung Tuwuh (bacaan anak, 1979); bacaan remaja Nrajang Selane Ampak-Ampak (1967), Pistule Prawan Manis (1981), Lampu Abang (1981), dan Jaring Kuning (1982); novel dewasa Tunggak-Tunggak Jati (1977), Oyot Mimang (1978), Gapura Putih (1979), Jaring Kuning (1979), dan Nalika Langite Obah (1997); dan, novel panglipur wuyung berjudul Randha Teles, Gedhang Kepok Gedhang Ijo, Pistule Prawan Manis (1965), Lampu Abang (1966), dan Notes Kuning (1966).

Esmiet tidak hanya mengarang karya sastra berbahasa Jawa, tetapi juga sastra Indonesia. Beberapa cerpen berbahasa Indonesia dimuat dalam majalah Stop, Senang, Liberty, POP, dan Detektif & Romantika. Konon sampai tahun 1991 ia telah menulis 2.056 cerpen, 138 cerbung, dan 12 novel.

 

Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur

Bagus Putu Parto, Sastrawan dan Dramawan dari Kota Patria

Bagus Putu Parto, sastrawan dan dramawan kelahiran di Blitar, 2 Juni 1967, memiliki nama asli Bagus Prabowo. Motivator geliat sastra di Blitar inilah yang memperkenalkan istilah ‘sastra pedalaman’. Istilah ini dia perkenalkan saat diskusi pada peluncuran Semangat Tanjung Perak sebuah antologi puisi penyair Surabaya dan Jawa Timur pada tahun 1992 di Taman Budaya Jawa Timur. Kesastraan modern (Indonesia) di Blitar mulai eksis pada dekade 90-an adalah “Lingkar Sastra Blitar”. Lingkar Sastra Blitar didirikan oleh Bagus Putu Parto, Dwi Aprianto, dan Iwung Handayani pada tanggal 1 Oktober 1991. Karena merasa ruang geraknya terlalu sempit pada genre sastra, sehingga pada tanggal 14 Februari 1992, Lingkar Sastra Blitar mengubah nama menjadi Barisan Seniman Muda Blitar.

Sastrawan dan dramawan Bagus Putu Parto memiliki nama asli Bagus Prabowo lahir di Blitar, 2 Juni 1967. Ia mendalami dramaturgi di Jurusan Teater Institut Seni Indonesia, Yogyakarta (1991). Tahun 1991 ia mendirikan dan sekaligus memimpin Barisan Seniman Muda Blitar (BSMB). Pada tahun 2000 ia mendapat tambahan jabatan sebagai Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Blitar. Beberapa karya teaternya antara lain “Drama Kolosal Pemberontakan Peta”, “Perang Sunyi”, “Grebeg Pancasila”, dan beberapa lakon teater anak. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media. Cerpen-cerpennya yang telah dibukukan, antara lain Semar (1992), Seusai Baratayuda (1993), Lima Cerpen Pralakon (1995), dan Muktamar Para Jin (2001). Bagus juga menulis biografi Laki-laki Bersarung Melangkah ke Pendapa (2000). Bagus termasuk salah seorang penggerak Revitalisasi Sastra Pedalaman—gerakan yang pernah mewarnai isu sastra nasional di pertengahan tahun 90-an. Gerakan ini pada dasarnya ingin meniadakan Jakarta sebagai sentral sastra di tanah air.

Gaung Revitalisasi Sastra Pedalaman di Jawa Timur tidak dapat dilepaskan dari peranan Bagus Putu Parto. Ia adalah seorang sastrawan sekaligus motivator geliat sastra di Blitar. Istilah ‘sastra pedalaman’ pertama kali dimunculkan oleh Bagus Putu Parto saat diskusi pada peluncuran Semangat Tanjung Perak sebuah antologi puisi penyair Surabaya dan Jawa Timur pada tahun 1992 di Taman Budaya Jawa Timur. Dengan gerakannya itu, Bagus menerbitkan dalam bentuk yang sangat—buku-buku seperti antologi cerita pendek Nyanyian Pedalaman I pada tanggal 14 Februari 1993. Buku ini diterbitkan oleh Barisan Seniman Muda Blitar. Dalam buku tersebut, Suparto Brata memberikan pengantar berjudul “Panorama Sastra di Tangan Tuan”. Ia memberikan apresiasi yang tinggi terhadap semangat spontan pemprakarsa penerbitan buku ini. Antologi yang memuat cerita pendek karya empat sastrawan Jawa Timur, yaitu “Hanya yang Bersih Dapat Menyatu dengan Udara” (Bonari Nabonenar), “Seusai Baratayudha” (Bagus Putu Parto), “Eksekusi” (Kusprihyanto Namma), “Aku Termasuk Kategori Anak Bandelkah Aku?” (W. Yudhie), serta satu cerita pendek “Cahaya” karya seorang cerpenis Yogyakarta, Suwardi Endraswara. Ini dianggap merupakan titik awal semangat geliat penerbitan karya sastra di daerah (pedalaman) yang menafikan peran Surabaya sebagai pusat kesastraan di Jatim.

Dua cerita pendek Bagus Putu Parto berjudul “Semar” dan “Dokterandus Mul Gugat” termuat dalam antologi sastra tiga kota Bias Luka. Tahun 1994, Bagus, melalui Barisan Seniman Muda Blitar, kembali menerbitkan sebuah Antologi Cerita Pendek Nyanyian Pedalaman II. Buku yang diberi kata pengantar oleh Beni Setia (Caruban, Madiun) ini memuat empat cerita pendek karya empat sastrawan Jawa Timur yaitu “Tanding” karya Bagus Putu Parto (Blitar), “Maling” karya Bonari Nabonenar (Trenggalek), “Dracula” oleh Kusprihyanto Namma (Ngawi), dan “Wibawa” karya Tan Tjin Siong (Dampit). Peluncuran buku ini dilakukan pada tanggal 6 Februari 1994 di Blitar. Kesastraan modern (Indonesia) di Blitar dapat dikatakan mulai eksis pada dekade 90-an adalah “Lingkar Sastra Blitar” yang mengawali geliat sastra tersebut. Lingkar Sastra Blitar didirikan oleh Bagus Putu Parto, Dwi Aprianto, dan Iwung Handayani pada tanggal 1 Oktober 1991. Kelompok kesenian ini didirikan sebagai upaya menggali potensi serta menciptakan komunitas sastra dan teater yang selama ini masih terbatas berkutat dalam pengajaran di sekolah maupun kampus. Langkah awal yang dilakukan komunitas ini adalah menerbitkan buletin Lingkar Sastra Blitar. Karena merasa ruang geraknya terlalu sempit terbatas pada genre sastra bersama dengan pementasan drama kolosal Pemberontakan Peta tanggal 14 Februari 1992, Lingkar Sastra Blitar mengubah nama menjadi Barisan Seniman Muda Blitar.

 

Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur.

Legenda Mirah Golan

Legenda Golan Mirah telah dikenal dan dipercaya sejak ratusan tahun silam, terutama bagi masyarakat di Desa Golan dan Desa Mirah, Kecamatan Sukorejo, Ponorogo. Konon kedua desa tersebut tidak dapat menyatu. Hal ini dibuktikan adanya dua warna air sungai di antara kedua daerah itu. Legenda ini tentang kisah cinta terlarang antara dua anak manusia.

Sekitar tahun 1440-an atau awal Babad Ponorogo ada sebuah kisah yang melegenda di sana. Yakni, berawal dari anak Ki Ageng Honggolono yang bernama Joko Lancur ingin mengadu ayamnya. Namun, ayam wiring kuning itu kabur ke Desa Mirah (kini menjadi dusun di Desa Nambangrejo).
Saat itu Mirah Putri Ayu, anak Ki Ageng Honggojoyo atau dikenal dengan Ki Ageng Mirah, sedang sibuk menenun kain di rumahnya. Siapa sangka ayam Joko sampai rumah Mirah. Pencarian Joko pun terhenti dan terpesona dengan kecantikan Mirah. Ia berniat mempersunting Mirah. Namun, kecintaannya pada Mirah tidak berjalan mulus karena Ki Ageng Mirah tidak senang.
Agar bisa mempersunting Mirah, Joko harus mengairi seluruh sawah di Desa Mirah dan diberi waktu hanya semalam. Ternyata Ki Ageng Honggolono menyanggupinya. Malam itu, dia langsung membendung sungai Sekayu untuk mengairi seluruh sawah di Desa Mirah. Namun, apadaya Ki Ageng Honggojoyo tidak terima dan memberikan syarat lagi. Yakni, keluarga Joko harus membawa lumbung yang berisi kedelai dan sekaligus bisa terbang. Di situ Ki Ageng Honggolono merasa dipermainkan, dia pun mengganti isi lumbung itu dengan kawul (jerami) dan kedelai hanya terlihat di atas lumbung.
Keduanya sama-sama murka dan saling melontarkan sabda yang dipercaya masyarakat sampai sekarang. Ki Ageng Mirah menyampaikan bahwa masyarakat Desa Golan tidak bisa menyimpan kawul dan dapat dipastikan langsung terbakar. Ki Ageng Honggolono menyumpahi balik masyarakat Desa Mirah tidak bisa menanam kedelai. Mereka juga menyumpahi masyarakat dari Desa Golan dan Mirah tidak bisa menikahi satu sama lain.
Percaya tidak percaya, mitos ini masih dipegang teguh oleh masyarakat kedua desa ini, agar petaka tak menimpa. (Kris)

Ditulis oleh Kristi Muji Khasiati (Mahasiswa ) sebagai salah satu tugas PKL di Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur

Aming Aminoedhin, sang “Presiden Penyair Jawa Timur”

Aming Aminoedhin. Penyair dan penggurit kelahiran Ngawi ini memiliki nama asli Mohammad Amir Tohar. Lahir di Ngawi, 22 Desember 1957, Aming merupakan penggagas acara baca puisi peduli “Perang Irak” dan pentas seni kemanusiaan “Duka Atjeh Duka Bersama” di Taman Budaya Jawa Timur. Karya puisinya banyak dimuat di koran dan majalah lokal dan ibu kota, antara lain Surabaya Post, Berita Buana, Republika, Singgalang, dan sebagainya.

Aming adalah anak daripasangan A.H. Aminoedhin (lahirtahun 1918), seorang guru agamaIslam di sebuah SMPN, danSoeparijem (lahir tahun 1925)seorang guru di SDNRonggowarsito 2 Ngawi.Anak kelimadari delapan bersaudara ini lahir dalam keluarga pecinta seni. Bakat menulisAming didapat dari lingkungankeluarganya. Salah seorangpamannya merupakan salah satusastrawan tokoh Angkatan ’66versi HB Jassin, bernama M.Alwan Tafsiri.Duakakak kandungnya juga seorangpenulis cerpen, puisi, dan esai,yaitu M. Har Harijadi (alm) danLia Aminoedhin. Aming Aminoedhin menikahdengan Sulistyani Uran. Pasangan inidikaruniai empat orang anak, tiga laki-laki dan satu perempuan.Amingmenempuh pendidikannya di sekolahdasar di SDN Ronggowarsito 2Ngawi (lulus 1970), sekolahmenengah sekolah menengahpertama di SMPN 1 Ngawi (lulus1973), dan sekolah menengahatas di SMAN Ngawi (lulus 1976).Selepas SMA, ia melanjutkan keFakultas Sastra, Jurusan Bahasadan Sastra Indonesia, UniversitasSebelas Maret Surakarta (1977).Gelar sarjana muda (B.A.)diraihnya tahun 1982. Sebelumsarjana muda diraih, ia sempat kuliah D3 satu tahun pada jurusanyang sama, di fakultas keguruan UNS,dengan mendapatkan ijazahDiploma dan Akta III, pada tahun1981. Aming meraihgelar sarjana sastra (S1), JurusanBahasa dan Sastra Indonesia UNS pada tahun 1987.

Tahun 1984, Aming diangkat menjadi PNS di Kantor Wilayah Departemen Pendidikandan Kebudayaan Propinsi JawaTimur. Ia bekerja di SubbagianPenerangan, Bagian Tata Usaha,pada bidang penerbitan majalahbulanan Media sebagai pemimpinredaksi. Ia pernah juga ikutmembidani dan mengelola keredaksionalan Tabloid Bekal, koranpelajar Jawa Timur yangdiprakarsai Harian Surabaya Postdan Kanwil Depdikbud JawaTimur. Ikut pula menjadi RedaksiMajalah Kebudayaan Kalimas diSurabaya, menjadi Staf RedaksiBuletin DKS (Dewan KesenianSurabaya), dan Majalah MemoridaKanwil Depdikbud Jawa Timur.

Dalam bidang seni dan budaya, Aming Aminoedhin, pernah menjadi koordinator Forum Apresiasi Sastra Surabaya (FASS) di PPIA tahun 1987—1990, koordinator Himpunan Penulis, Pengarang dan Penyair Nusantara (HP3N) Jawa Timur tahun 1985— 1990, dan sebagai koordinator Forum Apresiasi Sastra (Forasamo), pengurus Dewan Kesenian Surabaya, Biro Sastra (1990-an), sekretaris Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto (2004—sekarang). Periode tahun 1995—sekarang Aming masih menjadi pengurus Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS). Dalam PPSJS, ia membidani terbitnya Teplok Dluwangwarta PPSJS sebagaipemimpin redaksi. Ia pernahdikirim mewakili Jawa Timurdalam Pertemuan SastrawanNusantara XII di Singapura padatahun 2003. Sejak tahun 2000,Aming dipindahkan dari KanwilDepdikbud Jawa Timur ke BalaiBahasa Surabaya.Ia pernah menjadi aktorterbaik Lomba Drama se-JawaTimur 1983 di Surabaya. Saat ituia bermain dengan kelompokTeater Persada Ngawi, pimpinanMh. Iskan. Komunitas TeaterPersada inilah yang memberikanbanyak masukan inspirasi dalamberkarya sastra, utamanya menulis puisi dan bermain drama.Aming merupakan penggagas Malam Sastra Surabaya(Malsasa). Ia juga menggagasacara baca puisi peduli “PerangIrak” di Taman Budaya JawaTimur dan pentas seni kemanusiaan “Duka Atjeh Duka Bersama”di Taman Budaya Jawa Timur.

Sebagai penulis puisi, Aming pernah mengikuti Temu Penyair Jawa Tengah di Semarang (1983), Temu Penyair Indonesia di Taman Ismail Marzuki Jakarta (1987), dan ikut memberikan pelatihan baca puisi dan juga menjadi juri berbagai macam kejuaraan dan lomba di berbagai kota di Jawa Timur, antara lain Surabaya, Batu, Lamongan, Lumajang, Blitar, Banyuwangi, Tulungagung, Probolinggo, dan sebagainya. Karya puisinya banyak dimuat di koran dan majalah lokal dan ibu kota, antara lain Surabaya Post, Berita Buana, Republika, Singgalang, Sriwijaya Post, Banjarmasin Post, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Bali Post, dan sebagainya. Sedangkan majalah yang pernah memuat puisinya antara lain Gadis, Putera dan Puteri Indonesia, Pusara, Bende, Media, Zaman, Horison, dan Majalah Kebudayaan Basis. Kumpulan puisinya bersama rekan penyair lain, di antaranya: Tanah Persada (penyunting), Teater Persada Ngawi, 1983), Wajah Bertiga (penyunting), Sintarlistra Surabaya, 1987), Tanah Kapur (penyunting), Komunitas Teater Persada Ngawi, 1990), Kereta Puisi (kumpulan puisi, Dewan Kesenian Surabaya, 1990), Burung-Burung (penyunting), Sintarlistra Surabaya, 1990), Pagelaran, Surabaya Kotaku (penyunting), Dewan Kesenian Surabaya, 1990), Malsasa ’91 (penyunting), Dewan Kesenian Surabaya & Sufo, 1991), Malsasa ’92 (penyunting), Penerbit Sintarlistra, 1992), Semangat Tanjung Perak (penyunting, 1992), Malsasa ‘94 (penyunting, Biro Sastra Dewan Kesenian Surabaya, 1994), Bunga Rampai Bunga Pinggiran (penyunting, antologi puisi, 1995), Malsasa ’96 (penyunting, Dewan Kesenian Surabaya, 1996), Tanah Rengkah (penyunting, Komunitas Teater Persada Ngawi, 1997), Sketsa Malam (kumpulan puisi, dalam proses, 2000), Malsasa 2000 (penyunting, Balai Bahasa Surabaya, 2000), Omongan Apa Wae (penyunting kumpulan puisi, Taman Budaya Jawa Timur, 2000), Berjamaah di Plaza (kumpulan puisi, Mandiri Press Mojokerto, 2000), Mataku Mata Ikan (kumpulan puisi, DKJT, 2004), Embong Malang (kumpulan puisi, proses cetakan, 2005), Memutih Putih Begitu Jernih (Forum Sastra Bersama Surabaya, 2008), Sajak KunangKunang dan Kupu-Kupu (kumpulan sajak anak-anak, Forum Sastra Bersama Surabaya, 2008), Husst, Nyenyet, Reportase Sunyi, Memo Putih, Kabar Saka Bendul Mrisi, Drona Gugat, Tanpa Mripat dan Kutha Surabaya.

Aming Aminoedhin bertempat tinggal di Perumahan Puri Mojobaru AZ-23, Desa Canggu, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. Pos-el amri.mira@gmail.com, atau amingaminoedhien.blogspot.com. (WR)

 

Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi

Sego Tempong khas Banyuwangi

Sego Tempong (Nasi Tempong) adalah salah satu makanan tradisional yang berasal dari Banyuwangi. Makanan ini disajikan dengan berbagai lauk pauk, lalapan dan sambal yang khas.

Nama sego tempong berasal dari kata “tempong” yang dalam bahasa osing berarti “tampar”. Makanan ini dinamakan demikian karena memang ciri khas dari sego tempong ini adalah sambalnya yang pedas seakan menampar mulut orang yang memakannya.  Awalnya sego tempong merupakan bekal yang dibawa oleh masyarakat Banyuwangi ke sawah. Sego Tempong biasanya disajikan dalam porsi besar, lengkap dengan lauk pauknya untuk menambah tenaga bagi para petani yang sedang berkerja di sawah.

Cita rasa sego tempong ini terletak di sambal tempongnya. Biasanya, sambalnya baru dibuat dan masih terasa nikmat ketika disajikan. Seporsi sego tempong biasanya disajikan dengan beraneka lauk pauk seperti tahu, tempe, ikan asin dan perkedel jagung dan dilengkapi dengan sayur bayam rebus, terong rebus, mentimun dan daun kemangi sebagai lalapan pendukungya. (DI)

Sumber : https://negerikuindonesia.com/2015/08/sego-tempong-makanan-tradisional-dari.html.

Manten Kucing, Ritual Memanggil Hujan di Tulungagung

Jawa Timur kaya akan keanekaragaman budaya. Salah satunya adalah tradisi Manten Kucing yang merupakan warisan budaya tak benda dari Kabupaten Tulungagung. Tradisi itu dipercaya dapat menurunkan hujan oleh masyarakat di Desa Pelem, Kabupaten Tulungagung. Ritual ini sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda.

Tradisi “Manten Kucing” bukan berarti menikahkan dua ekor kucing.  Ini merupakan perlambang untuk memandikan kucing di Telaga Coban dan mengarak dua ekor kucing mengelilingi desa. Barisan arakan dibuat seperti pernikahan pada umumnya, seperti cucuk lampah, putri domas, manten kucing, pager ayu, taruna muda, sesepuh desa, dan dilanjutkan dengan kesenian Reog Kendang, Jaranan Senterewe, serta kesenian Tiban khas Kabupaten Tulungagung.

Kucing yang dipilih dalam ritual itu bukanlah kucing sembarangan. Kucing harus berasal dari arah paling timur dan arah paling barat dari desa tersebut. Kedua kucing ini dimandikan di Telaga Coban dan dibacakan mantra. Selanjutnya, kucing diletakkan di keranjang, lalu diarak mengelilingi kampung.

Saat ini, tradisi Manten Kucing merupakan ikhtiar Pemerintah Kabupaten Tulungagung untuk meningkatkan sektor pariwisata dengan media promosi ritual adat. Ritual permohonan hujan dilaksanakan di musim kemarau yang panjang. Selain itu, fungsi sosial yang terdapat dalam ritual adat tersebut adalah membangkitkan keakraban masyarakat di Desa Pelem sekaligus merupakan bentuk rasa syukur atas berkah Tuhan Yang Maha Esa. (DI)

(diolah dari berbagai sumber)

Abdullah Fauzi, Penyair “Dukun Santet” dari Blambangan

Abdullah Fauzi atau akrab dipanggil Fauzi atau Kang Ujik, lahir di Pengantingan, Banyuwangi 22 Juli 1965. Fauzi merupakan anak kedua dari empat bersaudara pasangan Mohamad Hisyam dan Wadiah. Sejak 1987, Fauzi menjadi guru Madrasah Ibtidaiyah Nurul Islam di Banyuwangi. Tahun 1988, ia menjadi staf tata usaha SMP Sunan Giri 1 Banyuwangi. Selain itu, ia bekerja sebagai pewarta di Radio Khusus Pemerintah Daerah Banyuwangi. Sebagai wartawan, ia pernah bekerja pada surat kabar Bali Post (1992), Banyuwangi Pos (1998), dan Gema Blambangan (1999). Saat ini, Fauzi adalah staf humas dan protokol Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Dalam komunitas sastra di Banyuwangi, Fauzi duduk pada komite teater Dewan Kesenian Blambangan (DKB). Fauzi konsisten dalam berkarya, yakni menggunakan bahasa Using.

Sampai saat ini telah banyak karya sastra yang dihasilkan, di antaranya Undharasa (2000) antologi puisi Using yang diterbitkan DKB, kumpulan puisi Dubang (2002) yang diterbitkan Pusat Studi Budaya Banyuwangi, dan Sastra Campursari (2002) yang diterbitkan Taman Budaya Jawa Timur. Khusus untuk Dubang, puisi ini menjadi bacaan wajib dalam berbagai lomba yang diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Karya Fauzi juga tersebar di berbagai surat kabar; di Surabaya Post antara lain “Cul” (1992), “Dadia Wis” (1992), “Nguber Angin”, Angin Impen” (1995), “Kali Lo, Banyu Susu” (1996), “Cempaka, Cekak” (1996), “Uler Kambang”, “Panjer Kiling”, “Wadal Suket” (1997), “Jejeg”, “Keneng Gerang”, “Wong Tani”, “Undha Sensren”, “Undha Ketepis”, dan “Entekentekan” (1998); terbit pada Banyuwangi Post antara lain, “Jejega”, “Manuk Emprit”, “Anggerangger”, “Isun Mulih”, dan “Kembang Telon” (1999); terbit di Radar Banyuwangi antara lain “Wayah Lingsir” dan “Kancil Pilek” (2001); di harian Jawa Pos antara lain “Dubang”, “Aja Pakis Paria Bain”(2002).

Selain menggunakan bahasa Using, Fauzi juga menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia, misalnya cerpen “Inah Jadi Lakon” (1998), antologi puisi Detak (1997), puisi “Gandrung” (2001), antologi puisi Wirid Muharram (2001), antologi puisi Dzikir (2001), Menara 17 (2002), Gayuh, dan Tilawah (2003). Kang Ujik pernah pula memenangi juara baca puisi Using, lomba dongeng Using, dan juara lomba baca wangsalan pada tahun 2001. Penghargaan yang pernah didapat adalah sebagai pengabdi seni dan budaya daerah dari Pemerintah Kabupaten Banyuwangi (2002). Penyair “substantif” ini menulis puisi, cerpen, esai yang tersebar di berbagai media massa, di antaranya Tabloid Gema Blambangan, Gandrung Post, Banyuwangi Post, koran Banyuwangi (Redaksi), majalah Budaya Seblang (Redaktur), majalah Budaya Jejak, dan lain-lain. Di sela-sela kesibukannya sebagai pegawai negeri sipil (PNS), penyair “Dukun Santet” ini aktif di berbagai lembaga seni dan budaya sekaligus menjadi Pengurus Dewan Kesenian Blambangan (DKB) Komite Teater, Pengawas Yayasan Pusat Dokumentasi Budaya Banyuwangi (PDBB), Wakil Ketua Kelompok Peduli Using (Kepus), Pimpinan Redaksi Buletin Baiturrahman (2000—2001) dan sampai sekarang sebagai tim redaksi sekaligus menjadi Koordinator Humas dan Informasi Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi.

 

Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa TimurBalai Bahasa Provinsi Jawa Timur.

MASA KLASIK PASURUAN DALAM CATATAN KUNO

“Sampai Pasuruan menyimpang jalan ke selatan menuju Kepanjangan, menganut jalan raya kereta lari beriring-iring ke Andoh Wawang, ke Kedung Peluk dan ke Hambal, desa penghabisan dalam ingatan, segera Baginda menuju kota Singasari bermalam di balai kota.

Prapanca tinggal di sebelah barat Pasuruan ingin terus melancong, menuju asrama Indarbaru yang letaknya di daerah desa Hujung, berkunjung di rumah pengawasnya, menanyakan perkara tanah asrama, lempengan piagam pengukuh diperlihatkan, jelas setelah dibaca.”

Demikianlah kitab Negarakertagama atau Desawarnana pupuh ke-35 menyebut Pasuruan sebagai tempat strategis, sebuah jalan simpang. Pada masa kuno, Pasuruan juga dikenal sebagai bandar kuno terutama di kawasan pesisir dekat Selat Madura. Daerah ini dikenal sebagai pelabuhan transit dan perdagangan antar bangsa sejak tempo doeloe. Letaknya demikian strategis. Tak heran, tempat ini selalu menjadi rebutan beberapa kerajaan besar di Jawa. Namun, pada masa sekarang Pasuruan tidak hanya dikenal dengan bandarnya, tetapi daerah pegunungannya yang ciamik menyimpan banyak cerita, terutama menjadi muara persilangan budaya beberapa kerajaan besar pada masa lampau, sebagaimana gurat kitab kuno yang dinukil dalam pembuka tadi.

Hal itu sebagaimana yang terungkap dalam sejarah, bahwa pada masa klasik, Pasuruan yang nama klasiknya adalah Pasuruhan, cukup lama dikuasai raja-raja kerajaan di Jawa Timur. Tercatat pada dasa warsa pertama abad XVI yang menjadi raja adalah Pati Supetak, ada pula yang menyebutnya Pate Sepetat. yang disebut sebagai pendiri ibukota Pasuruan, dalam Babad Pasuruan dengan nama Gembong. Ia adalah menantu Pati Pimtor, raja yang berkuasa di Blambangan, juga menantu Raja Madura. Ia masih punya keterkaitan keluarga dengan pembesar Majapahit. Nama Sepetat ini diduga identik dengan Menak Sapetak atau Menak Supetak dalam catatan sejarah Blambangan.

Pasuruhan sebagai nama lokasi atau wilayah memang baru pertama kali tercatat dalam kitab Negakertagama atau yang disebut dengan Desawarnana. Kitab itu berbentuk kakawin dan digurat oleh Mpu Prapanca pada saat mengikuti perjalanan Prabu Hayam Wuruk (1350—1389) ke Lumajang pada 1281 Saka (1359 M). Toponimnya mengarah pada dua arti: yaitu tempat daun Suruh tumbuh atau tempat orang yang mendapat perintah raja bertempat tinggal. Meski demikian, berdasarkan tinggalan arkeologis dan khasanah lama, di wilayah Pasuruhan sudah sejak dulu berdiri pemukiman kuno, bahkan tilas peradaban pada masa sebelum Majapahit juga bisa ditemukan di hampir semua wilayah itu. Bukti itu menandakan Pasuruhan merupakan kota tua.

Nama Pasuruhan muncul dua kali dalam kitab Negarakertagama. Pasuruhan disebut pada pupuh 34: 1, yang disambung pada pupuh 35: 1. Selain Pasuruhan, beberapa nama-nama desa yang kini masuk wilayah Pasuruhan, juga disebut dalam karya di era Jawa Kuno tersebut. Nigel Bullough, yang bernama Jawa Hadi Sidomulyo, dalam bukunya ‘Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca’ menyebut tidak kurang dari 25 tempat Pasuruhan disebut dalam 17:10 sampai 21: I. Hal itu berlanjut pada pupuh 34:4—35:3, sebanyak 6 tempat/desa, kemudian pada pupuh 55:2—58:1, terdapat tidak kurang dari 16 tempat/desa yang masuk wilayah administratif Pasuruhan disebut.

Sidomulyo pun ‘mengabadikan’ beberapa tilas atau situs masa lalu dari penanda perjalanan itu dalam gambar-gambar foto seperti kepala ‘kala’ di Desa Banyubiru, Kec. Winongan, watu gong di Desa Pager, bentuk yoni di Desa Kapulungan, Kec. Gempol, Candi Jawi, dan lainnya. Tempat-tempat itu memang dicatat Rakawi Prapanca dalam kitab Negarakertagama.

Jauh sebelum Majapahit berdiri, di wilayah Pasuruhan tempo doeloe sudah terstruktur bentuk pemukiman penduduk. Terbukti, tinggalan masa lalunya yang masih bisa dijumpai hingga kini. Diantaranya, Prasasti Cunggrang yang ditemukan peneliti Belanda pada 1836, di Dusun Sukci, ada pula yang menyebutnya Dusun Suci, Desa Bulusari, Kec. Gempol. Prasasti itu dikeluarkan oleh raja Pu Sindok, yang bertanggal 12 Suklapaksa, bulan Asuji tahun 851 Saka, yang bertepatan dengan 18 September 929 Masehi. Isinya antara lain Pu Sendok memerintahkan agar rakyat Cunggrang, yang termasuk wilayah Bawang, di bawah pemerintahan Wahuta Tungkal untuk menjadi Sima (tanah perdikan) bagi pertapan di Pawitra (Gunung Penanggungan), dan memelihara pertapaan dan prasada juga memperbaiki bangunan pancuran di gunung tersebut.

Lokasi Cunggrang yang dimaksud dalam isi prasasti berlokasi tidak jauh dari situs, yaitu Dusun Jembrung, masuk Desa Bulusari. Masyarakat menyebut dusun itu dengan Jonggrang. Di situ masih dijumpai bukti arkelologis berupa struktur bata kuna yang berbentuk saluran air yang menghubungan dua sungai yang mengalir di kawasan tersebut. “Bukti arkeologis menunjukkan bahwa pada abad X Masehi, di daerah tersebut sudah ada pemukiman yang telah teratur strukturnya,” tegas sumber dari tim yang menelusuri sejarah asal mula Pasuruhan.

Prasasti lain yang dikeluarkan oleh Pu Sindok adalah prasasti Gulung-Gulung. Penanda waktu prasasti ini bulan Baicaka, tahun 851 Saka. Tanggal tersebut bertepatan dengan 20 April 929 M. Isi prasastinya penetapan perdikan sawah di Desa Gulung-Gulung dengan besar pajak 7 su dan hutan di Bantaran untuk bangunan keagamaan di Himad. Disebut juga terdapat tanah perdikan khusus (disebut sima putraswa) di Batwan, Curu, Ergilang, dan Gapuk.

Diantara nama-nama tempat itu Gapuk menarik perhatian karena dalam Negarakertagama disebut berurutan dengan toponim yang ada di Pasuruhan, yaitu Gapuk, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lumbang. Hadi Sidomulyo, menjelaskan Gapuk terletak di selatan Rejoso, jarak dari Winongan 4 km ke arah barat laut. Jika pengidentifikasian itu benar, pada 20 April 920 Masehi, bahkan bisa jauh sebelumnya, di Gapuk yang masuk wilayah Pasuruhan itu telah ada pemukiman yang teratur, malah daerah itu telah menjadi perdikan khusus.

Pascakekuasaan Pu Sendok, yaitu pada masa Prabu Airlangga, Kediri dan Singosari, bukan berarti di kawasan Pasuruhan sepi dari lalu-lintas peradaban. Beberapa situs terbukti merupakan peninggalan zaman ini. Bahkan, berdasar survei Balai Arkeologi Yogyakarta tanggal 14 Nopember 2001, ditemukan sebuah prasasti pendek di Dukuh Pakan, Desa Jembrung. Kec. Gempol. Tulisan dipahat secara timbul, merupakan angka tahun bergaya kuadrat (gaya tulisan Jawa Kuno pada masa kerajaan Kediri), angka tahunnya terbaca 957 Saka atau 1035 Masehi.

Pada masa berdirinya Majapahit, wilayah Pasuruan juga diabadikan dalam prasasti yang sangat mashur yaitu Kudadu. Prasasti ini diterbitkan oleh Raden Wijaya pada 1216 saka atau 11 September 1294, sebagai balas budi Raden Wijaya pada kepala Desa Kudadu yang telah menyelamatkan diri dan pengikutnya. Di antara daerah di Pasuruan yang masih bisa dilihat hingga kini dan tercatat dalam prasasti adalah Kapulungan (Desa Kapulungan, Kec. Gempol), Rabut Carat (Dusun Carat, Kec. Gempol), dan Kedung Peluk. Pasca Hayam Wuruk, pada tahun saka 1395 atau tanggal 14 Mei 1473, seorang raja Majapahit Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramarddhana Namadewabhiseka membuat prasasti, yang disebut Prasasti Pamintihan. Dalam prasasti itu disebut Gempol sebagai salah satu dari 8 desa perdikan. Gempol yang dimaksud dalam prasasti adalah Gempol sekarang.

Pada masa Klasik, posisi Pasuruhan memang demikian strategis. Situs masa lalu telah mengabarkan hal itu. Bahkan, ada yang yang menyebut kawasan ini sebagai daerah dengan seribu situs. Sumberdaya arkelogis Pasuruhan demikian melimpah. Mulai zaman prasejarah, tepatnya Paleolitik atau zaman batu hingga masa kolonial di Indonesia. Bahkan pada masa Klasik, yaitu masa Jawa Kuno atau Hindu, peninggalan masa lalu di Pasuruhan masih bisa dijumpai dan begitu banyak. Situsnya tersebar di pelosok-pelosok desa. (MA)

 

Ketegasan Ragam Gerak Tari Bapang

Sebagai salah satu daerah yang terkenal dengan seni budaya, Malang memiliki daya tarik untuk dijadikan bahan pengetahuan dan edukasi. Tari topeng Malangan merupakan kesenian asli Malang. Salah satu jenis tari topeng adalah tari bapang. Bapang adalah salah satu tokoh dari topeng Malangan yang memiliki karakter gagah.

Pada mulanya, pementasan tari bapang dan topeng Malangan menjadi satu. Drama tari topeng Malangan dibagi menjadi beberapa adegan atau babak. Salah satunya adalah penampilan tari bapang, yang umumnya menjadi penjeda antar adegan. Tari bapang ditarikan secara tunggal karena tidak banyak muncul pada drama tari Topeng Malangan. Munculnya Tari Bapang dalam drama tari tunggal menjadi bentuk keberagaman seni budaya di Malang.

Tari Bapang ditarikan menggunakan topeng. Topeng yang digunakan merupakan salah satu tokoh Topeng Malangan yaitu Bapang. Topeng tersebut berwarna merah, berhidung panjang dan mata yang lebar membuat Tari Bapang berbeda dari tarian topeng lainnya. Gerakan dalam tari ini berdasarkan dua faktor yaitu gerak ketegasan dan gerak irama musik.

Gerak ketegasan melambangkan kegagahan. Hal tersebut ditandai dengan gerakan tangan yang lebar, merentang ke kanan dan kiri dan mengangkat salah satu kaki.

Gerak irama musik sudah dikembangkan sedemikian rupa agar lebih menarik dimana penari harus bisa menyesuaikan gerakan tarian dengan irama musik. Tanda dimulainya Tarian Bapang adalah dengan menghentakkan kaki ke tanah sesuai dengan iringan irama musik, lalu menunjukkan pola gerakan kepala dengan menengok ke kiri dan ke kanan secara terus menerus seiring dengan gerakan tarian. Tari Bapang juga memiliki keunikan, yaitu tangan penari selalu terbuka lebar sebagai simbol kegagahan tokoh Bapang. Di lain sisi, Tari Bapang juga memiliki keunikan yaitu berperan dalam pembentukan karakter.

 

Nilai religi seperti toleransi, nilai nasionalis seperti penghargaan budaya bangsa, nilai independen seperti kerja keras dan kerjasama, serta nilai integritas seperti tanggung jawab dan komitmen moral merupakan sektor yang ada dalam nilai pendidikan karakter. Dikaitkan dengan nilai budaya yang ada, tari bapang khas Kota Malang masuk dalam kriteria nilai pendidikan karakter. Hal ini tertulis pada karya yang berjudul “Implementasi Pendidikan Karakter ‘Kearifan Lokal Malang’ pada Ektrakulikuler Tari Topeng Bapang dan Karawitan Jawa di SD Taman Muda 02 Malang” yang diteliti oleh Lollah Dwi Anggraeni.

Melalui keunikan-keunikan Tari Bapang yang sangat menarik, maka perlu upaya-upaya untuk tetap melestarikan seni budaya asli Malang tersebut. Tentu saja, tujuannya adalah untuk menjaga keberagaman seni terutama seni budaya yang menjadi ikon Malang ini. Salah satu upaya dalam melestarikan Tari Bapang adalah dengan menjadikan tarian tersebut masuk ke dalam ajaran non-akademik di kalangan pendidikan.

“Tari Topeng Bapang dikenal dengan karya maestro Mbah Karimun, ini merupakan kesenian warisan yang wajib dikenalkan kepada anak didik untuk melestarikannya,” kata Sanimin Hadi Subagyo, Kepala Sekolah SDN Permanu 3 Malang, ketika dikutip dari Detik.com.

Perlunya pelestarian seni budaya Tari Bapang, dikarenakan tarian tersebut hanya ada di Malang sehingga Malang tidak akan kehilangan seni budaya asli miliknya. Bentuk pelestarian juga tidak hanya mengenal apa itu Tari Bapang tapi juga bisa memperagakan Tari Bapang. Jadi, ayo Ker kita jaga warisan seni budaya milik kita! (WR)