Suharmono Kasiyun, Sastrawan Jawa dari Kota Reog

Pengarang kelahiran Ponorogo tanggal 19 Maret 1953 ini sering menggunakan nama samaran Anam Rabus. Sejak tahun 1988 sampai sekarang, dia menjadi pustakawan di Unesa. Bahasa Indonesia dan bahasa Jawa digunakan dalam upaya mengekspresikan jiwa dan idealismenya karena kedua bahasa itu dikuasainya dengan baik. Menulis sudah merupakan bagian hidupnya. Selama menjadi pengarang sastra Jawa, ia tidak banyak mengalami kesulitan. Sebagai pengarang sastra Jawa, ia berharap agar masyarakat etnis Jawa mau menghargai budaya Jawa. Banyak karyanya yang mendapat penghargaan, salah satunya adalah novel berjudul Den Bagus yang pernah menjadi juara harapan sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1980.

Pengarang kelahiran Ponorogo tanggal 19 Maret 1953 ini sering menggunakan nama samaran Anam Rabus. Ia menyelesaikan SR (1960—1966) dan SMP (1967— 1969) di Ponorogo. Selanjutnya,Sedangkan jenjang SMA (1970—1973) dilaluinya di tiga kota, yaitu Ponorogo, Madiun, dan Surabaya. Tahun 1975— 1978, dia menempuh pendidikan Sarjana Muda di IKIP Surabaya, dilanjutkan dengan S-1 di IKIP Malang. Selain itu, Sekarang ia telahberkesempatan menempuh pendidikan S-3. Sejak tahun 1988 sampai sekarang, dia aktif bekerja di Unesa. 

Suharmono lahir sebagai anak bungsu dari sebelas bersaudara pasangan Sumiyatin dan Kasiyun Atmo Sukarto yang berasal dari Ponorogo, tepatnya di Desa Kauman, Kecamatan Kauman, Sumoroto, Kabupaten Ponorogo. Pernikahannya dengan Zuhrowati pada tahun 1983 dikaruniai tiga orang anak. Bersama keluarganya, pengarang yang mulai menulis dalam bahasa Indonesia untuk majalah dinding sekolah pada tahun 1972 ini sekarang bertempat tinggal di Jalan Mangga IV/H-35 Pondok Candra Indah Surabaya 60400. Karangannya, yang pertama terbit di koran Sinar Kota dan tidak mendapat bayaran. Pengarang yang memperoleh kemampuan mengarangnya secara otodidak ini termotivasi menjadi pengarang karena ingin terkenal. 

Media bahasa Indonesia dan bahasa Jawa digunakan dalam upaya mengekspresikan jiwa dan idealismenya karena kedua bahasa itu dikuasainya dengan baik. Menulis sudah merupakan bagian hidupnya. Selama menjadi pengarang sastra Jawa, ia tidak banyak mengalami kesulitan. Orang yang dianggap membantu proses kreatifnya adalah Suripan Sadi Hutomo. Wawas rambahnya cukup luas, terbukti dari tulisan-tulisannya yang tidak hanya berupa novel, tetapi juga crita cekak dan geguritan. Ia memang ingin menulis semua genre sastra. 

Sebagai pengarang sastra Jawa, ia berharap agar masyarakat etnis Jawa mau menghargai budaya Jawa. Karya-karyanya seperti (1) Den Bagus (novel) pernah menjadi juara harapan sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1980; (2) cerkaknya yang berjudul “Tatu-tatu Lawos” (cerkak) memenangkan lomba penulis cerkak Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) tahun 1980; (3) Kidung Katresnan (novel) memenangkan juara harapan sayembara novel PKJT tahun 1981, (4) Pupus Kang Pepes dinilai sebagai crita sambung terbaik Panjebar Semangat dalam kurun waktu lima tahun, dan (5) Pupus kang Pepes mendapat hadiah dari Yayasan Rancage tahun 1999. Karya yang berbentuk puisi dimuat di majalah Penjebar Semangat, Jaya Baya, dan Kumandang sejak tahun 1974 sampai sekarang. 

“Kidung Langsir Wengi”, “Ing Pucuk Gagak Layar Dakcancang Gendera Putih”, “Mujahidin Perak”, “Tandong”, “Ketudangan”, “Doran”, “Mitraku”, “Wus”, “Kidung Kayu Aking”, “Wengkar”, “Jalatunda”, “Guritan Kapang”, “Lintang-lintang”, “Udan Riwis-riwis Kenya Manis”, “Lajnaran”, “Doran”, “Dukuh Kupang”, “Panguripan”, “Pasuruan”, “Kampus”, “Keluke Cerobong Pabrik”, “Pomahku Omah Putih”, “Perang Kembang”. Karya yang terbit dalam buku antologi bersama antara lain: “Mujahidin Perak”, “Kelandengan”, “Kidung Kayu Aking”, “Mitraku”, dan “Wus” dalam Kabar Saka Bendulmrisi: Kumpulan Guritan (PPSJS, 2001); “Kidung Kayu Aking” dalam Drona Gugat (Bukan Panitian Parade Seni WR Supratman, 1995); dan lain-lain. Karyanya yang berupa crita cekak dalam Panjebar Semangat dan Jaya Baya tahun 1973 sampai sekarang “Subuh”, “Peteng Sing Ireng”, “Sanip Tambak Oso”, “Biotrop”, “Ratni”, “Tumbal”, “Bapa”, “Andheng-andheng Ngisor Lambe”, “Sore Ing Pesisir”, “Tatu-tatu Lawas”, “Gombak”, “Barong Dance”, “Sahadewa”, “Warok”, “Wiramane Lagu Dangdut”, “Musibah”, “Surup”, “Prahara”, “Tangga Anyar”, “Ratin”, dan lainlain. Karyanya yang berbentuk crita sambung adalah “Gerimis” (Jaka Lodang, 1980), “Kidung Katresnan” (Penjebar Semangat, 1986), “Guwing” (Jaya Baya, 1989), “Pupus Kang Pepes” (Panjebar Semangat, 1991), dan “Edan”(Jaya Baya, 1997), Kesibukannya yang lain adalah menjadi sekretaris PPSJS tahun 1977—1990, Ketua Umum PPSJS 1990—1994 dan kemudian menjadi ketua umum lagi pada periode 2001—2004. Sejak tahun 1993 sampai sekarang mengisi siaran Seni, Basa, lan Kasusatraan Jawa di RRI Surabaya.

Shoim Anwar, Cerpenis dari Kota Beriman

Shoim Anwar merupakan cerpenis dari Kota Beriman, alias Jombang, Jawa Timur. Ia saat ini berkeja sebagai pengajar di beberapa sekolah maupun perguruana tinggi swasta. Kegemaran memelihara burung juga mengilhami ia menulis cerita pendek berjudul “Sang Guru dan Perkutut”. Selain itu, Shoim juga aktif dalam dunia seni dan budaya. Cerpen pertamanya berjudul “Potret Siti Fatonah” dibuat tahun 1985. Sosok Shoim Anwar yang berkaitan dengan kegiatan kreatif dibuktikan dengan terpilihnya cerpen-cerpennya dalam beberapa sayembara mengarang atau menulis cerpen tingkat nasional.

Shoim Anwar atau yang bernama lengkap Mohammad Shoim Anwar merupakan cerpenis Jawa Timur. Shoim Anwar dilahirkan di desa Sambong Dukuh, Jombang, Jawa Timur tanggal 16 Mei 1963. Ayahnya bernama Anwar (almarhum), seorang wiraswasta, yang bertempat tinggal di Jombang, beragama Islam, dan bersuku Jawa. Sementara ibunya bernama Tianah, ibu rumah tangga, yang tinggal di Jombang, dan bersuku Jawa. Shoim Anwar terlahir sebagai anak kelima dari tujuh bersaudara. Saat masih kecil, Shoim Anwar—lazimnya anak desa— bercita-cita menjadi juru tulis di kantor. Ia menem-puh pendidikan sekolah dasar (SD) di Jombang hingga tamat tahun 1978. Selanjutnya, ia belajar ke sekolah menengah pertama (SMP) dan tamat pada tahun 1981. Ketika SMP, ia berada di pesantren. Situasi lingkungan seperti pesantren membuat ia semakin gemar menulis.

Pendidikan SMA ditempuh di sekolah pendidikan guru (SPG) dan lulus tahun 1984. Dia kemudian melanjutkan kuliah di IKIP Surabaya (Unesa), mengambil program S1 Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, dan lulus pada tahun 1989. Selanjutnya, ia mendapat beasiswa dari Unesa untuk melanjutkan kuliah pascasarjana, dan diwisuda pada tanggal 17 April 2004. Tesisnya berjudul “Soeharto Sebagai Sumber Inspirasi Penciptaan Cerita Pendek Indonesia”. Sekarang, Shoim bekerja sebagai guru di beberapa sekolah dan dosen di perguruan tinggi swasta. Shoim Anwar menikah dengan Setyowati, seorang guru SMP Negeri 20 Surabaya, pada tanggal 8 November 1990. Sejak tahun 1984 M. Shoim Anwar telah mengajar sekolah dasar di Jombang, dan sampai sekarang ia tetap mencintai profesi sebagai seorang pendidik. Selain menulis cerita, M. Shoim Anwar mempunyai kegemaran melukis dan memelihara burung. Di rumahnya, ada beberapa hasil lukisan Shoim Anwar terpampang di dinding. Kegemaran memelihara burung juga mengilhami ia menulis cerita pendek berjudul “Sang Guru dan Perkutut”, meskipun menurutnya cerpen itu tertulis sebelum ia memiliki hobi memelihara burung perkutut. Selain terlibat di dunia pendidikan, Shoim juga menggeluti kebudayaan. Ia sangat aktif dalam menggeluti dunia seni dan budaya. Pada tahun 2004, ia mendapat kepercayaan dari pemerintah Provinsi Jawa Timur sebagai ketua PSN (Pertemuan Sastrawan Nusantara), yang kebetulan pelaksanaannya di Surabaya, tanggal 27—30 September 2004. Karier Shoim Anwar di bidang tulis menulis berawal dari surat kabar Surabaya Post.

Tulisan M. Shoim Anwar berwujud cerita-cerita pendek. Cerpen pertamanya berjudul “Potret Siti Fatonah” dibuat tahun 1985. Sejak saat itulah, cerpen-cerpen karya Shoim Anwar membanjiri berbagai surat kabar terbitan Jawa Timur, seperti Jawa Pos, Surabaya Post, Surya, dan berbagai majalah sastra Horison, Gema, dan Basis. Karier Shoim Anwar di dunia pendidikan berawal dari guru sekolah dasar tahun 1984. Pada tahun 1989—1995, Shoim Anwar menjadi guru di SLTP YPPI 2 Surabaya. Berikutnya, tahun 1989—2000 ia mengajar di SMA YPPI 1 Surabaya. Sejak tahun 1999—sampai sekarang menjadi dosen di Universitas Widya Darma Surabaya, tahun 2001— sampai sekarang menjadi dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya, dan sejak tahun 2002— sampai sekarang menjadi guru di SMP Al Hikmah Surabaya. Dalam peta perjalanan sastra Indonesia, Shoim Anwar tercatat sebagai pengarang era 80-an. Shoim Anwar sangat produktif dalam berkarya. Suripan Sadi Hutomo (almarhum) menyebutnya sebagai pengarang yang berkaliber internasional, bersama Budi Darma, Muhammad Ali, Zawawi Imron, dan Moes Loindong (almarhum). Kecenderungan karya cerpen M. Shoim Anwar menyuarakan masalah kritik sosial adalah hal yang wajar, karena Shoim Anwar memang hidup di era orde baru yang sarat bersentuhan dengan masalah sosial, politik, ekonomi, moral, dan sebagainya.

Sosok Shoim Anwar yang berkaitan dengan kegiatan kreatif dibuktikan dengan terpilihnya cerpen-cerpennya dalam beberapa sayembara mengarang atau menulis cerpen tingkat nasional. Selain itu, Shoim tidak pernah melewatkan kesempatan itu. Tiga kali berturut-turut menjadi juara pada lomba menulis cerpen dan esai, di antaranya tiga kali berturut-turut menjadi juara pada lomba penulisan cepen yang diadakan Dewan Kesenian Surabaya (1988, 1989, dan 1990) yaitu cerpen berjudul “Brundy Drummond” (1988) yang diikutsertakan pada pameran kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat (KIAS 1990—1991); “Laki-laki Bercelurit” (1989), dan “Cerpen Musim Gugur” (1990). Tahun 2000 sampai dengan 2003 cerpen-cerpennya juga menjuarai tingkat nasional, yaitu mendapat hadiah dari Departemen Pendidikan Nasional. Cerpen yang mendapat hadiah tersebut berjudul “Para Pedansa”, “Dia Bukan Anakku”, “Laboratorium Tikus”, dan “Di Tengah Kemarau”. Beberapa cerpennya masuk dalam antologi berbahasa Indonesia dan Inggris, yaitu Cerita Pendek dari Surabaya (penyunting Suripan Sadi Hutomo); Negeri Bayang-Bayang (penyunting Zawawi Imron, dkk.); Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (penyunting Korrie Layun Rampan); Dari Fansuri ke Handayani (penyunting Taufik Ismail, dkk.); Horison Sastra Indonesia (penyunting Taufik Ismail, dkk.); New York After Midnight (penyunting Satyagraha Hoerip); dan Beyond the Horizon (penyunting David T. Hill) Berikut ini hasil karya cerpen M. Shoim Anwar yang berhasil diinventarisasi: (1) “Potret Siti Fatonah”, Surabaya Post 17 Oktober 1985; (2) “Jantung”, Surabaya Post Mei 1994; (3) “Bilawal” Surabaya Post Januari 1996; (4) “Dandung Awuk Menggiring Banteng”, Jawa Pos 28 Juli 1986; (5) “Perempuan Berpijar Ungu”, Surabaya Post 24 Agustus 1997; (6) “Catatan Kematian”, Jawa Pos 15 Agustus 1997; (7) “Daerah Garong”, Surabaya Post 25 Januari 1998; (8) “Prabandari Dalam Demonstran”, Surabaya Post 19 Juli 1998; (9) “Jenazah Orang Besar”, Surabaya Post 3 Januari 1998; (10) “Janji Ketua Parlemen”, Jawa Pos 7 Maret 1999; (11) “Dia Bukan Anakku”, Surabaya Post 15 Agustus 1999; (12) “Kutu Loncat”, Jawa Pos 10 Oktober 1999; (13) “Menunggu Abad Berlalu”, Surabaya Post 2 Januari 2000; (14) “Perampok”, Surabaya Post 2 Juli 2000; (15) “Paket”, Suara Merdeka 5 November 2000; (16) “Laboratorium Tikus”, Horison 25 Maret 2001; (17) “Penumpang Gelap”, Surabaya Post 1 April 2001; (18) “Blawong”, Surabaya Post 19 Agustus 2001; (19) “Para Pedansa”, Jawa Pos 30 September 2001; (20) “Perempuan Terakhir”, Jawa Pos 19 Mei 2002; (21) “Tiga Perempuan”, Suara Merdeka 14 Juli 2002; (22) “Tikus Parlemen”, Jawa Pos 26 Januari 2003; (23) “Devia”, Jawa Pos 20 Agustus 2000; (24) “Sunyahni”, Basis Mei-Juni 1997; (25) “Sulasih”, Surabaya Post 3 Oktober 1999; (26) “Kiai Badrun, Roji, dan Istri-istrinya”, Suara Merdeka 14 Juli 2002; (27) “Perempuan Penjaga Gudang”, Jawa Pos 24 November 1996; (28) “Dari Rumba ke Salsa”, Jawa Pos 30 Januari 2002; (29) “Baginda Itu Human Error”, Horison Mei 1999; (30) “Kami Cemburu”, Suara Merdeka 5 November 2000; (31) “Di depan Gedung Parlemen”; (32) Oknum (kumpulan cerpen), 1992, terdapat tujuh cerpen, yaitu “Oknum” (Surabaya Pos 19 Januari 1992), “Brundy Drummond” (Horison Januari 1988), “Musim Gugur” (Horison Oktober 1989), “Luka Memanjang” (Horison November 1991), “Laki-laki Bercelurit” (Surabaya Post 20 November 1988), “Gembrit Foury” (Gema Juli 1989), “Awak Ludruk” (Horison Januari 1991); (33) Musyawarah Para Bajingan (kumpulan cerpen), terdapat sebelas cerpen, “Musyawarah Para Bajingan” (Horison Maret 1992), “Sang Penari Barong” (Surabaya Post, November 1990), “Laki-laki Dalam Kerapan” (Surabaya Post, Juni 1992), “Perempuan Tawanan” (Surabaya Post, Agustus 1992), “Gairah Para Undangan” (Surabaya Post, Agustus 1992), “Sebiji Pisang Dalam Perut Jenazah” (Horison, April 1993), “Kematian Bapak” (Surabaya Post, November 1989), “Pak Sampah” (Surabaya Post, November 1990), “Sang Guru dan Perkutut” (Surabaya Post, Juni 1989), “Mati Empat Kali”. (Surabaya Post, Desember 1987), dan “Jabat Terakhir” (Surabaya Post, Juni 1987); (34) Pot dalam Otak Kepala Desa (kumpulan cerpen), terdapat dua belas cerpen, yaitu “Pot dalam Otak Kepala Desa” (Surabaya Post, November 1993), “Kembali Makan Gaplek” (Horison, Juli 1994), “Beringin Tua” (Surabaya Post, Januari 1993), “Tiga Kandidat” (Surabaya Post, Januari 1994), “Jantung” (Surabaya Post, Mei 1994), “Kakek” (Surabaya Post, 1993), “Sulistini” (Surabaya Post, Mei 1993), “Aroma Celurit” (Surabaya Post, 1995) “Ketika Pawai Berakhir” (Surabaya Post, Juli 1994), “Di Tengah Arena” (Surabaya Post, November 1993), “Guling” (Surabaya Post, 1994), dan “Rendemen” (Horison, Juli 1997).

Ratna Indraswari Ibrahim, Cerpenis asal Kota Apel

Lahir di Malang, Jawa Timur pada tanggal 24 April 1949. Ratna adalah satu dari sepuluh putra-putri pasangan H. Saleh Ibrahim dan Hj. Siti Bidasari Ibrahim binti Arifin. Kedua orang tua Ratna berdarah Minang, dan merupakan pemeluk Islam yang taat. Ratna menyelesaikan pendidikan SD hingga SMA di Malang, yakni SD Kristen Brawijaya, SMP Negeri 2, dan SMA Negeri 1. Dia pernah mengenyam pendidikan di FIA Universitas Brawijaya, Malang, meskipun tidak dilanjutkannya lagi. Dalam berkarya, Ratna termasuk pengarang yang produktif. Selain karya yang sudah dibukukan, karya-karya sastra Ratna banyak dimuat di surat kabar. Beberapa orang bahkan menjulukinya sebagai “sastrawan koran”. Tema-tema yang ia angkat dalam sebagian besar karyanya selalu berbicara tentang kemanusiaan dan kehidupan manusia di sekitar ia hidup. Menulis, bagi Ratna, merupakan sarana pengaktualisasian diri dan merupakan perwujudan eksistensinya dalam dunia yang digeluti sekarang ini. Mengawali karier kepenulisan pada usia 25 tahun, ia mantap memilih profesi itu sebagai jalan hidupnya setelah memutuskan untuk meninggalkan studinya di FIA Universitas Brawijaya. Belajar menulis secara otodidak, Ratna mengakui terinspirasi oleh kedua orang tuanya yang memiliki hobi membaca.

Cerita pendek pertama karya Ratna berjudul “Jan”, dimuat di majalah remaja MIDI tahun 1974. Honor yang diterima saat itu sebesar sepuluh ribu rupiah. Di samping menulis, ia aktif di berbagai bidang organisasi sosial, di antaranya pernah menjabat sebagai Direktur I LSM Etropic Malang (1998), Litbang Yayasan Kebudayaan Pajoeng Malang (1998), dan pendiri Forum Kajian Ilmiah Pelangi (2001). Berbagai predikat dan penghargaan pernah disandangnya, yakni Wanita Berprestasi dari Pemerintah Republik Indonesia (1994), penghargaan sebagai penggerak sastra oleh Gubernur Jawa Timur (2002), dan penghargaan sebagai Wanita Berprestasi Bidang Organisasi dan Manajemen (1999). Untuk yang terakhir, Ratna menolak predikat tersebut. Berbagai prestasi dalam dunia kepengarangan telah diraih Ratna. Dia pernah meraih juara I penciptaan puisi yang diselenggarakan oleh Bali Post (1980) dan juara III sayembara penulisan cerpen dan cerbung majalah Femina (1996—1997). Sejumlah cerita pendeknya masuk dalam Antologi Cerita Pendek Pilihan Kompas (1993—1996 dan 2000—2001), Antologi Cerita Pendek Pilihan Surabaya Post (1993), Antologi Cerita Pendek Yayasan Lontar Indonesia (1996), dan Antologi Cerita Pendek Perempuan ASEAN (1996). Karya-karya Ratna yang sudah dibukukan antara lain Antologi Cerpen Menjelang Pagi (Balai Pustaka, 1994), Antologi Cerpen Namanya Massa (LKIS, 2000), Antologi Cerpen Lakon di Kota Kecil (Jendela, 2002), Antologi Cerpen Aminah di Suatu Hari (2002), Antologi Cerpen Sumi dan Gambarnya (Gramedia Pustaka Tama, 2003), Antologi Cerpen Noda di Pipi Seorang Perempuan (Tiga Serangkai, 2003), Antologi Cerpen Perasaan Perempuanku (Matahari, 2004), Antologi Cerpen Bajunya Sini (Sava Media, 2004), serta cerpen-cerpen untuk Antologi Cerpen Pilihan Kompas (1994—2004, kecuali tahun 1999), novel Lemah Tanjung (Grasindo, 2003), dan Novelet Bukan Pinang Dibelah Dua (Gramedia, 2003). Ratna Indraswari Ibrahim tutup usia pada umur 62 tahun. Ratna meninggal pada 28 Maret 2011 di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar, Malang.

Raden Timur Budi, penyair dari Pulau Garam

Timur Budi Raja atau akrab dipanggil Timur adalah salah satu penyair dari pulau garam, Madura. Dalam diri Timur masih mengalir darah biru, terbukti dengan melekatnya gelar Raden di depan namanya. Sebagai penyair, Timur masih sangat muda usianya. Ia telah menulis sajak sejak kelas 4 SD. Selain menulis sajak dan prosa lirik, ia juga menulis beberapa naskah drama dan esai kebudayaan. Beberapa sajaknya telah memenangkan lomba cipta puisi. Tahun 1998, Timur memenangkan Lomba Cipta Puisi (LCP) se-Madura sebagai juara I. Timur juga menyutradarai beberapa pementasan teater, di antaranya Nyare Madura (2003) yaitu sebuah pementasan musik-teater di Unijoyo dalam rangka pertukaran budaya mahasiswa Oxford Madura. Hasil karyanya pertama kali dimuat tahun 1997 bergenre puisi dengan honorarium lima belas ribu rupiah.

Timur Budi Raja atau akrab dipanggil Timur adalah salah satu penyair dari pulau garam Madura. Dalam diri Timur masih mengalir darah biru, terbukti dengan melekatnya gelar raden di depan namanya. Sebagai penyair, Timur masih sangat muda usianya. Ia dilahirkan di Bangkalan, 1 Juni 1979. Darah seninya mengalir dari sang ayah, Syarifuddin Dea. Timur Budi Raja menikah dengan Salis Susmiati. Timur Budi Raja tahun 2002 tercatat sebagai mahasiswa jurusan Sosiologi Fakultas Hukum Unijoyo, Madura. Adapun Sekolah Dasar ditamatkan tahun 1993, Sekolah Menengah Pertama lulus tahun 1995, dan Sekolah Menengah Atas lulus tahun 1998. Timur Budi Raja aktif sebagai penyiar di Radio Swasta Amanna FM (2000—2001); sebagai penyiar di Radio Elbayu (2001); sebagai pengajar ekstrakurikuler Teater di SMANSAKA.

Saat ini, Timur menjabat sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Bangkalan dan aktivis di Komunitas Lingkar Sastra Junok. Bersama kawan-kawan dari beberapa daerah, dia menggagas keberadaan Masyarakat Sastra Luar Forum dan Poros Sastra. Timur mulai menulis sajak sejak kelas 4 SD. Selain menulis sajak dan prosa lirik, ia juga menulis beberapa naskah drama dan esai kebudayaan. Beberapa sajaknya telah memenangkan lomba cipta puisi.

Tahun 1998, Timur memenangkan Lomba Cipta Puisi (LCP) se-Madura sebagai juara I. Sajaknya “Biografi dari Beranda Sine” mendapatkan penghargaan dari YKSI (Yayasan Komunitas Sastra Indonesia-Jakarta) dalam lomba cipta puisi Anti Kekerasan se-Indonesia tahun 1998. Sajaknya “Sehabis Sore Ini” mendapatkan penghargaan “Purbacaraka Award” dari sanggar Purbacaraka Fakultas Sastra Udayana-Bali dalam LCP Nusantara tahun 2002. Sajak-sajak Timur Budi Raja pernah juga dimuat di Voice of Law (majalah kampus), Harian Surabaya Pos, Majalah Kidung (Dewan Kesenian Jawa Timur), Horison, Majalah MPA (Mimbar Pengajian Alam), Fajar (harian Sulawesi Selatan), Aliansi Budaya (Unhas-Makasar), Pewarta Siang, Buletin Penggak (Bali), Buletin Lorong (Surabaya), Radar-Jawa Pos (Madura), Harian Pedoman Rakyat, dan sebagainya.

Sajak-sajaknya juga pernah menjadi bagian dalam beberapa kumpulan puisi, di antaranya kumpulan puisi Akulah Mantera (1996), kumpulan puisi pemenang LCP se-Madura Mosshat (1998), kumpulan puisi Anak Beranak (1998), kumpulan puisi 46 penyair se-Jawa dan Bali Istana Loncatan (1998), kumpulan puisi penyair Jawa Timur Luka Waktu (1998), kumpulan puisi nomine LCP Anti Kekerasan YKSI Award Narasi 34 Jam (2001), kumpulan puisi penyair Bangkalan Osteophorosis (2001), kumpulan puisi penyair Madura Hidro Sefalus (2001), antologi Sastra Pelajar dalam Horison (2002), kumpulan puisi pemenang LCP sanggar Purwacaraka Award Ning (2002), kumpulan puisi Festival Seni Surabaya (FSS) Permohonan Hijau (2003), dan kumpulan puisi Festival Seni Surabaya (FSS) Penyair Jawa Timur (2004). Timur Budi Raja juga dikenal aktif di teater.

Dia pernah mengikuti lokakarya teater Ian Jarvis Brown dari Australia yang diselenggarakan di Taman Budaya Jawa Timur tahun 1998. Ia juga pernah mengadakan pementasan teater monoplay dengan judul “Nyanyian-Nyanyian Buram” di tiga kota, yaitu Malang, Surabaya, dan Nganjuk pada Festival Monoplay Keliling Jawa Timur 1998—1999 yang digagas Forum Masyarakat Teater Jawa Timur dan Dewan Kesenian Jawa Timur. Selain itu, Timur juga mengikuti Temu Teater ke-10 di Yogyakarta tahun 1999; mementaskan teater monoplay “Sirene” (naskah sendiri) tahun 1999 di Bangkalan dan di Gedung Auditorium Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (1999); mengikuti Temu Sastra Kepulauan I di Makasar-Sulawesi Selatan (1999); mementaskan teater monoplay “Prosesia Malam Gerhana” (naskah sendiri) sebagai prolog musik oratorium Jiwa Jiwa Mati karya Memet Khairul Slamet di Gedung Pertunjukan Purna Budaya Yogyakarta dalam Festival Kesenian Yogyakarta ke IX (1999); mengikuti Temu Sastrawan Kepulauan II di Makasar-Sulawesi Selatan (2000); mementaskan teater monoplay Prosesia Malam Gerhana di Sekolah Tinggi Kesenian Wilawatikta Surabaya (2001).

Timur juga menyutradarai beberapa pementasan teater, di antaranya Nyare Madura (2003), yaitu sebuah pementasan musik-teater di Unijoyo dalam rangka pertukaran budaya mahasiswa Oxford Madura; Mari Pulang Ke Indonesia (teater kolosal) di Unijoyo tahun 2004; dan Fragmen Gambar Cinta Dari Aceh dari “Sanggar Lentera” STKIP PGRI Sumenep dalam rangka Peduli Aceh di Gedung Nasional Indonesia Sumenep. Timur juga banyak mendapat penghargaan. Hasil karyanya pertama kali dimuat tahun 1977 bergenre puisi dengan honorarium lima belas ribu rupiah. Sajak-sajak Timur Budi Raja dalam kumpulan Aksara yang Meneteskan Api bertema keterasingan dan kesepian manusia.

BESUT (𝘔𝘣𝘦𝘵𝘢 𝘔𝘢𝘬𝘴𝘶𝘥) sebagai Lokomotif Upaya Pelestarian Bahasa Daerah di Jawa Timur

UNESCO pernah meneliti terkait penggunaan bahasa di seluruh dunia pada tahun 2000. Terdapat fakta, bahwa bahasa Jawa berada di peringkat ke‑11, sedangkan bahasa Indonesia berada di urutan ke‑51. Saat itu, bisa dikatakan bahasa Jawa lebih kuat eksistensinya dibandingkan dengan bahasa Indonesia, tetapi seiring perkembangan zaman keberadaan bahasa Jawa sebagai bahasa daerah semakin tergusur. Tidak hanya bahasa Jawa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat, bahwa dari 718 bahasa daerah terdapat 25 bahasa daerah terancam punah, enam bahasa berstatus kritis, dan sebelas bahasa mengalami kepunahan.

Era globalisasi yang semakin merajalela, perubahan budaya dan pergeseran komunikasi semakin terasa signifikan. Satu di antara dampak yang menonjol adalah tergerusnya penggunaan bahasa daerah di kalangan anak muda. Bahasa daerah yang selama ini menjadi bagian penting dari identitas dan budaya lokal, kini menghadapi tantangan serius untuk bertahan di tengah arus globalisasi yang begitu kuat.

Globalisasi, dengan segala daya tariknya dalam bentuk teknologi, media massa, budaya pop, dan bahasa internasional seperti Inggris, telah membuka pintu bagi dunia untuk bersatu dalam cara‑cara yang sebelumnya sulit dibayangkan. Namun, globalisasi juga membawa implikasi tak terhindarkan pada budaya lokal dan bahasa daerah yang merupakan bagian dari kekayaan budaya suatu komunitas.

Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, E. Aminuddin Aziz menyampaikan bahwa pelindungan bahasa dan sastra daerah merupakan program prioritas Kemendikbudristek yang harus berjalan serentak bersama pemerintah daerah. Pertimbangannya, Indonesia memiliki banyak bahasa dan sastra daerah, tetapi kondisinya banyak yang kritis dan terancam punah. Kepunahan bahasa dan sastra daerah tersebut terjadi karena menurunnya jumlah penutur bahasa‑bahasa dan sastra daerah, hal itu disebabkan oleh sikap penutur terhadap bahasa. Di antaranya mobilitas dan perkawinan silang antarras. Oleh karena itu, revitalisasi bahasa daerah ini menjadi tanggung jawab semua pihak, khususnya pemerintah dan generasi muda yang direpresentasikan oleh Duta Bahasa.

Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur sebagai UPT dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah menggaungkan kegiatan pelestarian bahasa daerah melalui berbagai kegiatan pemetaan bahasa, visualisasi bahasa, dan puncaknya adalah revitalisasi bahasa dan sastra daerah (RBD) pada bulan Februari 2023. Kegiatan RBD berujud pelatihan kepada 300 guru master dilaksanakan di wilayah Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep) dan Banyuwangi. Kita ketahui bahwa terdapat dua bahasa daerah yang kondisinya rentan di Jawa Timur, yaitu bahasa Madura dan bahasa Jawa dialek Using. Sebagai wujud dari Merdeka Belajar Episode ke‑17, Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur merevitalisasi kedua bahasa daerah tersebut dengan tujuan agar tetap dituturkan dan dicintai oleh para penutur.

Dalam upaya merevitalisasi bahasa daerah, bukan hanya diartikan sebagai upaya penuturan kembali bahasa daerah yang kritis atau terancam punah, tetapi juga diartikan sebagai upaya untuk menciptakan bentuk dan fungsi baru terhadap bahasa tertentu yang berpeluang sebagai kearifan lokal suatu daerah dalam bentuk isolek maupun subdialek. Dalam hal ini, Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur memiliki mitra aktif yaitu Duta Bahasa Jawa Timur yang tidak hanya berperan sebagai pelaksana program terpusat, tetapi juga sebagai inisiator aktif dalam upaya membangkitkan minat berbahasa bagi generasi muda terhadap bahasa dan sastra daerah. Hal tersebut terwujud dari kepedulian Duta Bahasa Jawa Timur terhadap upaya pendokumentasian bahasa daerah yang terkategorikan sebagai isolek, yaitu isolek Jombangan.

Isolek merupakan istilah awal yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu wicara merupakan subdialek, dialek, atau sebuah bahasa. Beberapa daerah di Jawa Timur menggunakan isolek yang berbeda‑beda, sebagai contoh isolek Jombangan di Kabupaten Jombang. Hal itu disebabkan karena terdapat beberapa perubahan dari sudut pandang unsur‑unsur kebahasaan. Perubahan yang terjadi tersebut dapat berupa penambahan, pengurangan, dan bentuk perubahan lain yang dilihat dari unsur fonologis, morfologis, leksikal, dan sintaksis.

Isolek Jombangan adalah salah satu isolek yang ada dalam bahasa Jawa. Isolek Jombangan digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Jombang. Menurut hasil pengamatan singkat di lapangan, sebagian masyarakat masih menggunakan isolek tersebut sebagai media komunikasi sehari‑hari. Hal itu terlihat dari pemahaman yang positif dalam setiap komunikasi yang terjadi, baik penutur usia muda maupun penutur usia tua.

Menanggapi hal tersebut, sebagai wujud sumbangsih terhadap upaya pelestarian isolek Jombangan, maka Duta Bahasa Jawa Timur menginisiasi krida kebahasaan dan kesasastraan sebagai wadah bagi generasi muda yang memiliki kepedulian terhadap pelestarian bahasa daerah. Hal tersebut diaktualisasikan dalam program bertajuk ‘BESUT’ yang diambil dari salah satu tokoh kesenian khas Kabupaten Jombang disebut Besutan. BESUT sendiri merupakan akronim dari ‘𝘮𝘣𝘦𝘵𝘢 𝘮𝘢𝘬𝘴𝘶𝘥’ atau dalam bahasa Indonesia berarti ‘membawa maksud’. Pengambilan nama ini dilakukan karena sejalan dengan program yang diinisiasi oleh Duta Bahasa Jawa Timur, yakni membawa maksud untuk turut serta mengambil langkah nyata dalam pelestarian bahasa daerah. Program ini dilakukan dengan cara memberikan edukasi kepada siswa sekolah dasar yang ada di Kabupaten Jombang dengan menggunakan media berupa buku interaktif dan susu edukasi. Media tersebut dipilih karena dianggap sebagai sesuatu yang dekat dengan siswa sekolah dasar, serta dapat membangkitkan suasana belajar menjadi lebih menarik dan menyenangkan.

Dalam buku interaktif BESUT, terdapat berbagai informasi seputar basa Jombangan, sastra, dan budaya dari Kabupaten Jombang. Buku ini digunakan oleh siswa untuk mengasah kemampuan berpikir siswa dan meningkatkan pemahaman terkait basa Jombangan. Selain buku interaktif, program BESUT juga memanfaatkan media lain yakni susu sapi edukasi. Dalam pengadaan susu sapi edukasi, Duta Bahasa Jawa Timur bekerja sama dengan UMKM setempat, yang membedakan susu sapi edukasi dengan produk sejenis adalah penggunaan label yang berisi informasi kebahasaan. Selain itu, dalam label tersebut juga terdapat kode respons cepat yang dapat dipindai oleh pengajar sebagai salah satu materi pembelajaran kepada anak‑anak. Dalam kode respons cepat tersebut berisi video tentang budaya dan kesenian khas Kabupaten Jombang yang dapat digunakan untuk meningkatkan literasi visual peserta didik.

Dalam praktiknya, program ini berkolaborasi dengan berbagai pihak, salah satunya adalah seorang budayawan, penulis, dan pengajar bahasa daerah asal Kabupaten Jombang yang bernama Dian Sukarno. Bapak Dian Sukarno menulis sebuah ‘𝘒𝘢𝘮𝘶𝘴 𝘉𝘢𝘴𝘢 𝘑𝘰𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯’ yang kemudian digunakan sebagai dasar bahan ajar materi program ‘BESUT’. 𝘒𝘢𝘮𝘶𝘴 𝘉𝘢𝘴𝘢 𝘑𝘰𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 merupakan kumpulan dari isolek yang dituturkan oleh masyarakat di Kabupaten Jombang.

𝘒𝘢𝘮𝘶𝘴 𝘉𝘢𝘴𝘢 𝘑𝘰𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 berisi lebih dari 10.000 kata yang berhasil dikumpulkan oleh Pak Dian sejak tahun 2014. Upaya pendokumentasian bahasa dilakukan atas dasar kepedulian Pak Dian terhadap pelestarian bahasa daerah di era saat ini. Upaya pendokumentasian bahasa itu tidak cukup jika tidak diimbangi dengan peningkatan penutur bahasa tersebut. Oleh karena itu, BESUT hadir untuk memperkenalkan dan turut melestarikan isolek Jombangan. Upaya ini dilakukan agar isolek Jombangan sebagai salah satu unsur terkecil bahasa sekaligus akar budaya Kabupaten Jombang tidak terlupakan dan tetap dituturkan oleh para penutur muda. Hal ini disebabkan karena penutur muda merupakan pembaharu masa depan yang diharapkan mampu menjadi tunas‑tunas yang memberi harapan untuk tumbuh kembang bahasa daerah.

Upaya ini tentu membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, program BESUT telah bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Jombang, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang, serta didukung penuh oleh Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur. Segala bentuk dukungan ini dimanfaatkan untuk mengembangkan program revitalisasi bahasa daerah khususnya isolek Jombangan. Kedepan, diharapkan metode yang digunakan dalam program BESUT dapat diterapkan untuk melestarikan bahasa daerah lain di Indonesia.

Duta Bahasa Jawa Timur paham betul jika metode revitalisasi bahasa daerah di seluruh Indonesia tidak bisa disamakan. Namun, upaya dan langkah nyata generasi muda terrsebut diharapkan mampu memberikan contoh dan menyadarkan seluruh elemen masyarakat terkhususnya generasi muda yang berkewajiban mengambil peran dalam upaya pelestarian bahasa daerah. Selain itu, upaya pendokumentasian bahasa yang dilakukan Bapak Dian Sukarno juga patut diapresiasi dan didukung penuh. Hal itu menjadi salah satu bukti peran nyata dari masyarakat dalam pelestarian bahasa daerah. Walaupun sekadar isolek, tetap harus dilestarikan sebagai bentuk upaya untuk mempertahankan jati diri dan akar budaya suatu daerah.

Berawal dari kepedulian dan langkah kecil ini, Duta Bahasa Jawa Timur sebagai representasi generasi muda berharap dapat menyumbangkan perubahan besar bagi bangsa Indonesia. Melalui program BESUT diharapkan mampu membuka mata para generasi muda akan pentingnya penggunaan bahasa daerah, serta memunculkan rasa bangga dalam diri penutur bahasa daerah terhadap bahasa, karena bahasa adalah jati diri, identitas, serta aset yang sangat berharga bagi bangsa.

Coban Rondo

Coban Condo adalah tempat wisata air terjun di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Coban Rondo mempunyai arti ‘air terjun janda’ dalam bahasa Indonesia. Air terjun yang memiliki ketinggian 84 meter tersebut berada di ketinggian 1.134 meter di atas permukaan laut (dpl).

Sejarah Coban Rondo, khususnya sejarah penamaannya, memiliki keterkaitan dengan mitos yang berkembang selama ini. Kisahnya diawali dengan pertarungan sengit antara Joko Lelana dengan Raden Baron Kusuma, suami dari Dewi Anjarwati. Pertarungan tersebut diakibatkan hasrat Joko Lelana untuk memiliki Dewi Anjarwati yang berparas cantik. Sebelum pertarungan, Dewi Anjarwati disembunyikan terlebih dahulu di sebuah air terjun. Pertarungan tersebut akhirnya dimenangkan oleh Joko Lelana dan Raden Baron Kusuma meninggal. Akhirnya, Dewi Anjarwati pun menjanda. Janda dalam bahasa Jawa adalah rondo.

Selain air terjun, Coban Rondo juga menyediakan wahana wisata lain. Wahana lain yang dapat ditemukan adalah kebun buah. Tidak hanya itu, berbagai fasilitas penunjang seperti bumi perkemahan, mancakrida, luncur gantung (flying fox), sepeda gunung, hingga kafe pun akan memanjakan wisatawan yang berkunjung. (DHE)

Mashuri, Sastrawan’Ngaceng’ dari Lamongan

Mashuri adalah sastrawan yang banyak menulis puisi dan cerita pendek. Mashuri lahir di Desa Wanar, Kecamatan Pucuk, Lamongan, 27 April 1976, dari pasangan Imam dan Maspuanah. Orangtuanya bersuku Jawa dan sehari-hari menjadi petani di Desa Wanar-Lamongan. Mashuri menikah dengan Hani’atul Mariah, wanita kelahiran Pati 9 Desember 1981, dan telah dikaruniai seorang putri dan seorang putra.

Pendidikan formal Mashuri dijalani mulai tahun 1982—1986 di SDN Wanar, Lamongan, tahun 1991 di SMPN 1 Sukodadi, Lamongan, dan MA Ta’sisut Taqwa di Surabaya tahun 1994. Dia kemudian melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya, jurusan Sastra Indonesia, lulus tahun 2002. Selain itu, Mashuri juga tercatat sebagai jebolan pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya. Beberapa pelatihan seni-sastra dan jurnalistik pernah diikutinya ketika masih kuliah di Unair.

Mashuri pernah menjadi wartawan/redaktur surat kabar. Saat ini, namanya tercatat sebagai salah satu pegawai di Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur sebagai tenaga teknis peneliti bidang sastra. Mashuri banyak bergiat dalam organisasi dan komunitas antara lain Teater Gapus Fakultas Sastra Unair, Forum Studi Seni dan Sastra Luar Pagar (FS3LP) Surabaya, Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Komunitas Triwikromo Unair Surabaya, LEPASS (Lembaga Pengkajian Agama, Sastra, dan Sejarah), Forum Kajian Pemikiran Islam (FKPI) Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur.

Kali pertama menulis di surat kabar Karya Dharma tahun 1997, Huri berhonor Rp1.500,00. Menulis bagi Mashuri merupakan media ekspresi dan aktualisasi diri dan tentunya sebagai pengamalan ilmu. Hal-hal itulah yang menjadi motivasi dan penjaga keeksisan seorang Mashuri. Kalau sekarang dia masih aktif menulis karena memang itu jalan hidupnya. Honorarium yang diterima Mashuri sekarang berkisar Rp100.000,00— Rp500.000,00. Menurut pengakuan jebolan pondok pesantren Salafiyah Raudlatul Mutaallimin dan pondok pesantren Ta’sisut Taqwa Galang, Lamongan ini, kemampuan menulis yang dimilikinya otodidak, yakni belajar dari penulis-penulis pendahulunya serta diperkaya dengan diskusi bersama teman-teman sekomunitas.

Karya-karya sastra Mashuri berwujud puisi, prosa, esai, dan drama. Adapun karya sastra Mashuri dalam bentuk buku antara lain: (1) Refleksi (Gapus-1995); (2) Seribu Wadah Lilin (Gapus-1995); (3) Menguak Tanah Kering (Gapus-1997); (4) Jawadwipa 3003 (Antologi Puisi Tunggal) (Gapus-2003); (5) Manifesto Surrealisme-Puisi Bersama (FS3LP & Galah Yogya, 2002); (6) Permohonan Hijau (antologi puisi bersama) FSS-2003; (7) Puisi Tak Pernah Pergi (Kompas-2003); (8) Antologi Penyair Jawa Timur (FSS-2004); (9) Duka Atjeh Duka Bersama (antologi puisi) Dewan Kesenian Jawa Timur 2005; (10) Mahadduka Aceh (puisi) Pusat Dokumentasi Sastra HB. Yassin—2005; (11) Black Forest (kumpulan cerpen) FSS—2005; (12) Festival Mei (puisi) Forum Sastra Bandung—2006; (13) Imajinasi Luka (puisi) Dewan Kesenian Lamongan—2006; (14) Sastra dan Mistisisme (esai) Yayasan Lanskap & Fakultas Psikologi Unair—2003; (15) Kentrung Jancukan (puisi) Gapus—2006; (16) Sebatang Rokok dan Secangkir Kopi (cerpen) Gapus—2006; (17) Kerja Sebagai Estetika Kota Surabaya (Esai) Gapus—2006; dan (18) Malsasa 2005 (puisi) Forum Sastra Bersama—2005.

Tulisan-tulisan hasil karya Mashuri tersebar di berbagai media, antara lain: Jurnal Kebudayaan Kalam, Jurnal Puisi, Jurnal Aksara, Jurnal Thought, Majalah IAIN News, Majalah Aksara, Majalah Sindu, Telunjuk, Kompas, Media Indonesia, Republika, Jawa Pos, Surya, Surabaya Post, Surabaya News, Karya Darma, Duta Masyarakat, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Rakyat Merdeka, Memorandum, Media kampus (Gatra dan Situs di Unair), On Off, Jaringan Islam Liberal, Inspirasi (Situs AIAA Australia), dan Arah Kiri (Situs Malaysia) dan KompasJatim.

Selain menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia, Mashuri juga aktif menulis karya sastra dalam bahasa Jawa. Media massa yang memuat karya berbahasa Jawa milik Mashuri antara lain Damarjati, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Suket, dan sebagainya. Aktivitas menulis Mashuri juga telah membuahkan beberapa penghargaan, di antaranya 10 besar Lomba Puisi yang diadakan oleh Surat Kabar Rakyat Merdeka, juara harapan II Lomba Menulis Wisata.

Karya monumental Mashuri adalah novel Hubbu yang berhasil memenangi Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta Tahun 2006. Karya tersebut mengungguli 248 naskah lain dan memperoleh hadiah utama 20 juta rupiah. Novel ini menurut Mashuri mencampur unsur wayang dan kekinian. Pengagum Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad ini mengibaratkan proses kreatif penciptaan novel Hubbu mirip orang mengandung. Selain menulis karya sastra, Mashuri juga menjadi narasumber berbagai kegiatan kesastraan. Setelah diterima menjadi staf di Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur pada tahun 2006, kesibukannya semakin bertambah, yakni sebagai tenaga teknis peneliti sastra. Sejak tahun 2021 dia menjadi peneliti sastra di Badan Riset dan Inovasi Nasional.

 

Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur

Lan Fang, Sang Perempuan Kembang Jepun

Lan Fang, lengkapnya Go Lan Fang, terkenal sebagai penulis prosa, khususnya cerpen dan novel. Lan Fang, memang nama Cina dan memang ia perempuan keturunan Tionghoa bermata sipit, berwajah oriental, khas peranakan Cina. Wanita kelahiran Banjarmasin, 5 Maret 1970 ini gemar menulis sejak remaja dan menyikapi hobinya tersebut sebagai suatu hiburan atau sarana pencerahan pikiran dan hati. Dua puluh tahun silam, ia mulai merintis kariernya di dunia fiksi. Majalah remaja Anita Cemerlang menjadi lahan pertama uji coba karya-karyanya berupa cerpen. Lan Fang merupakan putri pertama dari pasangan Johnny Gautama, seorang pendeta, dengan Yang Mei Ing. Lan Fang sendiri beragama Budha. Lan Fang menikah dalam usia yang relatif muda dan, pada 1998, melahirkan anak kembar tiga, yakni Vajra Yeshie Kusala, Vajra Vira Kusala, dan Vajra Vidya Kusala.

Setelah menghabiskan masa kecil hingga remaja di Banjarmasin, Lan Fang memulai kehidupan di Surabaya ketika berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya). Ada satu pengakuan menarik tentang motivasi pertamanya menulis, yakni sebagai pencurahan isi hati karena saat itu sedang jatuh cinta. Tulisan Lan Fang, “Catatan yang Tertinggal” kali pertama dimuat tahun 1986 di majalah remaja Anita Cemerlang. Saat itu ia menerima honor pertamanya sebesar Rp75.000,00. Selanjutnya, menulis, menurut Lan Fang, dilakukannya karena dengan menulis ia dapat mengungkapkan apa saja, menyampaikan banyak hal, dan lebih dari itu merupakan suatu perenungan yang tak terbatas tentang berbagai hal. Wanita yang menguasai bahasa Inggris dengan aktif ini, pada tahun 1990—2000, pernah bekerja di sebuah bank swasta. Tahun 2000 hingga sekarang, Lan Fang menggeluti dunia asuransi, yang memungkinkannya bertemu dengan lebih banyak orang dengan beragam karakter. Oleh karena itu, menulis sudah menjadi bagian dari dunianya dan Lan Fang tidak peduli lagi dengan genre atau ragam tulisan.

Ada beberapa kumpulan cerpen dan novel yang sudah dihasilkan dan diterbitkan. Kemampuan berkarya Lan Fang juga tercermin dari banyaknya lomba dan sayembara yang pernah ia menangi. Lomba-lomba tersebut antara lain, Lomba Cerita Pendek Femina tahun 1997, Lomba Cerita Pendek Nyata tahun 1998, Lomba Cerita Bersambung Femina tahun 1997, Lomba Cerita Bersambung Femina tahun 1998, dan Lomba Novel Femina tahun 2003. Tentang proses kreatif, pengarang otodidak ini mengungkapkan bahwa dalam berkarya ia tidak saja mengandalkan mood, tetapi yang lebih penting adalah kedekatannya dengan subjek, objek, serta latar cerita yang sedang digarapnya. Satu hal yang menurut Lan Fang cukup sulit ditentukan adalah ketersediaan waktu. Hal ini berkaitan dengan pekerjaan utamanya sebagai agen asuransi yang ditekuninya.

Lan Fang termasuk pengarang yang sangat produktif dalam berkarya. Dari beberapa buku karyanya yang sudah diterbitkan, terlihat bahwa kualitas isi karya Lan Fang cukup bagus. Karya-karya tersebut antara lain: Kota Tanpa Kelamin (kumpulan cerpen 2007) diterbitkan Mediakita; Perempuan Kembang Jepun (novel 2006) diterbitkan Gramedia; Laki-Laki yang Salah (kumpulan cerpen 2006); Yang Liu (kumpulan cerpen 2006) diterbitkan Bentang; Jangan Main-main dengan Perempuan, Reinkarnasi (2004) diterbitkan Gramedia; Pai Yin (2004) diterbitkan Gramedia; Kembang Gunung Purei (2005) diterbitkan Gramedia; dan, Kunang-kunang di Mata Indri (2005) diterbitkan FSS dan Logung Pustaka. Selain itu, beberapa karyanya juga dimuat di berbagai surat kabar, yakni “Warna Ungu” (Kompas, 2004), “Perempuan Abu-Abu” (Jawa Pos, 2004), “Mulut” (Jawa Pos, 2005), “Ini Tidak Gila” (Media Indonesia, 2006), “Malam-Malam Nina” (Jawa Pos, 2006, “Toast” (Jawa Pos, 2006), “Orasis” (Suara Merdeka, 2006), “Anak Anjing Berkepala Kambing” (Pikiran Rakyat, 2006), “Bayi Ke Tujuh” (Tabloid Nova, 2006), “Rumah Tanpa Cermin” (Pikiran Rakyat, 2006), “Dua Perempuan” (Suara Merdeka, 2006), dan “Tentang Musim” (Jawa Pos, 2006).

Lan Fang meninggal dunia dalam usia yang relatif muda, 41 tahun. Ia tutup usia pada 25 Desember 2011 di RS Mount Elizabeth akibat penyakit kanker yang telah lama diidapnya.

 

Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur

H.U. Mardi Luhung, Sastrawan dari Kota Jenang Ayas

Penyair lulusan Fakultas Sastra Universitas Jember ini memiliki nama sapaan Hendry. Sehari-hari, Pria yang lahir di Gresik, 5 Maret 1965 ini adalah seorang guru bahasa dan sastra salah satu sekolah di Gresik. Karyanya banyak tersebar di berbagai media, seperti Kalam, Surabaya Pos, Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, Hai, Kuntum, Tebuireng, Memorandum, Kolong, Teras, Buletin DKS, Kidung DKJT, Karya Darma, dan Jurnal Selarong. Puisi-puisi Mardi Luhung dimuat dalam (1) Antologi Puisi Indonesia (KSI, 1997); (2) Memo Putih (2000); (3) Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2003); (4) Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (Horison, 2002); (5) Bapakku Telah Pergi (BMS, 1995); (6) Bertandang Dalam Proses (TUK, 1999); (7) Mimbar Penyair Abad 21 (DKI, 1996); (8) Birahi Hujan (DKJ, Akar, Logung, 2004); dan (9) Living Together (Kalam, 2005). Dalam dunia drama, Mardi Luhung juga memiliki karya, yaitu berjudul Tumpat (1993), Transaksi (1994), dan Dari Tanah Kembali ke Tanah (1994). Terdapat juga buku puisi tunggalnya, yaitu (1) Terbelah Sudah Jantungku (1996); (2) Wanita yang Kencing di Semak (2002), dan buku puisi terbaru Ciuman Bibirku yang Kelabu diterbitkan oleh Akar Indonesia, Yogyakarta (2007). Mardi Luhung pernah memenangi Sayembara Mengarang tentang Apresiasi Sastra untuk Guru SLTA yang diselenggarakan Pusat Bahasa (1999). Selain diundang menjadi narasumber di banyak kegiatan, Mardi Luhung juga mengikuti program penulisan Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) di bidang puisi (2002), Cakrawala Sastra Indonesia (2004), International Literary Biennale (2005), dan diundang dalam Festival Seni Yogyakarta XVIII (2006).

 

Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur

Herry Lamongan, Sastrawan dari Kota Soto Lamongan

Nama sebenarnya adalah Djuhaeri. Namun, ia lebih akrab dipanggil Herry Lamongan. Lelaki kelahiran Bondowoso, 8 Mei 1959 ini merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Ayahnya bernama Ismail (almarhum), seorang pensiunan polisi (lahir tahun 1930). Ibunya bernama Sukarsih, kelahiran Jember 1933. Herry menikah dengan Ashabul Maimanah, Ama.Pd. kelahiran Gresik, 26 September 1960, yang dinikahinya pada tanggal 8 April 1987.

Bakat menulis Herry berawal dari kegemaran menulis buku harian, mencatat berbagai peristiwa yang terjadi setiap hari, kemudian berkorespondensi dengan banyak kawan di seluruh Indonesia. Kemudian ia ingin menggubah puisi sendiri untuk dipublikasikan/dikirimkan ke media-massa cetak (baik itu koran maupun majalah lokal dan ibu kota). Naskah pertama Herry termuat di koran Eksponen tahun 1983 (Yogyakarta), tanpa mendapatkan honorarium. Hingga kini pekerjaan tersebut terus dilakukan: mencatat, merevisi naskah lama, kemudian mengirimkannya untuk dipublikasikan. Dalam berkorespondensi itu, ia bertemu dengan komunitas HP3N (Himpunan Penulis, Pengarang, dan Penyair Nusantara) yang berpusat di Mataram, dengan ketuanya Putu Arya Tirtawirya. Melalui HP3N inilah, namanya sebagai penyair diakui oleh komunitas sastra seIndonesia. Di Jawa Timur, ada anggota HP3N selain Herry Lamongan, yaitu Ang Thek Khun dan Aming Aminoedhin (Surabaya), Tan Tjin Siong (BatuMalang), Surasono Rashar (Lumajang), dan Yani Aminoedhin (Jember), Herry bersekolah di Sekolah Dasar di Lamongan (lulus 1972), SLTP di Lamongan (lulus 1975), SLTA di Tuban (lulus 1979), dan lulus sarjana S-1 Universitas Islam Darul Ulum Lamongan (2004).

Pendidikan non-formal yang pernah diikuti Herry Lamongan antara lain: Lokakarya Khusus Deklamasi dan Baca Puisi, Kursus Karang-Mengarang & Teknik Penulisan Fiksi, Pelatihan Seniman Teater Jawa Timur. Riwayat latar belakang pekerjaan Herry Lamongan tidak banyak; sejak tahun 1979 hingga 2005, ia menjadi seorang guru sekolah dasar di Lamongan. Dalam dunia sastra, Herry Lamongan banyak aktif di kegiatan komunitas sastra, antara lain HP3N Jatim (1985—1990), PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya) tahun 1991—1994, Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) tahun 2000—2007, DKL (Dewan Kesenian Lamongan) tahun 2003—2007. Tidak hanya aktif di komunitas sastra Lamongan dan Jawa Timur, Herry juga berkalikali menjadi juri lomba tulis dan baca puisi di tingkat Kabupaten Lamongan maupun Jawa Timur. Kumpulan puisinya bersama rekan antara lain: Sang Penyair (1986), Lamat (1987), Surabaya Kotaku (1989), Jejak (1991), Semangat Tanjung Perak (1992), Malsasa 1991, 1992, l994, 1996, 2000, 2005, Bunga Rampai Bunga Pinggiran (1995), Memo Putih (2000), Bulan Merayap (2004), Lanskap Telunjuk (2004), Duka Atjeh Duka Bersama (2005), Khianat Waktu (2006), dan banyak lagi. Penghargaan kesusastraan yang pernah diraih adalah penulis terbaik versi Sanggar Minum Kopi Denpasar (1989), Pemakalah Festival Puisi di Batu-Malang (1990), Penulis Gurit terbaik versi Sanggar Triwida (1995). Herry Lamongan beserta keluarga beralamat di Jalan Madedadi VI/36 Perumahan Made, Lamongan 62251. Dia bisa dihubungi melalui telepon (0322) 315132.

 

Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur