Sisi Lain Tembang Sigra Milir

“Sigra milir sang gethek sinangga bajul, kawan dasa kang njageni, ing ngarsa miwah ing pungkur, tanapi ing kanan kering, kang gethek lampahnya alon”.

Demikianlah bunyi tembang macapat bermetrum Megatruh yang berkisah tentang Jaka Tingkir naik rakit di sebuah sungai. Ada yang menyebut sungai itu sebagai Kedung Srengege. Ada pula yang menyebutnya Bengawan Solo. Ia dikawal 40 buaya putih, di depan, di belakang, di samping kanan dan samping kiri. Rakitnya pun bergerak perlahan-lahan.

Tembang itu bagi kanak-kanak Jawa tempo doeloe akrab di telinga. Ia dianggap sebagai puisi lisan Jawa karena sering didendangkan. Tembang itu bernama Sigra Milir.

Sigra Milir disebut sebagai puisi lisan itu wajar, karena tembang itu lebih dikenal versi lisannya, baik dalam tradisi mocopatan, seni ketoprak, bersenandung, dan lainnya. Meski demikian, asal-muasalnya dari versi tulis. Versi tulisnya tersebar pada beberapa babad. Salah satunya adalah Babad Mentaram, yang ditemukan almarhum Suripan Sadi Hutomo (1998) di Mojokerto dalam metrum macapat dan digurat dengan abjad Arab Pegon. Dimungkinkan naskah babonnya ditulis dalam aksara Jawa. Babad lainnya adalah Babad Demak, yang di dalamnya juga ada kisah Jaka Tingkir.

Menurut Hutomo (1998), pada saat ia kecil, banyak anak-anak desa di Jawa yang hapal tembang itu, terutama bagi anak-anak gembala. Ternyata itu tidak hanya berlaku di Jawa Tengah, tepatnya Blora, asal Hutomo. Di Jawa Timur, banyak anak-anak yang juga menembangkannya.

Di Lamongan, realitas kulturalnya agak berbeda. Di kawasan pedalaman, terutama Lamongan selatan, dulu tembang itu pun kondang. Banyak kanak-kanak yang mendendangkannya. Pasalnya, Jaka Tingkir adalah hero lokal dan idola masyarakat. Ia sakti mandraguna, ahli politik, dan berujung sebagai raja Jawa pasca-Kerajaan Demak.

Namun, di kawasan Lamongan yang menjadi lintasan Bengawan Solo –dengan beberapa anak sungainya, salah satu di antaranya bernama Bengawan Jero, yang menjadi urat nadi kehidupan mereka, menembangkan Sigra Milir adalah pantangan. Hal itu berlaku sejak dulu. Diyakini, tembang itu merupakan alat komunikasi super canggih pada sekawanan buaya di kawasan perairan Bengawan Solo.

“Bila sedang menyeberang Bengawan Solo, memang dipantangkan nembang Sigra Milir,. Diyakini tembang itu adalah sarana pengundang buaya putih, yang berdiam di Bengawan,” tutur Drs Achmad Hambali, budayawan Lamongan. “Sejak dulu ada keyakinan begitu. Pernah ada yang lupa dengan itu, pada tahun 1990an, dan berakhir kurang baik” lanjutnya. (MA)

Dibalik Tradisi Ceprotan

Tradisi Ceprotan, yaitu lempar-melempar cengkir sebanyak-banyaknya di Desa Sekar, Pacitan. Tradisi ini digelar setiap bulan Longkang (Dzulhijjah), hari Senin Kliwon atau Minggu Kliwon. Terdapat kisah lisan yang unik di balik tradisi tersebut. Ada yang mengaitkannya dengan cerita Panji, yaitu Dewi Sekartaji, ada pula yang tidak. Berikut ini adalah kisah yang terkait dengan cerita Panji.

Pada jaman dahulu, di utara laut selatan, kurang lebih lima belas kilo meter, terdapat hutan belantara. Di hutan tersebut tidak ada manusia yang berani menempati. Tanpa disangka-sangka ada seorang sakti yang bernama Ki Godhek. Ki godhek , menurut kabar memiliki wajah yang tampan, masih muda, juga sebagai keturunan raja Brawijaya dari kerajaan Majapahit, yang berani membabat hutan belantara itu. Ki Godhek akhirnya berhasil membabat hutan dan dapat ditempati.

Ketika sedang membabat hutan, Ki Godhek menjumpai seorang perempuan cantik, bernama Dewi Sekartaji. Perempuan tadi didekati dan ditanyainya, ternyata perempuan tersebut sedang kehausan. Mengetahui perempuan tersebut sedang kehausan, Ki Godhek mengeluarkan kesaktiannya yaitu mendatangkan kelapa muda yang masih segar. Kelapa muda tersebut kemudian diberikan kepada Dewi Sekartaji dan langsung diminum.

Merasa ditantang kesaktiannya, Dewi Sekartaji juga mengeluarkan kesaktiannya. Sisa air kelapa muda yang sudah diminum tadi, dituang ke tanah. Seketika tanah yang basah terkena air kelapa muda mengeluarkan mata air yang besar. Tempat pertemuan Ki Godhek dengan Dewi Sekartaji tadi saat ini diberi nama dukuh Sekar.

Setelah dukuh Sekar dibuka, banyak calon murid yang bermaksud berguru di sana. Mengetahui hal itu, Ki Godhek membuat syarat untuk calon muridnya. Syarat tersebut yaitu, calon murid diminta membawa sesaji. Maksudnya, sesaji tadi akan digunakan untuk selamatan.

Setelah anak-anak calon muridnya berkumpul, selamatan dimulai. Di tengah selamatan, ada dua anak yang berebut ayam panggang. Perebutan tersebut baru berhenti setelah Ki Godhek menengahi. Ki Godhek mengadakan sayembara, siapa saja yang bersedia membawa ayam panggang namun dilempari kelapa muda, maka ia berhak atas ayam panggang tadi. Oleh karena itu, sampai saat ini, setiap hari Senin Kliwon dan Minggu Kliwon, bulan Longkang diadakan selamatan untuk membersihkan desa dengan tradisi Ceprotan. Biasanya dengan saling melempar cengkir sebanyak-banyaknya. (MA)

*Libas edisi Juli 2019

Nasib Seni Tradisi Agutta

Agutta merupakan permainan khas imigran dari Madura yang bermukim di subkultur Pandalungan, terutama di wilayah bekas Karesidenan Besuki. Permainan ini sangat unik dan bernuansa tradisi lisan, meski kini sudah sangat jarang ditemui slotjitu. Bahkan, ada yang mengatakan sudah punah. Dari permainan ini dapat diketahui bahwa nenek moyang kita itu demikian karib dengan alam. Mereka memiliki cara tersendiri sekedar istirah dari keseharian dan semakin memperkokoh ikatan sosial.

Pada tahun 1983, tim inventarisasi permainan rakyat Jawa Timur masih dapat menemukannya di Desa Badean, Bondowoso. Karena sudah 37 tahun, keberadaannya kini sulit dilacak. Zaman sudah berganti. Banyak generasi kini melupakannya sebagai permainan jadul dan ditelan zaman. Untunglah, ada pihak yang masih peduli dan melakukan semacam revitalisasi, meskipun kurang kontinu.

Agutta berasal dari bahasa Madura yang berarti kesibukan gerak dan keriuhan. Permainan dilakukan dengan alat penumbuk padi dilakukan para petani sebagai intermesso dari kerja kesehariannya, juga sebagai ritual menyambut datangnya gerhana rembulan. Awalnya, permainan ini berasal, dari kegiatan para pekerja penumbuk padi. Mereka ibu-ibu yang sudah separuh umur atau lebih, yang berfisik kuat.

Alat permainan yang terpenting adalah “ronjangan” atau sejenis dengan lesung. Terbuat dari batang kayu yang keras. Alat penumbuknya berupa kayu setinggi sekitar dua meter atau lebih sedikit dengan garis tengah tujuh cm. Pada bagian yang harus dipegang dibuat agak mengecil sehingga jari-jari tangan cukup untuk melingkarinya. Bahan penumbuk ini pun dari kayu sejenis. Alat penumbuk itu yang disebut “gentong” atau antan. Biasanya tersedia lebih dari lima batang karena adakalanya untuk jenis-jenis lagu tertentu, ada satu pemain yang sekaligus memainkan dua “gentong” itu.

Di sebelah kanan dan kiri “ronjangan” diletakkan masing-masing sebongkah batu. Batu ini akan dipukul-pukul dengan ujung lain dari gentong yang dipegang oleh pemain-pemainnya dan menghasilkan suatu irama musikal tertentu. Bersama dengan pukulan-pukulan pada ronjangan, pukulan di batu akan menghasilkan suatu ensamble yang rancak.

Pemainnya terdiri atas sekitar lima orang wanita yang masing-masing mempunyai tugas tertentu dalam memainkan “gentong”-nya pada “ronjangan”. Mereka juga menyanyi bersama atau kadangkala ada seorang yang khusus sebagai penyanyi tunggal. Namun, yang seorang ini pun kadang-kadang sambil memegang memainkan “gentong”-nya. Adapun orang yang harus memulai suatu permainan, tidaklah tetap, tergantung pada jenis lagu yang akan dibawakan.

Apabila sebuah lagu sudah diulang-ulang dan dianggap sudah cukup dinikmati, seseorang yang dianggap paling berpengaruh di antara mereka akan merubah pola pukulannya sedemikian rupa sehingga yang lain-lain merasakan bahwa tanda itu merupakan ajakan untuk menghentikan permainan atau mengubahnya dengan jenis lagu yang lain. Beberapa lagu rakyat Madura yang dibawakan merupakan lagu-lagu tradisional seperti Walang Kekek, Orkesan, Fajjar Laggu, Lir Saalir, Man Jauma, Cung-cung Kuncung Konce dan sebagainya. Hanya saja, karena alat-alat penumbuk padi semakin modern dan serba mesin, dan “ronjangan” semakin langka, lama-kelamaan permainan Agutta berangsur hilang dari peredaran. Begitu pula dengan gerhana rembulan, kini tak lagi sakral karena pandangan orang telah jauh berubah. Orang semakin tahu bahwa ilmu pengetahuan telah menjawab sebab-sebab gerhana rembulan, dan bukan lagi ulah raksasa yang rakus menelannya. Dulu, bila ada gerhana rembulan slot gacor, bulu kuduk orang-orang berdiri dan bersama-sama merapal doa suci. Kini, orang-orang tertawa-tawa dan sibuk selfi. (MA)

Beragam Sambutan “Cerita Bangsacara”

“Cerita Bangsacara” atau “Bangsacara-Ragapatmi” adalah kisah kasih legendaris dari Madura. Kisah tersebut mirip dengan kisah cinta lain di Nusantara, semisal Sri Tanjung-Sidopekso (JawaTimur), Roro Mendut—Pronocitro (Jawa Tengah), dan Jayengtilam—Layonsari (Bali). Namun, “Cerita Bangsacara” mengandung sesuatu yang khas Madura, dan tidak ditemui di daerah lain, apalagi makamnya berada di Pulau Mandangin, Kabupaten Sampang.

“Cerita Bangsacara” menempati habitat dalam tradisi lisan, yang dituturkan dari generasi ke generasi lewat mulut ke mulut. “Cerita Bangsacara” menjadi magnet sejak dulu, terutama dalam jagat literasi. Terhitung sejak zaman Hindia Belanda, ia telah menjadi sumber inspirasi bagi para penulis. Pada perkembangannya, cerita cinta itu juga menjadi bahan penulisan sastra kontemporer, bahkan pementasan teater. Tentu saja, dengan pembacaan dan pendekatan baru yang sesuai dengan semangat kekinian.

Tulisan tertua digurat pada tahun 1874 sebagai usaha untuk menghimpun cerita rakyat oleh sarjana Belanda, yaitu dalam Handleding tot de Begefrning der Madoereeschetaal (kumpulan cerita Madura versi Bahasa Belanda) ditulis A.C. Vreede. Buku ini diterbitkan di Leiden, pada tahun 1874. Untuk penulis Indonesia, sudah ada sejak Bale Poestaka berdiri yang bertujuan menyediakan bacaan bermutu kepada masyarakat Hindia, imbas dari Politik Etis yang dicetuskan van Deventer. Tulisan berbentuk prosa berjudul Tjaretana Bangsatjara karya Sumawidjaja, dan diterbitkan Bale Poestaka, Djakarta, pada 1917. Ada pula berbentuk  drama berjudul Bangsatjara-Ragapadmi ditulis Ajirabas pada 1946. Ajirabas adalah nama samaran WJS Poerwodarminto,penyusun kamus bahasa Indonesia yang pertama.

Ada pula yang berbentuk puisi. Judulnya adalah Balada Bangsacara-Ragapadmi, karya Sastradinata ,ditulis pada 1977. Bahkan, sastrawan terkemuka Madura, D. Zawawi Imron juga menulis ulang Cerita Bangsacara dalam bentuk buku cerita rakyat berjudul “Bangsacara-Ragapadmi, Kisah Cinta dari Madura” pada 1980. Cerita tersebut sering pula diangkat sebagai lakon ludruk dan ketoprak. Bahkan, sebuah sumber menyebut bahwa ada naskah kuno yang mengabadikan “Cerita Bangsacara”.

Memang secara sastrawi “Cerita Bangsacara” mirip dengan kisah cinta dari Nusantara dan dunia, tetapi warna lokalnya tetap mengemuka dan menjadi pembeda yang tidak dapat ditemukan pada kisah lain serupa, terutama terkait asal-usul penamaan, karakter tokoh, dan kekhasan sebuah wilayah. Namun, masing-masing cerita itu hidup dan berpijak di ranah sosio-kultural yang berbeda. (MA)

*Libas edisi Januari 2019

Ironi Kentrung Tuban

Kentrung bermula dari paduan kata “ngreka lan jantrung“. Makna kreatifnya luar biasa. Namun, kini kentrung sedang dilanda nasib pahit, terutama Kentrung Tuban. Sepeninggal Mbah Surati, yang karib disapa Mbah Rati, dalang kentrung dari Desa Bate, Kecamatan Bangilan, tiga tahun lalu, Kentrung Tuban sedang vakum. Jika tidak dilakukan revitalisasi secepatnya,tradisi lisan akan tamat.

Selama ini, Kentrung Tuban telah menghasilkan banyak sarjana, mulai dari taraf S-1 hingga S-3, baik di ilmu etnomusikologi, sosiologi seni hingga etnopuitika tradisi lisan. Peneliti Kentrung Tuban yang dikenal adalah Dr. Suripan Sadi Hutomo, sang doktor kentrung.

Nasib Kentrung Tuban kini sangat ironis. Regenerasi kentrung Tuban mencapai titik nadir. Menurut penuturan seorang budayawan Tuban, ketika usia Mbah Rati menapaki ambang senja, ia tak pernah risau siapa penerusnya. Ia merasa yakin bahwa sepeninggalnya, pasti ada yang meneruskan kentrung. Namun, bukan rahasia lagi, dalam regenerasi seni berbasis tradisi, dibutuhkan pewarisan dan pencantrikan yang sulit dan rumit. Apalagi, mitos yang melingkupi kentrung demikian menakutkan, yaitu dalang kentrung dikutuk buta!

Meskipun mitos itu jauh dari kebenaran, faktanya Kentrung Tuban kini menuju jurang kepunahan. Entah karena zaman, atau  karena ruang, tetapi sejatinya tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Kondisi tersebut terkesan kontradiksi dan ironi karena gebyar Kabupaten Tuban kini sedang menuju slogan Tuban sebagai kota berbasis tradisi. (MA)

PERMAINAN NYAI PUTHUT KHAS MALANG

Permainan Nini Thowok masyhur sebagai permainan rakyat yang melibatkan kekuatan magis. Permainan ini mirip-mirip jailangkung, tetapi lebih terasa Jawa. Konon, asal-muasalnya dari kawasan pinggiran di negerigung Yogyakarta dan Surakarta. Namun, ternyata Malang memiliki permainan yang serupa dengan Nini Thowok, yang menggunakan media boneka dengan melibatkan ‘dunia lain’. Masyarakat Malang tempo dulu menyebutnya dengan permainan Nyai Puthut. Cara memainkannya sangat dekat dengan tradisi lisan karena dengan media mantra.

Dulu, permainan tersebut biasa digelar tepat pada saat candrakirana, alias saat rembulan bersinar purnama. Untuk mengundang arwah datang, dikumandangkan mantra dengan cara menembangkannya. Ada juga yang menyempurnakannya dengan iringan musik gamelan Jawa. Begitu arwah merasuki boneka, boneka yang sudah direkayasa sedemikian rupa dengan dandanan perempuan itu seakan-akan hidup, bahkan dapat meloncat-loncat. Meskipun terkesan menakutkan dan membuat bulu kuduk meremang, permainan tersebut termasuk media hiburan tempo dulu, ketika radio, televisi, dan film masih berdiam di alam khayalan. Meskipun takut, banyak orang yang ingin ikut ambil bagian dan ketagihan.

Sayangnya, permainan itu kini jarang dimainkan dan sangat sulit menemukan orang yang mampu memainkannya. Sebuah riset pada 1993 mencatat, hanya segelintir orang yang mampu memainkannya karena nasib permainan itu pasang surut. Kini, permainan tersebut termasuk langka dan vakum lama. Pasalnya, dalam waktu cukup panjang, permainan ini ‘dilarang’ dan ‘haram’ dimainkan. Meskipun demikian, baru-baru ini, ada seorang budayawan Malang yang masih cukup mahir memainkannya. Dia adalah Yongky Irawan, yang melakukan semacam ‘revitalisasi’ pada permainan tersebut, lengkap dengan filosofinya.

Permainan Nyai Putut ini belum diketahui asal-muasalnya, maupun sejarahnya. Kemiripan dengan Nini Thowok hanya terletak pada asal-usulnya yang menyangkut seorang wanita tua. Meskipun demikian, ada perbedaan dengan Nini Thowok. Dalam permainan Nini Thowok, wanita tuanya bersifat baik hati, sedangkan Nyai Putut berasal dari wanita tua yang masih gemar berdandan, yang lekas marah dan tidak senang jika ada orang yang mengolok-olok dandanannya.

Sifat emosional tersebut menjadikan permainan Nyai Puthut demikian atraktif karena penonton dituntut untuk terlibat aktif. Ihwal pembawaan dan sifat Nyai Puthtut, dapat ditelusuri dari tembang mantranya, yang mengisahkan tentang seorang perempuan yang dulu suka berdandan. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai pelacur. Ia kemudian meninggal dunia dan arwahnya dapat dihadirkan kembali untuk menari dengan media boneka. Dalam tembang mantra disebutkan bahwa ia pernah menjadi pelacur, tetapi akhirnya menjadi bidadari.

Permainan Nyai Putut dapat dimainkan oleh laki-laki atau perempuan. Syaratnya, yang bersangkutan mendapatkan pewarisan mantra dan teknik memainkannya dari orang yang mampu sebelumnya. Sebelum memainkan atau ‘menghidupkan’ boneka Nyai Puthut, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Selain penguasaan tembang mantra, pemain harus menyisir rambut boneka dan memasang kaca di depannya. Pencahayaannya memanfaatkan pantulan sinar rembulan. Karena itu, permainan ini biasa dimainkan ketika rembulan sedang bersinar sempurna, alias rembulan purnama.

Ketika arwah sudah datang setelah dipanggil dengan tembang dan merasuk ke boneka, boneka yang sudah didandani sedemikian rupa itu akan bergerak. Bahkan, ia akan semakin ndadi (menjadi-jadi) sesuai dengan reaksi penonton. Apabila penonton mengejek atau mengolok-oloknya, ia akan semakin aktif bergerak, bahkan apabila emosinya memuncak, ia akan kumat, sampai melompat-lompat, pertanda bahwa ia tidak suka atau sedang marah besar. (MA)