Kungkum Sinden: Ritual Sakral Penjaga Tradisi dan Keberkahan di Desa Made

Di tengah pesatnya perkembangan zaman, masyarakat Desa Made, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang tetap mempertahankan salah satu tradisi sakral yang telah diwariskan turun-temurun, yaitu upacara adat Kungkum Sinden. Ritual ini bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga memiliki nilai historis yang kuat serta kepercayaan spiritual yang masih dipegang teguh oleh masyarakat setempat.

Kungkum Sinden merupakan tradisi yang berakar dari cerita rakyat serta nilai kesejarahan yang dipercaya oleh masyarakat hingga saat ini. Setiap tahun, ritual ini digelar sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, sekaligus menjadi ajang spiritual bagi para sinden dan dalang. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada bulan Suro (bulan Muharram dalam kalender Islam), yang diyakini sebagai bulan penuh berkah dan rahmat.

Bagi para sinden dan dalang, upacara ini memiliki makna khusus. Mereka percaya bahwa ritual ini adalah ajang penobatan bagi seniman pertunjukan, serta sebuah sarana untuk mendapatkan keberkahan. Para sinden meyakini bahwa air dari sendang dapat memberikan aura kecantikan, memperindah suara, serta mendatangkan banyak kesempatan dalam dunia seni. Sementara itu, bagi para dalang, ritual ini dipercaya dapat meningkatkan wibawa dan kelancaran dalam mendalang.

Sumber: Kanal Youtube Maz Yun (https://www.youtube.com/watch?v=TexEPyocV1c

(Ilustrasi kungkum sinden yang dipercaya mendatangkan keberkahan dalam hal pedalangan)

Tidak hanya bagi seniman, masyarakat umum pun turut serta dalam upacara ini dengan harapan segala doa dan hajat mereka dapat terkabul. Selain itu, tradisi ini juga menjadi momen penting dalam mempererat tali persaudaraan, menjaga gotong royong, serta melestarikan budaya yang telah ada sejak zaman nenek moyang.

Pelaksanaan Kungkum Sinden diawali dengan persiapan khusus bagi peserta upacara. Para sinden harus mengenakan pakaian khas sinden dengan selendang yang dikalungkan di leher, serta membawa bunga tujuh rupa. Mereka juga diwajibkan untuk bertelanjang kaki sebagai bentuk penghormatan kepada tempat suci, yakni Sendang Made. Sementara itu, para dalang mengenakan pakaian khas dalang dengan keris terselip di punggung sebagai simbol kejantanan.

Upacara ini dipimpin oleh seorang juru kunci yang memandu peserta dalam mengelilingi tujuh sendang. Dalam prosesi ini, bunga tujuh rupa ditaburkan ke dalam air sebagai simbol kesucian. Pada sendang terakhir, juru kunci akan memanggil satu per satu sinden dan dalang untuk disiram dengan air sendang sebagai tanda peresmian dan berkah bagi mereka. Setelah prosesi utama selesai, peserta diperbolehkan mengambil air dari sendang menggunakan botol kosong untuk dibawa pulang sebagai sarana keberkahan.

Sumber: Ainun Nadhifah. (2019). “Nilai-Nilai Sosial dan Nilai-Nilai Religi pada Upacara Adat Kungkum Sinden di Desa Made Kudu Jombang”. Prosiding Conference on Research and Community Services. https://ejournal.stkipjb.ac.id/index.php/CORCYS/article/view/1237/950

Bathara Kala, Integrasi Kepercayaan Jawa dan Islam dalam Tradisi Lokal di Jombang

Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kepercayaan kuat terhadap hal gaib dan mistis. Sebelum datangnya agama-agama besar seperti Hindu, Buddha, dan Islam, orang Jawa sudah memiliki sistem kepercayaan sendiri yang disebut Kapitayan. Ketika agama-agama dari luar mulai dianut oleh masyarakat Jawa, terjadi proses akulturasi yang menarik. Orang Jawa tetap mempertahankan tradisi leluhur mereka. Namun dengan mengintegrasikan unsur-unsur kepercayaan baru yang dibawa oleh agama-agama tersebut, terutama Islam. Integrasi ini menjadikan kepercayaan dan tradisi Jawa semakin kaya serta unik dalam praktiknya.

Salah satu bentuk nyata dari perpaduan kepercayaan lama dan baru ini adalah berbagai ritual adat yang masih dijalankan hingga sekarang. Salah satunya adalah tradisi ruwatan pernikahan di masyarakat Desa Jombok, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Nama “Jombok” sendiri berasal dari kata yang berarti tempat yang becek atau daerah yang memiliki banyak kubangan air dan rawa. Secara historis, Jombang merupakan salah satu daerah yang pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Jejak pengaruh Majapahit di daerah ini masih dapat ditemukan, salah satunya melalui keberadaan Candi Arimbi di Dusun Pulosari, Desa Pulosari, Kecamatan Bareng. Di area Candi Arimbi, terdapat arca Bathara Kala yang menjadi simbol kuat dari warisan mitologi Jawa yang masih dipercaya oleh masyarakat setempat.

Ilustrasi Bathara Kala

Sumber gambar: https://www.youtube.com/shorts/-zHpa-vbr7E 

Bathara Kala, dalam mitologi Jawa, adalah sosok raksasa yang melambangkan waktu dan kekuatan destruktif. Kepercayaan terhadap Bathara Kala masih terlihat dalam berbagai ritual masyarakat Jombang, seperti upacara yang dilakukan saat terjadi gerhana. Di Desa Sumbermulyo, Kecamatan Jogoroto, Jombang, misalnya, masyarakat mengadakan ritual liwetan untuk ibu hamil setiap kali terjadi gerhana. Ritual ini berakar dari mitos yang menyebutkan bahwa Bathara Kala menelan matahari atau bulan saat gerhana terjadi. Sebelum pengaruh Islam masuk, masyarakat Jawa pada masa pra-Islam melakukan tradisi menabuh lesung sebagai simbolisasi untuk “membangunkan” Bathara Kala agar memuntahkan kembali matahari yang ditelannya. Setelah Islam masuk, praktik ini tetap bertahan, tetapi dikombinasikan dengan doa-doa Islami sebagai bentuk harmonisasi antara kepercayaan lama dan keyakinan baru.

Tradisi-tradisi ini menunjukkan bagaimana masyarakat Jawa memiliki cara unik dalam menjaga keseimbangan antara warisan leluhur dan ajaran agama yang lebih modern. Kepercayaan terhadap mitos dan ritual tidak hanya berfungsi sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya masa lalu, tetapi juga sebagai media untuk mempererat hubungan sosial dalam komunitas. Hal ini membuktikan bahwa kepercayaan tradisional tetap dapat berkembang seiring waktu tanpa kehilangan esensi spiritualnya, melainkan beradaptasi dengan perubahan zaman dan keyakinan yang dianut masyarakatnya.

Sumber: Ahmad Musonnif. (2024). Integrasi Mitos dan Religi (Mitologi Jawa dan Religi Islam dalam Ritual Ruwatan Pernikahan oleh Masyarakat Desa Jombok Ngoro Jombang Jawa Timur). Kontemplasi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 12 (01).
https://ejournal.uinsatu.ac.id/index.php/kon/article/view/8245/2616

Mitos Surup dalam Kearifan Lokal, antara Kepercayaan dan Harmoni Sosial

Mitos merupakan salah satu bentuk sastra lisan yang memiliki karakteristik dinamis dalam setiap penyampaian dan perwujudannya. Sebagai narasi prosa yang dipercaya sebagai kisah nyata di masa lampau, mitos mengisahkan berbagai aspek kehidupan, seperti aktivitas para dewa, urusan cinta, hubungan keluarga, persahabatan, permusuhan, kemenangan, dan kekalahan. Lebih dari sekadar cerita turun-temurun, mitos menjadi inspirasi bagi lahirnya karya sastra serta berfungsi sebagai pedoman bagi masyarakat dalam menavigasi kehidupan sosial mereka.

Keberadaan mitos tidak hanya sekadar menyajikan reportase mengenai peristiwa masa lalu atau kisah dewa-dewa dan dunia ajaib, tetapi juga memberikan tuntunan moral dan nilai-nilai kehidupan. Mitos berfungsi sebagai peta kebijaksanaan, menawarkan petunjuk bagi manusia dalam berperilaku dan beradaptasi dengan lingkungannya. Dalam perkembangannya, mitos mengalami proses kreatif yang memungkinkan adanya interpretasi baru, menjadikannya relevan dengan konteks zaman yang terus berubah. Fenomena mitos mencerminkan kepercayaan masyarakat yang terus berkembang, menghadirkan pemahaman dan makna yang dapat beradaptasi dengan realitas sosial yang dinamis.

Ilustrasi waktu surup
Sumber gambar: Pinterest (https://id.pinterest.com/pin/496873771392758346/

 

Salah satu bentuk kearifan lokal yang masih bertahan di masyarakat adalah mitos “surup” yang berkembang di Jombang, Jawa Timur. Mitos ini tidak hanya diwariskan sebagai kepercayaan mistis semata, tetapi juga memiliki nilai sosial dan budaya yang mendalam. Kepercayaan mengenai “surup” di Jombang berkembang melalui tradisi lisan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam masyarakat, mitos ini memiliki makna yang beragam, bergantung pada interpretasi dan kepercayaan yang dianut oleh masing-masing komunitas. Kepercayaan ini tidak sekadar menjadi pengingat akan batasan dalam beraktivitas, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai kehati-hatian, penghormatan kepada leluhur, serta upaya menjaga keseimbangan dalam kehidupan sosial.

 

Mitos Surup: Kearifan Lokal yang Masih Terjaga

Mitos “surup” di Jombang memiliki berbagai pemaknaan dan kontribusi dalam kehidupan sosial masyarakat. Kepercayaan ini tersebar di beberapa daerah seperti Desa Mayangan dan Desa Jarak Kulon di Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang. Meski memiliki variasi pemahaman, mitos ini berakar pada keyakinan akan keseimbangan hidup dan keharmonisan dengan alam, serta peringatan akan potensi bahaya yang mengancam jika aturan tidak dipatuhi. Berikut adalah beberapa pemaknaan yang berkembang di masyarakat:

1. Anjuran Menutup Rumah saat Maghrib

Waktu maghrib dipercaya sebagai saat ketika makhluk ghaib mulai berbaur dengan manusia. Oleh karena itu, masyarakat dianjurkan untuk menutup rumah, pagar, pintu, dan jendela agar terhindar dari gangguan makhluk halus. Selain itu, ini juga menjadi waktu untuk beristirahat, membersihkan diri, meluangkan waktu bersama keluarga, serta mendekatkan diri kepada Tuhan.

2. Larangan Menutup Total Bagian Depan Rumah Orang Tua

Dalam tradisi Jawa, membangun bangunan yang menutupi bagian depan rumah orang tua dianggap tidak baik. Kepercayaan ini menyatakan bahwa rumah orang tua yang belum “surup” (meninggal) tidak boleh tertutup oleh bangunan baru yang dibangun anak-anaknya, seperti toko atau garasi. Hal ini dipercaya dapat menghambat rezeki dan menyebabkan kesulitan bagi keluarga. Jika ingin tetap membangun, ukuran bangunan harus disesuaikan agar tidak menutupi “wajah” rumah orang tua secara total.

3. Larangan Keluar Rumah saat Maghrib

Anak-anak dan remaja putri dianjurkan untuk tetap berada di rumah saat maghrib karena dianggap sebagai waktu yang berbahaya. Kepercayaan ini menyebutkan bahwa makhluk gaib seperti Nyi Thowok atau Nenen dapat menculik anak-anak dan remaja dengan cara menyamar menjadi orang yang mereka kenal. Oleh sebab itu, masyarakat percaya bahwa sebaiknya menunggu hingga waktu maghrib berlalu sebelum keluar rumah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Mitos “surup” yang berkembang di Jombang menunjukkan bagaimana nilai-nilai budaya masih berperan dalam kehidupan masyarakat. Meski zaman semakin modern, kepercayaan ini tetap dijaga sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan sebagai pedoman dalam kehidupan sosial. Beberapa masyarakat mungkin tidak lagi menganggapnya sebagai aturan mutlak, tetapi lebih sebagai simbol ajakan untuk menjalani hidup dengan lebih tertib dan penuh kehati-hatian.

Pada akhirnya, mitos seperti “surup” tidak hanya berbicara tentang hal-hal mistis, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat menjaga harmoni sosial, menghormati orang tua, serta menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran akan lingkungan sekitar. Inilah yang menjadikan kearifan lokal tetap relevan di tengah arus globalisasi yang terus berkembang.

Sumber: Krismonika Khoirunnisa. (2021). “Revitalisasi dan Kontribusi Mitologi: Pendidikan dan Pembelajaran Sastra Multikultural Surup di Jombang”. Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa dan Sastra Tahun 2021: Kantor Bahasa Provinsi Kepulauan Riau. https://repository.usd.ac.id/42826/1/8137_Prosiding+Bulan+Bahasa+dan+Sastra+2022.pdf

Ujub-Ujub: Tradisi Lisan Perpaduan Budaya dan Religiusitas di Malang 

Di Desa Karangrejo, tradisi Islam-Kejawen tidak hanya mewarnai perayaan keagamaan, tetapi juga meresap dalam setiap momen penting kehidupan, mulai dari kelahiran, pernikahan, hingga kematian. Dalam setiap tahap siklus hidup ini, terjalin perpaduan harmonis antara mantra-mantra Jawa yang sarat makna dan doa-doa Islam yang penuh pengharapan.

Ketika menyambut sang buah hati, lantunan mantra ujub-ujub menggema diiringi doa keselamatan dan keberkahan. Sesepuh desa, dengan kebijaksanaan dan keilmuannya, melantunkan mantra ini sebagai ungkapan rasa syukur dan permohonan perlindungan bagi sang bayi. Mantra ini bukan hanya tradisi, tetapi juga warisan budaya yang sarat makna, mengandung harapan agar sang anak tumbuh sehat, cerdas, dan berakhlak mulia.

Tradisi pernikahan di Desa Karangrejo tidak hanya dimeriahkan dengan pesta, tetapi juga diwarnai dengan doa dan ritual adat yang sakral. Doa-doa dipanjatkan untuk memohon kelancaran pernikahan dan kebahagiaan bagi pasangan pengantin. Ritual adat seperti siraman dan sungkeman pun dilangsungkan sebagai wujud penghormatan kepada orang tua dan leluhur. Perpaduan ritual Islam dan adat Jawa ini menjadi simbol harmoni dan keseimbangan dalam kehidupan berumah tangga.

Ketika meninggal, tradisi Islam-Kejawen kembali mengantarkan sang individu menuju peristirahatan terakhir. Doa-doa dipanjatkan untuk mengantarkan arwah menuju alam baka, diiringi dengan tradisi adat seperti memandikan jenazah dan memakamkannya dengan tata cara yang sesuai. Tradisi ini menjadi pengingat bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan, dan setiap individu harus mempersiapkan diri untuk menghadapinya dengan penuh keimanan dan ketawakalan.

Sumber: Kanal Youtube Jelajah Kampung Indonesia (https://www.youtube.com/watch?v=fnFujBxKjzA

Keunikan tradisi Islam-Kejawen di Desa Karangrejo ini bukan hanya tentang ritual dan mantra, tetapi juga tentang nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Tradisi ini adalah cerminan dari rasa syukur, penghormatan, dan keyakinan masyarakat terhadap Tuhan dan leluhur. Di tengah gempuran modernisasi, tradisi ini menjadi pengingat penting bagi generasi muda untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya dan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur.

Tradisi Islam-Kejawen di Desa Karangrejo bukan sekadar kebiasaan, tetapi juga identitas dan spiritualitas yang dihayati oleh masyarakat. Tradisi ini menjadi perekat rasa persaudaraan dan gotong royong, serta pengingat akan akar budaya dan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur.

Setiap ritual dan tradisi, terdapat dua figur penting yang memimpin jalannya acara. Imam tahlilan bertugas memimpin doa dan pembacaan Al-Quran, sedangkan tetua desa bertugas memimpin ritual adat dan melantunkan mantra-mantra Jawa. Kolaborasi ini menunjukkan perpaduan harmonis antara nilai-nilai Islam dan tradisi Jawa yang dipegang teguh oleh masyarakat Desa Karangrejo.

Tradisi Islam-Kejawen di Desa Karangrejo bukan hanya warisan budaya, tetapi juga pedoman hidup yang dihayati oleh masyarakat. Tradisi ini menjadi perekat identitas dan spiritualitas yang memperkuat rasa persaudaraan dan gotong royong antar warga. Di tengah gempuran modernisasi, tradisi ini menjadi pengingat akan akar budaya dan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur. (Mon)

Sumber: Qori’ah Alfi, Wafi Azhar., & Rifqi Muhammad Zidni Arsyada. (2018). “Sastra Lisan Mantra Ujub-Ujub: Makna dan Fungsinya dalam Masyarakat Desa Karangrejo Kabupaten Malang Jawa Timur”. WACANA: Jurnal Bahasa, Seni, dan Pengajaran, 2(2), 1—15. https://ojs.unpkediri.ac.id/index.php/bind/article/view/12133.

Jejak Spiritual Upacara Hodo di Dukuh Pariopo

Di Dukuh Pariopo, Desa Bantal, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo, tersimpan sebuah tradisi leluhur yang sarat makna. Tradisi tersebut adalah Ritual Hodo, yang dilakukan setiap tahun sekitar bulan September hingga Oktober. Upacara Hodo merupakan sebuah ritual kesuburan yang diyakini mampu mendatangkan hujan dan memberi berkah bagi tanah mereka.

Bagi masyarakat Dukuh Pariopo yang mayoritas berprofesi sebagai petani, kekeringan adalah momok yang tidak terelakkan. Hujan bagaikan napas kehidupan bagi tanaman dan kelangsungan hidup mereka. Upacara Hodo menjadi sebuah manifestasi rasa syukur dan permohonan kepada Sang Pencipta agar tanah mereka kembali subur dan panen melimpah.

Lebih dari sekadar ritual meminta hujan, Upacara Hodo menyimpan nilai-nilai luhur yang diwariskan turun-temurun. Nilai spiritualnya terpancar dari keyakinan masyarakat terhadap kekuatan ritual ini sebagai sarana memohon kesuburan kepada Tuhan. Diiringi alunan musik tradisional, lantunan doa dan tarian suci, mereka memanjatkan harapan dan kerendahan hati di hadapan Sang Pencipta.

 

Sumber gambar: Kanal Youtube Titik Terang (https://www.youtube.com/watch?v=mBmaIHQjaok

Keindahan tradisi ini tidak hanya terletak pada makna spiritualnya, tetapi juga pada kekayaan budayanya. Upacara Hodo merupakan perpaduan berbagai seni tradisional, mulai dari seni musik, tari, resitasi, hingga seni rupa. Perpaduan ini mencerminkan kekayaan budaya masyarakat Dukuh Pariopo yang patut dilestarikan.

Nilai historis pun melekat erat dalam Upacara Hodo. Ritual ini telah dijalankan secara turun-temurun selama berabad-abad, menjadi bukti nyata ketahanan tradisi di tengah gempuran modernisasi. Kegigihan masyarakat Dukuh Pariopo dalam menjaga kelestarian budayanya patut diacungi jempol.

Rangkaian Upacara Hodo diawali dengan prosesi ‘pesucen’, yaitu tahap penyucian diri untuk mensucikan hati dan jiwa para peserta ritual. Kemudian, rangkaian upacara dilanjutkan dengan ‘bersemedi’, momen khusyuk untuk memohon petunjuk dan kekuatan dari Tuhan. Tahap selanjutnya adalah ‘berkurban’, sebagai wujud rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan. Puncak ritual Hodo diwarnai dengan lantunan doa, tarian, dan musik tradisional yang diiringi dengan penuh penghayatan.

Upacara Hodo bukan sekadar ritual tolak hujan, tetapi juga sebuah cerminan budaya, rasa syukur, dan permohonan masyarakat Dukuh Pariopo kepada Sang Pencipta. Tradisi ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga kelestarian budaya dan warisan leluhur di tengah arus modernisasi. Keindahan dan makna Upacara Hodo menjadi daya tarik tersendiri, mengundang wisatawan untuk datang dan merasakan atmosfer sakral serta keunikan tradisi masyarakat Dukuh Pariopo.

Upacara Hodo adalah warisan budaya yang tidak ternilai harganya. Melestarikannya bukan hanya tanggung jawab masyarakat Dukuh Pariopo, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia. Dengan mengenali dan menghargai tradisi ini, kita turut menjaga kekayaan budaya bangsa dan melestarikan kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun.

Sumber: Hidayatullah, Panakajaya. (2015). “Upacara Seni Hodo sebagai Ritual Kesuburan Masyarakat Dukuh Pariopo Situbondo”. International Conference on Nusantara (ICNP), 459—471. https://osf.io/preprints/inarxiv/e9nk6 

Kearifan Lokal dan Tradisi Lisan Jumat Legi di Desa Kemlagi

Di Desa Kemlagi, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, masih lestari tradisi Malam Jumat Legi yang sarat makna spiritual dan kearifan lokal. Tradisi ini diwarnai dengan berbagai amalan ibadah yang dipadukan dengan nilai-nilai Islam Nahdlatul Ulama (NU), mencerminkan akulturasi budaya dan agama yang unik.

Bagi masyarakat Kemlagi, Jumat Legi dianggap sebagai waktu istimewa untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Di malam ini, mereka melakukan berbagai ritual dan amalan ibadah dengan harapan mendapatkan berkah, menolak bala, dan mencapai hajat yang diinginkan. Tradisi ini diwarnai dengan perpaduan tradisi Jawa dan Islam NU, menghasilkan ritual yang khas dan sarat makna.

Sumber gambar: Kanal Youtube Senandika (https://www.youtube.com/watch?v=qBv4DdoPlxQ

Sejarah dan Makna Tradisi Malam Jumat Legi

Akar tradisi Malam Jumat Legi di Kemlagi dapat ditelusuri hingga masa Kerajaan Majapahit. Pengaruh Hindu masih terasa dalam tradisi ini, seperti ritual Wasilah (mengirim doa kepada leluhur) dan Kenduri Sajen Sandingan (memberikan sajian makanan kepada arwah leluhur di perempatan jalan).

Namun, seiring masuknya Islam, tradisi ini mengalami transformasi. Para ulama NU mengadopsi tradisi lama dan memadukannya dengan nilai-nilai Islam. Wasilah diubah menjadi doa kepada para ulama dan leluhur yang telah meninggal, dan Kenduri Sajen Sandingan diubah menjadi sedekah kepada fakir miskin. Pembacaan mantra diganti dengan tausiyah dan pengajian.

Perpaduan Tradisi dan Islam Nahdlatul Ulama di Kemlagi

Tradisi Malam Jumat Legi di Kemlagi menjadi contoh akulturasi budaya dan agama yang harmonis. Tradisi Jawa yang sarat kearifan lokal dipadukan dengan nilai-nilai Islam NU, menghasilkan ritual yang bermakna dan sesuai dengan syariat Islam. Perpaduan ini terlihat jelas dalam beberapa ritual utama, yaitu:

  1. Wasilah: Doa dipanjatkan kepada para ulama dan leluhur yang telah meninggal, bukan lagi kepada arwah leluhur secara langsung.
  2. Kenduri Sajen Sandingan: Makanan yang disajikan dibagikan kepada fakir miskin dan warga yang hadir, bukan lagi sebagai sesaji untuk arwah leluhur.
  3. Pembacaan Mantra: Diganti dengan tausiyah dan pengajian yang berisi nilai-nilai Islam dan ajaran moral.

Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Jumat legi di antaranya ada ketaqwaan kepada Tuhan; memanjatkan doa kepada leluhur; kebersamaan dan solidaritas; serta pelestarian budaya.

Sumber: Shofiyuddin & Martinus Legowo. (2016). “Fenomenologi Ritual Malam Jumat Legi Warga Nahdlatul Ulama Desa Kemlagi, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto”. Paradigma, 4(3), 1—11. https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/paradigma/article/view/16904

Gambar: Kanal Youtube Senandika (https://www.youtube.com/watch?v=qBv4DdoPlxQ)

Mbah Nganten, Mitos yang Membentuk Identitas Budaya di Jombang

Sastra lisan dengan berbagai ceritanya akan terus melekat di masyarakat. Sastra lisan Lebih dari sekadar cerita rakyat, sastra lisan merupakan cerminan nilai-nilai luhur, kearifan lokal, dan jati diri suatu masyarakat. Sastra lisan ini tidak hanya diwariskan melalui kata-kata, tetapi juga melalui gerak isyarat, alat bantu pengingat, dan berbagai bentuk ekspresi lainnya. Mitos di masyarakat sering dikaitkan dengan hal-hal mistis, salah satunya di Dusun Kramat, Desa Tanggung Kramat, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang. Dusun Kramat, menyimpan banyak cerita yang diwariskan secara turun-temurun. Berpusat pada Makam Mbah Nganten, kisah ini menceritakan penemuan tidak biasa yang mengantarkan dusun ini pada namanya yang unik.

Dahulu kala, di wilayah yang kini dikenal sebagai Dusun Kramat, hiduplah masyarakat Dusun Karang Tengah. Suatu hari, gegeran melanda dusun ketika sepasang tangan wanita ditemukan di tepi Sungai Brantas. Uniknya, tangan tersebut masih mengenakan cincin bermata merah dan menggenggam erat sejumput rumput.

Misteri identitas tangan tersebut menyelimuti dusun. Tidak ada satu pun penduduk yang mengenalinya. Namun, tidak lama kemudian, datanglah seorang lelaki dari arah barat. Dengan rasa haru dan duka, lelaki itu menyatakan bahwa tangan tersebut adalah milik istrinya tercinta, yang baru saja dinikahinya kurang dari 40 hari. Saat itu, istrinya pamit ke sungai untuk buang air kecil. Tidak disangka, istrinya tidak kunjung kembali. Sang suami pun mencarinya dengan panik, hingga akhirnya menemukan tangan tersebut di tepi sungai.

Sumber gambar: Kanal Youtube Kahuripan TV (https://www.youtube.com/watch?v=DniG6cHfM7Y

Dengan penuh rasa kehilangan dan hormat, warga Dusun Karang Tengah dan sang suami sepakat untuk memakamkan tangan tersebut beserta cincinnya di atas tanggul tepi Sungai Brantas. Sejak saat itu, tempat tersebut dikenal dengan sebutan Makam Mbah Nganten, yang berarti “Makam Pengantin”.

 

Seiring berjalannya waktu, Dusun Karang Tengah pun berganti nama menjadi Dusun Kramat. Penamaan Dusun Kramat terinspirasi dari keberadaan makam tersebut. Mbah Nganten diyakini sebagai leluhur dan pendiri dusun. Sosoknya dihormati dan dikeramatkan oleh masyarakat. Keberadaan Makam Mbah Nganten tidak hanya menyimpan legenda, tetapi juga melahirkan tradisi dan adat istiadat di Dusun Kramat. Salah satunya adalah larangan bagi pengantin baru yang belum genap 40 hari untuk mendekati sungai. Tradisi ini dipercaya untuk menghindari kejadian tragis seperti yang menimpa Mbah Nganten.

Selain itu, terdapat pula aturan adat yang melarang pertunjukan wayang kulit di Dusun Kramat. Sebagai gantinya, wayang krucil diharuskan dipertunjukkan. Konon, jika aturan ini dilanggar, salah satu rumah warga akan tertimpa musibah kebakaran. Setiap tahunnya, masyarakat Dusun Kramat menggelar tradisi “Sedekah Dusun Kramat” untuk memperingati kematian Mbah Nganten. Acara ini diadakan pada malam Jumat Wage, diiringi dengan pertunjukan wayang krucil di Makam Mbah Nganten.

Kisah Mbah Nganten dan Makam Kramat mencerminkan kekayaan budaya dan tradisi yang dijaga oleh masyarakat Dusun Kramat. Keberadaannya menjadi pengingat akan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. Tradisi dan adat istiadat yang dilestarikan menjadi identitas dan pemersatu masyarakat, sekaligus menjadi bentuk penghormatan kepada leluhur dan pelestarian budaya.***

Sumber: Puspitasari, Indah. (2022). “Sastra Lisan: Pengaruh Mitos di Desa Tanggung Kramat”. KODE: Jurnal Bahasa, 1(1), 150—161.

https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/kjb/article/view/33503/0 

Misteri Kebenaran di Balik Mantra Semar Mesem: Antara Pengasihan dan Keharmonisan Spiritual

Mantra, sebagai bagian dari tradisi lisan yang berkembang di kalangan masyarakat, memiliki peran yang penting dalam mewariskan kebudayaan secara turun-temurun. Di Jawa Timur, khususnya, tradisi mantra mengemuka sebagai bagian tidak terpisahkan dari budaya Osing. Mantra Osing, sebagai doa sakral kesukuan, memuat kepercayaan akan adanya kekuatan spiritual yang bersifat gaib. Salah satu keunikan Mantra Osing adalah keberadaan empat macam magi di dalamnya, yakni putih, kuning, merah, dan hitam. Mantra-mantra ini masih terus bertahan dan dimanfaatkan dalam kehidupan sosial masyarakat hingga saat ini.

Salah satu aspek yang menarik untuk diselidiki adalah mantra bermagi kuning. Mantra ini tidak hanya dimiliki oleh dukun, melainkan juga dapat digunakan oleh masyarakat umum. Fungsi mantra bermagi kuning tidak hanya terbatas pada praktik dukun, tetapi juga dipercaya dapat mempengaruhi pikiran seseorang tanpa menggunakan cara-cara yang jahat, terutama dalam konteks mencari jodoh atau yang lebih populer dikenal sebagai ilmu pengasihan. Popularitas mantra bermagi kuning di kalangan masyarakat membuatnya menjadi bagian integral dari identitas budaya lokal.

Sumber gambar: Kanal Youtube Pusaka Antik (https://www.youtube.com/watch?v=LmVdyuIZNa8

Di Banyuwangi, dunia spiritual sangatlah populer dan meresap dalam kehidupan sehari-hari. Selain mantra, praktik spiritual lainnya seperti pengobatan tradisional, pencarian kekuasaan, dan meramal juga sangat umum di sana. Mantra bermagi kuning, khususnya mantra Semar Mesem, masih dipercaya oleh banyak orang hingga saat ini. Pengikutnya memercayai kekuatan mantra tersebut dalam berbagai aspek kehidupan, bahkan menganggapnya sebagai bekal penting dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

 

Dalam konteks perilaku individual, tradisi, dan budaya sosial, mantra Semar Mesem memiliki peran yang sangat penting. Fungsinya tidak hanya terbatas pada memenuhi kebutuhan individu, tetapi juga melibatkan latar belakang budaya dan tradisi lokal. Mantra Semar Mesem, sebagai bagian dari budaya Osing, menjadi sarana bagi individu untuk menjalin hubungan baik dengan mempengaruhi kesadaran orang lain. Fungsi sosial mantra ini juga sangatlah signifikan, karena tidak hanya berdampak pada individu saja, tetapi juga pada masyarakat secara luas.

Dalam praktiknya, mantra Semar Mesem termasuk dalam kategori santet pengasihan atau ilmu pengasihan. Tujuannya adalah untuk memikat lawan jenis atau mendapatkan kekasih atau pendamping hidup. Namun, perlu dicatat bahwa penggunaan mantra ini tidaklah bermaksud untuk melakukan kejahatan, melainkan untuk mencapai tujuan dengan cara yang baik dan tulus. Kekuatan magis mantra Semar Mesem bekerja secara halus, sehingga unsur negatifnya tidak terlalu terlihat. Bahkan, objek yang disantet mungkin tidak menyadari bahwa dirinya sedang terpengaruh oleh mantra tersebut.

Kesimpulannya, mantra bermagi kuning, khususnya mantra Semar Mesem, memegang peran yang penting dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi. Sebagai bagian dari warisan budaya dan tradisi lokal, mantra ini tidak hanya memengaruhi individu, tetapi juga membentuk identitas dan pola pikir kolektif masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk terus memahami dan menghargai nilai-nilai serta fungsi dari tradisi lisan seperti mantra dalam konteks budaya lokal yang kaya dan beragam.

Sumber: Wulandari, Intan., Tedi Erviantono., & Bandiyah. (2017). “Imbolisme Mantra Semar Mesem terhadap Kekuasaan di Banyuwangi”. Jurnal Nawala Politika, 1(1), 1—9.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/politika/article/view/33299

Mantra Sabuk Mangir dalam Kepercayaan Mistis Banyuwangi

Setiap daerah memiliki keunikan dan keragaman budaya yang membentuk identitasnya sendiri. Salah satu daerah yang memiliki keragaman budaya dan tradisi adalah Banyuwangi, kota yang terletak di ujung timur Pulau Jawa. Di antara keindahan alamnya yang menakjubkan, Banyuwangi juga dikenal sebagai tempat yang kaya akan kepercayaan dan praktik-praktik mistis. Salah satu aspek yang menonjol dari budaya Banyuwangi adalah kepercayaan masyarakat Osing terhadap kekuatan gaib, supernatural, dan magis.

Kehadiran budaya santet dan sihir di kalangan masyarakat Using sudah bukan lagi hal yang menghebohkan, tetapi lebih merupakan bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Mantra-mantra yang dipercayai memiliki kekuatan gaib masih digunakan dan diperdagangkan dalam konteks kehidupan sosial masyarakat Banyuwangi. Masyarakat Using, dengan khususnya, sering dipandang sebagai kelompok yang banyak mengandalkan hal-hal mistis dalam kehidupan mereka.

Sumber gambar: Kanal Youtube Sanggar Seni Lang Lang Buana (https://www.youtube.com/watch?v=Mm86yQ4QSFo)

Meskipun mayoritas masyarakat Banyuwangi memeluk agama Islam, kepercayaan akan hal-hal mistis masih tetap kuat. Bahkan, sebagian besar dari mereka yang mempercayai praktik-praktik ini adalah masyarakat Using. Mereka memandang santet dan sihir sebagai alat untuk melindungi diri dan mencapai tujuan tertentu dalam kehidupan mereka.

Namun demikian, tidak semua masyarakat Banyuwangi mempercayai hal-hal mistis ini. Ada juga yang menganggapnya sebagai tradisi dan kesenian yang harus dijaga. Masyarakat Banyuwangi, dengan beragam keyakinan dan pandangan tetap bekerja keras untuk menyikapi dan menghadapi kekuatan-kekuatan yang ada di sekitar mereka.

Salah satu contoh yang menonjol dari kepercayaan mistis di Banyuwangi adalah praktik mantra sabuk mangir. Mantra Sabuk Mangir ini diyakini memiliki kekuatan magis yang dihubungkan dengan desa Mangir di Rogojampi. Mantra tersebut dipercayai bahwa Sabuk Mangir digunakan oleh orang Mangir untuk melawan musuh-musuhnya, baik melawan secara fisik maupun non-fisik. Namun, terdapat pula sisi gelap dari praktik Sabuk Mangir ini yaitu ketika seseorang terkena mantra Sabuk Mangir akan berubah menjadi gila dan hanya dapat disembuhkan dengan kematian orang yang memberikan mantra tersebut. 

Dalam kesimpulannya, keberadaan praktik-praktik mistis di Banyuwangi menggambarkan kompleksitas budaya dan kepercayaan yang terus bertahan di tengah arus modernisasi. Meskipun dihadapkan dengan perubahan zaman, masyarakat Banyuwangi tetap teguh dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya mereka, termasuk kepercayaan dan praktik-praktik mistis yang telah mengakar dalam kehidupan mereka.***

Sumber: Dhani, Dayu Rahma, Vindy Berlian Awanada., & Santi Novitasari. (2019). “Resepsi Ikatan Keluarga Banyuwangi terhadap Mantra Sabuk Mangir”. Satwika, Jurnal Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial, 3(2).

https://ejournal.umm.ac.id/index.php/JICC/article/view/10243

Mamaca, Perpaduan Seni Pertunjukan dan Tradisi Lisan di Pamekasan

Seni pertunjukaan tradisi lisan yang sehat pada hakikatnya ditandai oleh hubungan yang saling memerlukan antara seniman, pengamat seni, dan masyarakat penikmat. Namun, dalam kenyataannya, selain tidak mampu mempertahankan pelaku dan penikmatnya, seni tradisi kurang memiliki peluang untuk memberikan peningkatan yang bernilai ekonomi. Akibatnya perkembangan yang diharapkan menjadi terbatas, baik dalam hal perkembangan wujud dan wilayah persebaran. Tradisi sastra lisan Mamaca merupakan kesenian tradisional Madura yang memiliki keunikan dalam pertunjukannya. Dalam penyajiannya, sastra lisan Mamaca diiringi oleh seperangkat gamelan dan suling. Selain itu, keunikan dalam kesenian Mamaca ini terdapat pada bahasa yang digunakan, yakni bahasa Jawa arab yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Madura. Dalam kepercayaan masyarakat Madura, tradisi sastra lisan Mamaca berfungsi sebagai sarana ritual sebagai penghilang sial dalam menjalani kehidupan. Di samping itu, kesenian Mamaca juga dijadikan sebagai sarana hiburan.

Sumber gambar: Kanal Youtube Langit Biru Production (https://www.youtube.com/watch?v=mIaNpufg1ig

Kabupaten Pamekasan merupakan kabupaten yang terletak di tengah Pulau Madura. Kabupaten ini berbatasan dengan laut Jawa di utara, Selat Madura di selatan, Kabupaten Sampang di barat, dan Kabupaten Sumenep di timur. Kabupaten Pamekasan terdiri atas 13 Kecamatan, yang dibagi lagi atas 178 Desa dan 11 Kelurahan. Pusat Pemerintahannya berada di Kecamatan Pamekasan. Pamekasan memiliki banyak kesenian tradisional, diantaranya adalah Karapan sape, Topeng Getak, Sape Sono’, Saronen, Tari Rondhing dan beberapa kesenian lainnya. Karakteristik kesenian Madura cenderung bertemakan ceria serta bernuansa rancak sesuai dengan watak masyarakatnya sendiri yang tegas. Kesenian merupakan bagian dari kebudayaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat, baik masyarakat kota maupun desa. Kebudayaan masyarakat selalu berkembang seiring dengan berjalannya waktu.

Berlawanan dengan fenomena penyusutan wujud, pelaku, maupun penonton, masih dijumpai pendukung seni tradisi yang tampak tegar dan mampu bergerak lebih leluasa, seperti halnya seni tradisi lisan Mamaca yang ada di Kabupaten Pamekasan, Madura. Seni tradisi menjadi sarana hiburan, penopang ekonomi, dan bermuatan norma serta nilai pendidikan. Kesenian Mamaca dapat dikategorikan sebagai seni pertunjukan tradisional yang berbentuk sastra lisan, karena pada pertunjukannya menggunakan tutur kata yang dilagukan.

Di Kabupaten Pamekasan, kesenian ini sudah jarang terlihat dan hampir punah, hal tersebut dikarenakan kurangnya minat para generasi muda terhadap kesenian tradisional sehingga tidak ada reorganisasi dalam upaya melestarikan kesenian Mamaca ini. Disamping itu kesenian Mamaca dalam upacara ritual Rokat Pandhâbâ sudah jarang dilakukan, hal ini dikarenakan semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat di Pamekasan terhadap mitos-mitos yang berkembang pada jaman dulu.

Tradisi sastra lisan Mamaca masyarakat Madura khususnya di Pamekasan memiliki garis genealogis dengan tradisi Macapat masyarakat Jawa, yang sama-sama berupa tembang berbahasa Jawa, meskipun dengan nuansa yang berbeda, sesuai pengaruh kultur daerah masing-masing. Meskipun berbentuk tembang berbahasa Jawa tingkat tinggi (krama inggil), tradisi Mamaca tetap tumbuh subur dalam masyarakat Madura yang berbasis pesantren dan pedesaan, karena disamping masyarakat Madura memiliki jiwa estetika yang tinggi, nilai-nilai yang tersirat dalam aneka tembang Mamaca, sejalan dengan nilai-nilai yang menjadi basis kultur setempat. Baik di pesantren, di pedesaan dan di tembang-tembang Mamaca, yang berperan sebagai juru dakwah dan kreator kesenian adalah orang-orang yang sama yakni para wali dan kiai.

Para Mubaligh terdahulu menciptakan tembang-tembang kreatif dan inovatif yang berisi doktrin agama, puji-pujian kepada Allah, anjuran dan ajakan untuk mencintai ilmu pengetahuan. Melalui tembang Mamaca tersebut, setiap manusia diketuk hatinya untuk lebih memahami dan mendalami makna hidup. Seni Mamaca memiliki dua unsur penting, yakni seni sastra dan seni suara (vokal).

Berbagai jenis tembang Mamaca mengandung makna yang mendalam, seperti Artate (Dangdanggula) yang bermakna pengharapan yang manis, atau dedaunan untuk pajangan (perhiasan/dekorasi), Maskumambang yang artinya prihatin, sangat susah, Senom yang artinya tumbuhnya daun pohon Asam (daun pohon asam yang masih muda), sangat bagus digunakan untuk menyampaikan nasehat dan berbagai hal kebatinan yang butuh banyak peribahasa, Kinanti (Salanget) yang artinya sangat dekat, digunakan untuk nasehat, kerukunan, Mejil yang artinya keluar, digunakan untuk menghadapi pertikaian atau perselisihan, Durma yang maknanya macan, digunakan ketika kita begitu bernafsu beringas, sedih, dan lain-lain. Pucung yang artinya perumpamaan, bagus digunakan ketika tebak-tebakan, dan Kasmaran bermakna heran.***

Sumber: Rifqi, Faizur. (2018). “Tradisi Sastra Lisan Mamaca di Kabupaten Pamekasan”. GÊTÊR: Jurnal Seni Drama, Tari, dan Musik, 1(1), 39—45.

https://journal.unesa.ac.id/index.php/geter/article/view/3924