Tradisi Gembyangan Waranggana

Tradisi Gembyangan Waranggana merupakan prosesi wisuda bagi penari tayub yang masih dilaksanakan di Dusun Ngrajek, Desa Sambirejo, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Prosesi pengukuhan dilakukan kepada para penari tayub yang sudah lulus dan mampu menari mengiringi 10 gending Jawa sebelum siap bekerja sebagai penari tayub. Tradisi ini dilakukan setahun sekali pada hari Jumat pahing di bulan besar penanggalan Jawa.

Dalam ritual pengukuhan, pemangku adat memercikkan air suci yang berasal dari air terjun Sedudo dan air sumur Punden Mbah Ageng dari dalam kendi kepada para calon waranggana. Air suci tersebut kemudian juga dituangkan ke selembar daun pisang yang telah dipegang oleh masing-masing calon waranggana untuk diminum. Air suci ini diyakini mengandung berkah bagi para calon waranggana.

Ritual dilanjutkan dengan merobek daun waru yang dipercaya bisa mendatangkan berkah. Lantas pemangku adat memasangkan tusuk konde pada sanggul para calon waranggana yang dilanjutkan dengan menari mengitari sumur Punden Mbah Ageng, karena dipercaya bisa memancarkan cahaya bagi para calon waranggana.

Tradisi yang dilakukan sejak tahun 1934 ini telah dicatat sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) Kemendikbud pada 1 Januari 2013 dalam kategori seni pertunjukan dari Provinsi Jatim.

 

Sumber : bacaini.id, digilib.isi.ac.id, warisanbudaya.kemdikbud.go.id, diolah

Foto : indonesia-tourism.com / inews.co.id 

 

Tari Ghambhu

Tari Ghambhu merupakan tarian dari Kabupaten Sumenep dan merupakan tari berpasangan yang bertemakan keprajuritan. Secara koreografi, tari Ghambhu termasuk dalam tari putra berpasangan yang dapat dibawakan dalam bentuk duet (2 penari) atau kelompok dengan komposisi penari berjumlah genap: 4 penari-6 penari, dan seterusnya.  Tari Ghambhu secara historis belum ada data tertulis, namun berdasarkan bentuk dan tema tari secara visual diduga merupakan “tranformasi dari tradisi olah keprajuritan para prajurit-prajurit kraton pada masa lampau” Menurut beberapa sumber di antaranya pelaku seni tari Ghambhu sudah generasi kelima atau sekitar 200-an tahun yang lalu sudah ada tari Ghambhu. Pada waktu itu ditampilkan tari Ghambhu Taming yang diundang ke keraton sebelum prajurit berangkat perang dan setelah pulang perang.

Tari Ghambhu di wilayah Sumenep ada tiga versi atau gaya, yaitu:

1.   Tari Ghambhu Rangsang dari Batuputih

Tari Ghambhu Rangsang menggambarkan kebangkitan kembali rasa keberanian seorang satria (lelaki), yang diekspresikan melalui gerak bersolek

2.   Tari Ghambhu Taming dari komunitas Rukun Perawas Desa Slopeng.

Kemunculan tari Ghambhu Taming tidak lepas dari perkembangan Topeng Dhalang di Sumenep. Bila dilihat dari perkembangan tari Ghambhu yang kemudian ditarik ke belakang dengan perhitungan yang dimulai dari proses perkembangan Topeng Dhalang yaitu sejak Moncari kemudian Mistahab, Lubanjir (Juserep) hingga Supakra maka tari Ghambhu Taming diperkirakan berkembang sejak abad ke XVII (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990/ 1991: 8).

3.   Tari Ghambhu Keris versi keraton.

Tari Ghambhu Kêrres merupakan tari Ghambhu versi keraton yang digubah oleh Taufiqurachman (Almarhum). Tari Ghambhu Kêrres    diprakarsai oleh seniman tari Sumenep Taufiqurachman pada tahun 1990-an. Taufiqurachman merupakan salah seorang seniman tari dari Kabupaten Sumenep yang pernah menempuh pendidikan seni di ASRI dan di PLT Bagong Kussudiarjo Yogyakarta.

Kemudian dalam perkembangannya ada Tari Ghambhu Pamungkas sebuah tarian pembuka dalam pertunjukan Topeng Dhalang yang secara koreografi merupakan tari kelompok putra berpasangan dengan tema prajurit berlatih perang. Tari Ghambhu Pamungkas yang sekarang sering tampil dalam acara pembuka pertunjukan Topeng Dhalang adalah hasil gubahan atau kreativitas pelaku seni dari Komunitas atau Grup Rukun Pewaras Desa Slopeng Kecamatan Dasuk.

Tari Ghambhu Sumenep, selain memiliki nilai historis, fungsi ritual dan hiburan juga memiliki makna filosofis dan nilai budaya. Makna filosofis pada tari Ghambhu yang menggambarkan adegan perang yang  41  diawali sembah untuk mempersiapkan diri dan mohon doa kepada Tuhan agar memperoleh kesuksesan. Properti menggunakan keris bukan sebagai senjata tetapi sebagai pusaka sehingga dikeluarkan bilamana perlu atau terpaksa sebagai senjata. Kemudian busana atau kostum yang digunakan menggambarkan tokoh pewayangan, seperti gerak alus karakter Arjuna, sedangkan gerak kasar tokoh-tokoh jahat. Dalam kostum terdapat ukiran pada masa Majapahit berupa daun/ tumbuhan bahwa menggambarkan tumbuh itu hidup.

Tari Ghambhu memiliki nilai budaya, di antaranya nilai estetis, heroik dan spiritual. Nilai estetis atau keindahan dapat dilihat dari pola gerak yang memadukan gerak alus dan gagahan sehingga menjadi gerak dinamis yang mengandung makna simbolis. Keindahan ini dapat dilihat gerak tari yang halus sampai gerak yang dinamis. Nilai heroik, karena tema tari Ghambhu menggambarkan keprajuritan yang menampilkan nilai-nilai keberanian dan ketangkasan sebagai seorang prajurit keraton. Tari Gambhu sebagai sarana pembentuk karakter jiwa kesatria. Pembentukan karakter ini bisa melalui kedisiplinan, beolah fisik dan berolah batin dan ini akan membentuk karakter penarinya. sedangkan nilai spiritual dapat dilihat pada pola gerak prinsip keblat papat lima pancer yang merupakan arah mata angin yang diidentikan dengan sedulur (saudara) di empat wilayah ikut menjaga diri manusia, arah timur dilambangkan warna putih artinya suci, arah selatan warna merah artinya membimbing diri manusia melakukan perbuatan, arah barat warna kuning artinya cahaya manusia, dan arah utara warna hitam artinya sifat kegelapan. Keempat zat tersebut senantiasa ikut mendampingi diri manusia dalam mengalami kehidupan, sedangkan lima pancer, pusatnya (pancer) ada di dalam diri masing-masing penari.

sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/home/explore/cultural/29947

Tari Tere Teng’

Asal muasal tari teng tere adalah sebuah bentuk upaya masyarakat untuk mengelabuhi penjajah di masa masyarakat wajib membayar upeti kepada penjajah.hasil bercocok tanam rakyat sebagian besar harus di kasih ke para penjajah. Alhasil masyarakat berinisiatif untuk mengelabui para penjajah.                                                                                                                                     

Teng arti dasar kata dari petteng yang berarti lampu obor sedangkan tere artinya sedikit jadi teng tere merupakan tarian lampu obor yang remang remang. Dahulu tarian ini dilaksanakan di depan halaman rumah yang berderet dengan istilah tanean lanjang tarian ini dilakukan oleh anak anak baik  laki laki maupun  perempuan namun kebanyakan tarian ini diperankan oleh anak anak perempuan.

Tarian teng tere digelar menjelang musim panen jagung ketika panen di lakukan di malam hari untuk mengelabui para penjajah. Sehingga dengan konsep yang ditawarkan oleh masyarakat dahulu.di kemas panen malam hari agar para penjajah mengira hanya acara kecil masyarakat biasa namun pada saat itu juga di ladang ladang masyarakat lagi panen jagung. Alih ali tarian itu dilakukan dalam upaya tipu daya masyarakat terhadap penjajah dengan kelengkapan krincingan (gungseng) lalu sapu tangan (sot tanang) hingga obor yang dikemas sedemikian rupa yang terbuat dari bambu.

Tarian ini dilakukan di kawasan desa banasare yang notabene bermata pencaharian sebagai petani,yang pada setiap musim panen beda tanaman yakni beda strategi tipu daya. Yang dijelaskan dari atas adalah  kejadian yang terjadi pada saat musim panen jagung.

 

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/home/explore/cultural/29899 

Tari Muang Sangkal

Tari muang sangkal merupakan kesenian yang menjadi salah satu ikon Kabupaten Sumenep. Secara harfiah kata muang membuang, sangkal balak atau petaka, artinya tarian tersebut untuk membuang balak atau petaka yang ada dalam diri seseorang. Kemunculan tari muang sangkal tidak terpisahkan dari Keraton Sumenep. Keberadaan Keraton Sumenep telah melahirkan tradisi budaya baik terkait dengan upacara adat maupun kesenian.

Terinspirasi gerakan tari tayub yang mulai dibakukan sekitar tahun 1891, dengan gerakan yang halus dan lembut, dan kebetulan Kabupaten Sumenep belum mempunyai bentuk tarian yang dijadikan simbol atau ciri khas dari masyarakat Sumenep. Maka salah satu maestro kesenian di Sumenep yaitu Taufiqqurachan pada tahun 1962 menciptakan tari muang sangkal. Gerakan tari muang sangkal dasarnya gerak-gerak Keraton Sumenep yang bertitik tolak tari gaya Yogyakarta yang dipadukan dengan gerak-gerak ciptaan yang tidak menyimpang dari nafas dan ciri-ciri Keraton Sumenep.

Ciri khas tari muang sangkal penarinya harus ganjil, dalam keadaan suci atau perawan tidak menstruasi, busana yang dipakai dodot legha, pada saat menari memegang cemong (mangkok kuningan) yang berisi beras kuning dan aneka kembang (bunga). Menurut fungsinya ada tiga, yaitu (1) sebagi cerminan dan legimitasi tatanan sosial: tari muang sangkal hanya kaum perempuan saja yang boleh menarikan dengan jumlah ganjil terdiri dari gadis-gadis remaja yang berparas cantik dan gemulai, dan akan berhenti menjadi penari ketika sudah menikah atau tidak perawan lagi; (2) sebagai wahana ritus yang bersifat religius: tari mung sangkal suatu tarian yang bersifat sakral dan agamis yang mengungkapkan suatu doa agar diberikan keselamatan; (3) sebagai hiburan sosial: tari muang sangkal semula sebagai seni tari di dalam lingkungan keraton untuk membuang balak dan mengandung doa, namun perkembangannya berubah atau beralih keluar tembok keraton yang sifatnya menjadi tontonan atau hiburan seperti hajatan pernikahan dan acara-acara lain.

Tari muang sangkal tidak hanya menarik kepiawaian dan keluwesan, tetapi dibalik itu mempunyai makna simbolis yaitu pada saat penari menabur beras kuning pada saat menjamu kedatangan tamu ‘agung’ di Pendopo Keraton Sumenep, atau saat acara resepsi perkawinan. Penaburan beras kuning ini sebagai simbol ungkapan doa memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar tamu yang datang diberi keselamatan dan terhindar dari bahaya, dan acara yang diselenggarakan berjalan lancar dan sukses. Pada acara resepsi pernikahan agar prosesi pernikahan berjalan lancar dan mempelai berdua dalam menjalani hidupu rumah tangga berjalan langgeng. Selain itu, dari segi gerakan yang halus dan luwes dan tampak anggun menunjukkan sikap adhep asor dan dapat membentuk karakter penarinya halus dan lembut serta luwes.

 

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/home/explore/cultural/4739 

Ongsrotan

Ongsrotan merupakan salah satu permainan khas Gresik yang kini sudah jarang ditemui. Permainan yang konon banyak dimainkan di kawasan Kota Lama Gresik itu sudah dikenal sejak era 1960-an. Biasanya, permainan ongsrotan bersamaan dengan mainan patil lele, jumpritan dan dromulen.

Permainan ongsrotan biasanya dimainkan saat malam hari. Biasanya dimainkan saat malam bulan Purnama.  Atau istilahnya dikenal dengan permainan padang bulan. Yakni ketika bulan mengalami fase sempurna dan cahayanya terang benderang atau disebut padang bulan. Saat padang bulan, anak perempuan baik masih kecil dan remaja memainkan dolanan tersebut dengan suka cita. Mereka menikmati permainan dengan keindahan cahaya bulan Purnama.

Konon, alat yang digunakan yakni pecahan lempengan genting atau ubin. Kemudian, tanah digaris sebagai pembatas permainan. Anak-anak langsung bermain dengan lembengan genting atau ubin dengan melemparnya masuk ke dapan kotak pembatas ongsrotan.

Dalam permainan ongsrotan ini, jumlah pemain tidak dibatasi. Hanya, jumlah pemain seharusnya genap dan berpasangan. Meski yang menang maupun kalah tidak mendapat hadiah, atau hukuman, namun dolanan itu melatih kebersamaan, ketangkasan, keseimbangan fisik.

 

sumber: https://radargresik.jawapos.com/lifestyle/83937574/ongsrotan-dolanan-gresik-di-atas-ubin-dimainkan-saat-padang-bulan 

Istana Gebang atau Ndalem Gebang

Istana Gebang atau Ndalem Gebang dulunya merupakan rumah kedua orang tua Bung Karno Sang tokoh Proklamator sekaligus presiden RI pertama Republik Indonesia. Terletak di Jalan Sultan Agung No.59 Kelurahan Sananwetan, sekitar 1 kilometer dari PIPP dan 2 kilometer dari stasiun Kota Blitar.Kondisi Istana Gebang masih dalam keadaan seperti aslinya. 

Wisatawan dapat melihat interior dan furniture asli, lukisan dan foto sejarah Bung Karno. Istana Gebang juga mempunyai area parkir yang aman dan cukup luas, gedung kesenian, toilet umum serta depot makan dan minum disekitarnya. Baru-baru ini Istana Gebang mendapatkan hadiah patung Bung Karno ukuran besar kisaran 2 meter dari seniman Jakarta.

Sumber: https://pariwisata.visitblitar.com/destinasi-pariwisata/detail/istana-gebang-atau-ndalem-gebang 

Jaranan Jowo

Jaranan Jowo Kediri merupakan khasanah seni budaya lokal yang penuh pelajaran dan kesederhanaan, Kesenian Jaranan Jowo wujud kesenian yang ditampilkan oleh kaum sudra (petani) pada kala itu untuk bersyukur kepada Gusti Allah (Tuhan Yang Maha Esa) di dalamnya pertunjukan Jaranan Jowo didapat alur cerita “Bathari Sri dan Sedana’’ sedangkan menunggangi kuda sebagai perlambang bahwa kaum petani harus sabar dan bisa mengendalikan hawa nafsu  (Kuda sebagai lambang hewan mitologi nafsu).

Kesenian Jaranan Jowo biasanya ditampilkan pada saat panen raya padi, jagung dan palawija, serta di awal panen hingga proses penggilingan tebu (buka giling) pabrik gula. Selain itu juga digunakan untuk ritual pemenuhan nadzar/ ujar dan merti desa atau bersih desa.

Jaranan Jowo diawali dengan acara ritual kirim do’a kepada leluhur dalam hal ini merupakan kita menghormati dan berterimakasih atas peninggalan dari leluhur yang berupa ilmu dan harta benda, serta berterimakasih kepada Gusti Allah ( Tuhan Yang Maha Esa ) dan diakhiri dengan makan bersama.

Adegan awal adalah Tayuhan / Tayuman dalam adegan ini penari dengan  mengenakan kostum sederhana dan menaiki kuda kepang mengelilingi beberapa peralatan yang disakralkan dan sesaji serta Bopo yang duduk di tengah seraya berdo’a untuk keselamatan dan kesuksesan pertunjukan.

Adegan kedua adalah pola tari berjajar mengisahkan para petani yang berjajar menanam dan menggarap lahan yang teratur, berlanjut dengan adegan berhadapan dan saling beradu kekuatan, di adegan ini menunjukkan betapa usaha yang keras akan membuahkan hasil yang maksimal yang mana juga di lambangkan perjuangan Bhatari Sri Sedana dalam mempertahankan benih untuk di tanam dan menghasilkan bahan pangan.

Adegan ketiga adalah adegan Sadranan Naga Basuki yang mana dilambangkan sebagai mitologi pelindung, penjaga kesuburan dan kecukupan air, dalam adegan ini di akhiri dengan kesurupan yang mana sebagai sarana jembatan untuk berkomunikasi dengan leluhur. Dalam adegan ini pula seringkali para penonton yang percaya akan kehadiran leluhur biasanya juga meminta petunjuk atas kegundahan, biasanya pemain caplokan  ( Naga ) kerasukan leluhur atau Danhyang, pemain inilah yang menjadi sarana komunikasi leluhur.

Adegan keempat yaitu adegan rampokan celeng srenggi yang diwujudkan munculnya penari dengan membawa gambar atau wayang berwujud celeng atau babi hutan yang dipercaya sebagai hama atau hewan pengganggu tanaman petani yang mana akan diserang oleh para petani yang diperankan oleh pasukan berkuda dan tetek melek yang di perankan dengan sosok laki – laki dan perempuan sebagai perwujudan Bhatari Sri dan Sedana. Setelah adegan keempat ini, maka diadakan selamatan sebagai puncak pertunjukan sebagai ucapan syukur kepada Gusti Allah  ( Tuhan Yang Maha Esa ) atas hasil panen yang berlimpah.        

Peralatan yang digunakan dalam pertunjukan Jaranan Jowo    :

  1. Barong Caplokan  ( Naga )
  2. Tetek Melek ( Bhatari Sri dan Sedana ) 
  3. Kuda Lumping
  4. Celengan ( Kala Srenggi ) 
  5. Pecut                                                                            

Peralatan Gamelan                                                                                                                     

– 2 Kendang  ( Sabet dan Bem )

– 1 Bonang Laras 1 slendro

– 1 Kempul Laras 1 Slendro

– Selompret laras Pelog Barang

– 3 Angklung Bambu Laras 1,3, dan 5 Pelog

Sesaji Jaranan Jowo

Sesaji Dalam :

  • 1 ingkung
  • 1 Sego golong
  • 1 Takir Kulupan
  • 1 Takir Srundeng
  • 1 Takir Sayur padamara
  • 1 Butir Telur
  • 1 Takir Cok Bakal
  • 1 Gelas Kopi
  • 1 Gelas air Putih
  • 1 Bungkus kembang telon
  • 1 Lampu Ublik / damar Kambang
  • 1 Sundukan atau sate Jerohan Ayam
  •  1 Sego brok / nasi putih yang di letakan di Loyang
  • 1 Bungkus Kinangan

Sesaji Luar :

  • 1 Takir Cok Bakal
  • 1 Bungkus Kinangan
  • 1 Tumpeng lengkap
  • 5 Bungkus Jajan pasar
  • 5 Piring jenang sengkolo
  • 1 Bungkus karak
  • 1 Panggang Ingkung
  • 5 Bungkus kembang telon
  • 1 Takir Kemenyan
  • 1 Botol badek ketan hitam dan putih
  • 1 Wadah rujak legi
  • 1 bungkus kembang kenanga
  • 1 Biji Kelapa
  • 1 Biji segogolong
  • 1 Takir jenang katul
  •  2 Sisir pisang raja
  • 1 Ekor Ayam Ulung ulung
  • 1 Sundukan atau sate jerohan ayam
  • 1 tikar andong
  •  1 gula jawa setangkep
  • 1 biji ketela
  • 5 Botol minyak wangi
  • 1 Kaca
  • 1 Kendi Berisi air
  • 1 Rokok Klobot

Catatan Khusus

  • Ukuran tinggi kepang 90 Cm di hitung dari mulut sampai kepala
  • Ukuran Panjang kepang 1,25 m
  • Warna kepang hitam berambut ijuk
  • Tetek melek berupa topeng Wanita dan laki-laki
  • Barong Cepaplok warna merah, kelambu kain goni, dan bertali
  • Ikat kepala warna coklat
  • Celana yang digunakan penari kuda lumping warna hitam berseleret merah
  • Jarik bermotif sido mukti, sidoluhur berdasar warna putih
  • Jarik untuk Barong Cepaplok bermotif parang
  • Pakaian untuk Bopo warna hitam, celana hitam, berikat kepala hitam. 

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/home/explore/cultural/30023 

Monumen Kapal Selam

Monumen Kapal Selam, atau disingkat Monkasel, adalah sebuah museum kapal selam yang terdapat di Embong Kaliasin, Genteng, Surabaya. Terletak di pusat kota yaitu di Jalan Pemuda, tepat di sebelah Plaza Surabaya, dan terdapat pintu akses untuk mengakses mal dari dalam monumen.

Indonesia dikenal dengan negara maritim yang begitu luas. Monumen Kapal Selam (Monkasel) Surabaya, yaitu sebuah kapal yang berada di darat yang difungsikan sebagai bangunan museum sekaligus wisata. Monumen ini sebenarnya peninggalan yang masih ada dan dinikmati sampai sekarang yakni kapal selam KRI Pasopati 410, salah satu armada Angkatan Laut Republik Indonesia buatan Uni Soviet tahun 1952. Kapal selam ini pernah dilibatkan dalam Pertempuran Laut Aru untuk membebaskan Irian Barat dari pendudukan Belanda.

Kapal selam ini kemudian dibawa ke darat dan dijadikan monumen untuk memperingati keberanian pahlawan Indonesia. Monkasel ini dijadikan salah satu tempat wisata di surabaya yang unik juga edukatif[1], karena selain interior kapal selam, di sini juga diadakan pemutaran film tentang proses peperangan yang terjadi di Laut Aru. Jika ingin mengunjungi tempat wisata ini maka akan ditemani oleh seorang pemandu lokal yang terdapat di sana.

Ada cerita unik di balik hadirnya monumen Kapal Selam ini. Pada suatu malam Pak Drajat Budiyanto yang merupakan mantan KKM KRI Pasopati 410 (buatan Rusia) ini dan juga mantan KKM KRI Cakra 401 (buatan Jerman Barat), bermimpi diperintahkan oleh KSAL pada waktu itu untuk membawa kapal selam ini melayari Kali Mas. Ternyata mimpi itu menjadi kenyataan. Dia ditugaskan untuk memajang kapal selam di samping Surabaya Plaza. Caranya dengan memotong kapal selam ini menjadi beberapa bagian, kemudian diangkut ke darat, dan dirangkai dan disambung kembali menjadi kapal selam yang utuh.

 

Tari Singo Ulung

Tari Singo Ulung adalah kesenian tradisional khas dari Bondowoso yang para penarinya menggunakan kostum dan menari layaknya seekor singa. Tari ini sekilas mirip dengan kesenian barongsai, tetapi yang membedakan ialah kostum yang digunakan lebih sederhana dan tema yang dibawakan juga jauh berbeda. Tari Singo Ulung ini bercerita tentang asal mula bedirinya Desa Blimbing, sebuah desa di daerah Bondowoso, Jawa Timur. Diiringi dengan alat musik gamelan, tari Singo Ulung

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/home/explore/cultural/441

Tari Sodoran Masyarakat Tengger

“Hong Ulun Basuki Langgeng”

Tari Sodoran merupakan tari khas atau khusus dalam ritual Yadnya Karo. Tari ini disajikan pada pembukaan upacara atau rangkaian ritual Yadnya Karo. Tarian Sodoran merupakan salah satu dari ragam tarian khas masyarakat Tengger yang memiliki nilai religius. Karena bersifat religius, maka tarian ini hanya bisa disaksikan saat Yadnya Karo atau disebut juga Pujan Karo adalah suatu perayaan terbesar yang dilakukan setahun sekali, tepat bulan Karo tahun Saka.

Tari Sodoran merupakan tarian sakral khas masyarakat Tengger yang melambangkan asal-usul manusia. Menurut kepercayaan masyarakat Tengger manusia itu berasal dari Sang Hyang Widi Wasa dan mereka akan kembali kepada-Nya. Manusia berasal dari tanah maka mereka akan kembali ke tanah juga. Salah satu contoh makna gerakan tari ini adalah ketika para penari mengangkat jari telunjuk, artinya penunjukkan tersebut mengandung makna simbol terjadinya manusia pertama, bahwa manusia itu berasal dari purusa dan pradana. Purusa dan pradana merupakan sebab pertama (cikal bakal) dari alam semesta yang sifatnya kekal abadi.(Pencatatan WBTB Tahun 2013 dengan Nomor Registrasi 2013003535).

Sejarah pementasan Tari Sodoran tidak lepas dari Legenda Masyarakat Suku Tengger dan beberapa bukti sejarah yang mendukung keberadaan masyarakat suku ini beserta segala aktivitasnya.

  1. Bukti tertulis tentang Masyarakat Suku Tengger terdapat pada Prasasti Walandit yang menunjukkan adanya dua peristiwa besar yang berhubungan dengan Suku Tengger pada tahun 1381 M dan 1405 M (Wikipedia)
  2. Karya tulis beberapa ahli tentang Legenda Orang Tengger khususnya tentang Legenda Karo yang tidak lepas dari Tari Sodoran oleh J E Jasper Tahun 1926, Von Faber Tahun 1940, Robert W Hefner, dan Singgih Wibisono Tahun 1956
  3. Karya tulis tentang mantera Tengger oleh Nancy J Smith Hefner
  4. Pencerita Legenda Karo orang Tengger Malang

Point b,c,d (Sutarto, 2009)

Pementasan tari Sodoran tidak lepas dari Ritual Pembukaan Yadnya Karo (diperingati pada sasi Karo Penanggalan Tengger) yang diawali dengan berkumpulnya masing-masing kelompok Pengantin Sodor di rumah Ketua Dukun Pandita di Dusun Tlogosari Desa Tosari Kabupaten Pasuruan Jawa Timur untuk kemudian diarak bersama ke Punden Desa Tosari.

Sebelum berangkat beberapa anggota pengantin Sodor melakukan berbagai persiapan kelengkapan upacara, seperti memakai pakaian adat Suku Tengger yang lengkap dengan ikat kepala dan mengenakan keris yang dironce bunga melati. Sebagian lainnya melakukan ritual penyucian diri dengan air kembang yang dipimpin Ketua Adat dengan harapan pada pelaksanaan kegiatan prosesi Sodoran dapat berjalan lancar dan hikmat.

Dengan diiringi musik tradisional Suku Tengger rombongan Pengantin Sodor kemudian berjalan bersama menuju Punden Desa Tosari yang letaknya diatas bukit. Sesampainya di Punden Desa Tosari rombongan Pengantin Sodoran melakukan doa bersama kepada Sang Hyang Widi agar warga Suku Tengger senantiasa diberi keselamatan dan ketentraman.

Tarian sakral ini melambangkan pertemuan dua jenis manusia yaitu laki-laki dan perempuan, dari keduanya dimulailah kehidupan alam semesta. Dalam tarian ini masing-masing penari membawa sebuah tongkat bambu/sodor yang berisi biji bibit tanaman yang kedua ujungnya ditutup serabut kelapa. Tongkat tersebut nantinya akan dipukulkan oleh masing-masing penari kepada tongkat penari pasangannya dengan gerakan yang lembut dan penuh penghayatan. Kehalusan budi dan perasaan serta etika kesopanan nenek moyang Suku Tengger dalam menggambarkan asal-muasal kehidupan inilah yang kemudian sering disebut dengan ajaran Sangkan Paraning Dumadi. Sebuah ajaran Jawa Kuno tentang tujuan hidup manusia, mengapa manusia dilahirkan, dan kemana nantinya akhir kehidupan ini.

Tari Sodoran selalu ditarikan secara berpasangan dan memiliki makna dan gerakan yang cukup sederhana, mudah ditirukan tetapi memiliki makna yang sangat mendalam. Gerakan tari Sodoran memiliki makna bahwa manusia dalam kehidupan berumah tangga harus senantiasa harmonis dan hidup apa adanya. Walaupun sepintas gerakannya terlihat monoton dan berulang-ulang, ternyata tarian sakral ini mampu menyedot emosi dari para penari yang membawakannya. Selama beberapa saat menari tampak sebagian penari yang wajahnya mulai sembab dan berkaca-kaca.

Puncak ritual tarian ini adalah ketika semua penari sodor memukulkan tongkat sodoran ke panggung untuk memecahkan bambu dan mengeluarkan biji bibit tanaman yang ada di dalamnya. Setelah selesai masing-masing penari melakukan gerakan sungkem saling menghormati dengan penari lainnya serta sungkem kepada para Dukun Pandita dan Sesepuh Warga Tengger.

Menurut Putri Nurul Islam dalam Simbol Properti Tari Sodor Pada Ritual Karo Di Desa Wonokitri Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan Tahun 2017 menjelaskan bahwa makna simbolik properti tari Sodor pada tongkat bambu (pring) menggambarkan lahirnya manusia yang berasal dari hubungan antara Setya dan Setuhu atau laki-laki dan perempuan. Dari segi bentuk tongkat bambu menggambarkan alat kelamin manusia, dan dari segi warna tongkat bambu yang berwarna hijau yang menggambarkan proses penciptaan manusia itu secara alami, manusia lahir dari muda hingga tua.

Tari Sodoran secara gamblang membingkai pengetahuan lokal tentang siklus kehidupan manusia mulai awal hingga akhir melalui sebuah proses yang disimbolkan oleh pusaka Sarutama. Sebuah proses yang saru ‘tabu’ untuk diucapkan, tetapi menjadi aspek tama ‘utama’ dalam melangsungkan keturunan.

Pelaksanaan ritual Tari Sodoran pada setiap tahun saat Pembukaan Yadnya Karo memiliki fungsi sosial yang memperkuat kepatuhan Wong Tengger terhadap adat-istiadat. Karena dengan mematuhi adat-istiadat dapat membentuk suatu masyarakat yang mengedepankan toleransi dan prinsip hidup gotong royong, bahkan dapat pula membentuk masyarakat yang harmoni dan seimbang.

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/home/explore/cultural/29185