Legenda Mirah Golan

Legenda Golan Mirah telah dikenal dan dipercaya sejak ratusan tahun silam, terutama bagi masyarakat di Desa Golan dan Desa Mirah, Kecamatan Sukorejo, Ponorogo. Konon kedua desa tersebut tidak dapat menyatu. Hal ini dibuktikan adanya dua warna air sungai di antara kedua daerah itu. Legenda ini tentang kisah cinta terlarang antara dua anak manusia.

Sekitar tahun 1440-an atau awal Babad Ponorogo ada sebuah kisah yang melegenda di sana. Yakni, berawal dari anak Ki Ageng Honggolono yang bernama Joko Lancur ingin mengadu ayamnya. Namun, ayam wiring kuning itu kabur ke Desa Mirah (kini menjadi dusun di Desa Nambangrejo).
Saat itu Mirah Putri Ayu, anak Ki Ageng Honggojoyo atau dikenal dengan Ki Ageng Mirah, sedang sibuk menenun kain di rumahnya. Siapa sangka ayam Joko sampai rumah Mirah. Pencarian Joko pun terhenti dan terpesona dengan kecantikan Mirah. Ia berniat mempersunting Mirah. Namun, kecintaannya pada Mirah tidak berjalan mulus karena Ki Ageng Mirah tidak senang.
Agar bisa mempersunting Mirah, Joko harus mengairi seluruh sawah di Desa Mirah dan diberi waktu hanya semalam. Ternyata Ki Ageng Honggolono menyanggupinya. Malam itu, dia langsung membendung sungai Sekayu untuk mengairi seluruh sawah di Desa Mirah. Namun, apadaya Ki Ageng Honggojoyo tidak terima dan memberikan syarat lagi. Yakni, keluarga Joko harus membawa lumbung yang berisi kedelai dan sekaligus bisa terbang. Di situ Ki Ageng Honggolono merasa dipermainkan, dia pun mengganti isi lumbung itu dengan kawul (jerami) dan kedelai hanya terlihat di atas lumbung.
Keduanya sama-sama murka dan saling melontarkan sabda yang dipercaya masyarakat sampai sekarang. Ki Ageng Mirah menyampaikan bahwa masyarakat Desa Golan tidak bisa menyimpan kawul dan dapat dipastikan langsung terbakar. Ki Ageng Honggolono menyumpahi balik masyarakat Desa Mirah tidak bisa menanam kedelai. Mereka juga menyumpahi masyarakat dari Desa Golan dan Mirah tidak bisa menikahi satu sama lain.
Percaya tidak percaya, mitos ini masih dipegang teguh oleh masyarakat kedua desa ini, agar petaka tak menimpa. (Kris)

Ditulis oleh Kristi Muji Khasiati (Mahasiswa ) sebagai salah satu tugas PKL di Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur

MASA KLASIK PASURUAN DALAM CATATAN KUNO

“Sampai Pasuruan menyimpang jalan ke selatan menuju Kepanjangan, menganut jalan raya kereta lari beriring-iring ke Andoh Wawang, ke Kedung Peluk dan ke Hambal, desa penghabisan dalam ingatan, segera Baginda menuju kota Singasari bermalam di balai kota.

Prapanca tinggal di sebelah barat Pasuruan ingin terus melancong, menuju asrama Indarbaru yang letaknya di daerah desa Hujung, berkunjung di rumah pengawasnya, menanyakan perkara tanah asrama, lempengan piagam pengukuh diperlihatkan, jelas setelah dibaca.”

Demikianlah kitab Negarakertagama atau Desawarnana pupuh ke-35 menyebut Pasuruan sebagai tempat strategis, sebuah jalan simpang. Pada masa kuno, Pasuruan juga dikenal sebagai bandar kuno terutama di kawasan pesisir dekat Selat Madura. Daerah ini dikenal sebagai pelabuhan transit dan perdagangan antar bangsa sejak tempo doeloe. Letaknya demikian strategis. Tak heran, tempat ini selalu menjadi rebutan beberapa kerajaan besar di Jawa. Namun, pada masa sekarang Pasuruan tidak hanya dikenal dengan bandarnya, tetapi daerah pegunungannya yang ciamik menyimpan banyak cerita, terutama menjadi muara persilangan budaya beberapa kerajaan besar pada masa lampau, sebagaimana gurat kitab kuno yang dinukil dalam pembuka tadi.

Hal itu sebagaimana yang terungkap dalam sejarah, bahwa pada masa klasik, Pasuruan yang nama klasiknya adalah Pasuruhan, cukup lama dikuasai raja-raja kerajaan di Jawa Timur. Tercatat pada dasa warsa pertama abad XVI yang menjadi raja adalah Pati Supetak, ada pula yang menyebutnya Pate Sepetat. yang disebut sebagai pendiri ibukota Pasuruan, dalam Babad Pasuruan dengan nama Gembong. Ia adalah menantu Pati Pimtor, raja yang berkuasa di Blambangan, juga menantu Raja Madura. Ia masih punya keterkaitan keluarga dengan pembesar Majapahit. Nama Sepetat ini diduga identik dengan Menak Sapetak atau Menak Supetak dalam catatan sejarah Blambangan.

Pasuruhan sebagai nama lokasi atau wilayah memang baru pertama kali tercatat dalam kitab Negakertagama atau yang disebut dengan Desawarnana. Kitab itu berbentuk kakawin dan digurat oleh Mpu Prapanca pada saat mengikuti perjalanan Prabu Hayam Wuruk (1350—1389) ke Lumajang pada 1281 Saka (1359 M). Toponimnya mengarah pada dua arti: yaitu tempat daun Suruh tumbuh atau tempat orang yang mendapat perintah raja bertempat tinggal. Meski demikian, berdasarkan tinggalan arkeologis dan khasanah lama, di wilayah Pasuruhan sudah sejak dulu berdiri pemukiman kuno, bahkan tilas peradaban pada masa sebelum Majapahit juga bisa ditemukan di hampir semua wilayah itu. Bukti itu menandakan Pasuruhan merupakan kota tua.

Nama Pasuruhan muncul dua kali dalam kitab Negarakertagama. Pasuruhan disebut pada pupuh 34: 1, yang disambung pada pupuh 35: 1. Selain Pasuruhan, beberapa nama-nama desa yang kini masuk wilayah Pasuruhan, juga disebut dalam karya di era Jawa Kuno tersebut. Nigel Bullough, yang bernama Jawa Hadi Sidomulyo, dalam bukunya ‘Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca’ menyebut tidak kurang dari 25 tempat Pasuruhan disebut dalam 17:10 sampai 21: I. Hal itu berlanjut pada pupuh 34:4—35:3, sebanyak 6 tempat/desa, kemudian pada pupuh 55:2—58:1, terdapat tidak kurang dari 16 tempat/desa yang masuk wilayah administratif Pasuruhan disebut.

Sidomulyo pun ‘mengabadikan’ beberapa tilas atau situs masa lalu dari penanda perjalanan itu dalam gambar-gambar foto seperti kepala ‘kala’ di Desa Banyubiru, Kec. Winongan, watu gong di Desa Pager, bentuk yoni di Desa Kapulungan, Kec. Gempol, Candi Jawi, dan lainnya. Tempat-tempat itu memang dicatat Rakawi Prapanca dalam kitab Negarakertagama.

Jauh sebelum Majapahit berdiri, di wilayah Pasuruhan tempo doeloe sudah terstruktur bentuk pemukiman penduduk. Terbukti, tinggalan masa lalunya yang masih bisa dijumpai hingga kini. Diantaranya, Prasasti Cunggrang yang ditemukan peneliti Belanda pada 1836, di Dusun Sukci, ada pula yang menyebutnya Dusun Suci, Desa Bulusari, Kec. Gempol. Prasasti itu dikeluarkan oleh raja Pu Sindok, yang bertanggal 12 Suklapaksa, bulan Asuji tahun 851 Saka, yang bertepatan dengan 18 September 929 Masehi. Isinya antara lain Pu Sendok memerintahkan agar rakyat Cunggrang, yang termasuk wilayah Bawang, di bawah pemerintahan Wahuta Tungkal untuk menjadi Sima (tanah perdikan) bagi pertapan di Pawitra (Gunung Penanggungan), dan memelihara pertapaan dan prasada juga memperbaiki bangunan pancuran di gunung tersebut.

Lokasi Cunggrang yang dimaksud dalam isi prasasti berlokasi tidak jauh dari situs, yaitu Dusun Jembrung, masuk Desa Bulusari. Masyarakat menyebut dusun itu dengan Jonggrang. Di situ masih dijumpai bukti arkelologis berupa struktur bata kuna yang berbentuk saluran air yang menghubungan dua sungai yang mengalir di kawasan tersebut. “Bukti arkeologis menunjukkan bahwa pada abad X Masehi, di daerah tersebut sudah ada pemukiman yang telah teratur strukturnya,” tegas sumber dari tim yang menelusuri sejarah asal mula Pasuruhan.

Prasasti lain yang dikeluarkan oleh Pu Sindok adalah prasasti Gulung-Gulung. Penanda waktu prasasti ini bulan Baicaka, tahun 851 Saka. Tanggal tersebut bertepatan dengan 20 April 929 M. Isi prasastinya penetapan perdikan sawah di Desa Gulung-Gulung dengan besar pajak 7 su dan hutan di Bantaran untuk bangunan keagamaan di Himad. Disebut juga terdapat tanah perdikan khusus (disebut sima putraswa) di Batwan, Curu, Ergilang, dan Gapuk.

Diantara nama-nama tempat itu Gapuk menarik perhatian karena dalam Negarakertagama disebut berurutan dengan toponim yang ada di Pasuruhan, yaitu Gapuk, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lumbang. Hadi Sidomulyo, menjelaskan Gapuk terletak di selatan Rejoso, jarak dari Winongan 4 km ke arah barat laut. Jika pengidentifikasian itu benar, pada 20 April 920 Masehi, bahkan bisa jauh sebelumnya, di Gapuk yang masuk wilayah Pasuruhan itu telah ada pemukiman yang teratur, malah daerah itu telah menjadi perdikan khusus.

Pascakekuasaan Pu Sendok, yaitu pada masa Prabu Airlangga, Kediri dan Singosari, bukan berarti di kawasan Pasuruhan sepi dari lalu-lintas peradaban. Beberapa situs terbukti merupakan peninggalan zaman ini. Bahkan, berdasar survei Balai Arkeologi Yogyakarta tanggal 14 Nopember 2001, ditemukan sebuah prasasti pendek di Dukuh Pakan, Desa Jembrung. Kec. Gempol. Tulisan dipahat secara timbul, merupakan angka tahun bergaya kuadrat (gaya tulisan Jawa Kuno pada masa kerajaan Kediri), angka tahunnya terbaca 957 Saka atau 1035 Masehi.

Pada masa berdirinya Majapahit, wilayah Pasuruan juga diabadikan dalam prasasti yang sangat mashur yaitu Kudadu. Prasasti ini diterbitkan oleh Raden Wijaya pada 1216 saka atau 11 September 1294, sebagai balas budi Raden Wijaya pada kepala Desa Kudadu yang telah menyelamatkan diri dan pengikutnya. Di antara daerah di Pasuruan yang masih bisa dilihat hingga kini dan tercatat dalam prasasti adalah Kapulungan (Desa Kapulungan, Kec. Gempol), Rabut Carat (Dusun Carat, Kec. Gempol), dan Kedung Peluk. Pasca Hayam Wuruk, pada tahun saka 1395 atau tanggal 14 Mei 1473, seorang raja Majapahit Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramarddhana Namadewabhiseka membuat prasasti, yang disebut Prasasti Pamintihan. Dalam prasasti itu disebut Gempol sebagai salah satu dari 8 desa perdikan. Gempol yang dimaksud dalam prasasti adalah Gempol sekarang.

Pada masa Klasik, posisi Pasuruhan memang demikian strategis. Situs masa lalu telah mengabarkan hal itu. Bahkan, ada yang yang menyebut kawasan ini sebagai daerah dengan seribu situs. Sumberdaya arkelogis Pasuruhan demikian melimpah. Mulai zaman prasejarah, tepatnya Paleolitik atau zaman batu hingga masa kolonial di Indonesia. Bahkan pada masa Klasik, yaitu masa Jawa Kuno atau Hindu, peninggalan masa lalu di Pasuruhan masih bisa dijumpai dan begitu banyak. Situsnya tersebar di pelosok-pelosok desa. (MA)

 

Cerita Singo Ulung dalam Tradisi Lisan Masyarakat Bondowoso

Cerita rakyat Singo Ulung merupakan tradisi lisan yang diketahui oleh masyarakat Bondowoso dan berkembang dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan penyebarannya secara lisan sehingga cerita tersebut mudah mengalami perubahan. Namun, bentuk dasar dari cerita Singo Ulung tetap bertahan. Selain Singo Ulung, cerita rakyat yang sering dijumpai oleh masyarakat adalah cerita Roro Jonggrang, Sangkuriang, Rengganis, dan lain sebagainya. Cerita rakyat Singo Ulung termasuk ke dalam salah satu bentuk legenda karena menceritakan seorang tokoh, peristiwa keramat, dan dipercaya oleh masyarakat setempat benar-benar terjadi.

Cerita rakyat Singo Ulung menceritakan tentang seorang tokoh yang hidup di Desa Blimbing, Kabupaten Bondowoso bernama Juk Seng (Jujuk Sengo) dan Mbah Jasiman. Juk seng kemudian diangkat menjadi seorang demang di desa tersebut. Ia memimpin desa dibantu oleh Mbah Jasiman hingga Desa Blimbing menjadi salah satu desa yang kehidupan masyarakatnya makmur dan tentram. Tarian Singo Ulung merupakan penggambaran dari gelar kesaktian yang dimiliki oleh Juk Seng. Tarian tersebut dibuat dengan berlandaskan kesakralan cerita yang ada di balik cerita Singo Ulung. Konon dalam cerita Singo Ulung, Juk Seng memiliki kesaktian yang dapat berkomunikasi dengan singa. Bahkan ia sering dibantu oleh hewan tersebut saat mengalami kesulitan. Hal ini yang mengakibatkan Juk Seng dijuluki sebagai Singo Ulung atau singa tanpa tanding. Tak hanya itu, dalam cerita Singo Ulung juga terdapat kisah tentang sejarah terbentuknya nama Desa Blimbing, Kabupaten Bondowoso.

Tarian Singo Ulung merupakan tarian tradisional dengan menggunakan kostum mirip singa serta diiringi oleh tetabuhan. Singo Ulung memiliki kemiripan dengan kesenian yang ada di daerah Jember, yaitu Can-Macanan Kaddhu’. Namun, perbedaannya terletak pada kostum singa yang digunakan. Can-Macanan Kaddhu’ memiliki warna yang beragam seperti putih, hitam, dan kuning. Sedangkan kostum pada Tarian Singo Ulung hanya berwarna putih. Cerita yang melatarbelakangi terbentuknya tarian tersebut juga berbeda. Can-Macanan Kaddhu’ diduga berasal dari tradisi para pekerja kebun yang berusaha menjaga kebun dari serangan binatang buas sehingga para pekerja tersebut menggunakan kostum mirip singa untuk mengusir hewan yang akan merusak kebun. Sedangkan Tarian Singo Ulung berasal dari cerita mengenai seorang tokoh yang memimpin Desa Blimbing, Bondowoso, Jawa Timur.

Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerita Singo Ulung berupa nilai kepribadian, nilai religiusitas, dan nilai sosial. Nilai kepribadian yang terkandung di dalamhya berupa keberanian hidup, tanggung jawab, dan kesetian. Sedangkan nilai religiusitas yang terkandung dalam cerita Singo Ulung adalah manusia yang selalu ingat kepada Tuhan dan ketaatan manusia terhadap Tuhan. Nilai sosial yang terkandung da;am cerita tersebut berupa kerukunan, gotong royong, kepatuhan terhadap adat, dan tolong menolong. Tidak hanya nilai-nilai, cerita Singo Ulung juga memiliki fungsi bagi masyarakat Bondowoso khususnya Desa Blimbing. Fungsi-fungsi tersebut meliputi keteladanan seorang pemimpin, sebagai penghormatan terhadap leluhur, alat pelestarian budaya, sebagai alat pendidikan nilai budaya, sebagai alat pendidikan sejarah, dan sebagai hiburan.

Keberadaan cerita Singo Ulung menuntut adanya ritual yang harus dilakukan oleh masyarakat. Kegiatan yang dilakukan adalah ziarah makam setiap malam Jumat manis serta prosesi bersih desa dengan memiliki serangkaian acara di dalamnya yang wajib dilaksanakan setiap tahun. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap pemimpin yang disegani oleh masyarakat sesuai dengan cerita yang ada dan telah tersebar di masyarakat. Meski cerita Singo Ulung terdapat beberapa versi cerita, hal tersebut pula yang menunjukkan bahwa cerita rakyat Singo Ulung disebarkan secara lisan dari generasi ke generasi. (BEMI)

Sumber: Puspita, Retno Ayu. 2016. Cerita Rakyat “Singo Ulung” dalam Tradisi Lisan Bondowoso Jawa Timur. Diakses secara daring di https://repository.unej.ac.id/handle/123456789/ 77846?show=full 

Penulis: Bunga Esti Melia Indryani – Mahasiswa PKL tahun 2021 dari Universitas Negeri Malang

SEKILAS MENELISIK SEBARAN CERITA SRI TANJUNG

Sri Tanjung Menunggang Ikan, relief di Candi Surowono

Cerita Sri Tanjung terlanjur diambil alih oleh Banyuwangi, Jawa Timur, dan dikekalkan dalam kisah asal-usul Banyuwangi, tentu saja juga diabadikan sebagai nama sebuah kereta api ekonomi jurusan Yogyakarta—Banyuwangi. Padahal Sri Tanjung adalah khasanah klasik di Jawa, juga Bali, yang dalam alur dan latarnya, tak sedikit pun menyinggung Bumi Blambangan.

Keberadaannya terekam dalam berbagai warisan dan artefak, mulai dari tradisi lisan, manuskrip, hingga relief candi. Yang paling rentan untuk berubah di antara tinggalan tersebut adalah yang berbentuk lisan. Dapat dibayangkan bagaimana perubahan yang terjadi, karena dalam tradisi manuskrip saja, perubahan itu juga terjadi.

Selama ini, sudah diketahui, ada perbedaan antara Sri Tanjung dalam tradisi pernaskahan Bali dengan Sri Tanjung dalam pernaskahan di Jawa atau Banyuwangi (dalam Aminoedin, 1982; Turaeni, 2004). Apalagi mengacu pada tradisi pernaskahan paling tua (Prijono, 1938). Adapun dalam dunia relief percandian juga terdapat perbedaan-perbedaan (Kieven, 2014).

Setidaknya ada empat candi di Jawa Timur yang mengabadikan cerita Sri Tanjung pada bangunan candi tinggalan zaman Kerajaan Majapahit. Kieven (2014) mencatat keberadaannya ada di Candi Penataran (Blitar), Candi Surowono (Kediri), Candi Jabung (Probolinggo), dan Candi Bajang Ratu (Mojokerto). Namun, dari keempatnya, Candi Surowono lebih lengkap dan lebih memiliki daya tawar sebagai sebuah kreativitas pada zamannya.

Selain Kieven, terdapat para ahli sastra dan purbakala lain yang membahas panel relief di Candi Surowono, di antaranya adalah Worsley (1986) dan Klokke (1995). Mereka berdua memiliki penafsiran berbeda, terutama terkait panel-panel relief yang dialami Sri Tanjung di alam sesudah mati dan jenis binatang tunggangan Sri Tanjung di alam kematian.

Memang, terdapat perbedaan di antara beberapa candi di Jawa Timur dan beberapa cerita yang dianggap lebih tua. Ada versi yang menyebut Sri Tanjung menunggang buaya. Adapun pada panel candi tertentu, semisal Candi Penataran dan Candi Surowono yang berhasil saya jepret, digambarkan Sri Tanjung menunggang ikan, bukan buaya.

Kieven (2014) tidak melakukan tafsir mengenai soalan itu. Ia hanya menyebutkan ikan merupakan bagian dari kisah Sri Tanjung versi lisan yang lebih tua atau versi tulis yang telah hilang dan menggantinya dengan buaya dalam versi yang lebih terkenal dan lebih baru (2014). (MA)

Sumber: https://www.facebook.com/mashuri.alhamdulillah/

Sumber gambar: Koleksi Mashuri Alhamdulillah

SENI BANTENGAN dari PASURUAN

Seni tradisi di Pasuruan masih hidup, di antaranya adalah jaran kepang, tayub, bantengan, wayang, dan lainnya. Kesenian “Bantengan” sampai saat ini masih dilestarikan di Desa Lumbang Rejo, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan. diharapkan dapat diakui oleh Pemprov Jatim sebagai salah satu kesenian konservasi. Seni bantengan yang telah berkembang selama bertahun-tahun ini penuh dengan nilai kebudayaan yang tinggi, di samping selalu dirawat dan dipertahankan sebagai budaya khas masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan itu.

Korintus Mudjiyahya, atau biasa dipanggil Ki Bagong, Ketua Umum Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Pasuruan mengatakan, kesenian banteng yang ada di Kecamatan Prigen memiliki daya tarik tersendiri, bila dibandingkan dengan seni-seni banteng yang ada di daerah lain. Daya tarik yang dimaksud adalah banyaknya alat musik tradisional, seperti gamelan, gendang, dan berbagai alat musik tradisional lainnya, yang dimainkan dalam kesenian tersebut.

Peralatan musik dalam Seni Bantengan

Pertunjukan kesenian bantengan diawali dengan pembacaan mantra-mantra untuk meminta kepada Tuhan YME agar pertunjukan pada hari itu berjalan lancar. Semua peralatan, seperti jaran kepang, barongan, dan cemeti diberi mantra agar tidak terjadi hal-hal di luar kendali. Setelah itu tampil penari jaran kepang yang dibawakan oleh empat orang pemuda. Bagi masyarakat Jawa Timur bagian timur (Surabaya, Malang, Pasuruan, Lumajang hingga Situbondo), tari Jaran Kepang merupakan kisah-kisah raja-raja kecil atau adipati yang saling berperang untuk meluaskan wilayahnya. Seperti kisah peperangan antara Turyanpadha (Turen, Malang) dengan Tuksari (Sumbersari, Malang) atau pemberontakan rakyat Malang, Surabaya, Lumajang dan Pasuruan dalam melawan Sultan Agung dari Mataram. Berdasarkan apa yang dapat kita lihat, tari Jaran Kepang di wilayah Malang, Lumajang dan Surabaya memang berasal dari rakyat jelata atau masyarakat kelas bawah.

Pembacaan mantra sebelum pertunjukan dimulai

Tarian jaran kepang berawal dari keinginan kaum jelata untuk memiliki kuda (dalam bahasa jawa disebut Turangga). Saat itu memang kuda adalah kendaraan yang cepat namun mahal dan hanya dimiliki oleh para adipati atau penguasa setempat. Hal ini tentu mustahil untuk diwujudkan. Oleh karena keinginan yang begitu kuat itulah mereka membuat kuda kepang lalu ditungganggi dengan kaki mereka sebagaimana layaknya kuda. Alat musik dan pakaian yang sederhana semakin menunjukkan bahwa tarian Jaran Kepang di daerah ini berasal dari rakytat jelata. Memang tidak banyak sumber tertulis yang menunjukkan asal-usul tari ini. Kebanyakan hanya didapat dari cerita turun temurun yang sudah terdistorsi kanan dan kiri. Pengaruh kebudayaan baru juga membuat tarian Jaran Kepang ini menjadi tidak diminati masyarakat, terutama anak muda. Oleh karena iru, padepokan Gong Saraswati membina pemuda-pemuda di Kecamatan Prigen khususnya untuk berlatih jaran kepang dan kesenian khas Kabupaten Pasuruan lainnya.

Penampilan kesenian jaran kepang
Penampilan tari barongan
Akhir pertunjukan seni Bantengan

*Sumber: Laporan Kegiatan Visualisasi Kebinekaan Kebahasaan dan Kesastraan di Wilayah Kebudayaan Pandalungan, Pasuruan. 2016.

*Foto: Tim Visualisasi Kebinekaan Kebahasaan dan Kesastraan di Wilayah Kebudayaan Pandalungan, Pasuruan. 2016.

Buto-Butoan Jelbuk

Penduduk Desa Jelbuk, Kecamatan Jelbuk, Jember, rata-rata pendatang dari Madura. Sudah dari ‘sono’-nya orang Madura terkenal religius. Tak heran, menjelang kehadiran bulan Ramadan, di desa Jelbuk digelar seni tradisi unik yang berbeda dengan kebiasaan masyarakat lain, yaitu Buto-butoan. Secara harafiah, seni ini mengacu pada bentuk boneka-bonekaan yang melambangkan sosok tertentu, yang dipadu dengan kesenian lokal Jawa dan Madura.

Tidak diketahui sejak kapan kesenian ini hadir di kalangan masyarakat Jelbuk. Yang jelas hingga kini kesenian ini masih tetap eksis dan menjadi ritual tahunan. Apalagi ketika ditelisik lebih jauh, kehadiran kesenian ini tidak hanya melulu untuk menyambut bulan Ramadan. Namun juga pada acara hajatan, baik itu menikah, khitan, dan lainnya, kesenian ini dihadirkan sebagai sarana penghibur bagi masyarakat.

Seni ini merupakan modifikasi antara seni jaranan dan ondel-ondel dalam masyarakat Betawi. Bisa pula sejenis ‘ogoh-ogoh’ dalam tradisi masyarakat Bali. Uniknya, seni ini hanya bisa dijumpai di kalangan masyarakat Jember utara yang mayoritas peneduduknya beretnis Madura, yang kakek moyangnya merupakan imigran dari Madura dan bekerja sebagai buruh perkebunan. Dari sisi tradisi budayanya, mereka termasuk masyarakat santri.

Ihwal makna dari permainan ini memang banyak versi yang berkembang. Ada yang menjelaskan tentang simbol pengendalian nafsu sebagaimana sudah diutarakan karena mengingat simbol ondel-ondel yang dianggap ‘buto’ dan harus ditundukkan. Ada yang menafsirkan sebagai ungkapansuka cita dan bahagia. Tak heran, pada saat pertunjukkan warga terlibat menari, sambal berdendang dan menabuh tetabuan dengan riang. Yang merupakan perwujudan dari rasa suka cita menyambut datangnya bulan suci Ramadan.

Kiranya, seiring dengan laju globalisasi, seni jenis Buto-butoan ini sangat layak untuk dijaga tetap lestari. (MA)

*Sumber: LIBAS Edisi Juli–September 2016

SENI TRADISI KHAS SUKOREJO

Tim visualisasi Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur tiba di Desa Sukorejo, Kecamatan Parengan, Tuban, menjelang magrib. Namun, sinar matahari masih seperkasa mata Joko Tarub ketika mengintip Nawangwulan mandi di sendang Widodaren.

Lekuk jalan menuju desa yang berjarak sejauh 60 km lebih masih menunjukkan keseksiannya. Jalan menuju dusun itu sangat khas kawasan pegunungan Kendeng Utara. Keras, berkelok, sesekali jeglong, dan sempit. Panoramanya khas. Kadang dihimpit tebing batu kapur. Kadang lapang  di antara pesawahan. Apalagi sepanjang jalan, rimbun jati tumbuh di punggung bukit. Tampak dominan jati kanak-kanak dan remaja karena yang sudah sepuh telah bermetamorfosis menjadi kursi, tiang, hingga buah-buahan palsu yang menghiasi meja.

Kayu, apapun itu, menjadi sokoguru di kawasan Sukorejo. Ia tidak hanya menjadi sokoguru dalam arti harfiahnya sebagai tiang bangunan atau rumah, tapi juga sebagai penopang sebuah tradisi yang berusia ratusan tahun. Di dusun yang terpencil tersebut, kami disuguhi realitas dan degup hidup seni tradisi yang menggunakan kayu sebagai media ekspresi, yaitu wayang krucil dan wayang tengul (golek). Keduanya terbuat dari kayu.

Kedua wayang tersebut memang tidak hanya di Sukorejo, tapi bagi pemerhati wayang, hanya di Sukorejo dapat ditemukan ‘orisinalitas’ dan kekhasan khas. Wayang krucilnya memiliki iringan musik yang berbeda dengan krucil lainnya, yang disebut lekthung, dan dianggap memiliki silsilah paling tua di Tuban. Wayang tengul-nya pun memiliki ciri khas yang tidak dapat ditemukan di wilayah lain yang hidup di punggung pegunungan Kendeng sisi berbeda, semisal Bojonegoro, karena bonekanya berkaki. Mungkin inilah satu-satunya wayang golek yang berkaki di Nusantara.

“Karena itu cara memainkannya juga butuh teknik khusus,” kata sang dalang.”Karena pakai kaki, menurut kakek saya, ini bisa untuk ruwatan, Begitu pula dengan wayang krucil. Bahkan untuk ruwatan di sini wayang krucil masih yang dipercaya dan menjadi pilihan masyarakat,” lanjut sang dalang.

Dalang Ali Rispan sedang memilih tokoh wayang yang akan dilakonkan dalam pertunjukan.

Yang menarik, kehidupan kesenian di Sukorejo tumbuh subur dan hablur dengan watak pedusunannya. Di sana, ada grup musik salawatan, pencak dor, dan seni tradisi lainnya. Kami melihat beragam seni, dan sebagian besar seni tradisi, hidup bersama masyarakatnya tanpa terjebak seremoni dan kehilangan fungsi hakikinya sebagai seni. (MA)

*Sumber: Libas Edisi Juli 2017 *Foto: Tim Visualisasi Tuban (NN)

Tradisi Sanggring Desa Tlemang

Setiap tahun warga Desa Tlemang, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan, menggelar tradisi Sanggring. Tradisi ini pertama kali digagas Ki Buyut Terik, sesepuh setempat, dan sudah bertahan sejak ratusan tahun silam  yang kala itu dimaksudkan sebagai jamuan untuk para tamu dan sedekah bumi. Ada beberapa keunikan dalam tradisi ini, termasuk pentas seni tradisi wayang krucil.

Dari gelar tradisi tersebut,yang paling utama adalah memasak makanan secara massal. Beberapa hal sudah berubah, tetapi masih ada yang tidak boleh diubah. Dulu, jumlah makanannya ditentukan sejumlah 44 piring. Sekarang, jumlahnya disesuaikan dengan jumlah warga desa. Satu hal yang tidak boleh berubah; koki yang memasak makanan harus kaum Adam. Tidak ada syarat khusus untuk kokinya. Hanya jumlahnya yang sebanyak empat puluh laki-laki. Selain itu, hasil masakan pantang dicicipi lebih dulu.

Makanan Sanggring berupa masakan yang berbahan dasar ayam. Ayam-ayam tersebut sumbangan dari warga, begitu juga bumbu lengkap dan kayu bakarnya. Tidak ada ketentuan harus ayam jantan atau betina, termasuk warna ayam, meskipun beberapa tahun silam memang harus berwarna hitam. Tradisi Sanggring selalu dilaksanakan setiap 27 Jumadilawal tiap tahun.

Dalam tradisi Sanggring, masyarakat Desa Tlemang disuguhi seni tradisi berupa wayang krucil dengan menampilkan empat orang sinden. Wayang yang terbuat dari kayu itu telah menjadi satu sajian dalam tradisi Sanggring dengan dalang yang berasal dari Desa Tlemang. Karena dalam tradisi Sanggring wayang kulit tidak boleh dipentaskan, pertunjukan wayangnya harus wayang krucil. Setelah prosesi Sanggring tuntas, kepala desa, tokoh masyarakat dan penduduk Desa Tlemang membawa berbagai macam makanan kiriman dari warga ke punden atau makam Ki Buyut Terik untuk dimakan bersama-sama. (MA)

*Libas Edisi April 2019

CERITA PANJI DAN TARI KETHEK OGLENG

Kethek Ogleng adalah sebuah tarian khas Pacitan yang gerakannya menirukan tingkah laku kethek (kera). Tarian Kethek Ogleng ini berasal dari sebuah cerita Kerajaan Jenggala dan Kediri, yang biasa disebut dengan Cerita Panji.Tarian ini telah ditarikan oleh masyarakat Desa Tokawi, Kecamatan Nawangan selama bertahun-tahun. Biasanya tarian ini dipentaskan pada saat masyarakat setempat menyelenggarakan hajatan.

Diceritakan bahwa Raja Jenggala mempunyai seorang puteri bernama Dewi Sekartaji dan Kerajaan Kediri mempunyai seorang putera bernama Raden Panji Asmorobangun. Kedua insan ini saling mencintai dan bercita-cita ingin membangun kehidupan yang harmonis dalam sebuah keluarga. Hal ini membuat keduanya tidak dapat dipisahkan.

Namun, Raja Jenggala, ayahanda Dewi Sekartaji, mempunyai keinginan untuk menikahkan Dewi Sekartaji dengan pria pilihannya. Ketika Dewi Sekartaji tahu akan dinikahkan dengan laki-laki pilihan ayahandanya-yang tentunya tidak dia cintai, dia diam-diam meninggalkan Kerajaan Jenggala tanpa sepengetahuan sang ayahanda dan seluruh orang di kerajaan. Malam hari, sang putri berangkat bersama beberapa dayang menuju ke arah barat.

Di Kerajaan Kediri, Panji Asmorobangun yang mendengar berita menghilangnya Dewi Sekartaji memutuskan untuk nekad mencari Dewi Sekartaji, sang kekasih. Dalam perjalanan, Panji Asmorobangun singgah di rumah seorang pendeta. Di sana Panji diberi wejangan agar pergi ke arah barat dan dia harus menyamar menjadi kera. Sedangkan di lain pihak, Dewi Sekartaji ternyata telah menyamar menjadi Endang Rara Tompe.

Setelah Endang Rara Tompe naik turun gunung, akhirnya rombongan Endang Rara Tompe, yang sebenarnya Dewi Sekartaji, beristirahat di suatu daerah dan memutuskan untuk menetap di sana. Ternyata kethek penjelmaan Panji Amorobangun juga tinggal tidak jauh dari pondok Endang Rara Tompe. Maka, bersahabatlah mereka berdua. Meski tinggal berdekatan dan bersahabat, Endang Rara Tompe tidak mengetahui jika kethek yang menjadi sahabatnya adalah Panji Asmorobangun, sang kekasih, begitu juga dengan Panji Asmorobangun, dia tidak mengetahui jika Endang Rara Tompe adalah Dewi Sekartaji yang selama ini dia cari. Setelah persahabatan antara Endang Rara Tompe dan kethek terjalin begitu kuatnya, mereka berdua membuka rahasia masing-masing. Endang Rara Tompe merubah bentuknya menjadi Dewi Sekartaji, begitu juga dengan kethek sahabat Endang Rara Tompe. Kethek tersebut merubah dirinya menjadi Raden Panji Asmorobangun. Perjumpaan antara Dewi Sekartaji dan Raden Panji Asmorobangun diliputi perasaan haru sekaligus bahagia. Akhirnya, Dewi Sekartaji dan Raden Panji Asmorobangun sepakat kembali ke Kerajaan Jenggala untuk melangsungkan pernikahan. (MA)

*Libas Edisi Oktober 2019

Selawat Gembrungan

Selain Reog Ponorogo, terdapat seni tradisi Ponorogo yaitu Selawat Gembrungan. Seni tradisi yang berlabel Islam santri ini dinamakan Selawat Gembrungan karena instrumen utamanya hanya terdiri atas kendang dan gembrung.

Gembrung adalah kendang besar yang pada satu sisinya dipasang kulit untuk ditabuh, sedangkan pada sisi lainnya dibiarkan berlubang dan terbuka kira-kira sebesar 1/5-nya. Dalam perkembangan, musiknya ditambah dengan alunan ketipung dan kencreng untuk melengkapi komposisi suara musik gembrungan. Hingga kini, belum ada yang dapat memastikan awal kemunculannya. Bisa diduga bahwa seni baca selawat bersama-sama itu sudah ada pada masa zaman kewalian sekitar abad ke-14 hingga ke-15.

Para anggota Selawat Gembrungan tidak hanya harus kuat dalam olah suara, tetapi juga harus punya daya tahan tubuh yang kuat karena acara biasanya dimulai pukul 21.00—03.00 dini hari. Pada awalnya, Selawat Gembrungan hanya diadakan pada saat perayaan Maulud Nabi, tiap tanggal 12 Rabiul Awal, tetapi kemudian berkembang dan dilantunkan untuk misi lain.

Terlepas dari misi kegamaan, seni ini juga karib dengan kehidupan masyarakat terkait dengan daur hidup atau siklus peralihan. Selawat Gembrungan biasanya diselenggarakan berdasarkan beberapa momen penting kehidupan anak manusia, misalnya saat peringatan kelahiran bayi atau saat bayi berumur 7 bulan (peringatan 7 bulanan atau mitoni).

Perjalanan seni ini memang timbul dan tenggelam seiring dengan perkembangan zaman. Pada tahun 1970-an, seni ini diduga sudah mulai jarang ditampilkan mungkin karena sudah mulai banyak pilihan lain, seperti seni samroh atau hadrah yang lebih modern.  Hingga pascareformasi, seni gembrungan baru terdengar lagi dan akhirnya ada yang merevitalisasi dan melestarikannya. Pada zaman kejayaan seni gembrungan, setiap orang yang mempunyai anak berusia 7 bulan akan menyelenggarakan pertunjukan seni gembrungan dan pelaku seninya tidak memungut biaya sepeser pun dari si tuan rumah. Tuan rumah hanya berkewajiban menyediakan tempat dan menyajikan makanan sesuai dengan kemampuan. Biasanya, yang menjadi pelaku seni gembrungan adalah kaum laki-laki dewasa.

Seni ini tidak hanya tersebar di Ponorogo, tetapi juga di bekas Kerajaan Wengker, yang dalam masa kolonial di bawah administrasi Karesidenan Madiun dan sekitarnya, termasuk Ponorogo, Madiun, Magetan, Trenggalek, Pacitan, dan Ngawi. Namun, di Ponorogo seni gembrungan berkembang dan populer di desa-desa yang berbeda dengan selawatan yang serupa dengan yang ada di kawasan subkultur Mataraman. Kita bisa mengamati syair-syair atau tembang selawat yang berbeda dengan kawasan sekitarnya dengan etnopuitika khas, yang mengarah pada mantra dengan paduan antara selawatan (Arab) dan siir-siir Jawa dengan bentuk-bentuk pengucapan yang tidak hanya mengarah pada nasehat semata, tetapi dalam bentuk sastra yang unik. Salah satu contohnya adalah larik-larik dalam “Bawanan Shalarabbuna” yang berbeda dengan selawat serupa pada umumnya.

Beberapa grup selawat berdiri dengan mengambil nama berdasarkan judul syair selawatan yang populer, semisal Bawanan Shalarabbuna, Khataman Nabi, atau nama tokoh populer di Ponorogo sendiri, yaitu Ki Ageng Muhammad Besari. Dari data sementara, Selawat Gembrungan di Ponorogo terdapat kurang lebih 40 grup dan tersebar di beberapa desa. (MA)

*Libas 2019

* Foto: Koleksi Tim Visualisasi Kebahasaan dan Kesastraan BBJT Tahun 2015