Motif Batik Kembang Waluh Tuban

Batik Gedog merupakan batik kuno yang hanya dibuat di daerah pedalaman kota Tuban, Jawa Timur. Nama gedog tersebut diambil dari proses pembuatannya, di mana kapas akan dipintal menjadi benang, dan dianyam menjadi kain menggunakan alat manual yang mengeluarkan bunyi “dog..dog.” Kain bertesktur ini juga dibatik menggunakan tangan sehingga tercipta suatu karya yang sangat cantik.

Sejarah kota Tuban pada abad ke XII-XVI, berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit, diperintah oleh Raden Wijaya, memunculkan pengaruh terhadap motif yaitu Panji Serong. makna dan perlambang batik tulis Gedog dilukiskan dengan motif dan warna. Memiliki makna nilai pesan harapan berupa kebahagiaan, kehidupan, dan keselamatan didunia. Makna keselamatan terdapat pada motif Lok Can, motif Kolo Rambat, motif Kembang Waluh. Makna kebahagiaan terdapat pada motif Owal-Awil, motif Klopo Sekanthet, motif Ganggeng. Makna kehidupan terdapat pada motif seperti motif Lar Wongo, motif Kembang Jeruk, motif Krompol. Warna batik tulis Gedog tradisional pada awalnya adalah warna biru berasal dari daun tom presi atau dresi (Indigofera Guatemalensis). Warna biru melambangkan kedamaian dan harapan

Kembang Waluh merupakan salah satu motif dari batik Ghedog khas Tuban, Jawa Timur. Motif kembang Waluh tampil dengan tiga macam warna, yaitu: biru tua, merah, putih. Motif utama terdiri dari rangkaian daun, bunga, dan burung phunik. Motif bunga maupun daun dirangkai dalam untaian yang merayap meliuk-liuk. Secara umum memang agak sulit mencari mana daun dan yang bunga. Motif burung phunik muncul di sana sini sebagai pengisi bidang kosong antara cabang-cabang batang.

 

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/jenis/1/ekspresi-budaya-tradisional/30450/motif-batik-kembang-waluh-tuban 

Tongkos Odheng dari Madura

Tongkos merupakan sejenis oḍheng khas Madura, khususnya bagi kalangan bangsawan di Madura Barat (Bangkalan). Tongkos memiliki mata rantai sejarah yang terputus, utamanya tentang awal mula kemunculannya yang sementara ini hanya didapatkan dari versi tutur. Versi tutur menyebutkan bahwa karya budaya ini muncul sejak abad XVIII (1700-an), yakni tercetus di masa Pangeran Cakraningrat IV (bertahta: 1718-1745),1 dan tercipta pada masa Panembahan Cakradiningrat V (bertahta: 1745-1770).  Menurut sejarah tutur yang peroleh, tongkos ada sejak 1.747. Itu berangkat dari kegelisahan Panembahan Sedo Mukti yang merupakan pemimpin ke-4 Kerajaan Madura Barat. Letaknya di Desa Sambilangan, Kecamatan Kota Bangkalan. Kegelisahan itu berawal saat putra sulung Pangeran Cakraningrat IV bingung mencari ciri khas Bangkalan yang dapat dijadikan simbol. Sehingga, dapat digunakan saat berkunjung ke Keraton Mataram. Dari situlah penguasa Kerajaan Madura Barat mencari inspirasi yang dapat dijadikan simbol dari Bangkalan. Setelah berkelana ke berbagai tempat, Pangeran Sedo Mukti akhirnya menemukan hewan unik di bibir pantai. Yakni, dua mimi yang bertumpang.

Mimi memang dikenal sebagai hewan yang memiliki makna kesetiaan. Sebab, hewan yang dilindungi tersebut hanya memiliki satu pasangan selama hidup. Sehingga, makna kesetiaan dari hewan yang memiliki 10 mata sangat cocok diimplementasikan oleh manusia. Mimi memiliki filosofi, apapun masalah kalau dihadapi bersama (laki-laki dan perempuan) akan terasa ringan. Dulu, tongkos hanya digunakan oleh kaum bangsawan yang telah dewasa. Penutup kepala itu biasa digunakan dengan baju agungan. Bentuk tongkos saat ini ada dua, Pertama menggunakan satu lipatan di bagian depan, dan Ada pula yang menggunakan dua lipatan. Sementara motif batik yang dapat digunakan masih menjadi bahan diskusi.

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/jenis/1/ekspresi-budaya-tradisional/31425/tongkos

Manten Pegon Surabaya Buah dari Akulturasi Budaya 

Manten Pegon adalah upacara pernikahan atau proses pertemuan antara mempelai laki-laki dengan pihak mempelai perempuan yang lahir dari akulturasi beberapa budaya, yaitu budaya Eropa (Belanda), Arab, Cina, dan Jawa. Sebagai upacara pernikahan, pelaksanaan Manten Pegon diperkirakan dimulai pada abad ke–19 seiring dengan derasnya migrasi orang-orang dari luar daerah ke Surabaya. Sejak kedatangan mereka, budaya asli Surabaya mulai bercampur dengan budaya masyarakat pendatang. Meskipun terdapat percampuran budaya dari berbagai bangsa, unsur budaya aslinya masih tampak, seperti dengan adanya loro pangkon. Pada dasarnya, pernak-pernik yang digunakan oleh kedua mempelai (laki-laki dan perempuan), terutama seperti busana maupun perlengkapan lainnya, mengadopsi dari berbagai budaya yang dibawa oleh para pendatang

Dalam pelaksanaan upacara Manten Pegon, kedua mempelai (laki-laki dan perempuan) harus dirias sedemikian rupa. Busana yang digunakan oleh mempelai perempuan mirip seperti busana panjang (dress) selayaknya perempuan Eropa (Belanda), dengan bahan kain yang terbuat dari sutra Cina atau sutra kombinasi dengan bahan lain dengan warna lembut dan kilap. Tata rambut pengantin perempuan identik dengan budaya Jawa karena menggunakan sanggul, untaian melati, kembang goyang, dan mahkota. Sementara itu, pihak mempelai laki-laki menggunakan jubah dan serban sebagai penutup kepala. Hal itu identik dengan budaya Arab. Selanjutnya, pengantin laki-laki akan diarak menuju rumah pengantin perempuan dengan mendapat kawalan dari pendekar silat yang membawa ayam jago dan diiringi oleh hadrah (jidur) yang melantunkan bacaan Selawat. Masing-masing mempelai telah mempersiapkan pendekar silat untuk adu parikan (pantun). Kemudian, adu kekuatan, tetapi kemudian pertandingan itu dimenangkan oleh pendekar utama. Hal ini dilakukan sebagai simbol bahwa mempelai laki-laki berhasil mendapatkan mempelai perempuan setelah menghadapi berbagai macam rintangan.  

 

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/jenis/1/ekspresi-budaya-tradisional/29128/manten-pegon

GETUK PISANG

Getuk pisang adalah salah satu makanan khas Kediri. Tidak seperti getuk pada umumnya yang biasa terbuat dari singkong, ubi atau sukun, getuk pisang ini terbuat dari pisang. Pisang yang digunakan merupakan jenis pisang raja nangka karena memiliki citarasa yang khas, berbeda dengan pisang pada umumnya. Rasa manis-asam yang khas dan teksturnya yang agak keras membuat jenis pisang ini tidak lembek ketika dikukus.

Getuk pisang mudah ditemui di toko penyedia oleh-oleh di sepanjang Jalan Yos Sudarso dan Jalan Patimura. Produk ini terbuat dari buah pisang yang ditumbuk kemudian dijadikan getuk yang dibungkus dengan daun pisang. Dalam proses pembuatannya, getuk pisang tidak menggunakan bahan pengawet sehingga aman dikonsumsi dengan masa kadaluarsa berkisar antara empat hingga lima hari.

Unit-unit usaha pembuatan getuk pisang tersebar di wilayah Kecamatan Kota, meliputi Kelurahan Jagalan, Kampungdalem, Pakelan, dan Kaliombo. Saat ini, getuk pisang yang dibuat oleh IKM di Kota Kediri telah menjangkau kota-kota lain di Jawa Timur. Beberapa unit usaha pembuat getuk pisang adalah Madu Manis No.16 (Kampungadelam), Rasa Manis (Kaliombo) Rojonongko, dan Dua Sisir (Singonegaran).

sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Getuk_pisang
https://www.kedirikota.go.id/p/produk-unggulan/11138696/getuk-pisang 

TARIAN GLIPANG DARI KABUPATEN PROBOLINGGO

Tari Glipang adalah tarian yang berasal dari kebiasaan masyarakat Kabupaten Probolinggo yang akhirnya menjadi tradisi. Glipang sendiri berasal dari Bahasa Arab, yaitu Gholiban yang artinya kebiasaan. Tari tersebut diwariskan secara turun-menurun sehingga masih dapat bertahan hingga sudah menurun empat generasi.

Dari sejarahnya, Glipang bukan sekadar tarian, melainkan  gambaran tentang keberanian prajurit yang gagah berani dalam mengusir penjajah Belanda. Bahkan ada semboyan khusus terkait dengan keberanian para prajurit ini “katembheng poteh mata angok poteh tolang”. Maksudnya, lebih baik mati daripada menanggung malu di tangan penjajah. Tarian dengan napas Islam itu juga menjadi karakteristik warga Probolinggo yang memiliki religiusitas tinggi.

Dalam tarian Glipang, mempunyai tiga gerakan. Tiap-tiap gerakan tarian tersebut mempunyai makna dan cerita pada saat diciptakan.Pertama, tari olah keprajuritan atau yang biasa disebut dengan Tari Kiprah Glipang. Tari Kiprah Glipang ini menggambarkan ketidakpuasan Sari Truno kepada para penjajah Belanda. Ciri khas tarian ini memperlihatkan nafas besar yang diartikan sebagai ungkapan rasa ketidakpuasan terhadap penjajah pada masa itu. Bahkan semangat perlawanan itu juga tercermin pada riasan yang sangar dan kostum serta aksesorisnya menggambarkan seorang prajurit. Gerakannya merupakan paduan dari gerakan Rudat, kesenian Topeng Gethak Madura, seni hadrah, gerakan samman, dan pencak silat.

Dalam hal tata rias, melambangkan karakter seorang prajurit yang kuat, dan pantang menyerah melawan penjajah dan siap tempur. Busana dengan warna merah dan hitam melambangkan keberanian dan tidak pernah takut yang menjadi simbol orang Madura yang tidak kenal ampun apabila ada orang yang mengganggunya. Aksesoris selain untuk memperelok penampilan, mempunyai makna sendiri seperti odeng sebagai ikat kepala, yang menjadi ciri khas Madura. Dan sebagai identitas seorang prajurit yang berani seperti rompi, sabuk blangdang, lancor, sampur, dan peralatan perang seperti gungseng dan keris.

Tarian ini masih memegang teguh aturan yang ada dan berlaku pada masyarakat dan masih menggunakan alat yang tradisional. Alat musik yang terdiri dari lima jenis alat musik dimaknai sebagai simbol ajaran Agama Islam yang berisi ajakan atau anjuran untuk berbuat baik, dan juga larangan yang tidak boleh dilakukan. Kalau semula berupa gamelan, berubah menjadi berubah menjadi ketipung lanang, ketipung wedok, kecrek, terbang, dan jidor.

sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/kiprah-glipang-tarian-masyarakat-kabutan-probolinggo/

Celurit Senjata Khas Madura

Dalam KBBI, celurit berarti senjata tradisional khas Madura yang bentuknya melengkung. Celurit bukan hanya sekadar senjata tradisional khas dari Madura, namun juga simbol kejantanan laki-laki Madura. Celurit tidak tak dapat dipisahkan dari budaya dan tradisi masyarakat Madura. Menurut budayawan Madura, D. Zawawi Imron, senjata celurit memiliki filosofi. Dari bentuknya yang mirip tanda tanya, celurit bisa dimaknai sebagai satu bentuk kepribadian masyarakat Madura yang selalu ingin tahu.
Senjata tradisional ini memiliki bilah terbuat dari besi berbentuk melengkung mirip bulan sabit sebagai ciri khasnya. Pada umumnya celurit diwadahi sarung yang terbuat dari kulit sapi atau kerbau tebal dan memiliki gagang (hulu) terbuat dari kayu. Bilah celurit memiliki ikatan yang melekat pada gagang kayu serta menembus sampai ujung gagang.
Bagi warga Madura, celurit tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keseharian. Kemanapun mereka pergi selalu membawa celurit yang diselipkan di pinggangnya. Bukan untuk persiapan perkelahian namun manakala tidak membawa celurit justru dianggap bukan lelaki jantan. Namun belakangan hal itu sudah tidak dilakukan lagi karena alasan keamanan. Sementara itu, minimal sebuah celurit selalu ada di setiap rumah sebagai sekep, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, seperti perampokan, pencurian, dan semacamnya.

Sumber: https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=730

INDAHNYA TELAGA SARANGAN, MAGETAN PUNYA

Telaga Sarangan atau Telaga Pasir adalah telaga alami yang berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut dan terletak di lereng Gunung Lawu, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Telaga ini berjarak sekitar 16 kilometer arah barat Kabupaten Magetan. Telaga ini luasnya sekitar 30 hektare dan berkedalaman 28 meter. Dengan suhu udara antara 15 hingga 20 derajat Celsius

Telaga Sarangan mampu menarik ratusan ribu pengunjung setiap tahunnya. Telaga Sarangan adalah objek wisata andalan Kabupaten Magetan. Di sekeliling telaga terdapat dua hotel berbintang, 43 hotel kelas melati, dan 18 pondok wisata. Di samping puluhan kios cenderamata, pengunjung dapat pula menikmati indahnya Telaga Sarangan dengan berkuda mengitari telaga atau mengendarai kapal cepat. Fasilitas objek wisata lainnya pun tersedia misalnya rumah makan, tempat bermain, pasar wisata, tempat parkir, tempat ibadah, dan taman.

Keberadaan beragam rumah makan di sekitar telaga menjadikan para pengunjung memiliki banyak alternatif pilihan menu. Demikian pula keberadaan pedagang kaki lima yang menawarkan berbagai souvenir telah memberikan kemudahan kepada pengunjung untuk membeli oleh-oleh. Hidangan khas yang dijajakan di sekitar telaga adalah sate kelinci. Selain itu juga terdapat potensi industri kecil setempat yang mampu memproduksi kerajinan untuk souvenir, misalnya anyaman bambu, kerajinan kulit, kerajinan sepatu, produk makanan khas seperti emping melinjo dan lempeng. Telaga Sarangan juga memiliki layanan jasa sewa perahu motor dan becak air yang dapat digunakan untuk menjelajahi telaga sarangan. 

sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Telaga_Sarangan

Sate Ponorogo Khas Kota Reog

Sate Ponorogo adalah salah satu makanan khas  dari kota Ponorogo, Jawa Timur. Sate Ponorogo menggunakan daging ayam sebagai bahan utamanya. Yang membedakan antara sate Ponorogo dengan sate Madura adalah cara memotong daging ayamnya. Daging ayam pada sate Ponorogo tidak dipotong menyerupai dadu, melainkan dipotong dengan cara difilet, yaitu memotong tipis daging ayam sehingga daging yang dihasilkan tipis dan bebas lemak.

Sate Ponorogo juga melalui proses perendaman bumbu atau dibacem agar bumbu lebih meresap. Setelah bumbunya merata dan meresap, sate siap dipanggang selama 3–5 menit. Alat pemanggangnya terbuat dari tungku yang terbuat dari tanah liat. Selama proses pemanggangan, sate akan diolesi bumbu beberapa kali. Setelah matang, sate dilumuri dengan bumbu kacang.

Uniknya, terdapat sentra sate terbesar di dunia yang dikenal sebagai Gang Sate, tepatnya di Jalan Lawu, Gang 1, Ponorogo. Hal itutersebut dikarenakan banyak masyarakat yang berprofesi sebagai penjual sate Ponorogo berada di gang tersebut. Jika dijumlahkan tusuknya, sate dapat terjualyang dijual mencapai ratusan ribu tusuk sate di gang ini. Selain itu, penjual sate Ponorogo berjualan dengan membawa pikulan dan berkeliling.

 

sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Sate_Ponorogo#:~:text=Sate%20Ponorogo%20
sumber gambar: https://pin.it/1w9PhkL (Pinterest)

 

Coban Rondo

Coban Condo adalah tempat wisata air terjun di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Coban Rondo mempunyai arti ‘air terjun janda’ dalam bahasa Indonesia. Air terjun yang memiliki ketinggian 84 meter tersebut berada di ketinggian 1.134 meter di atas permukaan laut (dpl).

Sejarah Coban Rondo, khususnya sejarah penamaannya, memiliki keterkaitan dengan mitos yang berkembang selama ini. Kisahnya diawali dengan pertarungan sengit antara Joko Lelana dengan Raden Baron Kusuma, suami dari Dewi Anjarwati. Pertarungan tersebut diakibatkan hasrat Joko Lelana untuk memiliki Dewi Anjarwati yang berparas cantik. Sebelum pertarungan, Dewi Anjarwati disembunyikan terlebih dahulu di sebuah air terjun. Pertarungan tersebut akhirnya dimenangkan oleh Joko Lelana dan Raden Baron Kusuma meninggal. Akhirnya, Dewi Anjarwati pun menjanda. Janda dalam bahasa Jawa adalah rondo.

Selain air terjun, Coban Rondo juga menyediakan wahana wisata lain. Wahana lain yang dapat ditemukan adalah kebun buah. Tidak hanya itu, berbagai fasilitas penunjang seperti bumi perkemahan, mancakrida, luncur gantung (flying fox), sepeda gunung, hingga kafe pun akan memanjakan wisatawan yang berkunjung. (DHE)

Sego Tempong khas Banyuwangi

Sego Tempong (Nasi Tempong) adalah salah satu makanan tradisional yang berasal dari Banyuwangi. Makanan ini disajikan dengan berbagai lauk pauk, lalapan dan sambal yang khas.

Nama sego tempong berasal dari kata “tempong” yang dalam bahasa osing berarti “tampar”. Makanan ini dinamakan demikian karena memang ciri khas dari sego tempong ini adalah sambalnya yang pedas seakan menampar mulut orang yang memakannya.  Awalnya sego tempong merupakan bekal yang dibawa oleh masyarakat Banyuwangi ke sawah. Sego Tempong biasanya disajikan dalam porsi besar, lengkap dengan lauk pauknya untuk menambah tenaga bagi para petani yang sedang berkerja di sawah.

Cita rasa sego tempong ini terletak di sambal tempongnya. Biasanya, sambalnya baru dibuat dan masih terasa nikmat ketika disajikan. Seporsi sego tempong biasanya disajikan dengan beraneka lauk pauk seperti tahu, tempe, ikan asin dan perkedel jagung dan dilengkapi dengan sayur bayam rebus, terong rebus, mentimun dan daun kemangi sebagai lalapan pendukungya. (DI)

Sumber : https://negerikuindonesia.com/2015/08/sego-tempong-makanan-tradisional-dari.html.