Monumen Kapal Selam

Monumen Kapal Selam, atau disingkat Monkasel, adalah sebuah museum kapal selam yang terdapat di Embong Kaliasin, Genteng, Surabaya. Terletak di pusat kota yaitu di Jalan Pemuda, tepat di sebelah Plaza Surabaya, dan terdapat pintu akses untuk mengakses mal dari dalam monumen.

Indonesia dikenal dengan negara maritim yang begitu luas. Monumen Kapal Selam (Monkasel) Surabaya, yaitu sebuah kapal yang berada di darat yang difungsikan sebagai bangunan museum sekaligus wisata. Monumen ini sebenarnya peninggalan yang masih ada dan dinikmati sampai sekarang yakni kapal selam KRI Pasopati 410, salah satu armada Angkatan Laut Republik Indonesia buatan Uni Soviet tahun 1952. Kapal selam ini pernah dilibatkan dalam Pertempuran Laut Aru untuk membebaskan Irian Barat dari pendudukan Belanda.

Kapal selam ini kemudian dibawa ke darat dan dijadikan monumen untuk memperingati keberanian pahlawan Indonesia. Monkasel ini dijadikan salah satu tempat wisata di surabaya yang unik juga edukatif[1], karena selain interior kapal selam, di sini juga diadakan pemutaran film tentang proses peperangan yang terjadi di Laut Aru. Jika ingin mengunjungi tempat wisata ini maka akan ditemani oleh seorang pemandu lokal yang terdapat di sana.

Ada cerita unik di balik hadirnya monumen Kapal Selam ini. Pada suatu malam Pak Drajat Budiyanto yang merupakan mantan KKM KRI Pasopati 410 (buatan Rusia) ini dan juga mantan KKM KRI Cakra 401 (buatan Jerman Barat), bermimpi diperintahkan oleh KSAL pada waktu itu untuk membawa kapal selam ini melayari Kali Mas. Ternyata mimpi itu menjadi kenyataan. Dia ditugaskan untuk memajang kapal selam di samping Surabaya Plaza. Caranya dengan memotong kapal selam ini menjadi beberapa bagian, kemudian diangkut ke darat, dan dirangkai dan disambung kembali menjadi kapal selam yang utuh.

 

Tari Singo Ulung

Tari Singo Ulung adalah kesenian tradisional khas dari Bondowoso yang para penarinya menggunakan kostum dan menari layaknya seekor singa. Tari ini sekilas mirip dengan kesenian barongsai, tetapi yang membedakan ialah kostum yang digunakan lebih sederhana dan tema yang dibawakan juga jauh berbeda. Tari Singo Ulung ini bercerita tentang asal mula bedirinya Desa Blimbing, sebuah desa di daerah Bondowoso, Jawa Timur. Diiringi dengan alat musik gamelan, tari Singo Ulung

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/home/explore/cultural/441

Tari Sodoran Masyarakat Tengger

“Hong Ulun Basuki Langgeng”

Tari Sodoran merupakan tari khas atau khusus dalam ritual Yadnya Karo. Tari ini disajikan pada pembukaan upacara atau rangkaian ritual Yadnya Karo. Tarian Sodoran merupakan salah satu dari ragam tarian khas masyarakat Tengger yang memiliki nilai religius. Karena bersifat religius, maka tarian ini hanya bisa disaksikan saat Yadnya Karo atau disebut juga Pujan Karo adalah suatu perayaan terbesar yang dilakukan setahun sekali, tepat bulan Karo tahun Saka.

Tari Sodoran merupakan tarian sakral khas masyarakat Tengger yang melambangkan asal-usul manusia. Menurut kepercayaan masyarakat Tengger manusia itu berasal dari Sang Hyang Widi Wasa dan mereka akan kembali kepada-Nya. Manusia berasal dari tanah maka mereka akan kembali ke tanah juga. Salah satu contoh makna gerakan tari ini adalah ketika para penari mengangkat jari telunjuk, artinya penunjukkan tersebut mengandung makna simbol terjadinya manusia pertama, bahwa manusia itu berasal dari purusa dan pradana. Purusa dan pradana merupakan sebab pertama (cikal bakal) dari alam semesta yang sifatnya kekal abadi.(Pencatatan WBTB Tahun 2013 dengan Nomor Registrasi 2013003535).

Sejarah pementasan Tari Sodoran tidak lepas dari Legenda Masyarakat Suku Tengger dan beberapa bukti sejarah yang mendukung keberadaan masyarakat suku ini beserta segala aktivitasnya.

  1. Bukti tertulis tentang Masyarakat Suku Tengger terdapat pada Prasasti Walandit yang menunjukkan adanya dua peristiwa besar yang berhubungan dengan Suku Tengger pada tahun 1381 M dan 1405 M (Wikipedia)
  2. Karya tulis beberapa ahli tentang Legenda Orang Tengger khususnya tentang Legenda Karo yang tidak lepas dari Tari Sodoran oleh J E Jasper Tahun 1926, Von Faber Tahun 1940, Robert W Hefner, dan Singgih Wibisono Tahun 1956
  3. Karya tulis tentang mantera Tengger oleh Nancy J Smith Hefner
  4. Pencerita Legenda Karo orang Tengger Malang

Point b,c,d (Sutarto, 2009)

Pementasan tari Sodoran tidak lepas dari Ritual Pembukaan Yadnya Karo (diperingati pada sasi Karo Penanggalan Tengger) yang diawali dengan berkumpulnya masing-masing kelompok Pengantin Sodor di rumah Ketua Dukun Pandita di Dusun Tlogosari Desa Tosari Kabupaten Pasuruan Jawa Timur untuk kemudian diarak bersama ke Punden Desa Tosari.

Sebelum berangkat beberapa anggota pengantin Sodor melakukan berbagai persiapan kelengkapan upacara, seperti memakai pakaian adat Suku Tengger yang lengkap dengan ikat kepala dan mengenakan keris yang dironce bunga melati. Sebagian lainnya melakukan ritual penyucian diri dengan air kembang yang dipimpin Ketua Adat dengan harapan pada pelaksanaan kegiatan prosesi Sodoran dapat berjalan lancar dan hikmat.

Dengan diiringi musik tradisional Suku Tengger rombongan Pengantin Sodor kemudian berjalan bersama menuju Punden Desa Tosari yang letaknya diatas bukit. Sesampainya di Punden Desa Tosari rombongan Pengantin Sodoran melakukan doa bersama kepada Sang Hyang Widi agar warga Suku Tengger senantiasa diberi keselamatan dan ketentraman.

Tarian sakral ini melambangkan pertemuan dua jenis manusia yaitu laki-laki dan perempuan, dari keduanya dimulailah kehidupan alam semesta. Dalam tarian ini masing-masing penari membawa sebuah tongkat bambu/sodor yang berisi biji bibit tanaman yang kedua ujungnya ditutup serabut kelapa. Tongkat tersebut nantinya akan dipukulkan oleh masing-masing penari kepada tongkat penari pasangannya dengan gerakan yang lembut dan penuh penghayatan. Kehalusan budi dan perasaan serta etika kesopanan nenek moyang Suku Tengger dalam menggambarkan asal-muasal kehidupan inilah yang kemudian sering disebut dengan ajaran Sangkan Paraning Dumadi. Sebuah ajaran Jawa Kuno tentang tujuan hidup manusia, mengapa manusia dilahirkan, dan kemana nantinya akhir kehidupan ini.

Tari Sodoran selalu ditarikan secara berpasangan dan memiliki makna dan gerakan yang cukup sederhana, mudah ditirukan tetapi memiliki makna yang sangat mendalam. Gerakan tari Sodoran memiliki makna bahwa manusia dalam kehidupan berumah tangga harus senantiasa harmonis dan hidup apa adanya. Walaupun sepintas gerakannya terlihat monoton dan berulang-ulang, ternyata tarian sakral ini mampu menyedot emosi dari para penari yang membawakannya. Selama beberapa saat menari tampak sebagian penari yang wajahnya mulai sembab dan berkaca-kaca.

Puncak ritual tarian ini adalah ketika semua penari sodor memukulkan tongkat sodoran ke panggung untuk memecahkan bambu dan mengeluarkan biji bibit tanaman yang ada di dalamnya. Setelah selesai masing-masing penari melakukan gerakan sungkem saling menghormati dengan penari lainnya serta sungkem kepada para Dukun Pandita dan Sesepuh Warga Tengger.

Menurut Putri Nurul Islam dalam Simbol Properti Tari Sodor Pada Ritual Karo Di Desa Wonokitri Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan Tahun 2017 menjelaskan bahwa makna simbolik properti tari Sodor pada tongkat bambu (pring) menggambarkan lahirnya manusia yang berasal dari hubungan antara Setya dan Setuhu atau laki-laki dan perempuan. Dari segi bentuk tongkat bambu menggambarkan alat kelamin manusia, dan dari segi warna tongkat bambu yang berwarna hijau yang menggambarkan proses penciptaan manusia itu secara alami, manusia lahir dari muda hingga tua.

Tari Sodoran secara gamblang membingkai pengetahuan lokal tentang siklus kehidupan manusia mulai awal hingga akhir melalui sebuah proses yang disimbolkan oleh pusaka Sarutama. Sebuah proses yang saru ‘tabu’ untuk diucapkan, tetapi menjadi aspek tama ‘utama’ dalam melangsungkan keturunan.

Pelaksanaan ritual Tari Sodoran pada setiap tahun saat Pembukaan Yadnya Karo memiliki fungsi sosial yang memperkuat kepatuhan Wong Tengger terhadap adat-istiadat. Karena dengan mematuhi adat-istiadat dapat membentuk suatu masyarakat yang mengedepankan toleransi dan prinsip hidup gotong royong, bahkan dapat pula membentuk masyarakat yang harmoni dan seimbang.

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/home/explore/cultural/29185 

 

Reog Cemandi

Reog Cemandi merupakan sebuah kesenian tradisional yang berasal dari desa Cemandi, Kecamatan Sedati Kabupaten Sidoarjo yang memiliki keunikan tersendiri yaitu dengan peralatan yang dimainkan adalah kendang, pedang dan angklung, serta menggunakan perangkat topeng barongan yang berbeda dengan reog Ponorogo yang menggunakan dadak merak.

Reog Cemandi muncul tahun 1922, digunakan sebagai alat untuk mengusir penjajah Belanda oleh warga setempat. Tarian Reog Cemandi merupakan gerakan sportif masyarakat desa Cemandi terhadap Belanda. Bermula dari sifat kesatria seorang santri pondok pesantren Sidosermo Surabaya, yang merasa perihatin akan tindakan Belanda yang semena-mena pada rakyat, dan memungut pajak yang tinggi sehingga hal ini membebani rakyat Cemandi saat itu.                  

Saat tentara Belanda datang dan hendak menyerang, warga mulai memainkan kesenian Reog Cemandi ini yang konon terlihat dimata belanda  sebagai sesuatu yang menyeramkan yang membuat mereka ketakutan dan melarikan diri, sehingga   urung menyerang warga Desa Cemandi.

Reog Cemandi ini biasanya ditampilkan dilakukan pada acara-acara tertentu misalnya saja Karnaval, Pernikahan, Peringatan Hari Besar Islam, 17 Agustus dan tak lupa juga pada Hari jadi kabupaten Sidoarjo. Reog Cemandi memiliki generasi pemegang atau penerus yaitu: Dul Katimin, Mudindari, Senapi, Munaji, Susilo (Generasi kelima yang saat ini memimpin kesenian Reog Cemandi).

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/home/explore/cultural/29504

Saronen Sumenep

Salah satu budaya yang menarik dan sudah turun temurun dilestarikan di Sumenep, yaitu budaya musik saronen. Budaya musik saronen ini sering digunakan untuk penyambutan tamu penting, untuk pengantar musik kerapan sapi, sapi sonok, sampai dengan resepsi pernikahan.

Musik saronen adalah musik khas Madura yang memiliki ciri khas terdiri dari sembilan instrumen yang sangat khas, karena disesuaikan dengan nilai filosofis Islam yang merupakan kepanjangan tangan dari kalimat pembuka Alqur’anul Karim yaitu ” bismillahhirrahmanirrahim” yang kalau dilafalkan terdiri dari sembilan keccab  yaitu bis mil lah hir rah ma nir ra him. Mengapa demikian? Karena budaya musik saronen pada perkembanganya digunakan sebagai media dakwah agama islam. Sejarah keberadaan musik saronen erat kaitannya dengan penyebaran agama islam di Madura khususnya di Kabupaten Sumenep. Karena lahirnya musik itu, diprakarsai oleh ulama Sumenep sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan agama Islam kepada Masyarakat. Usia musik tradisional itu lebih dari 500 tahun lamanya.

Musik itu pertama kali dimunculkan atau diciptakan oleh Kiai Hatib Sendang, beliau putera ulama yang pertama kali datang ke Sumenep, Sayid Ahmad Baidhawi (Pangeran Katandur). Tempat tinggal Kiai Hatib (cicit Sunan Kudus) adalah desa Sendang Kecamatan Paragaan, yang juga tercatat sebagai pondok pesantren pertama di Madura. Nama Saronen dalam catatan sejarahnya mengambil dari nama hari senin (Sennenan).

Sejarahnya musik itu sering ditabuh setiap hari Senin di Pasar Ganding Sumenep. Kyai Hatib Sendang dan para pengikutnya menghibur pengunjung pasar disertai pelawak yang menari (Atandang), selain itu mereka melantunkan kejhung islami untuk mengajak masyarakat untuk melakukan Syariat Islam secarah kaffah dan benar. Setelah para pengunjung pasar berkumpul, mulailah giliran Kyai Hatib Sendang berdakwah memberi pemaparan tentang Islam dan kritik sosial. Gaya dakwah yang kocak humoris tapi mampu menggetarkan hati pengujung membuat masyarakat yang hadir tertarik langsung minta baiat masuk Islam.

Kesembilan instrumen musik saronen ini terdiri dari : 1 saronen, 1 gong besar, 1 kempul, 1 satu kenong besar, 1 kenong tengahan, 1 kenong kecil, 1 korca, 1 gendang besar, 1 gendang dik-gudik (gendang kecil). Musik saronen ini biasanya dipakai untuk mengiringi lomba kerapan sapi, kontes sapi sono’, upacara ritual, resepsi pernikahan, kuda serek (kencak). (http://muslimlokal.blogspot.co.id/ akses 4 maret 2017).

Budaya musik saronen itu sendiri alat-alat musiknya pertama yaitu alat musik saronen yang ditiup oleh para pemainnya, saronen ini berbentuk seperti terompet dan alat musik ini menghasilkan bunyi melengking yang khas yang ditiup terus menerus.

Alat musik yang kedua adalah gong besar, biasanya gong besar ini dipikul oleh dua orang pemain dan alat musik ini menghasilkan bunyi yang menggema yang dipukul sekali dengan diberikan jeda.

Alat musik yang ketiga dan keempat adalah kenong besar dan tengahan,  kenong besar dipikul bersama dengan gong besar, alat ini menghasilkan suara yang hampir sama dengan gong akan tetapi lebih tidak menggema dan dipukul sekali dengan diberikan jeda bergantian dengan dipukulnya gong, kenong tengahan ini dipegang oleh pemain dan menghasilkan suara dung-dung yang dipukul berkali-kali dengan sedikit jeda. 

Alat musik yang kelima adalah kenong kecil, kenong ini dipegang oleh pemain dengan satu pemain membawa dua buah kenong kecil yang kemudian saling dipukulkan dan menghasilkan bunyi ngecreng. Alat musik yang keenam dan ketujuh adalah gendang besar dan gendang duk giduk, gendang ini menghasilkan bunyi seperti klotekanyang dipukul berkali-kali tanpa jeda.

Alat musik yang ke delapan adalah korca, alat musik ini dibawa oleh pemain yang kemudian dipukulkan ke tangannya yang kemudian menghasilkan suara crek-crek, alat musik ini dipukulkan berkali-kali tanpa jeda. Kemudian alat musik yang terakhir adalah kempul, kempul ini dibawa  oleh pemain dan menghasilkan bunyi dung-dung-dung yang dipukul berkali-kali dengan sedikit jeda.

Budaya musik saronen tersebut sering sekali dimainkan dalam acara-acara  besar yang ada di Sumenep madura, hal tersebut terus menerus dilakukan sampai sekarang ini. Komunikasi yang ada pada budaya musik saronen bisa sebagai komunikasi sebagai tindakan satu arah, bisa sebagai komunikasi sebagai interaksi dan bisa juga sebagai tindakan transaksional, jadi semua konseptualisasi dalam budaya musik saronen ketiganya ada. Salah satu contohnya pada budaya musik Saronen dalam penyambutan tamu, Musik saronen sering digunakan salah satunya sebagai penyambutan tamu, jadi ketika ada tamu yang berkunjung ke Sumenep akan disuguhkan musik saronen dengan tujuan bahwa sebagai tuan rumah ingin menunjukkan rasa hormat kepada tamu.

 

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/home/explore/cultural/30239 

Nikmatnya Ayam Lodho, Santapan Khas Jawa Timur

Sumber gambar: Pinterest https://pin.it/2cDhfgI

Kalian pernah mencoba kuliner satu ini? Kuliner berbahan utama ayam ini menjadi salah satu santapan primadona bagi wisatawan yang berkunjung ke Jawa Timur, khususnya daerah Tulungagung dan Trenggalek. Masyarakat menyebut lodho yang berarti lembut, hal tersebut disebabkan ayamnya dimasak sampai dagingnya lembut dan terlepas dari tulangnya. Rasanya yang gurih dengan campuran santan yang kental menjadikan cita rasa yang nikmat ketika masuk di lidah. 

Ayam lodho merupakan salah satu hidangan tradisional, tak hanya disajikan ketika tradisi selamatan akan tetapi juga dikonsumsi sehari-hari. Sekilas, ayam ini mirip dengan opor atau kari hanya saja yang membedakan kuah santan kentalnya disertai rasa pedas cabai dengan aroma daging ayam bakar atau panggangnya. Umumnya ayam lodho disajikan dengan nasi gurih sehingga menggugah selera makan penikmatnya. Penasaran bagaimana cara membuatnya? Berikut resep dan bahan-bahan membuat ayam lodho

Bahan:

  1. Satu ekor ayam kampung
  2. Satu buah lengkuas, memarkan
  3. Tiga lembar daun salam dan daun jeruk
  4. Tiga batang serai, memarkan
  5. 90 ml santan
  6. 500 ml air
  7. 100 gr cabai rawit merah, iris
  8. dua sdm minyak, untuk menumis

Bumbu, haluskan:

  1. Depalan butir bawang merah dan bawang putih 
  2. Lima cm kunyit, kencur, dan jahe
  3. Tiga cabai merah keriting
  4. Satu sdm merica putih bubuk dan ketumbar
  5. Satu sdt jintan bubuk

Cara membuat:

  1. Satu ekor ayam dipotong menjadi empat bagian, selanjutnya lumuri daging ayam dengan garam.
  2. Panaskan panggangan dan olesi dengan minyak, panggang ayam hingga permukaan kecokelatan dan setengah matang. Sisihkan.
  3. Panaskan dua sdm minyak, tumis bumbu yang sudah dihaluskan, masukan lengkuas, daun salam, daun jeruk, dan serai hingga harum.
  4. Tuang air dan santan, aduk rata dan masak hingga mendidih.
  5. Masukan daging ayam dan cabai rawit, tambahkan bumbu penyedap, aduk dan masak daging ayam sampai empuk.
  6. Sajikan dengan nasi gurih lebih nikmat.

Sumber: Majalah Panji Balai

Indahnya Bukit Teletubbies

Bukit Teletubbies adalah salah satu destinasi wisata menarik yang masih terletak di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Bukit Teletubbies juga sering disebut dengan nama Padang savana Bromo, karena lokasinya yang bersebelahan dengan Padang Savana Bromo. Bukit Teletubbies ini bentuknya sangat mirip dengan sebuah bukit yang ada dalam film anak-anak yaitu “Teletubbies”. Lokasi Bukit Teletubbies berada di selatan Gunung Bromo dan dekat dengan padang rumput savana, biasanya wisata Bukit Teletubbies ini kunjungi setelah mengunjungi Kawah Bromo.

Sepanjang perjalanan menuju Bukit Teletubbies akan melewati laut pasir yang sangat indah, yakni pasir berbisik, karena Bukit Teletubbies sendiri merupakan tempat wisata yang masih satu jalur dengan Pasir Berbisik Bromo. Di Bukit Teletubbies ini, semua wisatawan akan melihat hamparan padang rumput hijau yang menghampar luas nan indah dengan didominasi tumbuhan rumput jenis pakis, ilalang, tumbuhan lavender serta rerumputan lain. Sepintas pemandangan di Bukit Teletubbies ini seperti dataran tinggi New Zealand atau Skotlandia.

Saat ini Bukit Teletubbies sudah dilengkapi dengan beberapa sarana prasarana yang memungkinkan para pengunjung untuk melakukan berbagai macam aktivitas, seperti menunggang kuda, fotografi, camping ground. Selain itu juga Bukit Teletubbies sudah dilengkapi dengan beberapa fasilitas seperti toilet, warung, dan area parkir yang cukup aman dan luas.

Sumber: https://www.agentwisatabromo.com/bukit-teletubbies-padang-rumput-yang-luas-di-gunung-bromo.html 

Motif Batik Kembang Waluh Tuban

Batik Gedog merupakan batik kuno yang hanya dibuat di daerah pedalaman kota Tuban, Jawa Timur. Nama gedog tersebut diambil dari proses pembuatannya, di mana kapas akan dipintal menjadi benang, dan dianyam menjadi kain menggunakan alat manual yang mengeluarkan bunyi “dog..dog.” Kain bertesktur ini juga dibatik menggunakan tangan sehingga tercipta suatu karya yang sangat cantik.

Sejarah kota Tuban pada abad ke XII-XVI, berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit, diperintah oleh Raden Wijaya, memunculkan pengaruh terhadap motif yaitu Panji Serong. makna dan perlambang batik tulis Gedog dilukiskan dengan motif dan warna. Memiliki makna nilai pesan harapan berupa kebahagiaan, kehidupan, dan keselamatan didunia. Makna keselamatan terdapat pada motif Lok Can, motif Kolo Rambat, motif Kembang Waluh. Makna kebahagiaan terdapat pada motif Owal-Awil, motif Klopo Sekanthet, motif Ganggeng. Makna kehidupan terdapat pada motif seperti motif Lar Wongo, motif Kembang Jeruk, motif Krompol. Warna batik tulis Gedog tradisional pada awalnya adalah warna biru berasal dari daun tom presi atau dresi (Indigofera Guatemalensis). Warna biru melambangkan kedamaian dan harapan

Kembang Waluh merupakan salah satu motif dari batik Ghedog khas Tuban, Jawa Timur. Motif kembang Waluh tampil dengan tiga macam warna, yaitu: biru tua, merah, putih. Motif utama terdiri dari rangkaian daun, bunga, dan burung phunik. Motif bunga maupun daun dirangkai dalam untaian yang merayap meliuk-liuk. Secara umum memang agak sulit mencari mana daun dan yang bunga. Motif burung phunik muncul di sana sini sebagai pengisi bidang kosong antara cabang-cabang batang.

 

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/jenis/1/ekspresi-budaya-tradisional/30450/motif-batik-kembang-waluh-tuban 

Tongkos Odheng dari Madura

Tongkos merupakan sejenis oḍheng khas Madura, khususnya bagi kalangan bangsawan di Madura Barat (Bangkalan). Tongkos memiliki mata rantai sejarah yang terputus, utamanya tentang awal mula kemunculannya yang sementara ini hanya didapatkan dari versi tutur. Versi tutur menyebutkan bahwa karya budaya ini muncul sejak abad XVIII (1700-an), yakni tercetus di masa Pangeran Cakraningrat IV (bertahta: 1718-1745),1 dan tercipta pada masa Panembahan Cakradiningrat V (bertahta: 1745-1770).  Menurut sejarah tutur yang peroleh, tongkos ada sejak 1.747. Itu berangkat dari kegelisahan Panembahan Sedo Mukti yang merupakan pemimpin ke-4 Kerajaan Madura Barat. Letaknya di Desa Sambilangan, Kecamatan Kota Bangkalan. Kegelisahan itu berawal saat putra sulung Pangeran Cakraningrat IV bingung mencari ciri khas Bangkalan yang dapat dijadikan simbol. Sehingga, dapat digunakan saat berkunjung ke Keraton Mataram. Dari situlah penguasa Kerajaan Madura Barat mencari inspirasi yang dapat dijadikan simbol dari Bangkalan. Setelah berkelana ke berbagai tempat, Pangeran Sedo Mukti akhirnya menemukan hewan unik di bibir pantai. Yakni, dua mimi yang bertumpang.

Mimi memang dikenal sebagai hewan yang memiliki makna kesetiaan. Sebab, hewan yang dilindungi tersebut hanya memiliki satu pasangan selama hidup. Sehingga, makna kesetiaan dari hewan yang memiliki 10 mata sangat cocok diimplementasikan oleh manusia. Mimi memiliki filosofi, apapun masalah kalau dihadapi bersama (laki-laki dan perempuan) akan terasa ringan. Dulu, tongkos hanya digunakan oleh kaum bangsawan yang telah dewasa. Penutup kepala itu biasa digunakan dengan baju agungan. Bentuk tongkos saat ini ada dua, Pertama menggunakan satu lipatan di bagian depan, dan Ada pula yang menggunakan dua lipatan. Sementara motif batik yang dapat digunakan masih menjadi bahan diskusi.

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/jenis/1/ekspresi-budaya-tradisional/31425/tongkos

Manten Pegon Surabaya Buah dari Akulturasi Budaya 

Manten Pegon adalah upacara pernikahan atau proses pertemuan antara mempelai laki-laki dengan pihak mempelai perempuan yang lahir dari akulturasi beberapa budaya, yaitu budaya Eropa (Belanda), Arab, Cina, dan Jawa. Sebagai upacara pernikahan, pelaksanaan Manten Pegon diperkirakan dimulai pada abad ke–19 seiring dengan derasnya migrasi orang-orang dari luar daerah ke Surabaya. Sejak kedatangan mereka, budaya asli Surabaya mulai bercampur dengan budaya masyarakat pendatang. Meskipun terdapat percampuran budaya dari berbagai bangsa, unsur budaya aslinya masih tampak, seperti dengan adanya loro pangkon. Pada dasarnya, pernak-pernik yang digunakan oleh kedua mempelai (laki-laki dan perempuan), terutama seperti busana maupun perlengkapan lainnya, mengadopsi dari berbagai budaya yang dibawa oleh para pendatang

Dalam pelaksanaan upacara Manten Pegon, kedua mempelai (laki-laki dan perempuan) harus dirias sedemikian rupa. Busana yang digunakan oleh mempelai perempuan mirip seperti busana panjang (dress) selayaknya perempuan Eropa (Belanda), dengan bahan kain yang terbuat dari sutra Cina atau sutra kombinasi dengan bahan lain dengan warna lembut dan kilap. Tata rambut pengantin perempuan identik dengan budaya Jawa karena menggunakan sanggul, untaian melati, kembang goyang, dan mahkota. Sementara itu, pihak mempelai laki-laki menggunakan jubah dan serban sebagai penutup kepala. Hal itu identik dengan budaya Arab. Selanjutnya, pengantin laki-laki akan diarak menuju rumah pengantin perempuan dengan mendapat kawalan dari pendekar silat yang membawa ayam jago dan diiringi oleh hadrah (jidur) yang melantunkan bacaan Selawat. Masing-masing mempelai telah mempersiapkan pendekar silat untuk adu parikan (pantun). Kemudian, adu kekuatan, tetapi kemudian pertandingan itu dimenangkan oleh pendekar utama. Hal ini dilakukan sebagai simbol bahwa mempelai laki-laki berhasil mendapatkan mempelai perempuan setelah menghadapi berbagai macam rintangan.  

 

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/jenis/1/ekspresi-budaya-tradisional/29128/manten-pegon