Raedu Basha

Raedu Basha lahir pada tanggal 3 Juni 1988, ia seniman, sastrawan, dan antropolog berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal melalui sejumlah karyanya, berupa sastra dan etnografi, dia juga sering kali memenangkan nasional maupun Tingkat ASEAN. Raedu Basha salah seorang penulis pada Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2015 (termasuk 6 festival sastra terbaik di dunia). Karya tesisnya saat di Universitas Gadjah Madamemperoleh penghargaan Nusantara Academic Award 2019 dan Anugerah Sutasoma 2020.

Raedu Basha nama pena dari Badrus Shaleh. “Raedu” adalah nama panggilan kecilnya di Pulau Madura. Saat ini menjadi pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Sumenep. Menyelesaikan pendidikannya di Antropologi Ilmu Budaya, Universitas Gajah MadaYogyakarta. Kekhasan karyanya ditunjukkan dari upaya mengeksplorasi lokalitas dunia pesantren, dunia pedesaan, dan pinggiran Indonesia, ke dalam karya sastra dan etnografi. beberapa bukunya yang cukup dikenal publik ialah kumpulan puisi Hadrah Kiai (2017) dan Sastrawan Santri: Etnografi Sastra Pesantren (2020). Raedu diberi anugerah Santri of The Year 2022 Kategori Santri Inspiratif Bidang Seni dan Budaya di Gedung Nusantara DPR-MPR RI.[10] Sejak 2018, ia menjadi pengurus Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LesbumiNahdlatul Ulama Jawa Timur, terlibat dalam agenda Muktamar Sastra 2018 dan Simposium Sastra Pesantren 2022 yang merumuskan sastra pesantren.

AKHMAD TAUFIQ

Sastrawan dan akademikus kelahiran Lamongan, 19 April 1974 ini dikenal melalui karya-karyanya berupa puisi, cerita pendek, dan esei/kritik sastra. Karya-karyanya tersebut tidak hanya dimuat di sejumlah surat kabar, namun juga terangkum dalam berbagai antologi puisi dan cerpen, serta jurnal ilmiah sastra, baik secara nasional maupun internasional di tingkat Asia Tenggara. Taufiq mengawali debutnya dalam dunia sastra dan budaya sejak 1994, ketika kuliah Sastra Indonesia di Fakultas Sastra Universitas Jember. Dia aktif di Persatuan Penyair Nusantara Melayu Raya (Numera) Malaysia dan diberbagai forum sastra, baik yang terkait dengan proses kreatif maupun forum ilmiah sastra. Menyelesaikan program doktoralnya di Universitas Negeri Surabaya, beberapa karya esei/kritik sastranya pernah dimuat pada Jurnal Lingua Franca, Jurnal Humaniora, Jurnal Karsa, Jurnal Litera, Jurnal Atavisme, The International Journal of Social Sciences and Humanities Invention, dan International Journal of Advanced Research

Forum sastra yang pernah diikuti, antara lain: Temu Penyair Lintas Daerah Indonesia di Pekalongan, Jawa Tengah, Maret 2013; Baca Puisi Dunia NUMERA di Kuala Lumpur Malaysia pada 21-25 Maret 2014, yang dihadiri beberapa Negara Asia Tenggara, Belgia, dan Rusia; Temu Penyair Lesbumi NU Jawa Timur pada 23 Desember 2014 di Surabaya; Temu Sastra Indonesia-Malaysia (TSIM) di Bandung pada September 2015; penyelenggara Temu Penyair tujuh kota wilayah timur Jawa di Jember pada 2015; mengikuti Ekspresi Puisi Dunia Numera (EPDN) di Kuala Lumpur Malaysia pada 18-21 Maret 2016; Temu Sastra Antarbangsa Indonesia-Malaysia pada 14-18 September 2016 di Yogyakarta; Puisi Dunia Numera 2017 di Kuala Lumpur; menghadiri peringatan Hari Puisi Dunia di Brunei Darussalam, Maret 2018; Pertemuan Penyair dan Baca Puisi Dunia Numera 2018, di Johor Malaysia, Muktamar Sastra 2018, di Situbondo Jawa Timur, Indonesia, berpartisipasi melalui media virtual dalam “Poetry Reading Session by World Festival of Poetry titled HOLDING THE TRIUMPH OF HUMANKIND from 9 to 12 April 2020”, Bangladesh, dan berpartisipasi dalam Pembacaan Puisi Dunia Menyambut Ramadan 1441 H “Ramadan World Poetry Reading” oleh Pemuisi Nasional Malaysia, 30 April 2020.

Selain menulis puisi, cerpen, dan esei/kritik sastra, Taufiq bersama penyair yang lain mendirikan Forum Sastra Timur Jawa pada 2015, suatu forum sastra yang mencakup tujuh wilayah kabupaten/kota di bagian timur Jawa, yaitu Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Bondowoso, Situbondo, Jember, dan Banyuwangi. Namanya tercatat dalam buku Ensiklopedi Penulis Indonesia, yang diterbitkan FAM Indonesia jilid 3 (2015) dan Apa & Siapa Penyair Indonesia, yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi (2017).

Sebagai bagian dari masyarakat puisi Indonesia, Taufiq bersama Forum Sastra Timur Jawa dan Pusat Literasi LP3M Universitas Jember pada 12 Desember 2018 menyelenggarakan Peringatan Hari Puisi Indonesia, dengan mengangkat tema utama “Suara Sastra Timur Jawa” dan pada 4 September 2021 atas inisiasi Masyarakat Literasi Jember, memberikan dukungan sepenuhnya atas terselenggaranya Peringatan Hari Puisi Indonesia di Jember, yang dihadiri secara daring oleh penyair dari berbagai daerah di Nusantara. Ia menjadi narasumber pada agenda Hari Puisi tersebut, sekaligus menandai peluncuran antologi puisi “Seribu Tahun Lagi”, yang diterbitkan oleh Masyarakat Literasi Jember.

Tak kalah penting yang patut dicatat, pada 20 April 2022 ia menjadi narasumber pada Webinar Sastra Antarbangsa Indonesia-Malaysia, yang mengangkat tema “Nilai-nilai Religiusitas dalam Sastra: Perbandingan Puisi Indonesia-Malaysia Kontemporer”. Agenda tersebut diselenggarakan oleh UIN Sunan Gunung Djati Bandung kerjasama dengan UPM. Pada 2022 ini pula, tepatnya pada 12-13 Oktober ia hadir dan menjadi pemakalah pada agenda Konferensi Internasional Kesusastraan yang diselenggarakan HISKI di Universitas Nusa Cendana, Kupang, NTT. Pada 16-17 November 2022 hadir sebagai narasumber pada Seminar Nasional Pendidikan dan Pengajaran Sastra (SENANDIKA) di Palangkaraya yang diselenggarakan oleh HISKI EKAKAPAKAT dan Balai Bahasa Kalimantan Tengah. Pada 17 Oktober 2022 menjadi narasumber pada agenda Seminar Sastra Pesantren di PWNU Jawa Timur, yang dilanjut pada 2-4 Desember 2022 pada agenda Simposium Sastra Pesantren di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang yang diselenggarakan oleh PW Lesbumi NU Jawa Timur.

Puisi karya Akhmad Taufiq banyak diterbitkan dalam bentuk antologi, baik antologi puisi tunggal maupun antologi puisi bersama. Antologi puisi tunggal karya Taufiq , di antaranya adalah Kupeluk Kau Di Ujung Ufuk, diterbitkan oleh Gress Publishing Yogyakarta (2010), Mengulum Kisah dalam Tubuh yang Terjarah, diterbitkan Interlude Yogyakarta (2016), dan Pandemi Puisi, diterbitkan oleh Yayasan Dapur Sastra Jakarta (2020). Selain antologi puisi tunggal, Taufiq juga aktif menulis puisi dalam antologi puisi bersama, antara lain Indonesia dalam Titik 13, diterbitkan oleh Aswaja (2013), Risalah Melayu Nun Serumpun, diterbitkan oleh NUMERA Malaysia (2014), Tasbih Hijau Bumi, diterbitkan oleh Lesbumi NU Jawa Timur (2014), Merupa Tanah di Ujung Timur Jawa, diterbitkan oleh Forum Sastra Timur Jawa dan Ombak (2015), Syair Persahabatan Dua Negara, diterbitkan oleh Pustaka Senja (2015), Merentasi Ribuan Tahun Puisi, diterbitkan oleh NUMERA Malaysia (2016), Yogya dalam Nafasku, diterbitkan oleh Balai Bahasa Yogyakarta (2016), Nyanyian Gerimis, , diterbitkan oleh Hiski Komisariat Aceh dan Bandar Publishing (2017), Balada Tanah Takat, diterbitkan oleh Forum Sastra Timur Jawa dan Balai Bahasa Jawa Timur (2017), Numera Bersayap, diterbitkan oleh, diterbitkan oleh Numera Malaysia (2018), Risalah di Ladang Kemarau, diterbitkan oleh Forum Sastra Timur Jawa dan LP3M Universitas Jember (2019), Antologi Puisi Setelah Sapardi Pergi: Sehimpun Puisi Tribute to Sapardi Djoko Damono, diterbitkan oleh Penerbit Diomedia (2020), Puisi-Puisi Merdeka: Dandani Luka-luka Tanah Air, diterbitkan oleh Numera Malaysia (2020), ntologi Puisi Seribu Tahun Lagi: Epilog, diterbitkan oleh Masyarakat Literasi Jember dan Catur Media Gemilang (2021), Antologi Puisi Persatuan Penyair Nusantara (PPN) XII: “Luka, Cinta, Damai”, diterbitkan Gapena dan Pena Malaysia (2023), Antologi Puisi Menolak Korupsi ke-9 (PMK #9) dengan judul “Mencari Presiden Antikorupsi”, diterbitkan oleh PMK (2023), dan Antologi Puisi Tanah Tenggara, diterbitkan oleh Forum Sastra Timur Jawa kerjasama dengan penerbit Buku Inti (2023). Karya Taufiq dalam bentuk cerpen salah satunya termuat dalam Antologi cerpen Numera Bersayap, diterbitkan oleh Numera Malaysia (2018).

Selain puisi dan cerpen, Taufik juga banyak menulis karya ilmiah sastra, antara lain Sastra Poskolonial: Teori, Analisis Teks, dan Pembelajaran, diterbitkan oleh Jember University Press(2010), Apresiasi Drama: Refleksi Kekuasaan dalam Teks Sastra Drama Tradisional Ludruk, diterbitkan oleh Gress Publishing (2011), Kontributor buku dalam Kongres Internasional Folklor Asia yang berjudul Folklore dan Folklife dalam Kehidupan Modern: Kesatuan dan Keberagaman, diterbitkan oleh Ombak, 2013),Kontributor buku Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya: Membangun Karakter dan Budaya Bangsa melalui Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya, diterbitkan oleh Gress Publishing (2013), Kontributor buku Bahasa dan Sastra untuk Peradaban Indonesia yang Unggul, diterbitkan oleh Gress Publishing (2014), Kontributor dalam buku Keunggulan Budaya dan Industri Kreatif, diterbitkan oleh Ombak (2014), Sastra Multikultural: Konstruksi Identitas dan Praktik Diskursus Negara dalam Perkembangan Sastra Indonesia, diterbitkan oleh Intrans Publishing (2017), Drama Tradisional Ludruk: Refleksi Kekuasaan, Karakteristik Pertunjukan, dan Strategi Pengembangan, diterbitkan oleh PBSI Press (2022), Kontributor dalam Kumpulan Esai Qasyaf 80: Kemala yang Kami Kenali, diterbitkan oleh Nuha Creative Resources, Selangor Malaysia (2022), dan Sastra Pesantren dan Ruang Strategis Politik Kebudayaan, diterbitkan oleh Majalah Kidung Dewan Kesenian Jawa Timur (2023).

Kerja keras Akhmad Taufik nyatanya tidak sia-sia. Beberapa penghargaan diperolehnya untuk buah karyanya selama ini. Penghargaan tersebut diantaranya adalah Anugerah Penghargaan Puisi Dunia Numera Malaysia (2014), Anugerah puisi di tingkat Asia Tenggara; Anugerah Sutasoma untuk buku Sastra Multikultural (2018); dan Drama Tradisional Ludruk (2022) untuk kategori buku esai/kritik sastra terbaik dari Balai Bahasa Jawa Timur (2018).

 

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Akhmad_Taufiq  (dengan pengubahan)

 

Mbah Nganten, Mitos yang Membentuk Identitas Budaya di Jombang

Sastra lisan dengan berbagai ceritanya akan terus melekat di masyarakat. Sastra lisan Lebih dari sekadar cerita rakyat, sastra lisan merupakan cerminan nilai-nilai luhur, kearifan lokal, dan jati diri suatu masyarakat. Sastra lisan ini tidak hanya diwariskan melalui kata-kata, tetapi juga melalui gerak isyarat, alat bantu pengingat, dan berbagai bentuk ekspresi lainnya. Mitos di masyarakat sering dikaitkan dengan hal-hal mistis, salah satunya di Dusun Kramat, Desa Tanggung Kramat, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang. Dusun Kramat, menyimpan banyak cerita yang diwariskan secara turun-temurun. Berpusat pada Makam Mbah Nganten, kisah ini menceritakan penemuan tidak biasa yang mengantarkan dusun ini pada namanya yang unik.

Dahulu kala, di wilayah yang kini dikenal sebagai Dusun Kramat, hiduplah masyarakat Dusun Karang Tengah. Suatu hari, gegeran melanda dusun ketika sepasang tangan wanita ditemukan di tepi Sungai Brantas. Uniknya, tangan tersebut masih mengenakan cincin bermata merah dan menggenggam erat sejumput rumput.

Misteri identitas tangan tersebut menyelimuti dusun. Tidak ada satu pun penduduk yang mengenalinya. Namun, tidak lama kemudian, datanglah seorang lelaki dari arah barat. Dengan rasa haru dan duka, lelaki itu menyatakan bahwa tangan tersebut adalah milik istrinya tercinta, yang baru saja dinikahinya kurang dari 40 hari. Saat itu, istrinya pamit ke sungai untuk buang air kecil. Tidak disangka, istrinya tidak kunjung kembali. Sang suami pun mencarinya dengan panik, hingga akhirnya menemukan tangan tersebut di tepi sungai.

Sumber gambar: Kanal Youtube Kahuripan TV (https://www.youtube.com/watch?v=DniG6cHfM7Y

Dengan penuh rasa kehilangan dan hormat, warga Dusun Karang Tengah dan sang suami sepakat untuk memakamkan tangan tersebut beserta cincinnya di atas tanggul tepi Sungai Brantas. Sejak saat itu, tempat tersebut dikenal dengan sebutan Makam Mbah Nganten, yang berarti “Makam Pengantin”.

 

Seiring berjalannya waktu, Dusun Karang Tengah pun berganti nama menjadi Dusun Kramat. Penamaan Dusun Kramat terinspirasi dari keberadaan makam tersebut. Mbah Nganten diyakini sebagai leluhur dan pendiri dusun. Sosoknya dihormati dan dikeramatkan oleh masyarakat. Keberadaan Makam Mbah Nganten tidak hanya menyimpan legenda, tetapi juga melahirkan tradisi dan adat istiadat di Dusun Kramat. Salah satunya adalah larangan bagi pengantin baru yang belum genap 40 hari untuk mendekati sungai. Tradisi ini dipercaya untuk menghindari kejadian tragis seperti yang menimpa Mbah Nganten.

Selain itu, terdapat pula aturan adat yang melarang pertunjukan wayang kulit di Dusun Kramat. Sebagai gantinya, wayang krucil diharuskan dipertunjukkan. Konon, jika aturan ini dilanggar, salah satu rumah warga akan tertimpa musibah kebakaran. Setiap tahunnya, masyarakat Dusun Kramat menggelar tradisi “Sedekah Dusun Kramat” untuk memperingati kematian Mbah Nganten. Acara ini diadakan pada malam Jumat Wage, diiringi dengan pertunjukan wayang krucil di Makam Mbah Nganten.

Kisah Mbah Nganten dan Makam Kramat mencerminkan kekayaan budaya dan tradisi yang dijaga oleh masyarakat Dusun Kramat. Keberadaannya menjadi pengingat akan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. Tradisi dan adat istiadat yang dilestarikan menjadi identitas dan pemersatu masyarakat, sekaligus menjadi bentuk penghormatan kepada leluhur dan pelestarian budaya.***

Sumber: Puspitasari, Indah. (2022). “Sastra Lisan: Pengaruh Mitos di Desa Tanggung Kramat”. KODE: Jurnal Bahasa, 1(1), 150—161.

https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/kjb/article/view/33503/0 

Tari Tere Teng’

Asal muasal tari teng tere adalah sebuah bentuk upaya masyarakat untuk mengelabuhi penjajah di masa masyarakat wajib membayar upeti kepada penjajah.hasil bercocok tanam rakyat sebagian besar harus di kasih ke para penjajah. Alhasil masyarakat berinisiatif untuk mengelabui para penjajah.                                                                                                                                     

Teng arti dasar kata dari petteng yang berarti lampu obor sedangkan tere artinya sedikit jadi teng tere merupakan tarian lampu obor yang remang remang. Dahulu tarian ini dilaksanakan di depan halaman rumah yang berderet dengan istilah tanean lanjang tarian ini dilakukan oleh anak anak baik  laki laki maupun  perempuan namun kebanyakan tarian ini diperankan oleh anak anak perempuan.

Tarian teng tere digelar menjelang musim panen jagung ketika panen di lakukan di malam hari untuk mengelabui para penjajah. Sehingga dengan konsep yang ditawarkan oleh masyarakat dahulu.di kemas panen malam hari agar para penjajah mengira hanya acara kecil masyarakat biasa namun pada saat itu juga di ladang ladang masyarakat lagi panen jagung. Alih ali tarian itu dilakukan dalam upaya tipu daya masyarakat terhadap penjajah dengan kelengkapan krincingan (gungseng) lalu sapu tangan (sot tanang) hingga obor yang dikemas sedemikian rupa yang terbuat dari bambu.

Tarian ini dilakukan di kawasan desa banasare yang notabene bermata pencaharian sebagai petani,yang pada setiap musim panen beda tanaman yakni beda strategi tipu daya. Yang dijelaskan dari atas adalah  kejadian yang terjadi pada saat musim panen jagung.

 

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/home/explore/cultural/29899 

ABDUL SYUKUR GHAZALI

Prof. Dr. H. A. Syukur Ghazali, M.Pd. lahir di Pamekasan tanggal 22 Desember 1950. Memperoleh gelar Sarjana dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari IKIP MALANG (1976). Gelar Magister dalam bidang Pendidikan Bahasa  Indonesia diperolehnya dari IKIP MALANG (1987). Gelar Doktor dalam bidang Pendidikan Bahasa Indonesia diperolehnya dari IKIP MALANG (1999) dengan disertasi berjudul “Kerumitan Kalimat Bahasa Indonesia Siswa SD” di bawah promotor Prof. Dr. H.M.F. Baradja, M.A. (IKIP MALANG). Tanggal 12 September 2012, Abdul Syukur Ghazali dikukuhkan menjadi guru besar dan berhak menyandang gelar profesor. Pada kesempatan tersebut, Prof. Dr. H. A. Syukur Ghazali, M.Pd. menyampaikan pidato pengukuhan berjudul “Mewujudkan Pemerolehan Bahasa dalam Pembelajaran di Kelas”.

Bidang yang diminati dan ditekuninya selama ini adalah Pengajaran Menulis, Psikolinguistik, Retorika, Praktik Pengajaran Drama, dan Sejarah Sastra. Karya penelitian yang sudah dihasilkannya, antara lain (1) Penerapan Strategi Belajar Kooperatif dalam Perku-liahan Kajian Puisi (Laporan Hibah Pengajaran Proyek Due-Like, 2002), (2) Kinerja Mengajar Dosen dalam Proses Pembelajaran di UM (Penelitian Institusi, 2004), (3) Pemanfaatan T-unit sebagai Instrumen Pengukur Kemampuan Mengarang Bahasa Indonesia Siswa Sekolah Dasar (Penelitian Mandiri, 2007), dan (4) Tata Wacana Bahasa Madura (Penelitian Bahasa, Balai Bahasa Surabaya, 2007).

Menulis buku referensi berjudul Teori Belajar Bahasa dan Pengajaran Bahasa (Program Pascasar-jana, 1998). Menulis buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk SMA dan SMP, yakni (1) Terampil Berbahasa Indonesia 3 untuk SMU kelals 3 (Penerbit Pustaka Jaya, 1992), (2) Cendekia Berbahasa Indonesia 1A,1B, 2A, 2B, 3A, dan 3B untuk SLTP (1995).

Naskahnya yang berjudul “Formula Sastra Madura dalam Kerapan Sapi: Sebuah Ancangan Metodologis Pengkajian Naskah” diterbitkan dalam Tradisi Tulis Nusantara menjelang Milenium III, Kumpulan Makalah Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara III 12–13 Oktober 1999, diterbitkan oleh Masyarakat Pernaskahan Nusantara, Percetakan Unri Press Pekanbaru (2000).

Artikel jurnal yang sudah ditulis nya juga tidak sedikit, di antaranya adalah “Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Pendekatan Bahasa Utuh (Whole Language)” (Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, Volume 10, Nomor 1, 2003, “T-Unit sebagai Alat Ukur Kemampuan Mengarang Bahasa Indonesia” (Litera, Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Vol 6, Nomor 1, 2007, dan “Mengenal Wajah Indonesia Melalui Penulis Realisme Sosialis Pramoedya Ananta Toer” (Bahasa dan Seni, 2006).

Abdul Syukur Ghazali juga aktif mengikuti dan menulis makalah seminar terutama di bidang pengajaran antara lain (18) Menciptakan Kelas yang Membelajarkan (Seminar Nasional Pendidikan dan Konsolidasi BEM FKIP se-Nusantara, Unisma, 6 Mei 2006), (19) Merancang Pendidikan yang Memberda-yakan Budaya Madura (Kongres Kebudayaan Madura, Sumenep Madura, 9-11 Maret 2007), (20) Pengalaman Universitas Negeri Malang dalam Pelatihan Peningkatan Metode Pembelajaran (Workshop Need Assessment on Lecturer Teaching Methodology, di Brawijaya, 20-21 Juni 2007), (21) Menjadi Guru yang Profesional (Pelatihan Peningkatan Mutu Guru Mata Pelajaran Tingkat SMA/MA Se-Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 5-14 Juli 2007), (22) Sastra Indonesia: Jendela Lintas Budaya untuk Pembelajaran BIPA/Indonesia Studies (Semiloka Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing, di Jakarta, 18-20 Juli 2007), dan (23) Pokok-pokok Pikiran untuk Merancang Pembangunan Pendidikan Kabupaten Malang (Seminar Sehari dalam rangka Menuju Kebangkitan Pendidikan Kabupaten Malang, di Malang, 11 Agustus 2007).

Untuk mengharagai pengabdiannya, pada tahun 2003 Abdul Syukur Ghazali memperoleh penghargaan Satya Lencana Karya Satya 20 Tahun dari Presiden Republik Indonesia.

Misteri Kebenaran di Balik Mantra Semar Mesem: Antara Pengasihan dan Keharmonisan Spiritual

Mantra, sebagai bagian dari tradisi lisan yang berkembang di kalangan masyarakat, memiliki peran yang penting dalam mewariskan kebudayaan secara turun-temurun. Di Jawa Timur, khususnya, tradisi mantra mengemuka sebagai bagian tidak terpisahkan dari budaya Osing. Mantra Osing, sebagai doa sakral kesukuan, memuat kepercayaan akan adanya kekuatan spiritual yang bersifat gaib. Salah satu keunikan Mantra Osing adalah keberadaan empat macam magi di dalamnya, yakni putih, kuning, merah, dan hitam. Mantra-mantra ini masih terus bertahan dan dimanfaatkan dalam kehidupan sosial masyarakat hingga saat ini.

Salah satu aspek yang menarik untuk diselidiki adalah mantra bermagi kuning. Mantra ini tidak hanya dimiliki oleh dukun, melainkan juga dapat digunakan oleh masyarakat umum. Fungsi mantra bermagi kuning tidak hanya terbatas pada praktik dukun, tetapi juga dipercaya dapat mempengaruhi pikiran seseorang tanpa menggunakan cara-cara yang jahat, terutama dalam konteks mencari jodoh atau yang lebih populer dikenal sebagai ilmu pengasihan. Popularitas mantra bermagi kuning di kalangan masyarakat membuatnya menjadi bagian integral dari identitas budaya lokal.

Sumber gambar: Kanal Youtube Pusaka Antik (https://www.youtube.com/watch?v=LmVdyuIZNa8

Di Banyuwangi, dunia spiritual sangatlah populer dan meresap dalam kehidupan sehari-hari. Selain mantra, praktik spiritual lainnya seperti pengobatan tradisional, pencarian kekuasaan, dan meramal juga sangat umum di sana. Mantra bermagi kuning, khususnya mantra Semar Mesem, masih dipercaya oleh banyak orang hingga saat ini. Pengikutnya memercayai kekuatan mantra tersebut dalam berbagai aspek kehidupan, bahkan menganggapnya sebagai bekal penting dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

 

Dalam konteks perilaku individual, tradisi, dan budaya sosial, mantra Semar Mesem memiliki peran yang sangat penting. Fungsinya tidak hanya terbatas pada memenuhi kebutuhan individu, tetapi juga melibatkan latar belakang budaya dan tradisi lokal. Mantra Semar Mesem, sebagai bagian dari budaya Osing, menjadi sarana bagi individu untuk menjalin hubungan baik dengan mempengaruhi kesadaran orang lain. Fungsi sosial mantra ini juga sangatlah signifikan, karena tidak hanya berdampak pada individu saja, tetapi juga pada masyarakat secara luas.

Dalam praktiknya, mantra Semar Mesem termasuk dalam kategori santet pengasihan atau ilmu pengasihan. Tujuannya adalah untuk memikat lawan jenis atau mendapatkan kekasih atau pendamping hidup. Namun, perlu dicatat bahwa penggunaan mantra ini tidaklah bermaksud untuk melakukan kejahatan, melainkan untuk mencapai tujuan dengan cara yang baik dan tulus. Kekuatan magis mantra Semar Mesem bekerja secara halus, sehingga unsur negatifnya tidak terlalu terlihat. Bahkan, objek yang disantet mungkin tidak menyadari bahwa dirinya sedang terpengaruh oleh mantra tersebut.

Kesimpulannya, mantra bermagi kuning, khususnya mantra Semar Mesem, memegang peran yang penting dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi. Sebagai bagian dari warisan budaya dan tradisi lokal, mantra ini tidak hanya memengaruhi individu, tetapi juga membentuk identitas dan pola pikir kolektif masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk terus memahami dan menghargai nilai-nilai serta fungsi dari tradisi lisan seperti mantra dalam konteks budaya lokal yang kaya dan beragam.

Sumber: Wulandari, Intan., Tedi Erviantono., & Bandiyah. (2017). “Imbolisme Mantra Semar Mesem terhadap Kekuasaan di Banyuwangi”. Jurnal Nawala Politika, 1(1), 1—9.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/politika/article/view/33299

Tari Muang Sangkal

Tari muang sangkal merupakan kesenian yang menjadi salah satu ikon Kabupaten Sumenep. Secara harfiah kata muang membuang, sangkal balak atau petaka, artinya tarian tersebut untuk membuang balak atau petaka yang ada dalam diri seseorang. Kemunculan tari muang sangkal tidak terpisahkan dari Keraton Sumenep. Keberadaan Keraton Sumenep telah melahirkan tradisi budaya baik terkait dengan upacara adat maupun kesenian.

Terinspirasi gerakan tari tayub yang mulai dibakukan sekitar tahun 1891, dengan gerakan yang halus dan lembut, dan kebetulan Kabupaten Sumenep belum mempunyai bentuk tarian yang dijadikan simbol atau ciri khas dari masyarakat Sumenep. Maka salah satu maestro kesenian di Sumenep yaitu Taufiqqurachan pada tahun 1962 menciptakan tari muang sangkal. Gerakan tari muang sangkal dasarnya gerak-gerak Keraton Sumenep yang bertitik tolak tari gaya Yogyakarta yang dipadukan dengan gerak-gerak ciptaan yang tidak menyimpang dari nafas dan ciri-ciri Keraton Sumenep.

Ciri khas tari muang sangkal penarinya harus ganjil, dalam keadaan suci atau perawan tidak menstruasi, busana yang dipakai dodot legha, pada saat menari memegang cemong (mangkok kuningan) yang berisi beras kuning dan aneka kembang (bunga). Menurut fungsinya ada tiga, yaitu (1) sebagi cerminan dan legimitasi tatanan sosial: tari muang sangkal hanya kaum perempuan saja yang boleh menarikan dengan jumlah ganjil terdiri dari gadis-gadis remaja yang berparas cantik dan gemulai, dan akan berhenti menjadi penari ketika sudah menikah atau tidak perawan lagi; (2) sebagai wahana ritus yang bersifat religius: tari mung sangkal suatu tarian yang bersifat sakral dan agamis yang mengungkapkan suatu doa agar diberikan keselamatan; (3) sebagai hiburan sosial: tari muang sangkal semula sebagai seni tari di dalam lingkungan keraton untuk membuang balak dan mengandung doa, namun perkembangannya berubah atau beralih keluar tembok keraton yang sifatnya menjadi tontonan atau hiburan seperti hajatan pernikahan dan acara-acara lain.

Tari muang sangkal tidak hanya menarik kepiawaian dan keluwesan, tetapi dibalik itu mempunyai makna simbolis yaitu pada saat penari menabur beras kuning pada saat menjamu kedatangan tamu ‘agung’ di Pendopo Keraton Sumenep, atau saat acara resepsi perkawinan. Penaburan beras kuning ini sebagai simbol ungkapan doa memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar tamu yang datang diberi keselamatan dan terhindar dari bahaya, dan acara yang diselenggarakan berjalan lancar dan sukses. Pada acara resepsi pernikahan agar prosesi pernikahan berjalan lancar dan mempelai berdua dalam menjalani hidupu rumah tangga berjalan langgeng. Selain itu, dari segi gerakan yang halus dan luwes dan tampak anggun menunjukkan sikap adhep asor dan dapat membentuk karakter penarinya halus dan lembut serta luwes.

 

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/home/explore/cultural/4739 

Denny Mizhar (Misharudin)

Denny Mizhar (Misharudin) Lahir di Lamongan dan saat ini tinggal di Kota Malang. Beberapa Buku Yang Telah Diterbitkan: Berharap Di Senja Hari (Antologi Puisi Tunggal, 2007), Indonesia Dalam Secangkir Kopi Pahit (Antologi Puisi Bersama, 2009), Ponari For President (Antologi Puisi Bersama, 2009), Merajut Kebersamaan Dalam Keragaman (Kumpulan Tulisan: Penulis Dan Editor, 2010), Antologi Puisi Bulan Purnama Majapahit Trowulan (Kumpulan Puisi Bersama, 2010), Tabir Hujan (Antologi Puisi Bersama, Dewan Kesenian Lamongan, 2010), Barisan Hujan (Kumpulan Cerpen, Malang Post, 2010), Sulfatara: Pelangi Sastra Malang Dalam Puisi (Antologi Puisi Bersama, 2012), Fragmen Perjamuan Kumpulan Puisi Asas Upi Bandung (Kumpulan Puisi Bersama, 2014), Puisi Menetes Di Kaki Monas – Temu Sastrawan Mpu (Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Provinsi Jakarta, 2014), Puisi Menolak Korupsi 2 Kumpulan Puisi (Forum Penyair Indonesia, 2014), Memo Untuk Presiden Kumpulan Puisi Bersama (Forum Penyair Indonesia, 2014), Kumpulan Puisi Mata Air (Pelangi Sastra, Aditya Media, Nawakalam Dan Gedung Kesenian Mbatuaji, 2015), Sastra Meretas Perbedaan Kumpulan Puisi – Temu Sastrawan Mpu (Dinas Kebudyaan Dan Pariwisata Ntt, 2015), Membaca Sastra Jawa Timur: Revitalisasi Representasi Dan Regenerasi – Kumpulan Esai Sastra (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2015), Kartograf Kumpulan Puisi (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2017), Gregah : Kumpulan Puisi Dan Geguritan Joglitfest 2019 (Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta), Sajak Dwiawangga Dunia Tak Lagi Dingin – Kumpulan Puisi (Dewan Kesenian Kota Malang, 2020), Antologi Sastra BWCF 2023: Dari Jalan Semarang Sampai Kayoe Tangan Dan Lain-Lain (BWCF, 2023)

Selain menulis, Denny juga juga berkesenian di teater. Pentas pertamanya pada tahun 2001 adalah ”Monolog Revisi” karya Yohinus “Nyoe”. .Kemudian dilanjutkan dengan ”Pentas Monolog Laki-Laki dalam Lubang” karya Rona Wijaya pada tahun 2002, Berandal Malam di Bangku Terminal (Adaptasi dari Lagu Iwan Fals) pada tahun 2003 dengan sutradara Dedy “Kakek”. Tahun 2007, Denny mencoba menjadi sutradara ”Naskah Orang Asing” karya Rupert Brook pada Rektor Cup Umm dan beberapa pentas isendental bersama Teater Hompimpah. Matahari Di Sebuah Jalan Kecil Karya Arifin C. Noer Sebagai Sutradara Pada Tahun 2013. Suto Mencari Bapa Karya Ws. Rendra Menjadi Aktor Dan Sutradara Pada Tahun 2013. Kapai-Kapai Karya Arifin C. Noer Sebagai Sutradara Produksi Teater Hompimpah 2016 dan terpilih dalam kurasi Parade Teater Jawa Timur 2016 untuk pentas di Gedung Kesenian Cak Durasim Surabaya. Pada Tahun 2004 Bergabung Dengan Teater Sampar Indonesia Malang Dengan Penggarapan Oedipus Rex Karya Shopocles Sebagai Aktor Pada Tahun 2005 Dengan Sutradara Didik “Meong” Harmadi, Dalam Bayangan Tuhan Karya Arifin C Noer Sebagai Aktor Pada Tahun 2006 Dengan Sutradara Didik “Meong” Harmadi, Tanda Silang Karya Eugene O’neill Sebagai Aktor Pada Tahun 2006 Dengan Sutradara Didik “Meong” Harmadi, Umang-Umang Karya Arifin C. Noer 2009 Sebagai Asisten Sutradara Dan Aktor Dengan Sutardara Didik “Meong” Harmadi. Bersama Mozaik Community Malang Dalam Pentas Sastra Pertunjukan Hubbu Sebagai Pemusik Di Fss Tahun 2005. Joko Tarub Singgel Parent Di Fss 2007 Bersama Klinik Teater Stkw Surabaya Sebagai Aktor. Titik Akhir Pentas Adaptasi Novel Karya Harjono Ws Di Festival Seni Surabaya Bersama Komunitas Seni Ranggawarsita Sebagai Aktor Dan Sutradara Tahun 2011. Monolog Mata Merah Adaptasi Dari Karya Edgar Allan Poe Di Toku Buku Poetaka Rakjat Malang Tahun 2008. Monolog Revo-Lusi Di Warung Komika 2015 Dan Monolog Surat Dari Mei Di Acara Ham Warung Komika 2016. Pernah Berkalaborasi Musik Puisi Dengan Splendid Dialog Di Cak Durasim Membawakan Puisi-Puisi Pemenang Sayembara Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur Tahun 2014. Drama Musikal “Arok Dedes” Sebagai Sutradara Bersama Teater Muda Smk Muhammadiyah Dua Kota Malang Menjadi Delegasi Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur Di Lombok Tahun 2013.

Beberapa Tulisan Puisi, Esai Dan Cerpen Pernah Dimuat Di Harian Suara Pembaharuan, Harian Surya, Malangvoice.Com. Malang Post, Koran Pendidikan, Jawa Pos-Radar Malang, , Majalah Panji Balai-Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, Majalah Suluk Dewan Kesenian Jawa Timur, Dan Laman www.sastra-indonesia.com, www.pelangisastramalang.org
Sehari-Harinya Mengelola Toko Buku Griya Buku Pelangi, Penerbitan Pelangi Sastra Dan Menjadi Koordinator Komunitas Pelangi Sastra. Bisa dihubungi melaui WhatsApp 085855186629 atau surel: dennymizhar@gmail.Com

Mantra Sabuk Mangir dalam Kepercayaan Mistis Banyuwangi

Setiap daerah memiliki keunikan dan keragaman budaya yang membentuk identitasnya sendiri. Salah satu daerah yang memiliki keragaman budaya dan tradisi adalah Banyuwangi, kota yang terletak di ujung timur Pulau Jawa. Di antara keindahan alamnya yang menakjubkan, Banyuwangi juga dikenal sebagai tempat yang kaya akan kepercayaan dan praktik-praktik mistis. Salah satu aspek yang menonjol dari budaya Banyuwangi adalah kepercayaan masyarakat Osing terhadap kekuatan gaib, supernatural, dan magis.

Kehadiran budaya santet dan sihir di kalangan masyarakat Using sudah bukan lagi hal yang menghebohkan, tetapi lebih merupakan bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Mantra-mantra yang dipercayai memiliki kekuatan gaib masih digunakan dan diperdagangkan dalam konteks kehidupan sosial masyarakat Banyuwangi. Masyarakat Using, dengan khususnya, sering dipandang sebagai kelompok yang banyak mengandalkan hal-hal mistis dalam kehidupan mereka.

Sumber gambar: Kanal Youtube Sanggar Seni Lang Lang Buana (https://www.youtube.com/watch?v=Mm86yQ4QSFo)

Meskipun mayoritas masyarakat Banyuwangi memeluk agama Islam, kepercayaan akan hal-hal mistis masih tetap kuat. Bahkan, sebagian besar dari mereka yang mempercayai praktik-praktik ini adalah masyarakat Using. Mereka memandang santet dan sihir sebagai alat untuk melindungi diri dan mencapai tujuan tertentu dalam kehidupan mereka.

Namun demikian, tidak semua masyarakat Banyuwangi mempercayai hal-hal mistis ini. Ada juga yang menganggapnya sebagai tradisi dan kesenian yang harus dijaga. Masyarakat Banyuwangi, dengan beragam keyakinan dan pandangan tetap bekerja keras untuk menyikapi dan menghadapi kekuatan-kekuatan yang ada di sekitar mereka.

Salah satu contoh yang menonjol dari kepercayaan mistis di Banyuwangi adalah praktik mantra sabuk mangir. Mantra Sabuk Mangir ini diyakini memiliki kekuatan magis yang dihubungkan dengan desa Mangir di Rogojampi. Mantra tersebut dipercayai bahwa Sabuk Mangir digunakan oleh orang Mangir untuk melawan musuh-musuhnya, baik melawan secara fisik maupun non-fisik. Namun, terdapat pula sisi gelap dari praktik Sabuk Mangir ini yaitu ketika seseorang terkena mantra Sabuk Mangir akan berubah menjadi gila dan hanya dapat disembuhkan dengan kematian orang yang memberikan mantra tersebut. 

Dalam kesimpulannya, keberadaan praktik-praktik mistis di Banyuwangi menggambarkan kompleksitas budaya dan kepercayaan yang terus bertahan di tengah arus modernisasi. Meskipun dihadapkan dengan perubahan zaman, masyarakat Banyuwangi tetap teguh dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya mereka, termasuk kepercayaan dan praktik-praktik mistis yang telah mengakar dalam kehidupan mereka.***

Sumber: Dhani, Dayu Rahma, Vindy Berlian Awanada., & Santi Novitasari. (2019). “Resepsi Ikatan Keluarga Banyuwangi terhadap Mantra Sabuk Mangir”. Satwika, Jurnal Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial, 3(2).

https://ejournal.umm.ac.id/index.php/JICC/article/view/10243

Ongsrotan

Ongsrotan merupakan salah satu permainan khas Gresik yang kini sudah jarang ditemui. Permainan yang konon banyak dimainkan di kawasan Kota Lama Gresik itu sudah dikenal sejak era 1960-an. Biasanya, permainan ongsrotan bersamaan dengan mainan patil lele, jumpritan dan dromulen.

Permainan ongsrotan biasanya dimainkan saat malam hari. Biasanya dimainkan saat malam bulan Purnama.  Atau istilahnya dikenal dengan permainan padang bulan. Yakni ketika bulan mengalami fase sempurna dan cahayanya terang benderang atau disebut padang bulan. Saat padang bulan, anak perempuan baik masih kecil dan remaja memainkan dolanan tersebut dengan suka cita. Mereka menikmati permainan dengan keindahan cahaya bulan Purnama.

Konon, alat yang digunakan yakni pecahan lempengan genting atau ubin. Kemudian, tanah digaris sebagai pembatas permainan. Anak-anak langsung bermain dengan lembengan genting atau ubin dengan melemparnya masuk ke dapan kotak pembatas ongsrotan.

Dalam permainan ongsrotan ini, jumlah pemain tidak dibatasi. Hanya, jumlah pemain seharusnya genap dan berpasangan. Meski yang menang maupun kalah tidak mendapat hadiah, atau hukuman, namun dolanan itu melatih kebersamaan, ketangkasan, keseimbangan fisik.

 

sumber: https://radargresik.jawapos.com/lifestyle/83937574/ongsrotan-dolanan-gresik-di-atas-ubin-dimainkan-saat-padang-bulan