Tenun Ikat Bandar Kidul: Warisan Budaya Tradisional dari Kediri

Tenun Ikat Bandar Kidul merupakan warisan budaya yang bernilai tinggi, tidak hanya bagi masyarakat Kediri, tetapi juga bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Wilayah Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto, dikenal sebagai pusat produksi kain tenun ini karena banyaknya perajin dan industri rumahan yang beroperasi di kawasan tersebut. Berdasarkan informasi dari laman resmi Direktoral Jendela Kebudayaan, Kementerian Kebudayaan, industri tenun pertama sudah berdiri di masa penjajahan yang bernama Tenoen 1925 milik Djie Ting Hian. Pada tahun 1925, usaha ini mendatangkan sekitar 150 alat tenun beserta tenaga kerja terlatih dari Hindia Belanda. Para tenaga ahli ini kemudian melatih penduduk lokal untuk menenun yang menandai awal mula berkembangnya tenun di Kediri.

Memasuki era 1950-an, industri tenun semakin berkembang. Masyarakat mulai memproduksi sarung palikat, yaitu sarung bermotif kotak. Namun, kemajuan teknologi yang membawa masuk mesin tenun modern membuat harga kain menjadi lebih murah dan menimbulkan tantangan bagi perajin tradisional. Untuk bertahan, para perajin pun melakukan inovasi dengan menciptakan sarung goyor kembang bermotif lebih bervariasi.

Proses pembuatan kain tenun melibatkan banyak tahapan dan dikerjakan dengan sangat teliti. Secara garis besar, proses ini terbagi menjadi dua tahap utama: pembuatan lungsi (benang dasar) dan pembuatan pakan (benang motif). Proses lungsi dimulai dari pencelupan benang dengan warna dasar, pemintalan, dan dilanjutkan dengan penyusunan benang yang sudah dipintal pada alat bernama bum. Setelah itu, menyabung dari benang lama yang telah habis dengan benar baru yang disebut proses grayen. Untuk tahap pakan, diawali dengan pemintalan benang putih, penataan benang di bidangan (reek), pemberian desain pada benang, pengikatan motif dengan tali rafia, dan pencelupan warna. Jika diinginkan warna tambahan, dilakukan teknik pewarnaan kombinasi yang disebut colet. Setelah proses pewarnaan selesai, benang dilepaskan dari ikatan rafia, diurai, lalu dipintal ulang agar bisa digunakan dalam proses tenun menggunakan alat tenun bukan mesin.

Motif dan warna pada kain tenun dari Kediri memiliki daya tarik tersendiri yang memikat banyak konsumen, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Situs resmi Pemerintah Kota Kediri mencatat bahwa produk tenun dari wilayah ini telah berhasil diekspor, seperti sarung goyor ke Timur Tengah dan kain tenun ke Jepang. Berkat inovasi berkelanjutan, kain tenun ikat dari Kediri telah bertransformasi dari produk sederhana, seperti sarung bermotif kotak menjadi aneka produk fashion yang lebih modern. Banyak desainer nasional ternama menjalin kerja sama dengan para perajin tenun untuk menciptakan karya yang tampil dalam peragaan busana, bahkan untuk kebutuhan pasar komersial baik domestik maupun internasional. (MRN)

Sumber: kompasiana.com, diolah
Foto: jatim.jadesta.com, trigger.id

 

Kaldu Kokot, Kuliner Legendaris dari Sumenep

Kaldu kokot merupakan salah satu kuliner khas yang melegenda dari Sumenep, sebuah kota di Pulau Madura, Jawa Timur. Hidangan tradisional ini telah menjadi bagian penting dari budaya lokal dan kerap menarik perhatian para wisatawan yang berkunjung.

Nama kaldu kokot berasal dari dua unsur utama: kaldu dan kokot. Kaldu mengacu pada kuah yang terbuat dari rebusan kacang hijau berbumbu khas, sedangkan kokot dalam bahasa Madura berarti bagian bawah kaki sapi, yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai kikil.
Rasa khas kaldu kokot terletak pada kombinasi gurih dan asin dari kaldu kacang hijau yang berpadu dengan tekstur lembut kikil, serta potongan tetelan daging sapi yang lumer di mulut. Perpaduan ini menciptakan pengalaman kuliner yang kaya rasa dan menggugah selera.
Menariknya, kaldu kokot bukan sekadar hidangan lezat. Kuliner ini juga mengandung filosofi mendalam tentang kerendahan hati. Pesan tersebut tersirat dari bahan utamanya: kikil sapi, bagian dari kaki sapi yang berada paling bawah. Letaknya yang rendah menyimbolkan sikap rendah hati, nilai yang dijunjung tinggi dalam budaya Madura.
Mari kita telusuri resep dan langkah-langkah dalam membuat Kaldu Kokot yang nikmat ini.
Bahan-bahan yang diperlukan:
– 1/2 kg kokot atau kaki sapi;
– 1 1/2 cangkir kacang hijau;
– 2 cm jahe, memarkan
– 1 liter air; dan
– daun bawang, rajang kecil-kecil.
Bumbu-bumbu yang diperlukan:
– 4 siung bawang putih;
– 5 butir bawang merah;
– pala secukupnya;
– garam secukupnya;
– lada secukupnya;
– bawang goreng secukupnya; dan
– bumbu penyedap secukupnya (opsional).
Sambal kaldu kokot:
– 5 buah cabai rawit;
– 2 butir kemiri, sangrai; dan
– garam secukupnya.

Cara Pembuatan
Persiapan bahan utama:
– rebus kokot dalam air sampai empuk dan mengeluarkan kaldu;
– tambahkan kacang hijau ke dalam rebusan kokot dan biarkan hingga empuk.

Langkah-langkah membuat bumbu:
– tumis bawang putih, bawang merah, dan pala hingga harum;
– masukkan tumisan bumbu ke dalam rebusan kokot dan kacang hijau;
– tambahkan jahe, daun bawang, lada, garam, dan bumbu penyedap sesuai selera; dan
– koreksi rasa hingga sesuai dengan preferensi masing-masing.

Penyajian:
– sebelum disajikan, tambahkan bawang goreng untuk memberikan aroma dan rasa yang khas;
– sajikan kaldu kokot bersama dengan lontong untuk pengalaman makan yang lebih lengkap.

Sambal Pendamping
– Untuk membuat sambal, gerus cabai rawit, kemiri sangrai, dan garam hingga halus dan sajikan sambal sebagai pendamping Kaldu Kokot untuk memberikan tambahan cita rasa pedas yang menggugah selera.
Kaldu Kokot pun siap dinikmati. Rasakan cita rasa autentik khas Pulau Madura dalam satu sajian yang menggugah selera dan mengenyangkan.

Sumber: detikjatim.com, radarmadura.jawapos.com
Foto: https://www.fimela.com/

Perahu Tradisional Ijon-Ijon: Perahu Wedok Warisan dari Lamongan

Perahu tradisional Ijon-Ijon berasal dari Desa Kandangsemangkon, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Perahu ini memiliki nilai sejarah yang tinggi, salah satunya karena pernah digunakan untuk menyelamatkan kru dan penumpang kapal Van der Wijck yang tenggelam di laut sebelah utara Lamongan pada tahun 1936. Perahu Ijon-Ijon dikenal sebagai hasil karya kemahiran masyarakat setempat yang memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan perahu nelayan tradisional lainnya di Indonesia. Keunikan utamanya terletak pada metode pembuatannya, yaitu dibuat menggunakan pola dengan mendahulukan pembuatan papan lampung sebelum rangka dalamnya. Dari segi bentuk, perahu ini juga memiliki keistimewaan, yaitu bagian linggi (ujung perahu) berbentuk tumpul atau datar, sedangkan lambung perahu berukuran lebih lebar dan besar. Bentuk tersebut oleh masyarakat sekitar diibaratkan sebagai “perahu wedok” (perahu perempuan), yang diwujudkan melalui ornamen berupa lukisan topeng, mata, alis, sanggul, mahkota, dan bunga pada badan kapal.

Desa Kandangsemangkon dikenal sebagai lokasi galangan perahu Ijon-Ijon yang strategis karena terletak di pesisir pantai dan dilalui oleh Jalur Daendels. Ketersediaan infrastruktur pendukung, seperti listrik dan alat komunikasi, turut menunjang kelangsungan produksi perahu tersebut. Proses pembuatan perahu Ijon-Ijon bersifat nonformal dan merupakan usaha mandiri. Keterampilan para pengrajin diperoleh secara otodidak dan diwariskan secara turun-temurun. Nama “Ijon-Ijon” merujuk pada fungsi awal perahu ini sebagai tempat penampungan ikan hasil tangkapan nelayan di tengah laut yang menyerupai sistem jual beli ijon dalam dunia perdagangan. Seiring berjalannya waktu, fungsi perahu Ijon-Ijon berkembang menjadi lebih lengkap. Perahu ini kini tidak hanya berfungsi sebagai alat penangkap ikan, tetapi juga sebagai sarana penyimpanan, pengangkutan, pendinginan, hingga pengawetan hasil tangkapan.

Perahu tradisional ijon-ijon masih tetap diproduksi dan mampu bertahan hingga kini di Desa Kandangsemangkon. Perahu tradisional ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia tahun 2022 dalam kategori kemahiran dan kerajinan tradisional. Sebagai bentuk pelestarian, telah diselenggarakan berbagai kegiatan, antara lain lomba pembuatan miniatur perahu Ijon-Ijon serta lomba desain motif perahu yang melibatkan pelajar. Upaya ini bertujuan untuk memperkenalkan serta menjaga kelestarian warisan budaya lokal agar tetap hidup dan relevan di tengah dinamika perkembangan zaman. (MRN)

Sumber : Detikcom, Liputan6.com, diolah
Foto : wikibooks.org, koranmemo

Kesenian Jaran Bodhag

Kesenian Jaran Bodhag adalah salah satu seni pertunjukan khas dari Probolinggo, Jawa Timur. Kesenian ini muncul sebagai bentuk kreativitas masyarakat pinggiran yang ingin menikmati pertunjukan populer saat itu, yaitu Jaran Kencak. Karena keterbatasan ekonomi, mereka tidak mampu menyewa atau memiliki jaran kencak, sehingga muncullah alternatif sederhana yang dibuat dari bahan mudah didapat, yaitu jaran bodhag. Dalam bahasa Jawa, jaran berarti kuda dan bodhag berarti wadah, sehingga jaran bodhag dapat dimaknai sebagai tiruan kuda yang terbuat dari batang kayu atau rotan dan dibentuk menyerupai kepala hingga leher kuda. Bagian leher kemudian dihias dengan berbagai aksesoris yang menjadikan penampilannya unik dan berbeda dari kesenian kuda lainnya. Pertunjukannya biasanya dilakukan oleh dua pembawa jaran bodhag dan dua penari, laki laki dan perempuan yang berperan sebagai penunggang. Mereka menari seolah-olah menaiki kuda sungguhan sehingga dari kejauhan menyerupai pertunjukan Jaran Kencak.

Pertunjukan Jaran Bodhag dilakukan dalam bentuk arak-arakan di jalan atau di halaman rumah, diiringi musik tradisional gamelan seperti kenong telo, gong, kendang, tambur, saron, dan sronen (seruling khas Madura). Lagu-lagu tradisional mengiringi para seniman yang tampil dengan pakaian meriah dan unik. Selain itu, pertunjukan ini juga disertai sesajen. Terdapat dua jenis sesajen, yaitu untuk tuan rumah dan untuk pemain, gamelan, serta pengantin. Sesajen untuk tuan rumah biasanya berupa benda-benda yang digantung di depan panggung dan digunakan sebagai inspirasi dalam pembuatan lagu yang berbentuk pantun saat pertunjukan. Sementara itu, sesajen untuk pemain dan perlengkapan pertunjukan meliputi kelapa, beras putih, ayam (hidup dan mentah), dua tandan pisang, jajanan, sirih, pinang, gula, kopi, cengkeh, tembakau, santan, kemenyan, dan sebagainya.

Awalnya, kesenian Jaran Bodhag dikenal sebagai hiburan hajatan seperti khitanan, pernikahan atau perayaan lainnya, kini jaran bodhag mengalami perubahan fungsi menjadi kesenian khas daerah yang merepresentasikan identitas masyarakat. Tidak diketahui secara pasti siapa penciptanya atau kapan kesenian ini pertama kali muncul. Konon, ada yang mengatakan kesenian ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit, ada pula yang menyebut baru muncul setelah Indonesia merdeka. Namun, sejak awal 2000-an, perhatian terhadap Jaran Bodhag semakin besar. Pemerintah daerah pun aktif melestarikannya dengan menggelar pertunjukan dan festival tahunan seperti Festival Pendhalungan. Kini, Jaran Bodhag telah menjadi ikon budaya Probolinggo dan pada tanggal 17 Oktober 2014 ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (MRN) 

KEBO-KEBOAN: Warisan Budaya Unik Banyuwangi

Kebo-keboan merupakan salah satu upacara adat masyarakat suku Using, Banyuwangi, Jawa Timur. Tradisi ini tidak hanya menjadi bentuk ungkapan syukur atas hasil panen, tetapi juga melambangkan kekuatan, spiritualitas, serta penghormatan kepada leluhur. Secara Harfiah, istilah kebo-keboan berasal dari kerbau tiruan karena dalam upacara ini, para peserta dirias seperti kerbau. Mereka tampil dengan tubuh berwarna hitam yang dilumuri oli, mengenakan rambut palsu, tanduk, serta sebagian membawa alat bajak sawah.

Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun, konon sejak abad ke-18 Masehi dan berawal dari Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh. Dalam sejarahnya, tradisi ini berkaitan dengan kisah Buyut Karti. Pada masa itu, wabah penyakit yang disebabkan oleh kekuatan supranatural sulit disembuhkan melanda manusia dan tanaman melalui wujud hama sehingga banyak petani yang gagal panen. Akibatnya, beras menjadi langka dan menyebabkan banyak orang sakit meninggal. Dalam pertapaannya, Buyut Karti mendapat petunjuk bahwa warga harus menggelar upacara dengan berdandan seperti kerbau karena kerbau dianggap sebagai sahabat petani dalam membajak sawah.

Di Desa Aliyan, seorang tokoh bernama Mbah Wongso Kenongo beserta anaknya, Joko Pekik, juga menerima wangsit serupa. Setelah menyelesaikan pertapaannya, Joko Pekik mulai bertingkah seperti kerbau, berguling-guling di sawah. Tidak lama setelah itu, tanaman kembali subur, hama menghilang, dan warga pulih dari wabah. Sejak saat itu, kebo-keboan menjadi tradisi tahunan yang dilaksanakan pada hari minggu pertama di bulan Muharam atau Suro dalam penanggalan Jawa (sekitar tanggal 1–10).

Tradisi Kebo-keboan digelar di dua desa, yaitu Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh dan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi. Meskipun memiliki konsep serupa, pelaksanaan tradisi Kebo-keboan di kedua desa ini memiliki beberapa perbedaan. Di Desa Alasmalang, Kebo-keboan tidak hanya menjadi ritual adat, tetapi juga menjadi daya tarik wisata. Dalam pelaksanaannya, tradisi Kebo-keboan ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama, warga menggelar selamatan dengan menyajikan 12 tumpeng, berbagai lauk-pauk, jenang sengkolo, dan tujuh porsi jenang suro. Makanan ini disantap bersama di sepanjang jalan desa. Selain itu, para tetua desa juga mengadakan ritual di lokasi-lokasi keramat, seperti Watu Laso, Watu Gajah, dan Watu Tumpeng. Tahap kedua, sebanyak 30 orang yang didandani menyerupai kerbau diarak mengelilingi empat penjuru desa, dipimpin oleh tokoh adat. Di belakang mereka, terdapat sebuah kereta yang membawa sosok Dewi Sri, simbol kesuburan dan padi. Tahap ketiga, upacara diakhiri dengan prosesi penanaman benih padi oleh para peserta yang berperan sebagai manusia kerbau.

Sementara itu, di Desa Aliyan, upacara Kebo-keboan relatif lebih kental dengan aturan adat dan dilakukan secara terstruktur. Pelaksanaan upacara Kebo-keboan di Desa Aliyan berlangsung dalam lima tahap. Pertama, tahap persiapan, yaitu pemasangan umbul-umbul di sepanjang jalan desa sebagai tanda dimulainya upacara. Kedua, dibuat kubangan lumpur di sepanjang rute arak-arakan, yang melambangkan tempat persemaian padi. Ketiga, membuat Gunungan berisi berbagai hasil panen dan buah-buahan sebagai simbol kesejahteraan. Keempat, ider bumi, yaitu prosesi arak-arakan manusia kerbau mengelilingi desa untuk mengusir bala dan membawa berkah. Kelima, tahap penutup disebut ngurit, yaitu tokoh yang berperan sebagai Dewi Sri menyerahkan benih padi kepada ketua adat, kemudian membagikannya kepada petani untuk ditanam.

Kebo-keboan bukan sekadar tradisi, melainkan bentuk warisan budaya yang mencerminkan nilai-nilai spiritual, kebersamaan, serta hubungan erat antara manusia dan alam. Hingga kini, ritual ini tetap lestari dan menjadi daya tarik budaya yang unik di Banyuwangi (MRN).

Tari Lahbako, Tari Tembakau dari Jember

Tari Lahbako adalah tarian tradisional yang menjadi salah satu ikon Kabupaten Jember, Jawa Timur karena menggambarkan kehidupan para petani tembakau di sana. Tarian ini juga wujud apresiasi terhadap peran perempuan Jember yang terlibat dalam sebagian besar proses produksi tembakau. Gerakan para penari perempuan menggambarkan aktivitas petani tembakau di ladang. Penari memakai busana dan atribut bernuansa daun tembakau. 

Nama Lahbako merupakan gabungan dua kata yaitu “lah” dan “bako”. Kata “lah” diambil dari kata olah atau “mengolah” sedangkan kata “bako” berarti tembakau. Jadi, Lahbako bermakna tarian yang menceritakan pengolahan tembakau. Pentas tari Lahbako dilakukan  4–8 penari perempuan yang diawali dengan gerakan yang menggambarkan perjalanan dari rumah menuju kebun tembakau. Lalu dilanjutkan dengan gerakan menggambarkan pemetikan daun tembakau dan memasukan ke dalam keranjang. Tarian berlanjut dengan gerakan berjalan ke gudang sambil membawa keranjang tembakau lantas dilanjutkan dengan gerakan menjemur daun tembakau hingga kering. Tarian ditutup dengan gerakan menata daun tembakau dan pengemasan.

Semua penggambaran tersebut ditampilkan dengan gerakan yang indah dan penuh makna.  Gerakan lembut dan lugas dalam tarian ini selaras dengan musik patrol sebagai pengiringnya. Musik patrol terdiri atas kentongan, suling, dan gendang yang dimainkan tujuh pria.

Para penari menggunakan atasan kebaya dan bawahan berupa kain panjang dan celemek yang biasa digunakan petani ketika bekerja di kebun tembakau. Pada bagian kepala, penari menggunakan sanggul cemol, jenis sanggul yang memanjang ke atas. Selain itu, berbagai aksesoris seperti tiga bendera kecil berbeda warna dengan arti peran atau tugas petani ketika bekerja. Ada yang memanen, menyortir, dan mengemas. Ada pula anting-anting dan aksesoris lain berbentuk daun tembakau. 

Tari Lahbako terbentuk dari keinginan Bupati Jember tahun 1985 Suryadi Setiawan yang menginginkan adanya tarian sebagai ikon identitas budaya Jember yang sesuai dengan potensi Jember. 

Sumber : kompasiana.com, diolah
Foto : antaranews.com

Tradisi Gembyangan Waranggana

Tradisi Gembyangan Waranggana merupakan prosesi wisuda bagi penari tayub yang masih dilaksanakan di Dusun Ngrajek, Desa Sambirejo, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Prosesi pengukuhan dilakukan kepada para penari tayub yang sudah lulus dan mampu menari mengiringi 10 gending Jawa sebelum siap bekerja sebagai penari tayub. Tradisi ini dilakukan setahun sekali pada hari Jumat pahing di bulan besar penanggalan Jawa.

Dalam ritual pengukuhan, pemangku adat memercikkan air suci yang berasal dari air terjun Sedudo dan air sumur Punden Mbah Ageng dari dalam kendi kepada para calon waranggana. Air suci tersebut kemudian juga dituangkan ke selembar daun pisang yang telah dipegang oleh masing-masing calon waranggana untuk diminum. Air suci ini diyakini mengandung berkah bagi para calon waranggana.

Ritual dilanjutkan dengan merobek daun waru yang dipercaya bisa mendatangkan berkah. Lantas pemangku adat memasangkan tusuk konde pada sanggul para calon waranggana yang dilanjutkan dengan menari mengitari sumur Punden Mbah Ageng, karena dipercaya bisa memancarkan cahaya bagi para calon waranggana.

Tradisi yang dilakukan sejak tahun 1934 ini telah dicatat sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) Kemendikbud pada 1 Januari 2013 dalam kategori seni pertunjukan dari Provinsi Jatim.

 

Sumber : bacaini.id, digilib.isi.ac.id, warisanbudaya.kemdikbud.go.id, diolah

Foto : indonesia-tourism.com / inews.co.id 

 

Tari Ghambhu

Tari Ghambhu merupakan tarian dari Kabupaten Sumenep dan merupakan tari berpasangan yang bertemakan keprajuritan. Secara koreografi, tari Ghambhu termasuk dalam tari putra berpasangan yang dapat dibawakan dalam bentuk duet (2 penari) atau kelompok dengan komposisi penari berjumlah genap: 4 penari-6 penari, dan seterusnya.  Tari Ghambhu secara historis belum ada data tertulis, namun berdasarkan bentuk dan tema tari secara visual diduga merupakan “tranformasi dari tradisi olah keprajuritan para prajurit-prajurit kraton pada masa lampau” Menurut beberapa sumber di antaranya pelaku seni tari Ghambhu sudah generasi kelima atau sekitar 200-an tahun yang lalu sudah ada tari Ghambhu. Pada waktu itu ditampilkan tari Ghambhu Taming yang diundang ke keraton sebelum prajurit berangkat perang dan setelah pulang perang.

Tari Ghambhu di wilayah Sumenep ada tiga versi atau gaya, yaitu:

1.   Tari Ghambhu Rangsang dari Batuputih

Tari Ghambhu Rangsang menggambarkan kebangkitan kembali rasa keberanian seorang satria (lelaki), yang diekspresikan melalui gerak bersolek

2.   Tari Ghambhu Taming dari komunitas Rukun Perawas Desa Slopeng.

Kemunculan tari Ghambhu Taming tidak lepas dari perkembangan Topeng Dhalang di Sumenep. Bila dilihat dari perkembangan tari Ghambhu yang kemudian ditarik ke belakang dengan perhitungan yang dimulai dari proses perkembangan Topeng Dhalang yaitu sejak Moncari kemudian Mistahab, Lubanjir (Juserep) hingga Supakra maka tari Ghambhu Taming diperkirakan berkembang sejak abad ke XVII (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990/ 1991: 8).

3.   Tari Ghambhu Keris versi keraton.

Tari Ghambhu Kêrres merupakan tari Ghambhu versi keraton yang digubah oleh Taufiqurachman (Almarhum). Tari Ghambhu Kêrres    diprakarsai oleh seniman tari Sumenep Taufiqurachman pada tahun 1990-an. Taufiqurachman merupakan salah seorang seniman tari dari Kabupaten Sumenep yang pernah menempuh pendidikan seni di ASRI dan di PLT Bagong Kussudiarjo Yogyakarta.

Kemudian dalam perkembangannya ada Tari Ghambhu Pamungkas sebuah tarian pembuka dalam pertunjukan Topeng Dhalang yang secara koreografi merupakan tari kelompok putra berpasangan dengan tema prajurit berlatih perang. Tari Ghambhu Pamungkas yang sekarang sering tampil dalam acara pembuka pertunjukan Topeng Dhalang adalah hasil gubahan atau kreativitas pelaku seni dari Komunitas atau Grup Rukun Pewaras Desa Slopeng Kecamatan Dasuk.

Tari Ghambhu Sumenep, selain memiliki nilai historis, fungsi ritual dan hiburan juga memiliki makna filosofis dan nilai budaya. Makna filosofis pada tari Ghambhu yang menggambarkan adegan perang yang  41  diawali sembah untuk mempersiapkan diri dan mohon doa kepada Tuhan agar memperoleh kesuksesan. Properti menggunakan keris bukan sebagai senjata tetapi sebagai pusaka sehingga dikeluarkan bilamana perlu atau terpaksa sebagai senjata. Kemudian busana atau kostum yang digunakan menggambarkan tokoh pewayangan, seperti gerak alus karakter Arjuna, sedangkan gerak kasar tokoh-tokoh jahat. Dalam kostum terdapat ukiran pada masa Majapahit berupa daun/ tumbuhan bahwa menggambarkan tumbuh itu hidup.

Tari Ghambhu memiliki nilai budaya, di antaranya nilai estetis, heroik dan spiritual. Nilai estetis atau keindahan dapat dilihat dari pola gerak yang memadukan gerak alus dan gagahan sehingga menjadi gerak dinamis yang mengandung makna simbolis. Keindahan ini dapat dilihat gerak tari yang halus sampai gerak yang dinamis. Nilai heroik, karena tema tari Ghambhu menggambarkan keprajuritan yang menampilkan nilai-nilai keberanian dan ketangkasan sebagai seorang prajurit keraton. Tari Gambhu sebagai sarana pembentuk karakter jiwa kesatria. Pembentukan karakter ini bisa melalui kedisiplinan, beolah fisik dan berolah batin dan ini akan membentuk karakter penarinya. sedangkan nilai spiritual dapat dilihat pada pola gerak prinsip keblat papat lima pancer yang merupakan arah mata angin yang diidentikan dengan sedulur (saudara) di empat wilayah ikut menjaga diri manusia, arah timur dilambangkan warna putih artinya suci, arah selatan warna merah artinya membimbing diri manusia melakukan perbuatan, arah barat warna kuning artinya cahaya manusia, dan arah utara warna hitam artinya sifat kegelapan. Keempat zat tersebut senantiasa ikut mendampingi diri manusia dalam mengalami kehidupan, sedangkan lima pancer, pusatnya (pancer) ada di dalam diri masing-masing penari.

sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/home/explore/cultural/29947

Tari Tere Teng’

Asal muasal tari teng tere adalah sebuah bentuk upaya masyarakat untuk mengelabuhi penjajah di masa masyarakat wajib membayar upeti kepada penjajah.hasil bercocok tanam rakyat sebagian besar harus di kasih ke para penjajah. Alhasil masyarakat berinisiatif untuk mengelabui para penjajah.                                                                                                                                     

Teng arti dasar kata dari petteng yang berarti lampu obor sedangkan tere artinya sedikit jadi teng tere merupakan tarian lampu obor yang remang remang. Dahulu tarian ini dilaksanakan di depan halaman rumah yang berderet dengan istilah tanean lanjang tarian ini dilakukan oleh anak anak baik  laki laki maupun  perempuan namun kebanyakan tarian ini diperankan oleh anak anak perempuan.

Tarian teng tere digelar menjelang musim panen jagung ketika panen di lakukan di malam hari untuk mengelabui para penjajah. Sehingga dengan konsep yang ditawarkan oleh masyarakat dahulu.di kemas panen malam hari agar para penjajah mengira hanya acara kecil masyarakat biasa namun pada saat itu juga di ladang ladang masyarakat lagi panen jagung. Alih ali tarian itu dilakukan dalam upaya tipu daya masyarakat terhadap penjajah dengan kelengkapan krincingan (gungseng) lalu sapu tangan (sot tanang) hingga obor yang dikemas sedemikian rupa yang terbuat dari bambu.

Tarian ini dilakukan di kawasan desa banasare yang notabene bermata pencaharian sebagai petani,yang pada setiap musim panen beda tanaman yakni beda strategi tipu daya. Yang dijelaskan dari atas adalah  kejadian yang terjadi pada saat musim panen jagung.

 

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/home/explore/cultural/29899 

Tari Muang Sangkal

Tari muang sangkal merupakan kesenian yang menjadi salah satu ikon Kabupaten Sumenep. Secara harfiah kata muang membuang, sangkal balak atau petaka, artinya tarian tersebut untuk membuang balak atau petaka yang ada dalam diri seseorang. Kemunculan tari muang sangkal tidak terpisahkan dari Keraton Sumenep. Keberadaan Keraton Sumenep telah melahirkan tradisi budaya baik terkait dengan upacara adat maupun kesenian.

Terinspirasi gerakan tari tayub yang mulai dibakukan sekitar tahun 1891, dengan gerakan yang halus dan lembut, dan kebetulan Kabupaten Sumenep belum mempunyai bentuk tarian yang dijadikan simbol atau ciri khas dari masyarakat Sumenep. Maka salah satu maestro kesenian di Sumenep yaitu Taufiqqurachan pada tahun 1962 menciptakan tari muang sangkal. Gerakan tari muang sangkal dasarnya gerak-gerak Keraton Sumenep yang bertitik tolak tari gaya Yogyakarta yang dipadukan dengan gerak-gerak ciptaan yang tidak menyimpang dari nafas dan ciri-ciri Keraton Sumenep.

Ciri khas tari muang sangkal penarinya harus ganjil, dalam keadaan suci atau perawan tidak menstruasi, busana yang dipakai dodot legha, pada saat menari memegang cemong (mangkok kuningan) yang berisi beras kuning dan aneka kembang (bunga). Menurut fungsinya ada tiga, yaitu (1) sebagi cerminan dan legimitasi tatanan sosial: tari muang sangkal hanya kaum perempuan saja yang boleh menarikan dengan jumlah ganjil terdiri dari gadis-gadis remaja yang berparas cantik dan gemulai, dan akan berhenti menjadi penari ketika sudah menikah atau tidak perawan lagi; (2) sebagai wahana ritus yang bersifat religius: tari mung sangkal suatu tarian yang bersifat sakral dan agamis yang mengungkapkan suatu doa agar diberikan keselamatan; (3) sebagai hiburan sosial: tari muang sangkal semula sebagai seni tari di dalam lingkungan keraton untuk membuang balak dan mengandung doa, namun perkembangannya berubah atau beralih keluar tembok keraton yang sifatnya menjadi tontonan atau hiburan seperti hajatan pernikahan dan acara-acara lain.

Tari muang sangkal tidak hanya menarik kepiawaian dan keluwesan, tetapi dibalik itu mempunyai makna simbolis yaitu pada saat penari menabur beras kuning pada saat menjamu kedatangan tamu ‘agung’ di Pendopo Keraton Sumenep, atau saat acara resepsi perkawinan. Penaburan beras kuning ini sebagai simbol ungkapan doa memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar tamu yang datang diberi keselamatan dan terhindar dari bahaya, dan acara yang diselenggarakan berjalan lancar dan sukses. Pada acara resepsi pernikahan agar prosesi pernikahan berjalan lancar dan mempelai berdua dalam menjalani hidupu rumah tangga berjalan langgeng. Selain itu, dari segi gerakan yang halus dan luwes dan tampak anggun menunjukkan sikap adhep asor dan dapat membentuk karakter penarinya halus dan lembut serta luwes.

 

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/home/explore/cultural/4739