Djajus Pete

Djajus lahir di desa Dempel, Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, pada tanggal 1 Agustus 1948. Dalam karya-karyanya, Djajus sering menggunakan nama samaran Djajus Pete. Tidak ada alasan khusus Djajus menggunakan nama itu. Laki-laki beragama Islam ini menamatkan sekolah dasar (SD) di Kecamatan Purwosari, Kabupaten Bojonegoro pada tahun 1961. Ia kemudian melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) tahun 1967 di Bojonegoro. Pada tahun 1968 ia melanjutkan ke sekolah pendidikan guru (SPG) di Kabupaten Bojonegoro. Pendidikan terakhirnya ditempuh di KPG Bojonegoro pada tahun 1976.

Pengalaman kerja Djajus diawali sebagai guru sekolah dasar (SD) sejak tahun 1971 di Bojonegoro dan pada tahun 1985—1993 bekerja sebagai wartawan Jaya Baya dan Surabaya Post. Kegiatan kepengarangan Djajus dimulai tahun 1967. Ia mengakui dunia tulis menulis baginya adalah semacam bakat yang didukung kerja keras untuk terus belajar menulis dengan lebih baik dari yang telah dihasilkan sebelumnya. Pada awalnya Djajus merasa harus banyak membaca karya-karya sastra untuk memenuhi keinginannya yang sangat besar dalam hal menulis. Materi karya-karya Djajus terutama cerita cekak ‘cerita pendek’ sebagian besar adalah berupa pengutaraan gagasan (menumpahkan uneg-uneg) yang dibumbui dengan latar penceritaan yang inkonvensional .

Karya pertama yang dihasilkan Djajus berupa guritan berjudul “Pepesthen” yang dimuat dalam majalah Panjebar Semangat tahun 1967. Dalam berkarya, Djajus sulit memberikan gambaran bagaimana proses kreatifnya. Hal tersebut, menurutnya, karena sebuah proses kreatif itu bersifat pribadi, cakupannya seperti tidak terhingga, mulai dari bagaimana mengungkap ide (meskipun ide datang dengan sendirinya), hingga berupa sebuah tulisan setelah mengalami proses pengendapan yang sangat lama.

Ia mengakui bahwa pada awalnya selalu dibantu oleh pengarang senior seperti JFX Hoery. Hoerylah yang kali pertama memberikan dorongan dan semangat menjadi penulis sastra Jawa. Suripan Sadi Hutomo dalam suratnya selalu memberikan saran, semangat, dan keyakinan bahwa Djajus akan menjadi pengarang yang besar. Dorongan semangat dari tokoh-tokoh besar tersebut disikapi Djajus dengan rendah hati. Ia bahkan terus-menerus mengasah kemampuan karena berkeyakinan bahwa menjadi penulis sastra Jawa ternyata tidak cukup hanya bermodal semangat, tetapi harus masuk dalam taraf penyerahan diri secara mutlak. Artinya, setiap tingkah laku dan perbuatan, sesuatu yang ia dengar, ia lihat, dan ia rasakan hanyalah untuk kepentingan sastra Jawa.

Peran penerbit dewasa ini, berkaitan dengan profesinya sebagai penulis, menurut Djajus, sangat menunjang dalam mener-bitkan hasil karyanya, walaupun media-media tersebut keberadaannya masih terbatas, khususnya media yang berbahasa Jawa. Tentang penghasilan, Djajus berpendapat bahwa honor yang diterimanya untuk sebuah karya sastra dapat dianggap belum layak. Akan tetapi, masalah utama perkembangan sastra Jawa tidak hanya itu. Ada faktor yang lebih penting yakni kemauan dan kemampuan untuk secara total nguri-uri bahasa dan sastra Jawa.

Walupun demikian, ia sangat optimis bahwa sastra Jawa masih akan terus hidup, apalagi dibantu oleh media-media berbahasa Jawa karena majalah-majalah tersebut merupakan benteng terakhir media ekspresi estetik sastra Jawa. Djajus menulis dalam berbagai genre sastra, baik cerita pendek (cerita cekak), cerita bersambung (cerbung), atau geguritan. Akan tetapi, beberapa tahun terakhir ini ia memfokuskan diri hanya menulis cerita pendek.

Karya monumental Djajus Pete berjudul “Kretek Emas Jurang Gupit”, sebuah buku antologi cerita cekak. Antologi ini berisi sepuluh cerita pendek yang ditulis antara tahun 1986—1998 dan pernah dimuat dalam majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Zed Amidien, seorang wartawan majalah Tempo, menerbitkan buku tersebut dengan dibantu sejumlah pengarang sastra yang ada di Surabaya. Antologi cerita cekak “Kreteg Emas Jurang Gupit” merupakan buku Djajus yang memperoleh penghargaan Rancage.

Kesepuluh cerita pendek tersebut adalah “Bedhug” (Panjebar Semangat, No. 19, 10 Mei 1997), “Dasamuka” (Jaya Baya, No. 19/ XLVI, 5 Januari 1992), “Kadurjanan”(Jaya Baya, No. 41/XLIV, 10 Juni 1990), “Kakus” (Panjebar Semangat, No. 44, 31 Oktober 1992), “Kreteg Emas Jurang Jupit” (Jaya Baya, No. 47/XL, 20 Juli 1986), “Pasar Rakyat” (Panjebar Semangat, No. 25, 22 Juni 1996) dengan judul “Topeng”, “Petruk” (Jaya Baya, No. 4/XLV, 23 September 1990), “Rajapati” (Panjebar Semangat, No. 49, 5 Desember 1998), “Setan-setan” (Panjebar Semangat, No. 31, 31 Juli 1993), dan “Tikus lan Kucinge Penyair” (Jaya Baya, No. 8/XLV, 21 Oktober 1990).

Karya sastra berupa Crita Cekak (1) “Tatu Lawas Kambuh Maneh” (Panjebar Semangat, No. 15, 10 Mei 1971), (2) “Erma” (Dharma Nyata, No. 18, Minggu V, September 1971), (3) “Baladewa Ilang Gapite” (Panjebar Semangat, No. 8, 24 Februari 1972), (4) “Wewadi Tansah Kineker” (Panjebar Semangat, No. 28, 24 Juli 1972), (5) “Antinen Sawetara Dina” (Panjebar Semangat), (6) “Rekasane Urip” (Panjebar Semangat, No. 44, 24 November 1972), (7) “Bapak Ana Kene” (Jaya Baya, No. 40/XXVII, 10 Juni 1973), (8) “Tiwi” (Djaka Lo-dhang, Minggu IV, Oktober 1973), (9) “Ringkih” (Dharma Nyata, No. 131). Djajus saat ini tinggal di Jalan Tambangan II/203, Purwosari, Kabupaten Bojonegoro.

*Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur

LETHOK KHAS NGAWI YANG MAKNYUS

“Dasar generasi tempe!’. Pernah mendengar cemooh tersebut? Jika pernah, Anda tak perlu marah, minder, apalagi malu. Santai saja, karena sejatinya tempe bukanlah makanan yang memalukan. Tempe mengandung segudang gizi. Berbicara tentang tempe, di Ngawi terdapat sebuah menu kuliner berbahan dasar tempe yang konon berusia tua dan populer hingga kini yaitu nasi Lethok.

Sekilas Lethok hampir sama dengan sambel tumpang. Namun, sebenarnya ada perbedaaan di antara keduanya dalam proses pembuatan, campuran, dan bumbu yang digunakan. Di dalam Lethok terdapat campuran lauk, sedangkan sambel tumpang steril dari cuilan daging atau lauk lain. Variasi Lethok terletak pada campuran adonannya. Bahan-bahan sederhana dan tidak sundul langit, seperti tempe mentah segar, sedikit tempe medem (tempe bosok), dan santan dapat dikolaborasikan dengan babat (iso), iga sapi, daging, dan sebagainya. Konon Lethok berunsur tempe dan babat inilah yang mengandung kekhasan dan nilai kesejarahan, yang masih lestari dan digandrungi masyarakat Ngawi hingga sekarang. Untuk menyantap Lethok, selain dengan nasi hangat plus urap, sering pula disandingkan dengan pecel, dan penganan legendaris, yaitu kerupuk beras.

Terkait dengan asal muasalnya, dimungkinkan kuliner ini berkembang ketika Belanda masih bercokol di Ngawi. Kawasan kelurahan Pelem dulunya dikenal sebagai perkampungan Belanda. Di sana ada Benteng Pendem, kompleks pemakaman Belanda, serta tepat jagal sapi di jalan yang kini disebut jalan Ronggolawe. Daging sapi dari rumah jagal itu tentu menjadi konsumsi orang-orang Belanda sedangkan bagian sapi lainnya, terutama babat diobral ke masyarakat. Oleh masyarakat setempat babat tersebut dijadikan tambahan asupan gizi menu sehari-hari, yang dipadu dengan tempe bosok. Leluhur kita memang kreatif. Tak heran dari mereka lahir generasi unggul dan cerdas macam kita, tetapi malu dan minder disebut “generasi tempe”. (MA)

*Libas Edisi Januari 2016

Budi Darma

Jika kita mengenal Chairil Anwar sebagai tokoh sastra Angkatan ’45, maka Budi Darma merupakan salah satu tokoh prosa Indonesia angkatan 70-an. Sebagai pengarang prosa fiksi, Budi Darma termasuk pengarang yang revolusioner selain Danarto, Putu Wijaya, dan Iwan Simatupang. Budi Darma dianggap memelopori penggunaan teknik bercerita kolase. Karya Budi Darma merupakan karya yang bermutu dan dapat disejajarkan dengan karya-karya mancanegara.

 

Budi Darma lahir pada 25 April 1937 di Rembang, Jawa Tengah dari pasangan Munandar Darmowidagdo dan Sri Kunmaryati. Leluhur Budi Darma, baik dari pihak ayah maupun ibu berasal dari Rembang. Kakek Budi Darma adalah seorang camat di Rembang, sedangkan ayahnya, Munandar Darmowidagdo (1900) adalah pegawai kantor pos. Sri Kunmaryati, ibu Budi Darma (1909) adalah seorang ibu rumah tangga. Budi Darma merupakan anak ke-4 dari enam bersaudara yang semuanya laki-laki.

Tanggal 14 Maret 1968, Budi Darma menikah dengan Sitaresmi, S.H. dan bertempat tinggal di rumah mertua di Jalan Tambangboyo 198 Surabaya sampai tahun 1981. Tempat tinggal Budi Darma sekarang di Jalan Ketintang 43, perumahan dosen, IKIP Negeri Surabaya. Budi Darma memiliki tiga orang anak yaitu Diana, lahir di Banyuwangi 15 Mei 1969 dan sekarang menjadi dosen bahasa Inggris di Unesa. Anak nomor dua bernama Guritno, lahir di Banyuwangi, 4 Februari 1972. Anak ketiga bernama Hananto Widodo, lahir di Surabaya, 3 Juni 1974. Di antara ketiga anak tersebut, yang mewarisi bakat Budi Darma adalah anak nomor tiga, yang sering menulis artikel di media massa.

Pendidikan sekolah dasar Budi Darma dijalani di Kudus dan lulus tahun 1950. Sesudah itu, ketika ayahnya ditugaskan di Salatiga, ia menempuh pendidikan SMP di Salatiga dan tamat tahun 1953. Pada saat di bangku SMP inilah Budi Darma senang membaca cerpen. Salah satu bacaan yang digemarinya adalah karya Anton Chekov The Darling, yang kelak menjadi salah satu pemicu lahirnya novel Olenka. Setelah tamat SMP, Budi Darma melanjutkan ke SMA di Semarang. Tahun 1957, Budi Darma kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) jurusan Sastra Barat, Fakultas Sastra dan Kebudayaan dan lulus tahun 1963 dengan skripsi “Tragic Heroes in The Plays of Marlowe”. Budi Darma memper-oleh Bintang Bhakti Wisuda Fakultas Sastra dan Kebudayaan, yaitu penghargaan bagi mahasiswa terbaik di bidang pendidikan dan pengabdian pada masyarakat. Ia kemudian melanjutkan pendidikan S2 dan S3 di Universitas Indiana, Bloomington. Beasiswa dari Fullbright pada bulan Agustus 1974 diterima Budi Darma untuk melanjutkan S2 di Universitas Indiana, Bloomington. Ia memperoleh gelar Master of Arts dalam bidang English Creative Writing 1976 dengan tesis “The Death and The Alive”. Budi Darma melanjutkan S3 di universitas yang sama dan memperoleh gelar Ph.D. tahun 1980 dengan disertasinya berju-dul “Character and Moral Judgement in Jane Austen’s Novels”.

Selama mengabdi di IKIP Surabaya (sekarang Uneversitas Negeri Surabaya), Budi Darma secara formal pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Sastra Inggris (1966—1970 dan 1980—1984), Dekan Fakultas Keguruan Sastra dan Seni (1963—1966 dan 1970—1974), dan Rektor IKIP Surabaya (1984—1988). Budi Darma pernah menolak ketika dicalonkan menjadi rektor kali kedua. Menurutnya, jika ia menjadi rektor, kehidupannya sebagai sastrawan dan budayawan menjadi terampas oleh urusan administratif dan protokoler. Budi Darma kerap menjadi dosen luar biasa di Universitas Negeri Malang dan Universitas Jember.

Pengalaman dan pengetahuan kesastraan Budi Darma dimulai dengan kebiasaan membaca cerita di majalah langganan ibunya, cerita yang ada di buku sekolah dan perpustakaan ketika Budi Darma masih duduk di Sekolah Dasar. Ketika di SMP, Budi Darma sudah berkenalan dengan sastra asing. Pengenalan terhadap sastra Inggris dan Amerika bertambah ketika dia menjadi mahasiswa.

Budi Darma mulai menulis karya sastra sejak di bangku SMP. Pada saat duduk di SMA, ia mencoba menulis puisi dan mengirimkannya ke majalah Budaja (Yogyakarta). Setelah itu, tulisannya tersebar di berbagai majalah, antara lain Horison (Jakarta), Basis (Yogyakarta), Budaja (Yogyakarta), Contact (Yogyakarta), Gama (Yogyakarta), Gadjah Mada (Yogyakarta), Gema Mahasiswa (Yogyakarta), Indonesia (Jakarta), Roman (Jakarta), Tjerita (Jakarta), Forum (Jakarta), Matra (Jakarta), dan Gelora (Surabaya). Tulisannya juga tersebar di surat kabar Kompas (Jakarta), Minggu Pagi (Surabaya), Jawa Pos (Surabaya). Selain dalam bahasa Indonesia, dia juga menulis dalam bahasa Inggris dan dimuat di berbagai media cetak di Indiana, Bloomington, Amerika Serikat.

Karya sastra Budi Darma kali pertama diterbitkan majalah Horison tahun 1969. Tahun 1970 merupakan tahun produktif bagi penulisan cerpen-cerpennya. Tulisan sastra yang paling baik, panjang, dan paling khas pada awal kemunculannya dalam kancah kesusastraan Indonesia adalah cerpen panjang “Kritikus Adinan”. Cerpen-cerpen karya Budi Darma antara lain (1) “Kecap Nomor Satu di Sekeliling Bayi” (1969) dimuat Horison IV (5); (2) “Siapa Bertanggung Djawab” (1969) dimuat Horison IV (9); (3) “Manggut-manggut Semacam Ini Bisakah” (1970) dimuat Horison V (8); (4) “Mbah Jambe” (1970) dimuat Horison V (5) dan “Ranjang” (1970) dimuat Horison V (2); (5) “Nancy Krie” (1970) dimuat Horison (2); (6) “Tanah Minta Digarap” (1970) dimuat Horison V (7); (7) “Kitri” (1970) dimuat Horison V (11); (8) “Pengantin” (1971) dimuat Horison VI (8); (9) “Sebelum Esok Tiba” (1971) dimuat Horison VI (11); (10) “Gadis” (1971) dimuat Horison VI (12); (11) “Penyair Besar Penyair Kecil” (1971) dimuat Horison VI (1); (12) “Anak” (1972) dimuat Horison VII; (13) “Bulan” (1973) dimuat Horison VIII (3); (14) “Mula-Mula Adalah Otak” (1973) dimuat Horison VIII (12); (15) “Tak Lain dan Tak Bukan” 1973 dimuat Horison VIII (12); (16) “Dua Laki-Laki” (1974) dimuat Horison IX (4); (17) “Laki-Laki Setengah Umur” (1974) dimuat Horison IX (4); (18) “Secarik Surat” (1974) dimuat Horison IX (4); (19) “Alang Kepalang” (1976) dimuat Horison XI (1); (20) “Salipan” (1976) dimuat Horison XI (6); (21) “Joshua Karabish” (1979) dimuat Horison XIV (11); (22) “Orang-Orang Bloomington” (1980) dimuat Sinar Harapan; (23) “Bambang Subali Budiman” (1981) dimuat Horison XVI (10); (24) “Pengakuan” (1982) dimuat Horison XVII (5—6); (25) “Solilokui” (1983), diterbitkan PT Gramedia; (26) “Olenka” (1983), diterbitkan Balai Pustaka; (27) “Tiga Laki-Laki Terhormat” (1988) dimuat Horison XXIII (3); (28) “Rafilus” (1988), diterbitkan Balai Pustaka; (29) “Potret Itu, Gelas Itu, Pakaian Itu” (1990) dimuat Horison XXV (7); (30) “Manusia yang Berdosa” (1996) dimuat Horison XXXI (5-6-7); (31) “Ny. Talis” (1996), diterbitkan Grasindo; (32) “Derabat” (1997) dimuat Kompas Minggu 3 Agustus; (33) Mata yang Indah (2001) dimuat Kompas Minggu; dan, (34) Gauhati (2003) dimuat Kompas Minggu

Budi Darma dapat dikategorikan sebagai pengarang yang kurang produktif. Menurut pengakuannya, dia memerlukan waktu khusus untuk menghasilkan sebuah karya sastra, baik cerita pendek, novel, maupun esai. Novel Budi Darma yang sudah diterbitkan yaitu Olenka (1983), Ny. Talis (1997), Rafilus (1988). Kumpulan cerpen yang sudah dibukukan berjudul Orang-Orang Bloomington (1950).

Tulisan-tulisan Budi Darma antara lain (1) “Sebuah Solilokui Mengenai Goenawan Mohamad” (1977) dimuat Horison XII (2); (2) “Pengaruh Zionisme atas Sastra Dunia” (1978) dimuat Horison XIII (4); (3) “Sastra Amerika Masa Kini” (1979) dimuat Horison XIV (7); (4) “Moral dalam Sastra” (1981), Pidato Ilmiah 19 Desember; (5) “Beberapa Gejala dalam Penulisan Prosa” (1983) dimuat Horison XVIII (1); (6) “Laki-Laki Putih. Dua Puluh Sastrawan Bicara” (1983) dimuat Sinar Harapan; (7) “Keindahan: Pandangan Romantik” (1983) dimuat Basis XXXII (4); (8) “Novel Indonesia Adalah Dunia Melo-drama” (1983) dimuat Horison XVIII (9); (9) “Persoalan Proses Kreatif” (1983) dimuat Horison XVIII (8); (10) “Kemampuan Mengebor Sukma” (1984) dimuat Horison XIX (7); (11) “Mulai dari Tengah. Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang” (1984) diterbitkan Gramedia; (12) “Perihal Kritik Sastra” (1984) dimuat Horison XIX (4); (13) “Andaikan Nirdawat Seorang Kritikus Sastra” (1985) dimuat Horison XX (6); (14) “Pengalaman Pribadi dengan Nugroho Notosusanto” (1985) dimuat Horison XX; (15) “Perkembangan Puisi Indonesia” (1985) dimuat Horison XX (8); (16) “Manusia Indonesia Berbicara” (1987) dimuat Horison XXII (1); (17) “Kritik Sastra dan Karya Sastra” (1987) dimuat Horison XXII (5); (18) “Romantika Sastra, Kita” (1988) makalah Kongres Bahasa Indonesia V; (19) “Sodok Menyodok” (1988) dimuat Horison XXIII (2); (20) “Tanggung Jawab Pengarang” (1988) dimuat Basis, Juli; (21) “Konstalasi Sastra: Homo Comparatikus” (1989), makalah HISKI; (22) “Melihat Citra Bangsa Melalui Novel” (1990), makalah Seminar Hubungan Sastra dan Budaya; (23) “Sastra Indonesia Mutakhir” (1990), makalah Sekitar Masalah Sastra; (24) “Stagnasi Kritik Sastra” (1990), makalah Simposium Kritik Sastra Indonesia Modern; (25) “Kisah Sebuah Odise” (1991), pidato pengukuhan Guru Besar IKIP Surabaya; (26) “Stagnasi Kritik Sastra” (1991) dimuat Horison XXVI (1); (27) “Art and Culture in Surabaya: a Brief Introduction” (1992), diterbitkan IKIP Surabaya; (28) “Sastra dan Kebudayaan” (1992) dimuat Basis September; (29) “Novel dan Jatidiri” (1993) dimuat Basis Juli; (30) “Madelun” (1993) dimuat Matra Agustus (edisi khusus VI); (31) “Harmonium” (1995) Pustaka Pelajar, Yogyakarta; (32) “Mempersoalkan Cerita Pendek” (1999), makalah PSN X, 16—20 April; (33) “Dalang Wayang Kulit” (2000) dimuat Kompas 9 April; (34) “Pendidikan Seni Pertunjukan” (2000), makalah Seminar Seni Pertunjukan dan Pendidikan; (35) “Suratman, Markasan: Sastera Melayu Singapura” (2000); (36) “Fiksi dan Biografi” (2001) Mastera, Februari; 37) “Ironi si Kembar Siam: Tentang Posmo dan Kajian Budaya” dimuat Kalam 18; (38) “Manusia sebagai Makhluk Budaya” (2001), makalah Semilokakarya Dosen ISD & IBD; (39) “Sastra dan Kebangsaan” (2001), makalah Seminar Antarbangsa Kesusaste-raan Asia Tenggara II; (40) “Sastra dan Pluralisme” (2001), makalah Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan Seni dalam Konteks Pendidikan; (41) “Visi Pengembangan Kebudayaan” (2001), makalah Temu Koordinasi Pengembangan Kebudayaan Jawa Timur; (42) “Kritikus Adinan” (2002) Bentang Budaya, Yogyakarta; dan (43) “Memperhitungkan Masa Lampau. Bukuku Kakiku”, diterbitkan Gramedia Pustaka Utama.
Beberapa penghargaan yang diperoleh Budi Darma antara lain (1) mendapatkan Bintang Bhakti Wisuda Fakultas Sastra dan Kebudayaan, penghargaan bagi mahasiswa terbaik di bidang pendidikan dan pengabdian pada masyarakat tahun 1963; (2) mendapatkan hadiah pertama Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta untuk Novel Olenka tahun 1980; (3) pada tahun 1982/ 1983, Budi Darma dibicarakan dalam Who’s Who in The World; (4) tahun 1983 Novel Olenka memperoleh penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta sebagai Novel Terbaik; (5) pada tahun 1984 Budi Darma mendapat Hadiah Sastra dari Balai Pustaka; (6) memperoleh penghargaan South-East Asian Write Award dari pemerintah Thailand tahun 1984 atas karyanya berjudul “Orang-Orang Bloomington”; (7) memperoleh penghargaan dari Walikota Surabaya pada tahun 1990; (8) memperoleh penghargaan dari Gubernur Jawa Timur tahun 1993; (9) pada tahun 1993, mendapatkan Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia; (10) pada tahun 1999, cerpen “Derabat” terpilih sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas; (11) tahun 2001, cerpen “Mata yang Indah” terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas; (12) pada tahun 2003, memperoleh penghargaan Pengabdian Penulisan Cerpen dari Kompas; (13) memperoleh penghargaan dari Gubernur Jawa Timur tahun 2003; (14) pada tahun 2003, memperoleh Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI. Tahun 2011, Budi Darma menerima penghargaan level internasional, yakni Anugerah Sastra Mastera di Brunei Darussalam. Selain itu, Budi Darma sebagai guru besar Emeritus Universitas Negeri Surabaya pada bulan November 2011 diundang mengajar kritik dan teori sastra di National Institute of Education di Nanyang Technological University, Singapura. Tahun 2020 Budi Darma memperoleh pengargaan kategori Darmatama Sastra dari Badan Pemgembangan dan Pembinaan Bahasa sebagai Sastrawan Berdedikasi.

Budi Darma menerjemahkan The Legacy karya Intsi V. Himanyunga (1996, Yayasan Obor). Budi Darma juga menulis karya nonsastra “Sejarah 10 November 1945” (Pemda Jatim, 1987), “Culture in Surabaya” (IKIP Surabaya, 1992), “Modern Literature of ASEAN” (editor kepala, 2000), dan Kumpulan Esai Sastra ASEAN (Asean Commitee on Culture and Information). Ada pula karya Budi Darma yang berbentuk cerita pendek yang ditransformasikan dalam bentuk drama “Orez” (dipentaskan mahasiswa ISI Yogyakarta) dan “Kritikus Adinan” (dipentaskan mahasiswa STSI Bandung).

*Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur

Tapal Kuda

Tapal kuda adalah nama sebuah kawasan di bagian timur Provinsi Jawa Timur. Daerah ini mencakupi tujuh kabupaten (Banyuwangi, Bondowoso, Jember, Lumajang, Pasurun, Situbondo dan  Probolinggo).

Menurut sejarah daerah Tapal Kuda ini disebut sebagai Blambangan atau dalam bahasa Jawa disebut daerah ‘brang wetan’ (seberang timur) karena kawasan ini tidak pernah menjadi bagian dari kerajan Mataram artinya daerah ini tidak dikenal sebelum imigran dari kawasan Mataram berpindah mengisi kawasan pesisir selatan. Namun kini istilah Blambangan hanya ditujukan untuk wilayah yang sekarang masuk Kabupaten Banyuwangi.

Kawasan Tapal Kuda dihuni oleh beberapa etnis. Etnis mayoritas adalah etnis Pandalungan dan Jawa. Etnis Pandalungan adalah hasil sintesis dari etnis Madura dan Jawa. Etnis Pandalungan pada umumnya mendiami bagian pantai utara Jawa Timur dan sebagian pesisir selatan Jawa Timur bagian timur. Mereka tinggal di Kota dan Kabupaten Pasuruan, Kota dan Kabupaten Probolingo,  Lumajang, Jember, Situbondo, dan Bondowoso.  Etnis Jawa sendiri lebih banyak dijumpai di wilayah selatan Tapal Kuda seperti Lumajang dan Jember bagian selatan dan Banyuwangi bagian selatan. Selain itu Tapal Kuda juga didiami etnis-etnis lainnya seperti Using, Tengger, Bali, Bugis, Tiongoa, dan Arab.

Potensi wisata yang ada di kawasan  ini ternyata juga tidak kalah menarik bahkan sangat luar biasa jika dikembangkan dengan lebih serius antara lain: kawasan Taman Nasional Tengger-Semeru, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional  Kawa Ijen, Taman Baluran, Prigen, Nongkojajar, Ranu Grati, Pantai Bambang, Ranu Pane, Ranu Klakah, Gunung Semeru, Pantai Bentar, Gunung Lamongan, Pantai Pasir Putih, Bukit Arak-Arak, situs Purbakala, Gerbong Maut, Pantai Watu Ulo-Papuma, Taman Nasional Alas Purwo, Pantai Sukomade, Pantai Plengkang, Situs Puputan Bayu, Watu Dodol, dan Desa Wisata Using. (dari berbagai sumber)

*LIBAS Edisi 2016

Adrian Pawitra

Sumber: FB Adrian Pawitra

Adrian Pawitra dilahirkan di Bangkalan pada 20 Agustus 1969. Sarana ekonomi Universitas Bangkalan (sekarang Universitas Trunojoyo) ini merupakan sosok yang sangat penting bagi masyarakat Madura, pada khususnya, dan dunia pengembangan bahasa daerah di Indonesia, pada umumnya. Adrian bukanlah seorang yang mengenyam pendidikan kebahasaan, apalagi seorang bahasawan. Ia berprofesi sebagai konsultan perbankan. Namun, kecintaanya terhadap seni budaya Madura telah membawanya rela menempuh jalan panjang yang sunyi dan berliku untuk dapat menyuguhkan karya yang umumnya hanya dapat dilakukan oleh para pakar bahasa.

Adalah ayahnya, almarhum Muhammad Irsyad yang mengilhami Adrian untuk sudi menceburkan diri dalam seni budaya Madura. Berbekal warisan buku Ejaan Madura Tepat Ucap yang disusun ayahnya sejak tahun 1998—2000, Adrian mulai menginventarisasi kosakata bahasa Madura. Ayahnya juga mewariskan banyak naskah kuno tentang Madura serta kamus Madura-Belanda yang diterbitkan sebelum Indonesia merdeka. Untuk menyelamatkan semua naskah warisan tersebut, Adrian dan kawan-kawannya kemudian mendirikan Yayasan Pragalba yang juga diketuainya. Adrian memulai kerja besarnya pada 2001.

Meskipun didukung sumber kepustakaan yang mumpuni tidak mudah bagi Adrian untuk menyusun kamus tersebut. Akan tetapi dengan semangat “tidak malu untuk bertanya”, pria yang juga mengaransemen lagu-lagu Madura ini belajar tanpa lelah untuk menyempurnakan kamusnya dengan menghadiri temu-temu budaya  Madura. Pada tahun 2009, jerih payahnya selama sembilan tahun terbayar  lunas. Kamus Lengkap Bahasa Madura-Indonesia yang terdiri atas 18.155 lema ini diterbitkan oleh penerbit Dian Rakyat tahun 2009 (HP)

*LIBAS Edisi Oktober 2016

Tradisi Sanggring Desa Tlemang

Setiap tahun warga Desa Tlemang, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan, menggelar tradisi Sanggring. Tradisi ini pertama kali digagas Ki Buyut Terik, sesepuh setempat, dan sudah bertahan sejak ratusan tahun silam  yang kala itu dimaksudkan sebagai jamuan untuk para tamu dan sedekah bumi. Ada beberapa keunikan dalam tradisi ini, termasuk pentas seni tradisi wayang krucil.

Dari gelar tradisi tersebut,yang paling utama adalah memasak makanan secara massal. Beberapa hal sudah berubah, tetapi masih ada yang tidak boleh diubah. Dulu, jumlah makanannya ditentukan sejumlah 44 piring. Sekarang, jumlahnya disesuaikan dengan jumlah warga desa. Satu hal yang tidak boleh berubah; koki yang memasak makanan harus kaum Adam. Tidak ada syarat khusus untuk kokinya. Hanya jumlahnya yang sebanyak empat puluh laki-laki. Selain itu, hasil masakan pantang dicicipi lebih dulu.

Makanan Sanggring berupa masakan yang berbahan dasar ayam. Ayam-ayam tersebut sumbangan dari warga, begitu juga bumbu lengkap dan kayu bakarnya. Tidak ada ketentuan harus ayam jantan atau betina, termasuk warna ayam, meskipun beberapa tahun silam memang harus berwarna hitam. Tradisi Sanggring selalu dilaksanakan setiap 27 Jumadilawal tiap tahun.

Dalam tradisi Sanggring, masyarakat Desa Tlemang disuguhi seni tradisi berupa wayang krucil dengan menampilkan empat orang sinden. Wayang yang terbuat dari kayu itu telah menjadi satu sajian dalam tradisi Sanggring dengan dalang yang berasal dari Desa Tlemang. Karena dalam tradisi Sanggring wayang kulit tidak boleh dipentaskan, pertunjukan wayangnya harus wayang krucil. Setelah prosesi Sanggring tuntas, kepala desa, tokoh masyarakat dan penduduk Desa Tlemang membawa berbagai macam makanan kiriman dari warga ke punden atau makam Ki Buyut Terik untuk dimakan bersama-sama. (MA)

*Libas Edisi April 2019

Upacara Kesada

Kesada adalah upacara ritual keagamaan masyarakat Tengger yang tinggal di kaki Gunung Bromo. Ritual ini sangat unik dan menarik. Upacara ini dipimpin oleh seorang pemuka agama dan sekaligus tokoh masyarakat Tengger yang dikenal sebagai dukun Tengger.

Meskipun disebut dukun, sebutan ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan hal-hal yang berkonotasi negatif seperti dukun santet yang biasa dikenal di masyarakat Jawa. Dukun di kalangan masyarakat Tengger adalah pemuka agama yang biasa memimpin upacara dan memberi doa-doa. Ritual Kesada ini dilaksanakan tepat pada saat bulan purnama Tahun Saka di kaki Gunung Bromo. Ritual utamanya dipusatkan di Pura Ponten yang berada di kaki Gunung Bromo.

Upacara kemudian dilanjutkan dengan iring-iringan menuju kawah untuk membuang sesaji  ke dalam kawah. Rombongan pembawa sesaji membentuk arak-arakan yang panjang mendaki lereng Gunung Bromo.

Masyarakat Tengger beragama Hindu Kuno. Agama tersebut sedikit berbeda dengan Hindu yang ada di Bali. Masyarakat Hindu Tengger menganut Hindu Brahma sedangkan Hindu Bali adalah Hindu Syiwa. Walaupun demikian, masyarakat Tengger dan masyarakat Bali memunyai hubungan emosional yang sangat dekat meskipun keduanya terpisah oleh jarak yang sangat jauh. Ritual Kesada ini juga menarik wisatawan baik domestik maupun luar negeri. Mereka datang untuk melihat prosesi ritual dan menikmati indahnya alam Gunung Bromo.

Wisatawan dari mancanegara biasanya dipandu oleh pemandu wisata Tengger, baik warga setempat maupun dari agen-agen perjalanan. Pemandu menjelaskan semua hal tentang proses ritual Kesada termasuk makna yang terkandung dalam setiap prosesinya. Upacara dimulai pada malam hari sekitar pukul dua dinihari sampai menjelang matahari terbit Sebelum acara inti yaitu prosesi ritual Kesada, ada beberapa persiapan yang harus dilakukan. Pertama, pembuatan ongkek untuk tempat sesaji yang berisi aneka hasil bumi. Menjelang malam sesaji tersebut dibawa ke tempat ketua dukun Tengger untuk dibacakan mantra-mantra atau doa-doa. Setelah itu, tepat tengah malam ongkek tersebut diarak menuju Pura Ponten. Pura tersebut terletak di kaki Gunung Bromo, di tengah lautan pasir. Prosesi utama ritual Kesada adalah upacara pengukuhan dukun Tengger yang baru oleh para sesepuh Tengger. Setelah upacara selesai, beberapa orang pergi ke atas Gunung Bromo untuk melarung ongkek ke dalam kawah Gunung Bromo (Sumber: BIPA Balai Bahasa Surabaya).

*Libas Nomor 1–3/V/2009

CERITA PANJI DAN TARI KETHEK OGLENG

Kethek Ogleng adalah sebuah tarian khas Pacitan yang gerakannya menirukan tingkah laku kethek (kera). Tarian Kethek Ogleng ini berasal dari sebuah cerita Kerajaan Jenggala dan Kediri, yang biasa disebut dengan Cerita Panji.Tarian ini telah ditarikan oleh masyarakat Desa Tokawi, Kecamatan Nawangan selama bertahun-tahun. Biasanya tarian ini dipentaskan pada saat masyarakat setempat menyelenggarakan hajatan.

Diceritakan bahwa Raja Jenggala mempunyai seorang puteri bernama Dewi Sekartaji dan Kerajaan Kediri mempunyai seorang putera bernama Raden Panji Asmorobangun. Kedua insan ini saling mencintai dan bercita-cita ingin membangun kehidupan yang harmonis dalam sebuah keluarga. Hal ini membuat keduanya tidak dapat dipisahkan.

Namun, Raja Jenggala, ayahanda Dewi Sekartaji, mempunyai keinginan untuk menikahkan Dewi Sekartaji dengan pria pilihannya. Ketika Dewi Sekartaji tahu akan dinikahkan dengan laki-laki pilihan ayahandanya-yang tentunya tidak dia cintai, dia diam-diam meninggalkan Kerajaan Jenggala tanpa sepengetahuan sang ayahanda dan seluruh orang di kerajaan. Malam hari, sang putri berangkat bersama beberapa dayang menuju ke arah barat.

Di Kerajaan Kediri, Panji Asmorobangun yang mendengar berita menghilangnya Dewi Sekartaji memutuskan untuk nekad mencari Dewi Sekartaji, sang kekasih. Dalam perjalanan, Panji Asmorobangun singgah di rumah seorang pendeta. Di sana Panji diberi wejangan agar pergi ke arah barat dan dia harus menyamar menjadi kera. Sedangkan di lain pihak, Dewi Sekartaji ternyata telah menyamar menjadi Endang Rara Tompe.

Setelah Endang Rara Tompe naik turun gunung, akhirnya rombongan Endang Rara Tompe, yang sebenarnya Dewi Sekartaji, beristirahat di suatu daerah dan memutuskan untuk menetap di sana. Ternyata kethek penjelmaan Panji Amorobangun juga tinggal tidak jauh dari pondok Endang Rara Tompe. Maka, bersahabatlah mereka berdua. Meski tinggal berdekatan dan bersahabat, Endang Rara Tompe tidak mengetahui jika kethek yang menjadi sahabatnya adalah Panji Asmorobangun, sang kekasih, begitu juga dengan Panji Asmorobangun, dia tidak mengetahui jika Endang Rara Tompe adalah Dewi Sekartaji yang selama ini dia cari. Setelah persahabatan antara Endang Rara Tompe dan kethek terjalin begitu kuatnya, mereka berdua membuka rahasia masing-masing. Endang Rara Tompe merubah bentuknya menjadi Dewi Sekartaji, begitu juga dengan kethek sahabat Endang Rara Tompe. Kethek tersebut merubah dirinya menjadi Raden Panji Asmorobangun. Perjumpaan antara Dewi Sekartaji dan Raden Panji Asmorobangun diliputi perasaan haru sekaligus bahagia. Akhirnya, Dewi Sekartaji dan Raden Panji Asmorobangun sepakat kembali ke Kerajaan Jenggala untuk melangsungkan pernikahan. (MA)

*Libas Edisi Oktober 2019

Bonari Nabonenar

Bonari tergolong pengarang dwibahasa yang cukup produktif. Ia tidak hanya menulis puisi atau cerpen, tetapi juga artikel, esai, anekdot, dan novelet yang ditulis dengan menggunakan media bahasa Jawa dan Indonesia. Karya-karyanya dipublikasikan melalui media, seperti Panjebar Semangat, Jaya Baya, Merdeka, Bernas, Suara Merdeka, Wawasan, Surya, Jawa Pos, dan Surabaya Post. Bonari menganggap bahwa bahasa adalah alat yang dapat digunakan untuk mengekpresikan gagasannya.

Bonari dilahirkan di Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek pada tanggal 1 Januari 1964 dengan nama Bonari. Nabonenar adalah nama tambahan. Ayahnya bernama Sugimin dan ibunya bernama Insiyah. Bonari menikah dengan Sri Winarni, S.Pd. pada tahun 1994 dan dikaruniai seorang putri.

Dalam berkarya, Bonari sering menggunakan nama samaran, seperti Sriningtyastuti dan Nuning Ningtyas. Bonari menempuh pendidikan di SD Cakul I (1970—1976), SMP Berbantuan Panggul (1976—1979), SPG Sore di Trenggalek (1979—1982), dan IKIP Surabaya Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (1982—1987). Setelah lulus, bekal ilmu keguruan itu ia manfaatkan untuk bekerja sebagai guru tidak tetap di SMA Panggul, Trenggalek, pada tahun 1987—1989. Tahun 1992—1994, ia menjadi staf redaksi Tabloid Jawa Anyar. Tahun 1995—2000, ia bergabung dengan JPNN (Jawa Pos News Network) dan tahun 2000 ia menjadi redaktur tabloid X-file. Bersama dengan Leres Budi Santosa dan Arif Santosa, ia memprakarsai berdirinya Lembaga Kajian Budaya Jawa Pos. Ia juga salah seorang penggagas Kongres Sastra Jawa (2001), Pengadilan Sastra Jawa (2002), dan Festival Sastra Buruh. Dalam organisasi ia juga aktif, seperti menjadi pengurus komunitas sastra Jawa Cantrik, ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) tahun (2004—2008), dan komite sastra Dewan Kesenian Jawa Timur (2003—2008). Pada tahun 2003, ia dikirim oleh Dewan Kesenian Jawa Timur mengikuti Pertemuan Sastrawan Nusantara XII di Singapura dan mengunjungi Dewan Bahasa di Malaysia. Tahun 2005, ia diundang untuk memberikan workshop penulisan bagi para pekerja rumah tangga (TKI) di University of Hong Kong di Kowloon dan sejak 2006 Bonari menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Peduli. Majalah ini diterbitkan secara terbatas untuk para pekerja diaspora asal Indonesia di Hong Kong.

Bonari sudah mulai menggemari kegiatan menulis sejak duduk di bangku sekolah dasar melalui pelajaran mengarang yang diberikan oleh gurunya. Sejak kecil ia gemar membaca. Bakatnya di bidang menulis mulai terasah dengan baik ketika duduk di bangku SPG karena mempunyai kesempatan  lebih banyak untuk membaca karya-karya para pengarang Indonesia dan bergaul dengan para pengarang sastra Jawa di Sanggar Sastra Triwida, Tulungagung. Karyanya yang pertama berupa puisi dan dimuat di majalah Taman Siswa Yogyakarta pada tahun 1981. Cerpennya yang berjudul “Klanthung Sastramindring” pernah mendapatkan hadiah sebagai Juara II lomba menulis crita cekak yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta bekerja sama dengan Dewan Kesenian Yogyakarta pada tahun 1991.  Tahun 2010, Bonari mendapatkan anugerah sastra Rancage untuk kategori JasaYang terbaru, pada tahun 2020, karya Bonari yang berjudul Gurit Panglipur mendapat penghargaan Anugerah Sutasoma yang diberikan oleh Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur untuk kategori Buku Sastra Berbahasa Daerah Terbaik.

Sebagai pengarang, Bonari cukup produktif menghasilkan dan memublikasikan karya-karyanya. Beberapa karya Bonari yang pernah dimuat dalam majalah, antara lain “Ombak Kuni”, “Kembang Kang Mekar ing Ketiga Aking” (JB, crita cekak, 1987),  “Pakeliran”, “Omah”, “Lakon” (JB, geguritan, 1987), “Wong Ayu lan Gedhang” (PS, crita cekak, 1990), “Ing Pangkone Sulastri” (MS, crita cekak, 1990), “Rembulan Tatu” (MS, geguritan, 1990),    “Kayu Pating Slekrah”   (DL, crita cekak, 1990), “Lambe” (JB, crita cekak, 1990), “Klantung Sastra-mindring”, “Guru: Kacatur Ngalor-ngidul” (PS, crita cekak, 1991), “Cendhela”, “Angin” (JB, crita cekak, 1991),   “Prahara”  (PS, crita cekak, 1992),  “Dheweke Teka”, “Candhi Wurung” (JB, geguritan, 1992), “Tembang Tangise Sinten” (Surabaya Post, geguritan, 1992), “Jaka Durung Duwe SIM” (JB, crita cekak,1992)., “Maling” (Jawa Anyar, crita cekak, 1994), dan “Ponorogo” (PS, geguritan, 1995).

Karya-karya Bonari juga ada yang diterbitkan dalam bentuk antologi bersama pengarang lain, seperti (1) Byar (1992), yang merupakan kumpulan crita cekak Sanggar Triwida Tulungagung; (2) Mutiara Segegem (Jurusan Bahasa dan Sastra Daerah IKIP Yogyakarta); (3) “Ana Kembang Mekar ing Tatu”, “Ana Kembang Mekar ing Tawang”, “Sukerta”, “Maneh-maneh”, “Pupuh Nguci-reng” dalam Pisungsung: Antologi Guritan Enam Penyair yang diterbitkan oleh Forum Kajian Kebudayaan Surabaya; (4) Suharto dalam Cerpen Indonesia, yang merupakan kumpulan cerpen berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Bentang Yogyakarta tahun 2001; (5) “Aji Tresna”, “Aku Lan Sliramu”,  “Dhuhkitaku”, “Malatrisna” dalam Kabar Saka Bendulmrisi: Kumpulan Guritan  (PPSJS, 2001); (6) “Dakgelah Lakune Rembulan” dalam Drona Gugat (Bukan Panitia Parade Seni WR Supratman, 1995); dan (7) Bermula dari Tambi, yang merupakan kumpulan cerpen berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Panitia Pekan Seni Surabaya tahun 2001. Di samping menggeluti sastra Jawa, Bonari juga memiliki perhatian pada kebudayaan Jawa dan dunia pendidikan. Perhatiannya itu tampak dari tulisannya, seperti (1) “Cangkriman: Biyen lan Saiki” (Panjebar Semangat, 1987), (2) “Murid: Biyen lan Saiki” (Panjebar Semangat, 1989), (3) “Kasusastran lan Bonsai” (Panjebar Semangat, 1989), (4) “Majalah Sastra Jawa, Perlu” (Mekar Sari, 1990), (5)  “Maneh, Sithik Ngenani Gurit” (Panjebar Semangat, 1990), (6) “Pancakaki: Biyen lan Saiki” (Panjebar Semangat, 1991), “Nasibe Lulusan SPG” (Panjebar Semangat, 1991), “Isih Cilik Ngabotohan” (Panjebar Semangat, 1992), “Sastra Jawa: Juru Kritik lan Tesmak” (Panjebar Semangat, 1992), dan “Nangisi Ludruk” (Panjebar Semangat, 1994).

*Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur

Selawat Gembrungan

Selain Reog Ponorogo, terdapat seni tradisi Ponorogo yaitu Selawat Gembrungan. Seni tradisi yang berlabel Islam santri ini dinamakan Selawat Gembrungan karena instrumen utamanya hanya terdiri atas kendang dan gembrung.

Gembrung adalah kendang besar yang pada satu sisinya dipasang kulit untuk ditabuh, sedangkan pada sisi lainnya dibiarkan berlubang dan terbuka kira-kira sebesar 1/5-nya. Dalam perkembangan, musiknya ditambah dengan alunan ketipung dan kencreng untuk melengkapi komposisi suara musik gembrungan. Hingga kini, belum ada yang dapat memastikan awal kemunculannya. Bisa diduga bahwa seni baca selawat bersama-sama itu sudah ada pada masa zaman kewalian sekitar abad ke-14 hingga ke-15.

Para anggota Selawat Gembrungan tidak hanya harus kuat dalam olah suara, tetapi juga harus punya daya tahan tubuh yang kuat karena acara biasanya dimulai pukul 21.00—03.00 dini hari. Pada awalnya, Selawat Gembrungan hanya diadakan pada saat perayaan Maulud Nabi, tiap tanggal 12 Rabiul Awal, tetapi kemudian berkembang dan dilantunkan untuk misi lain.

Terlepas dari misi kegamaan, seni ini juga karib dengan kehidupan masyarakat terkait dengan daur hidup atau siklus peralihan. Selawat Gembrungan biasanya diselenggarakan berdasarkan beberapa momen penting kehidupan anak manusia, misalnya saat peringatan kelahiran bayi atau saat bayi berumur 7 bulan (peringatan 7 bulanan atau mitoni).

Perjalanan seni ini memang timbul dan tenggelam seiring dengan perkembangan zaman. Pada tahun 1970-an, seni ini diduga sudah mulai jarang ditampilkan mungkin karena sudah mulai banyak pilihan lain, seperti seni samroh atau hadrah yang lebih modern.  Hingga pascareformasi, seni gembrungan baru terdengar lagi dan akhirnya ada yang merevitalisasi dan melestarikannya. Pada zaman kejayaan seni gembrungan, setiap orang yang mempunyai anak berusia 7 bulan akan menyelenggarakan pertunjukan seni gembrungan dan pelaku seninya tidak memungut biaya sepeser pun dari si tuan rumah. Tuan rumah hanya berkewajiban menyediakan tempat dan menyajikan makanan sesuai dengan kemampuan. Biasanya, yang menjadi pelaku seni gembrungan adalah kaum laki-laki dewasa.

Seni ini tidak hanya tersebar di Ponorogo, tetapi juga di bekas Kerajaan Wengker, yang dalam masa kolonial di bawah administrasi Karesidenan Madiun dan sekitarnya, termasuk Ponorogo, Madiun, Magetan, Trenggalek, Pacitan, dan Ngawi. Namun, di Ponorogo seni gembrungan berkembang dan populer di desa-desa yang berbeda dengan selawatan yang serupa dengan yang ada di kawasan subkultur Mataraman. Kita bisa mengamati syair-syair atau tembang selawat yang berbeda dengan kawasan sekitarnya dengan etnopuitika khas, yang mengarah pada mantra dengan paduan antara selawatan (Arab) dan siir-siir Jawa dengan bentuk-bentuk pengucapan yang tidak hanya mengarah pada nasehat semata, tetapi dalam bentuk sastra yang unik. Salah satu contohnya adalah larik-larik dalam “Bawanan Shalarabbuna” yang berbeda dengan selawat serupa pada umumnya.

Beberapa grup selawat berdiri dengan mengambil nama berdasarkan judul syair selawatan yang populer, semisal Bawanan Shalarabbuna, Khataman Nabi, atau nama tokoh populer di Ponorogo sendiri, yaitu Ki Ageng Muhammad Besari. Dari data sementara, Selawat Gembrungan di Ponorogo terdapat kurang lebih 40 grup dan tersebar di beberapa desa. (MA)

*Libas 2019

* Foto: Koleksi Tim Visualisasi Kebahasaan dan Kesastraan BBJT Tahun 2015