Aming Aminoedhin, sang “Presiden Penyair Jawa Timur”

Aming Aminoedhin. Penyair dan penggurit kelahiran Ngawi ini memiliki nama asli Mohammad Amir Tohar. Lahir di Ngawi, 22 Desember 1957, Aming merupakan penggagas acara baca puisi peduli “Perang Irak” dan pentas seni kemanusiaan “Duka Atjeh Duka Bersama” di Taman Budaya Jawa Timur. Karya puisinya banyak dimuat di koran dan majalah lokal dan ibu kota, antara lain Surabaya Post, Berita Buana, Republika, Singgalang, dan sebagainya.

Aming adalah anak daripasangan A.H. Aminoedhin (lahirtahun 1918), seorang guru agamaIslam di sebuah SMPN, danSoeparijem (lahir tahun 1925)seorang guru di SDNRonggowarsito 2 Ngawi.Anak kelimadari delapan bersaudara ini lahir dalam keluarga pecinta seni. Bakat menulisAming didapat dari lingkungankeluarganya. Salah seorangpamannya merupakan salah satusastrawan tokoh Angkatan ’66versi HB Jassin, bernama M.Alwan Tafsiri.Duakakak kandungnya juga seorangpenulis cerpen, puisi, dan esai,yaitu M. Har Harijadi (alm) danLia Aminoedhin. Aming Aminoedhin menikahdengan Sulistyani Uran. Pasangan inidikaruniai empat orang anak, tiga laki-laki dan satu perempuan.Amingmenempuh pendidikannya di sekolahdasar di SDN Ronggowarsito 2Ngawi (lulus 1970), sekolahmenengah sekolah menengahpertama di SMPN 1 Ngawi (lulus1973), dan sekolah menengahatas di SMAN Ngawi (lulus 1976).Selepas SMA, ia melanjutkan keFakultas Sastra, Jurusan Bahasadan Sastra Indonesia, UniversitasSebelas Maret Surakarta (1977).Gelar sarjana muda (B.A.)diraihnya tahun 1982. Sebelumsarjana muda diraih, ia sempat kuliah D3 satu tahun pada jurusanyang sama, di fakultas keguruan UNS,dengan mendapatkan ijazahDiploma dan Akta III, pada tahun1981. Aming meraihgelar sarjana sastra (S1), JurusanBahasa dan Sastra Indonesia UNS pada tahun 1987.

Tahun 1984, Aming diangkat menjadi PNS di Kantor Wilayah Departemen Pendidikandan Kebudayaan Propinsi JawaTimur. Ia bekerja di SubbagianPenerangan, Bagian Tata Usaha,pada bidang penerbitan majalahbulanan Media sebagai pemimpinredaksi. Ia pernah juga ikutmembidani dan mengelola keredaksionalan Tabloid Bekal, koranpelajar Jawa Timur yangdiprakarsai Harian Surabaya Postdan Kanwil Depdikbud JawaTimur. Ikut pula menjadi RedaksiMajalah Kebudayaan Kalimas diSurabaya, menjadi Staf RedaksiBuletin DKS (Dewan KesenianSurabaya), dan Majalah MemoridaKanwil Depdikbud Jawa Timur.

Dalam bidang seni dan budaya, Aming Aminoedhin, pernah menjadi koordinator Forum Apresiasi Sastra Surabaya (FASS) di PPIA tahun 1987—1990, koordinator Himpunan Penulis, Pengarang dan Penyair Nusantara (HP3N) Jawa Timur tahun 1985— 1990, dan sebagai koordinator Forum Apresiasi Sastra (Forasamo), pengurus Dewan Kesenian Surabaya, Biro Sastra (1990-an), sekretaris Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto (2004—sekarang). Periode tahun 1995—sekarang Aming masih menjadi pengurus Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS). Dalam PPSJS, ia membidani terbitnya Teplok Dluwangwarta PPSJS sebagaipemimpin redaksi. Ia pernahdikirim mewakili Jawa Timurdalam Pertemuan SastrawanNusantara XII di Singapura padatahun 2003. Sejak tahun 2000,Aming dipindahkan dari KanwilDepdikbud Jawa Timur ke BalaiBahasa Surabaya.Ia pernah menjadi aktorterbaik Lomba Drama se-JawaTimur 1983 di Surabaya. Saat ituia bermain dengan kelompokTeater Persada Ngawi, pimpinanMh. Iskan. Komunitas TeaterPersada inilah yang memberikanbanyak masukan inspirasi dalamberkarya sastra, utamanya menulis puisi dan bermain drama.Aming merupakan penggagas Malam Sastra Surabaya(Malsasa). Ia juga menggagasacara baca puisi peduli “PerangIrak” di Taman Budaya JawaTimur dan pentas seni kemanusiaan “Duka Atjeh Duka Bersama”di Taman Budaya Jawa Timur.

Sebagai penulis puisi, Aming pernah mengikuti Temu Penyair Jawa Tengah di Semarang (1983), Temu Penyair Indonesia di Taman Ismail Marzuki Jakarta (1987), dan ikut memberikan pelatihan baca puisi dan juga menjadi juri berbagai macam kejuaraan dan lomba di berbagai kota di Jawa Timur, antara lain Surabaya, Batu, Lamongan, Lumajang, Blitar, Banyuwangi, Tulungagung, Probolinggo, dan sebagainya. Karya puisinya banyak dimuat di koran dan majalah lokal dan ibu kota, antara lain Surabaya Post, Berita Buana, Republika, Singgalang, Sriwijaya Post, Banjarmasin Post, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Bali Post, dan sebagainya. Sedangkan majalah yang pernah memuat puisinya antara lain Gadis, Putera dan Puteri Indonesia, Pusara, Bende, Media, Zaman, Horison, dan Majalah Kebudayaan Basis. Kumpulan puisinya bersama rekan penyair lain, di antaranya: Tanah Persada (penyunting), Teater Persada Ngawi, 1983), Wajah Bertiga (penyunting), Sintarlistra Surabaya, 1987), Tanah Kapur (penyunting), Komunitas Teater Persada Ngawi, 1990), Kereta Puisi (kumpulan puisi, Dewan Kesenian Surabaya, 1990), Burung-Burung (penyunting), Sintarlistra Surabaya, 1990), Pagelaran, Surabaya Kotaku (penyunting), Dewan Kesenian Surabaya, 1990), Malsasa ’91 (penyunting), Dewan Kesenian Surabaya & Sufo, 1991), Malsasa ’92 (penyunting), Penerbit Sintarlistra, 1992), Semangat Tanjung Perak (penyunting, 1992), Malsasa ‘94 (penyunting, Biro Sastra Dewan Kesenian Surabaya, 1994), Bunga Rampai Bunga Pinggiran (penyunting, antologi puisi, 1995), Malsasa ’96 (penyunting, Dewan Kesenian Surabaya, 1996), Tanah Rengkah (penyunting, Komunitas Teater Persada Ngawi, 1997), Sketsa Malam (kumpulan puisi, dalam proses, 2000), Malsasa 2000 (penyunting, Balai Bahasa Surabaya, 2000), Omongan Apa Wae (penyunting kumpulan puisi, Taman Budaya Jawa Timur, 2000), Berjamaah di Plaza (kumpulan puisi, Mandiri Press Mojokerto, 2000), Mataku Mata Ikan (kumpulan puisi, DKJT, 2004), Embong Malang (kumpulan puisi, proses cetakan, 2005), Memutih Putih Begitu Jernih (Forum Sastra Bersama Surabaya, 2008), Sajak KunangKunang dan Kupu-Kupu (kumpulan sajak anak-anak, Forum Sastra Bersama Surabaya, 2008), Husst, Nyenyet, Reportase Sunyi, Memo Putih, Kabar Saka Bendul Mrisi, Drona Gugat, Tanpa Mripat dan Kutha Surabaya.

Aming Aminoedhin bertempat tinggal di Perumahan Puri Mojobaru AZ-23, Desa Canggu, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. Pos-el amri.mira@gmail.com, atau amingaminoedhien.blogspot.com. (WR)

 

Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi

Sego Tempong khas Banyuwangi

Sego Tempong (Nasi Tempong) adalah salah satu makanan tradisional yang berasal dari Banyuwangi. Makanan ini disajikan dengan berbagai lauk pauk, lalapan dan sambal yang khas.

Nama sego tempong berasal dari kata “tempong” yang dalam bahasa osing berarti “tampar”. Makanan ini dinamakan demikian karena memang ciri khas dari sego tempong ini adalah sambalnya yang pedas seakan menampar mulut orang yang memakannya.  Awalnya sego tempong merupakan bekal yang dibawa oleh masyarakat Banyuwangi ke sawah. Sego Tempong biasanya disajikan dalam porsi besar, lengkap dengan lauk pauknya untuk menambah tenaga bagi para petani yang sedang berkerja di sawah.

Cita rasa sego tempong ini terletak di sambal tempongnya. Biasanya, sambalnya baru dibuat dan masih terasa nikmat ketika disajikan. Seporsi sego tempong biasanya disajikan dengan beraneka lauk pauk seperti tahu, tempe, ikan asin dan perkedel jagung dan dilengkapi dengan sayur bayam rebus, terong rebus, mentimun dan daun kemangi sebagai lalapan pendukungya. (DI)

Sumber : https://negerikuindonesia.com/2015/08/sego-tempong-makanan-tradisional-dari.html.

Manten Kucing, Ritual Memanggil Hujan di Tulungagung

Jawa Timur kaya akan keanekaragaman budaya. Salah satunya adalah tradisi Manten Kucing yang merupakan warisan budaya tak benda dari Kabupaten Tulungagung. Tradisi itu dipercaya dapat menurunkan hujan oleh masyarakat di Desa Pelem, Kabupaten Tulungagung. Ritual ini sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda.

Tradisi “Manten Kucing” bukan berarti menikahkan dua ekor kucing.  Ini merupakan perlambang untuk memandikan kucing di Telaga Coban dan mengarak dua ekor kucing mengelilingi desa. Barisan arakan dibuat seperti pernikahan pada umumnya, seperti cucuk lampah, putri domas, manten kucing, pager ayu, taruna muda, sesepuh desa, dan dilanjutkan dengan kesenian Reog Kendang, Jaranan Senterewe, serta kesenian Tiban khas Kabupaten Tulungagung.

Kucing yang dipilih dalam ritual itu bukanlah kucing sembarangan. Kucing harus berasal dari arah paling timur dan arah paling barat dari desa tersebut. Kedua kucing ini dimandikan di Telaga Coban dan dibacakan mantra. Selanjutnya, kucing diletakkan di keranjang, lalu diarak mengelilingi kampung.

Saat ini, tradisi Manten Kucing merupakan ikhtiar Pemerintah Kabupaten Tulungagung untuk meningkatkan sektor pariwisata dengan media promosi ritual adat. Ritual permohonan hujan dilaksanakan di musim kemarau yang panjang. Selain itu, fungsi sosial yang terdapat dalam ritual adat tersebut adalah membangkitkan keakraban masyarakat di Desa Pelem sekaligus merupakan bentuk rasa syukur atas berkah Tuhan Yang Maha Esa. (DI)

(diolah dari berbagai sumber)

Abdullah Fauzi, Penyair “Dukun Santet” dari Blambangan

Abdullah Fauzi atau akrab dipanggil Fauzi atau Kang Ujik, lahir di Pengantingan, Banyuwangi 22 Juli 1965. Fauzi merupakan anak kedua dari empat bersaudara pasangan Mohamad Hisyam dan Wadiah. Sejak 1987, Fauzi menjadi guru Madrasah Ibtidaiyah Nurul Islam di Banyuwangi. Tahun 1988, ia menjadi staf tata usaha SMP Sunan Giri 1 Banyuwangi. Selain itu, ia bekerja sebagai pewarta di Radio Khusus Pemerintah Daerah Banyuwangi. Sebagai wartawan, ia pernah bekerja pada surat kabar Bali Post (1992), Banyuwangi Pos (1998), dan Gema Blambangan (1999). Saat ini, Fauzi adalah staf humas dan protokol Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Dalam komunitas sastra di Banyuwangi, Fauzi duduk pada komite teater Dewan Kesenian Blambangan (DKB). Fauzi konsisten dalam berkarya, yakni menggunakan bahasa Using.

Sampai saat ini telah banyak karya sastra yang dihasilkan, di antaranya Undharasa (2000) antologi puisi Using yang diterbitkan DKB, kumpulan puisi Dubang (2002) yang diterbitkan Pusat Studi Budaya Banyuwangi, dan Sastra Campursari (2002) yang diterbitkan Taman Budaya Jawa Timur. Khusus untuk Dubang, puisi ini menjadi bacaan wajib dalam berbagai lomba yang diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Karya Fauzi juga tersebar di berbagai surat kabar; di Surabaya Post antara lain “Cul” (1992), “Dadia Wis” (1992), “Nguber Angin”, Angin Impen” (1995), “Kali Lo, Banyu Susu” (1996), “Cempaka, Cekak” (1996), “Uler Kambang”, “Panjer Kiling”, “Wadal Suket” (1997), “Jejeg”, “Keneng Gerang”, “Wong Tani”, “Undha Sensren”, “Undha Ketepis”, dan “Entekentekan” (1998); terbit pada Banyuwangi Post antara lain, “Jejega”, “Manuk Emprit”, “Anggerangger”, “Isun Mulih”, dan “Kembang Telon” (1999); terbit di Radar Banyuwangi antara lain “Wayah Lingsir” dan “Kancil Pilek” (2001); di harian Jawa Pos antara lain “Dubang”, “Aja Pakis Paria Bain”(2002).

Selain menggunakan bahasa Using, Fauzi juga menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia, misalnya cerpen “Inah Jadi Lakon” (1998), antologi puisi Detak (1997), puisi “Gandrung” (2001), antologi puisi Wirid Muharram (2001), antologi puisi Dzikir (2001), Menara 17 (2002), Gayuh, dan Tilawah (2003). Kang Ujik pernah pula memenangi juara baca puisi Using, lomba dongeng Using, dan juara lomba baca wangsalan pada tahun 2001. Penghargaan yang pernah didapat adalah sebagai pengabdi seni dan budaya daerah dari Pemerintah Kabupaten Banyuwangi (2002). Penyair “substantif” ini menulis puisi, cerpen, esai yang tersebar di berbagai media massa, di antaranya Tabloid Gema Blambangan, Gandrung Post, Banyuwangi Post, koran Banyuwangi (Redaksi), majalah Budaya Seblang (Redaktur), majalah Budaya Jejak, dan lain-lain. Di sela-sela kesibukannya sebagai pegawai negeri sipil (PNS), penyair “Dukun Santet” ini aktif di berbagai lembaga seni dan budaya sekaligus menjadi Pengurus Dewan Kesenian Blambangan (DKB) Komite Teater, Pengawas Yayasan Pusat Dokumentasi Budaya Banyuwangi (PDBB), Wakil Ketua Kelompok Peduli Using (Kepus), Pimpinan Redaksi Buletin Baiturrahman (2000—2001) dan sampai sekarang sebagai tim redaksi sekaligus menjadi Koordinator Humas dan Informasi Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi.

 

Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa TimurBalai Bahasa Provinsi Jawa Timur.

MASA KLASIK PASURUAN DALAM CATATAN KUNO

“Sampai Pasuruan menyimpang jalan ke selatan menuju Kepanjangan, menganut jalan raya kereta lari beriring-iring ke Andoh Wawang, ke Kedung Peluk dan ke Hambal, desa penghabisan dalam ingatan, segera Baginda menuju kota Singasari bermalam di balai kota.

Prapanca tinggal di sebelah barat Pasuruan ingin terus melancong, menuju asrama Indarbaru yang letaknya di daerah desa Hujung, berkunjung di rumah pengawasnya, menanyakan perkara tanah asrama, lempengan piagam pengukuh diperlihatkan, jelas setelah dibaca.”

Demikianlah kitab Negarakertagama atau Desawarnana pupuh ke-35 menyebut Pasuruan sebagai tempat strategis, sebuah jalan simpang. Pada masa kuno, Pasuruan juga dikenal sebagai bandar kuno terutama di kawasan pesisir dekat Selat Madura. Daerah ini dikenal sebagai pelabuhan transit dan perdagangan antar bangsa sejak tempo doeloe. Letaknya demikian strategis. Tak heran, tempat ini selalu menjadi rebutan beberapa kerajaan besar di Jawa. Namun, pada masa sekarang Pasuruan tidak hanya dikenal dengan bandarnya, tetapi daerah pegunungannya yang ciamik menyimpan banyak cerita, terutama menjadi muara persilangan budaya beberapa kerajaan besar pada masa lampau, sebagaimana gurat kitab kuno yang dinukil dalam pembuka tadi.

Hal itu sebagaimana yang terungkap dalam sejarah, bahwa pada masa klasik, Pasuruan yang nama klasiknya adalah Pasuruhan, cukup lama dikuasai raja-raja kerajaan di Jawa Timur. Tercatat pada dasa warsa pertama abad XVI yang menjadi raja adalah Pati Supetak, ada pula yang menyebutnya Pate Sepetat. yang disebut sebagai pendiri ibukota Pasuruan, dalam Babad Pasuruan dengan nama Gembong. Ia adalah menantu Pati Pimtor, raja yang berkuasa di Blambangan, juga menantu Raja Madura. Ia masih punya keterkaitan keluarga dengan pembesar Majapahit. Nama Sepetat ini diduga identik dengan Menak Sapetak atau Menak Supetak dalam catatan sejarah Blambangan.

Pasuruhan sebagai nama lokasi atau wilayah memang baru pertama kali tercatat dalam kitab Negakertagama atau yang disebut dengan Desawarnana. Kitab itu berbentuk kakawin dan digurat oleh Mpu Prapanca pada saat mengikuti perjalanan Prabu Hayam Wuruk (1350—1389) ke Lumajang pada 1281 Saka (1359 M). Toponimnya mengarah pada dua arti: yaitu tempat daun Suruh tumbuh atau tempat orang yang mendapat perintah raja bertempat tinggal. Meski demikian, berdasarkan tinggalan arkeologis dan khasanah lama, di wilayah Pasuruhan sudah sejak dulu berdiri pemukiman kuno, bahkan tilas peradaban pada masa sebelum Majapahit juga bisa ditemukan di hampir semua wilayah itu. Bukti itu menandakan Pasuruhan merupakan kota tua.

Nama Pasuruhan muncul dua kali dalam kitab Negarakertagama. Pasuruhan disebut pada pupuh 34: 1, yang disambung pada pupuh 35: 1. Selain Pasuruhan, beberapa nama-nama desa yang kini masuk wilayah Pasuruhan, juga disebut dalam karya di era Jawa Kuno tersebut. Nigel Bullough, yang bernama Jawa Hadi Sidomulyo, dalam bukunya ‘Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca’ menyebut tidak kurang dari 25 tempat Pasuruhan disebut dalam 17:10 sampai 21: I. Hal itu berlanjut pada pupuh 34:4—35:3, sebanyak 6 tempat/desa, kemudian pada pupuh 55:2—58:1, terdapat tidak kurang dari 16 tempat/desa yang masuk wilayah administratif Pasuruhan disebut.

Sidomulyo pun ‘mengabadikan’ beberapa tilas atau situs masa lalu dari penanda perjalanan itu dalam gambar-gambar foto seperti kepala ‘kala’ di Desa Banyubiru, Kec. Winongan, watu gong di Desa Pager, bentuk yoni di Desa Kapulungan, Kec. Gempol, Candi Jawi, dan lainnya. Tempat-tempat itu memang dicatat Rakawi Prapanca dalam kitab Negarakertagama.

Jauh sebelum Majapahit berdiri, di wilayah Pasuruhan tempo doeloe sudah terstruktur bentuk pemukiman penduduk. Terbukti, tinggalan masa lalunya yang masih bisa dijumpai hingga kini. Diantaranya, Prasasti Cunggrang yang ditemukan peneliti Belanda pada 1836, di Dusun Sukci, ada pula yang menyebutnya Dusun Suci, Desa Bulusari, Kec. Gempol. Prasasti itu dikeluarkan oleh raja Pu Sindok, yang bertanggal 12 Suklapaksa, bulan Asuji tahun 851 Saka, yang bertepatan dengan 18 September 929 Masehi. Isinya antara lain Pu Sendok memerintahkan agar rakyat Cunggrang, yang termasuk wilayah Bawang, di bawah pemerintahan Wahuta Tungkal untuk menjadi Sima (tanah perdikan) bagi pertapan di Pawitra (Gunung Penanggungan), dan memelihara pertapaan dan prasada juga memperbaiki bangunan pancuran di gunung tersebut.

Lokasi Cunggrang yang dimaksud dalam isi prasasti berlokasi tidak jauh dari situs, yaitu Dusun Jembrung, masuk Desa Bulusari. Masyarakat menyebut dusun itu dengan Jonggrang. Di situ masih dijumpai bukti arkelologis berupa struktur bata kuna yang berbentuk saluran air yang menghubungan dua sungai yang mengalir di kawasan tersebut. “Bukti arkeologis menunjukkan bahwa pada abad X Masehi, di daerah tersebut sudah ada pemukiman yang telah teratur strukturnya,” tegas sumber dari tim yang menelusuri sejarah asal mula Pasuruhan.

Prasasti lain yang dikeluarkan oleh Pu Sindok adalah prasasti Gulung-Gulung. Penanda waktu prasasti ini bulan Baicaka, tahun 851 Saka. Tanggal tersebut bertepatan dengan 20 April 929 M. Isi prasastinya penetapan perdikan sawah di Desa Gulung-Gulung dengan besar pajak 7 su dan hutan di Bantaran untuk bangunan keagamaan di Himad. Disebut juga terdapat tanah perdikan khusus (disebut sima putraswa) di Batwan, Curu, Ergilang, dan Gapuk.

Diantara nama-nama tempat itu Gapuk menarik perhatian karena dalam Negarakertagama disebut berurutan dengan toponim yang ada di Pasuruhan, yaitu Gapuk, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lumbang. Hadi Sidomulyo, menjelaskan Gapuk terletak di selatan Rejoso, jarak dari Winongan 4 km ke arah barat laut. Jika pengidentifikasian itu benar, pada 20 April 920 Masehi, bahkan bisa jauh sebelumnya, di Gapuk yang masuk wilayah Pasuruhan itu telah ada pemukiman yang teratur, malah daerah itu telah menjadi perdikan khusus.

Pascakekuasaan Pu Sendok, yaitu pada masa Prabu Airlangga, Kediri dan Singosari, bukan berarti di kawasan Pasuruhan sepi dari lalu-lintas peradaban. Beberapa situs terbukti merupakan peninggalan zaman ini. Bahkan, berdasar survei Balai Arkeologi Yogyakarta tanggal 14 Nopember 2001, ditemukan sebuah prasasti pendek di Dukuh Pakan, Desa Jembrung. Kec. Gempol. Tulisan dipahat secara timbul, merupakan angka tahun bergaya kuadrat (gaya tulisan Jawa Kuno pada masa kerajaan Kediri), angka tahunnya terbaca 957 Saka atau 1035 Masehi.

Pada masa berdirinya Majapahit, wilayah Pasuruan juga diabadikan dalam prasasti yang sangat mashur yaitu Kudadu. Prasasti ini diterbitkan oleh Raden Wijaya pada 1216 saka atau 11 September 1294, sebagai balas budi Raden Wijaya pada kepala Desa Kudadu yang telah menyelamatkan diri dan pengikutnya. Di antara daerah di Pasuruan yang masih bisa dilihat hingga kini dan tercatat dalam prasasti adalah Kapulungan (Desa Kapulungan, Kec. Gempol), Rabut Carat (Dusun Carat, Kec. Gempol), dan Kedung Peluk. Pasca Hayam Wuruk, pada tahun saka 1395 atau tanggal 14 Mei 1473, seorang raja Majapahit Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramarddhana Namadewabhiseka membuat prasasti, yang disebut Prasasti Pamintihan. Dalam prasasti itu disebut Gempol sebagai salah satu dari 8 desa perdikan. Gempol yang dimaksud dalam prasasti adalah Gempol sekarang.

Pada masa Klasik, posisi Pasuruhan memang demikian strategis. Situs masa lalu telah mengabarkan hal itu. Bahkan, ada yang yang menyebut kawasan ini sebagai daerah dengan seribu situs. Sumberdaya arkelogis Pasuruhan demikian melimpah. Mulai zaman prasejarah, tepatnya Paleolitik atau zaman batu hingga masa kolonial di Indonesia. Bahkan pada masa Klasik, yaitu masa Jawa Kuno atau Hindu, peninggalan masa lalu di Pasuruhan masih bisa dijumpai dan begitu banyak. Situsnya tersebar di pelosok-pelosok desa. (MA)

 

Ketegasan Ragam Gerak Tari Bapang

Sebagai salah satu daerah yang terkenal dengan seni budaya, Malang memiliki daya tarik untuk dijadikan bahan pengetahuan dan edukasi. Tari topeng Malangan merupakan kesenian asli Malang. Salah satu jenis tari topeng adalah tari bapang. Bapang adalah salah satu tokoh dari topeng Malangan yang memiliki karakter gagah.

Pada mulanya, pementasan tari bapang dan topeng Malangan menjadi satu. Drama tari topeng Malangan dibagi menjadi beberapa adegan atau babak. Salah satunya adalah penampilan tari bapang, yang umumnya menjadi penjeda antar adegan. Tari bapang ditarikan secara tunggal karena tidak banyak muncul pada drama tari Topeng Malangan. Munculnya Tari Bapang dalam drama tari tunggal menjadi bentuk keberagaman seni budaya di Malang.

Tari Bapang ditarikan menggunakan topeng. Topeng yang digunakan merupakan salah satu tokoh Topeng Malangan yaitu Bapang. Topeng tersebut berwarna merah, berhidung panjang dan mata yang lebar membuat Tari Bapang berbeda dari tarian topeng lainnya. Gerakan dalam tari ini berdasarkan dua faktor yaitu gerak ketegasan dan gerak irama musik.

Gerak ketegasan melambangkan kegagahan. Hal tersebut ditandai dengan gerakan tangan yang lebar, merentang ke kanan dan kiri dan mengangkat salah satu kaki.

Gerak irama musik sudah dikembangkan sedemikian rupa agar lebih menarik dimana penari harus bisa menyesuaikan gerakan tarian dengan irama musik. Tanda dimulainya Tarian Bapang adalah dengan menghentakkan kaki ke tanah sesuai dengan iringan irama musik, lalu menunjukkan pola gerakan kepala dengan menengok ke kiri dan ke kanan secara terus menerus seiring dengan gerakan tarian. Tari Bapang juga memiliki keunikan, yaitu tangan penari selalu terbuka lebar sebagai simbol kegagahan tokoh Bapang. Di lain sisi, Tari Bapang juga memiliki keunikan yaitu berperan dalam pembentukan karakter.

 

Nilai religi seperti toleransi, nilai nasionalis seperti penghargaan budaya bangsa, nilai independen seperti kerja keras dan kerjasama, serta nilai integritas seperti tanggung jawab dan komitmen moral merupakan sektor yang ada dalam nilai pendidikan karakter. Dikaitkan dengan nilai budaya yang ada, tari bapang khas Kota Malang masuk dalam kriteria nilai pendidikan karakter. Hal ini tertulis pada karya yang berjudul “Implementasi Pendidikan Karakter ‘Kearifan Lokal Malang’ pada Ektrakulikuler Tari Topeng Bapang dan Karawitan Jawa di SD Taman Muda 02 Malang” yang diteliti oleh Lollah Dwi Anggraeni.

Melalui keunikan-keunikan Tari Bapang yang sangat menarik, maka perlu upaya-upaya untuk tetap melestarikan seni budaya asli Malang tersebut. Tentu saja, tujuannya adalah untuk menjaga keberagaman seni terutama seni budaya yang menjadi ikon Malang ini. Salah satu upaya dalam melestarikan Tari Bapang adalah dengan menjadikan tarian tersebut masuk ke dalam ajaran non-akademik di kalangan pendidikan.

“Tari Topeng Bapang dikenal dengan karya maestro Mbah Karimun, ini merupakan kesenian warisan yang wajib dikenalkan kepada anak didik untuk melestarikannya,” kata Sanimin Hadi Subagyo, Kepala Sekolah SDN Permanu 3 Malang, ketika dikutip dari Detik.com.

Perlunya pelestarian seni budaya Tari Bapang, dikarenakan tarian tersebut hanya ada di Malang sehingga Malang tidak akan kehilangan seni budaya asli miliknya. Bentuk pelestarian juga tidak hanya mengenal apa itu Tari Bapang tapi juga bisa memperagakan Tari Bapang. Jadi, ayo Ker kita jaga warisan seni budaya milik kita! (WR)

Sirikit Syah, Sang Tokoh Kebebasan Pers

Sirikit Syah tergolong cerpenis koran karena cerpen-cerpennya terbit lebih dulu di koran sebelum diterbitkan menjadi buku dan menunjukkan keterikatannya de-ngan aturan koran, yaitu pendek dan masalah-masalahnya tidak jauh dari masalah yang diberita-kan koran. Kumpulan cerpen pertamanya berjudul Harga Perempuan dan diterbitkan oleh penerbit Gorong-gorong Budaya, Jakarta pada tahun 1997. Kumpulan cerpennya yang ke-2 berjudul Sensasi Selebriti diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, Yogyakarta pada tahun 2007.

Sirikit lahir di Surabaya pada tanggal 28 Juli 1960. Ia anak ke-7 dari dua belas bersaudara. Sirikit berasal dari suku Jawa dan beragama Islam. Pendidikan formalnya sejak SD sampai dengan SMA ia selesaikan di Surabaya. Selepas SMA, ia meneruskan ke Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Negeri Surabaya dan lulus pada tahun 1984 dengan skripsi ”Cerpen-cerpen Ernest Hemingway” di bawah bimbingan Budi Darma.

Sirikit menolak tawaran menjadi dosen di almamaternya dan memilih bergabung dengan Surabaya Post sebagai wartawan. Pada tahun 1988, ia mendapat beasiswa dari Nihon Shimbun Kyokai (NSK) Jepang. Ketika sudah menduduki jabatan redaktur pada tahun 1990, Sirikit beralih ke SCTV dan memulai kariernya dari bawah kembali. Kariernya di SCTV berkembang mulai dari pengkliping pemberi-taan, staf humas, sekretaris, manager produksi, penulis script, reporter, produser hingga koordinator liputan Indonesia Timur. Tahun 1996, Sirikit berhenti dari SCTV dan menjadi koresponden  The Jakarta Post serta konsultan di Centris (Centre for Television Research and Inovations).

Tahun 1994—1995, ia mendapat beasiswa Hubert H. Humphrey dari pemerintah Amerika Serikat untuk kuliah dan magang di bidang jurnalisme televisi di AS. Ia kuliah di Syracuse University, Syracuse, New York kemudian magang di stasiun lokal WHTV-5 yang berafiliasi dengan CBS dan di CNN biro Washington DC. Sirikit adalah wanita karier yang banyak berkecimpung dalam dunia kewartawanan.

Di Jawa Timur namanya tidak dapat dilepaskan dari dunia komunikasi. Tahun 1996, ia mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat Media Watch yang mengamati dan mengkaji liputan-liputan dan tulisan-tulisan yang dimuat di berbagai media. Kajian itu diterbitkan setiap bulan dalam bentuk newsletter. Ia juga menjadi penggerak peace journalism di Jawa Timur. Untuk itu, ia mendapat penghargaan dari lembaga asal Jepang, Ashoka pada tahun 2002. Ia menjadi ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur tahun 2004.

Di samping sebagai warta-wan dan sastrawan, ia juga dikenal sebagai budayawan, seniman, dosen, dan ibu rumah tangga. Ia banyak aktif di bengkel-bengkel kesenian. Ia pernah menjabat Ketua Bengkel Muda Surabaya, Ketua Biro Sastra Dewan Kesenian Surabaya, dan Ketua Presidium Dewan Kesenian Surabaya. Dalam dunia akademik, Sirikit juga tercatat pernah menjadi Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (STIKOSA-AWS) dan menjadi dosen di Universitas Dr. Soetomo. Ia menikah dengan Choirul Anam dan dikaruniai dua putra, Aldila Kirana dan Bintang Choirulputra.

Sirikit sudah menyukai dunia tulis menulis sejak sekolah dasar. Kemampuannya menulis berkembang baik semasa SMA karena banyak membaca dan bergaul dengan para seniman. Ia aktif menulis ketika mahasiswa di FPBS IKIP Surabaya. Ia pernah memenangkan lomba penulisan cerpen antarmahasiswa FPBS se-Indonesia tahun 1979—1980.

Peran ganda Sirikit sebagai wartawan dan sastrawan tergam-barkan dalam cerpen-cerpennya yang juga meramu dua unsur yang tidak selamanya sama, yaitu kontemporer dan kontekstual. Cerpen-cerpen Sirikit memang cocok untuk koran karena memenuhi hakikat koran, yaitu berita. Sirikit mengangkat sisi human interest dari berita-berita di koran, seperti perselingkuhan, pelecehan, dan ketidakadilan.

Sirikit Syah meninggal dunia pada 26 April 2022 karena kanker yang telah lama menggerogoti tubuhnya.

 

Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur

Cerita Singo Ulung dalam Tradisi Lisan Masyarakat Bondowoso

Cerita rakyat Singo Ulung merupakan tradisi lisan yang diketahui oleh masyarakat Bondowoso dan berkembang dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan penyebarannya secara lisan sehingga cerita tersebut mudah mengalami perubahan. Namun, bentuk dasar dari cerita Singo Ulung tetap bertahan. Selain Singo Ulung, cerita rakyat yang sering dijumpai oleh masyarakat adalah cerita Roro Jonggrang, Sangkuriang, Rengganis, dan lain sebagainya. Cerita rakyat Singo Ulung termasuk ke dalam salah satu bentuk legenda karena menceritakan seorang tokoh, peristiwa keramat, dan dipercaya oleh masyarakat setempat benar-benar terjadi.

Cerita rakyat Singo Ulung menceritakan tentang seorang tokoh yang hidup di Desa Blimbing, Kabupaten Bondowoso bernama Juk Seng (Jujuk Sengo) dan Mbah Jasiman. Juk seng kemudian diangkat menjadi seorang demang di desa tersebut. Ia memimpin desa dibantu oleh Mbah Jasiman hingga Desa Blimbing menjadi salah satu desa yang kehidupan masyarakatnya makmur dan tentram. Tarian Singo Ulung merupakan penggambaran dari gelar kesaktian yang dimiliki oleh Juk Seng. Tarian tersebut dibuat dengan berlandaskan kesakralan cerita yang ada di balik cerita Singo Ulung. Konon dalam cerita Singo Ulung, Juk Seng memiliki kesaktian yang dapat berkomunikasi dengan singa. Bahkan ia sering dibantu oleh hewan tersebut saat mengalami kesulitan. Hal ini yang mengakibatkan Juk Seng dijuluki sebagai Singo Ulung atau singa tanpa tanding. Tak hanya itu, dalam cerita Singo Ulung juga terdapat kisah tentang sejarah terbentuknya nama Desa Blimbing, Kabupaten Bondowoso.

Tarian Singo Ulung merupakan tarian tradisional dengan menggunakan kostum mirip singa serta diiringi oleh tetabuhan. Singo Ulung memiliki kemiripan dengan kesenian yang ada di daerah Jember, yaitu Can-Macanan Kaddhu’. Namun, perbedaannya terletak pada kostum singa yang digunakan. Can-Macanan Kaddhu’ memiliki warna yang beragam seperti putih, hitam, dan kuning. Sedangkan kostum pada Tarian Singo Ulung hanya berwarna putih. Cerita yang melatarbelakangi terbentuknya tarian tersebut juga berbeda. Can-Macanan Kaddhu’ diduga berasal dari tradisi para pekerja kebun yang berusaha menjaga kebun dari serangan binatang buas sehingga para pekerja tersebut menggunakan kostum mirip singa untuk mengusir hewan yang akan merusak kebun. Sedangkan Tarian Singo Ulung berasal dari cerita mengenai seorang tokoh yang memimpin Desa Blimbing, Bondowoso, Jawa Timur.

Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerita Singo Ulung berupa nilai kepribadian, nilai religiusitas, dan nilai sosial. Nilai kepribadian yang terkandung di dalamhya berupa keberanian hidup, tanggung jawab, dan kesetian. Sedangkan nilai religiusitas yang terkandung dalam cerita Singo Ulung adalah manusia yang selalu ingat kepada Tuhan dan ketaatan manusia terhadap Tuhan. Nilai sosial yang terkandung da;am cerita tersebut berupa kerukunan, gotong royong, kepatuhan terhadap adat, dan tolong menolong. Tidak hanya nilai-nilai, cerita Singo Ulung juga memiliki fungsi bagi masyarakat Bondowoso khususnya Desa Blimbing. Fungsi-fungsi tersebut meliputi keteladanan seorang pemimpin, sebagai penghormatan terhadap leluhur, alat pelestarian budaya, sebagai alat pendidikan nilai budaya, sebagai alat pendidikan sejarah, dan sebagai hiburan.

Keberadaan cerita Singo Ulung menuntut adanya ritual yang harus dilakukan oleh masyarakat. Kegiatan yang dilakukan adalah ziarah makam setiap malam Jumat manis serta prosesi bersih desa dengan memiliki serangkaian acara di dalamnya yang wajib dilaksanakan setiap tahun. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap pemimpin yang disegani oleh masyarakat sesuai dengan cerita yang ada dan telah tersebar di masyarakat. Meski cerita Singo Ulung terdapat beberapa versi cerita, hal tersebut pula yang menunjukkan bahwa cerita rakyat Singo Ulung disebarkan secara lisan dari generasi ke generasi. (BEMI)

Sumber: Puspita, Retno Ayu. 2016. Cerita Rakyat “Singo Ulung” dalam Tradisi Lisan Bondowoso Jawa Timur. Diakses secara daring di https://repository.unej.ac.id/handle/123456789/ 77846?show=full 

Penulis: Bunga Esti Melia Indryani – Mahasiswa PKL tahun 2021 dari Universitas Negeri Malang

Pengembangan Aplikasi ADIWIDIA sebagai Upaya Peningkatan Pemahaman Bahasa dalam Mendukung Kontribusi Kemajuan Revolusi Industri 5.0

Revolusi Industri 5.0 membawa pengembangan teknologi yang semakin canggih, cepat, dan luas. Konsep revolusi industri 5.0, menjadi inovasi baru dari revolusi industri 1.0 sampai dengan revolusi industri 4.0 dalam sejarah peradaban manusia. Revolusi ini sebenarnya tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan revolusi industri 4.0, yakni pada 4.0 menggunakan kecerdasan buatan sedangkan pada 5.0 lebih memfokuskan pada komponen sumber daya manusia (Puspita et al., 2020). Adanya perkembangan itu, manusia diharuskan lebih meningkatkan pengetahuan atau literasi serta kemampuanya sebagai bentuk kesiapan dalam menghadapi revolusi industri 5.0. Faktanya, indeks pengembangan manusia Indonesia semakin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 pada tahun 1996, urutan ke-99 pada tahun 1997, urutan ke-105 pada tahun 1998, dan urutan ke-109 pada tahun 1999 (Rizal, 2018). Selain itu, menurut survei Politic and Economy Risk Consultan (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia (Agustang et al., 2021). Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan bahwa kategori membaca Indonesia menduduki peringkat 6 dari bawah. Artinya, menduduki peringkat 74 dengan rata-rata 371. Survei ini dilakukan terhadap 79 negara, yaitu dengan menilai 600.000 anak yang memiliki usia 15 tahun dan survey tersebut dilakukan setiap tiga tahun sekali (Zulnadi & Falikah, 2022). Pada penelitian lain, (IEA-the International Association for the Evaluation of Educational Achievement) menguji pemahaman membaca tingkat sekolah dasar (kelas 4 SD) melalui Progress in Internatioanl Reading Literacy Study (PIRLS) yang dilakukan setiap lima tahun sekali. Pada PIRLS tahun 2011 International Results In Reading Indonesia mendapat skor 428 dengan skor rata-rata 500 (skor rata-rata OECD 493). Skor tersebut menjadikan Indonesia berada pada urutan ke-45 dari 48 negara peserta. Hal itu menunjukkan bahwa keterampilan membaca Indonesia berada pada skala rendah (Damayantie, 2015).

Berdasarkan fakta-fakta di atas, rendahnya budaya literasi masyarakat tentu menjadi salah satu masalah serius yang harus diatasi secepatnya. Dalam fenomena inilah diperlukan aksi dari generasi muda sebagai upaya sinergitas antara perkembangan revolusi industri dengan kemampuan literasi. Oleh karena itu, Duta Bahasa Jawa Timur bersinergi dengan Balai Bahasa Jawa Timur menghadirkan inovasi baru, yaitu aplikasi “Adiwidia”. Adiwidia dapat diartikan ‘pengetahuan paling tinggi’, sehingga diharapkan kehadiran aplikasi itu dapat memotivasi, mengetahui, dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan tentang bahasa, terutama dalam penerapan Trigatra Bangun Bahasa.

Gambar 1 Logo Aplikasi Adiwidia

Gambar 1 Logo Aplikasi Adiwidia

Aplikasi Adiwidia merupakan wujud pengimplementasian literasi digital. Konsep aplikasi Adiwidia adalah merangkul dan mengajak serta masyarakat, khususnya generasi muda untuk dapat memperluas cakrawala ilmu pengetahuan bahasa dan sastra melalui peningkatan pemahamanan serta pengetahuan tentang bahasa dan sastra, yaitu  dengan cara masuk dalam dunia generasi muda. Berkaca pada tiga program prioritas Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, maka aplikasi ini didukung oleh fitur-fitur sebagai berikut.

  1. Beranda, fitur ini menyediakan menu aplikasi Adiwidia dan bertujuan untuk memudahkan pengguna dalam menggunakannya. Fitur ini berisi forum, teman belajar, belajar bahasa, kuis, dan grup.
  2. Belajar Bahasa, fitur ini mengadopsi Trigatra Bangun Bahasa, yaitu media pembelajaran bahasa berupa audio visual. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Inggris.
  3. Peta Bahasa, fitur ini menyediakan informasi terkait dengan persebaran bahasa daerah yang ada di seluruh provinsi yang ada di Indonesia.
  4. Teman BIPA, fitur ini memberikan ruang untuk teman BIPA saling mengenal pengguna lain dalam belajar bahasa. Teman BIPA tersebut adalah para pembelajar BIPA yang sudah belajar bahasa di Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur dan Universitas Negeri Malang. Fitur Teman BIPA sebagai ajang komunikasi dan bertukar informasi tentang bahasa, sastra, dan budaya yang ada di Jawa Timur.
  5. Teman Belajar, fitur ini berisi pengguna lain yang bertujuan untuk saling bertukar informasi.

Gambar 2 Tampilan Menu pada Aplikasi Adiwidia

Aplikasi Adiwidia dapat diakses dengan mudah melalui pos-el. Pengguna dapat masuk melalui pos-el dan akan memperoleh sebuah kode OTP untuk dapat masuk menuju laman. Aplikasi ini memiliki beberapa menu, di antaranya adalah

Beranda

Merupakan halaman awal pada aplikasi yang berisi pengertian singkat tentang Adiwidia, forum atau kegiatan yang berlangsung pada minggu ini, dan sebagainya.

Belajar Bahasa

Pada menu ini pengguna dihadapkan dengan berbagai pembelajaran seputar bahasa, misalnya tentang apa itu kalimat sapaan, perkenalan, apa itu ungkapan dasar dan sebagainya.

Peta Bahasa

Pada peta bahasa berisi informasi mengenai seluruh bahasa yang digunakan di Indonesia, seperti peta bahasa Aceh, Riau, Bengkulu, Jawa, dan sebagainya.

Teman BIPA

Pada menu teman BIPA didapatkan informasi tentang teman-teman BIPA dari berbagai negara yang memungkinkan unuk saling bertukar bahasa dan belajar beraneka ragam bahasa, sastra, dan budaya.

Teman Belajar

Pada menu teman belajar berisi beberapa pengguna lain yang sudah terkoneksi.

 

Aplikasi ini telah dikenalkan melalui sosialisasi ke sekolah di Kabupaten Malang, yaitu SMAN 1 Lawang, Malang. Sosialisasi ini bertujuan untuk memperkenalkan kehadiran aplikasi Adiwidia. Selain kepada siswa, guru-guru juga diharapkan untuk ikut serta menggunakan aplikasi Adiwida sebagai media pembelajaran. Berdasarkan sosialisasi yang telah dilakukan serta menganalisis hasil kuesioner dari 53 responden, didapatkan beberapa hasil sebagai berikut

1. Tampilan pada Aplikasi Adiwidia menarik dan tidak membosankan

Gambar grafik di atas menjelaskan bahwa terdapat 5.7% responden memberikan pernyataan kurang setuju terhadap keberadaan aplikasi Adiwidia. Terdapat 43.3% responden menyatakan setuju aplikasi Adiwidia menarik, dan 50.9% responden memberikan jawaban sangat setuju bahwa tampilan pada aplikasi Adiwidia menarik dan tidak membosankan.

Gambar 3 Grafik Ketertarikan dan Kemenarikan

2. Aplikasi Adiwidia dapat diakses dengan efektif dan efisien

Pada gambar grafik di atas, terdapat 7.7% responden menunjukkan pernyataan kurang setuju bahwa aplikasi Adiwidia efektif dan efisien. Ada 50% responden menunjukkan pernyataan setuju, dan 42.3% responden menunjukkan pernyataan sangat setuju. Dapat disimpulkan persentase terbanyak didapatkan hasil bahwa pengaksesan aplikasi Adiwidia dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

Gambar 4 Grafik Keefisiensian

3. Fitur pada aplikasi Adiwidia sudah mencakup media pembelajaran secara baik dan menyeluruh

Dapat dilihat pada gambar grafik di atas, terdapat 13.2% responden menunjukkan pernyataan kurang setuju, terdapat 41.5% responden menunjukkan pernyataan setuju, dan 45.3% responden memberikan pernyataan sangat setuju. Berdasarkan hasil persentase itu dapat disimpulkan bahwa fitur pada aplikasi Adiwidia sudah mencakup dan memenuhi kelengkapan sebagai media pembelajaran.

Gambar 5 Grafik Kelengkapan Fitur

4. Fitur aplikasi dapat bekerja secara optimal

Dapat dilihat pada gambar grafik di atas, 5.7% responden menunjukkan pernyataan kurang setuju, terdapat 50.9% responden memberikan pernyataan setuju, dan 43.4% responden menunjukkan pernyataan sangat setuju. Dapat disimpulkan bahwa persentase terbanyak didapatkan hasil bahwa fitur pada aplikasi Adiwidia dapat dikatakan mampu bekerja secara optimal.

Gambar 6 Grafik Keoptimalan

5. Permainan kuis pada aplikasi cukup baik dan menguji

Dapat dilihat pada gambar grafik di atas, terdapat 7.5% responden menunjukkan pernyataan kurang setuju, terdapat 32.1% responden menunjukkan pernyataan setuju,  dan 58.5% responden memberikan pernyataan sangat setuju. Simpulan yang didapatkan adalah persentase terbanyak permainan kuis pada aplikasi Adiwidia dapat dikatakan cukup baik dan mampu menguji.

Gambar 7 Grafik Kelayakan Tools Uji

6. Fitur aplikasi mampu mengedukasi dan menambah informasi seputar bahasa

Berdasarkan gambar grafik di atas, 5.7% responden menunjukkan pernyataan kurang setuju, terdapat 30.2% responden menunjukkan pernyataan setuju, dan 64.2% responden memberikan pernyataan sangat setuju. Simpulan yang didapatkan persentase terbanyak didapatkan hasil bahwa fitur pada aplikasi Adiwidia mampu mengedukasi dan menambah informasi seputar bahasa.

Gambar 8 Grafik Kemampuan Edukasi

7. Aplikasi Adiwidia dapat berkontribusi dalam mewujudkan Trigara Bangun Bahasa

Berdasarkan gambar grafik di atas, 3.8% responden menunjukkan pernyataan kurang setuju, terdapat 45.3% responden menunjukkan pernyataan setuju, dan 50.9% responden menunjukkan pernyataan sangat setuju. Dapat disimpulkan bahwa persentase terbanyak didapatkan hasil aplikasi Adiwidia dapat dikatakan mampu berkontribusi dalam mewujudkan Trigatra Bangun Bahasa.

Gambar 9 Grafik Kontribusi

8. Setelah melakukan akses pada aplikasi ini, pemahaman seputar bahasa semakin bertambah

Berdasrkan gambar grafik di atas, terdapat 5.7% responden menunjukkan pernyataan kurang setuju, terdapat 49.1% responden menunjukkan pernyataan setuju, dan 43.4% responden menunjukkan pernyataan sangat setuju. Dapat disimpulkan persentase terbanyak didapatkan hasil pemahaman seputar bahasa dapat bertambah setelah melakukan akses belajar menggunakan aplikasi Adiwidia.

Gambar 10 Grafik Pemahaman

Aplikasi Adiwidia merupakan bentuk kontribusi Duta Bahasa Jawa Timur sebagai perpanjangan tangan Balai Bahasa Jawa Timur. Adanya kolaborasi ini diharapkan mampu menjadi aksi nyata serta langkah komprehensif ke masyarakat dengan tujuan menyampaikan misi Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur. Aplikasi Adiwidia juga berperan serta meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya literasi di era revolusi industri 5.0 dan diharapkan dapat menjadi langkah konkret untuk memupuk semangat dalam meningkatkan literasi bahasa di kehidupan sehari-hari. Adanya media permainan pada aplikasi dapat menjadi wadah untuk mengukur pemahaman seseorang terkait bahasa dan sastra. Dengan demikian, secara perlahan dapat memberikan dampak berkelanjutan baik dalam meningkatkan literasi juga meningkatkan pemahaman seputar bahasa atau sastra dengan mengoptimalkan media digital.

 

Agustang, A., Mutiara, I. A., & Asrifan, A. (2021). Masalah Pendidikan di Indonesia.

Damayantie, A. R. (2015). Literasi dari era ke era. Sasindo, 3(1).

Puspita, Y., Fitriani, Y., Astuti, S., & Novianti, S. (2020). Selamat tinggal revolusi industri 4.0, selamat datang revolusi industri 5.0. Prosiding Seminar Nasional Program Pascasarjana Universitas PGRI Palembang.

Rizal, R. (2018). Penerapan Metode Pembelajaran Kocok Sumpit untuk Meningkatkan Prestasi Belajar IPA Materi Getaran dan Gelombang. PSEJ (Pancasakti Science Education Journal), 3(2), 115–121.

Zulnadi, Z., & Falikah, T. Y. (2022). Peningkatan Minat Baca Melalui Media Teknologi Informasi. Prosiding Seminar Nasional Hasil Pelaksanaan Program Pengenalan Lapangan Persekolahan, 2(1), 299–303.

 

Artikel Duta Bahasa Jawa Timur

Tradisi Bersih Desa Sumberejo Kulon: Tradisi Turun Temurun dari Leluhur

Sumberejo Kulon adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung yang memiliki banyak potensi, mulai dari industri, tradisi, sumber daya, dan kearifan lokal. Secara geografis, Desa Sumberejo Kulon memiliki letak yang cukup strategis karena hampir seluruh wilayah berada pada tanah datar dan topografi desanya di dataran subur dengan didukung sistem pengairan yang baik. Hal itu mengakibatkan potensi pengembangan pertanian yang ada di Desa Sumberejo Kulon dapat menghasilkan produk pertanian yang baik.

Salah satu tradisi yang masih dijalankan di Desa Sumberejo Kulon, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung sebagai bentuk rasa syukur warga dan meminta keselamatan desa serta warganya adalah tradisi bersih desa. Tradisi itu dilakukan setahun sekali pada saat bulan Sela hari Jumat Kliwon. Bulan Sela atau biasanya diucapkan “selo” adalah urutan bulan Jawa yang kesebelas. Bulan ini sering disebut bulan Dulkangidah atau bulan Apit yang memiliki hari sebanyak 30 hari. Sela berimpit dengan bulan Dzulkaidah pada penanggalan kalender Islam.

Secara umum, tradisi bersih desa merupakan kegiatan untuk mengadakan tasyakuran di setiap perempatan yang berada di lingkup desa dengan membawa “takir plontang”. Takir plontang merupakan nasi yang dibungkus dengan daun pisang dan kelapa muda yang dibentuk seperti perahu dengan ujungnya disatukan dengan lidi. Keberadaan takir plontang itu mempunyai makna tersendiri bagi orang Jawa. Takir plontang merupakan wujud atau simbol sebagai rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas apa yang telah diberikan-Nya. “Isi dari takir plontang berupa nasi, sambal goreng, kacang, dan telur,” ujar salah satu sesepuh yang ada di Desa Sumberejo Kulon, Mbah Kalim.

Pada sore harinya, setiap warga melakukan kenduri. Kenduri atau dalam bahasa Jawa disebut genduren merupakan perwujudan rasa syukur warga desa kepada Tuhan. Kegiatan tersebut biasa dilakukan di perempatan jalan desa. Genduren dihadiri oleh keluarga dan tetangga-tetangga terdekat. Untuk jumlah orang yang hadir tergantung undangan yang sudah diberikan. Genduren yang acaranya digelar oleh pihak desa, biasanya akan dihadiri oleh seluruh masyarakat yang ada di desa tersebut seperti halnya pamong desa. Namun, pamong desa melakukan genduren di tempat yang berbeda dengan warga sekitar, yakni di balai desa. Pada tengah malamnya, lurah bertugas untuk memutari desa tersebut. Jika lurah yang sedang menjabat masih muda, yang melakukan ritual atau memanjatkan doa adalah sesepuh di desa itu. Namun, jika lurah mampu dan menyanggupi, lurah dapat melakukannya sendiri. 

            Selama pelaksanaan tradisi bersih desa, pernah terjadi suatu peristiwa yang dapat menjadi perhatian. Saat itu, lurah yang menjabat melakukan tasyakuran hanya di balai desa dan tidak melakukan tasyakuran di perempatan yang ada di desa. Setelah itu, semua warga seperti mengalami sakit secara bersamaan. Semenjak kejadian itu terjadi, pelaksanaan tradisi bersih desa dilakukan sesuai dengan aturan yang telah diwariskan secara turun temurun. Meskipun sekarang telah memasuki era modern, di Desa Sumberejo Kulon tetap melaksanakan tradisi tersebut. Hal itu dibuktikan dengan adanya partisipasi warga mulai dari orang tua, anak muda, hingga anak-anak. Begitu pula selama adanya pandemi Covid-19, tidak menghalangi warga Desa Sumberejo Kulon untuk melakukan tradisi bersih desa. “Selama pandemi Covid-19, tradisi bersih desa tetap dilaksanakan. Meskipun tidak seramai tahun-tahun sebelumnya dan tentunya tetap mematuhi protokol kesehatan yang berlaku,” tambah Mbah Kalim (21/3). Dengan terus diadakannya tradisi bersih desa setiap tahunnya, secara tidak langsung membuktikan bahwa tradisi bersih desa tetap terjaga eksistensinya hingga sekarang. (BEM)

* Bunga Esti Melia Indryani adalah mahasiswa PKL dari Universitas Negeri Malang tahun 2021

Sumber: KKN Tematik JSI UM 2021 (Kelompok 5)

Sumber Gambar: https://youtu.be/3GqGvGCK3lU