Jembatan Kata: Menghubungkan Kearifan Lokal dengan Panggung Global melalui Bacaan Berkualitas (Muchammad Aldian Asmaradana dan Jesica Maranatha Virgin)

Indonesia berdiri megah di atas keragaman suku, budaya, bahasa, dan adat istiadat yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Hal ini menggambarkan bahwa keragaman adalah identitas bangsa yang tak ternilai harganya. Keragaman itu tumbuh subur dalam berbagai lini kehidupan, bagai bunga yang bermekaran menghiasi rindangnya pepohonan. Berbagai tradisi, norma, nilai, dan bahasa yang diwariskan secara turun-temurun menjadi bukti bahwa keragaman adalah nafas kehidupan masyarakat Indonesia. Bahasa misalnya, merupakan sarana untuk menyatukan pemahaman masyarakat Indonesia yang memiliki beraneka ragam bahasa. Berdasarkan hasil pemetaan bahasa yang dilakukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada tahun 2019, terdapat 718 bahasa yang dituturkan di hampir 2.560 daerah pengamatan di seluruh Indonesia. Keragaman bahasa ini bagaikan kaca yang memantulkan binar tak ternilai yang harus tetap dijaga kelestariannya. Sebab bahasa bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga sarana pelestarian kearifan lokal sebagai sumber kekayaan budaya bangsa.

Semakin bias batas antarnegara di era globalisasi ini seringkali menghadapkan keberagaman bahasa dengan tantangan yang tiada henti. Oleh karena itu, bahasa sebagai pondasi identitas juga berperan sebagai sarana pelestarian budaya bangsa yang harus memainkan perannya secara optimal. Tak hanya berfungsi sebagai pelestari budaya, tetapi juga sebagai perantara yang menghubungkan Indonesia dengan panggung dunia. Hal tersebut tak boleh hanya dipandang sebagai tantangan yang menyulitkan, tetapi harus dimaknai sebagai kesempatan yang tak boleh dilewatkan. International Decade of Indigenous Languages (IDIL) merupakan wadah yang diinisiasi oleh Unesco untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dunia terhadap pelestarian, revitalisasi, dan promosi bahasa lokal. Melalui IDIL kita mendapat kesempatan untuk terhubung dengan panggung global melalui keragaman bahasa daerah yang ada di Indonesia. Kesempatan yang diprakarsai oleh UNESCO sejak tahun 2022 ini, dapat mengoptimalkan fungsi bahasa dalam membuanakan kearifan lokal di era yang serba modern. Dengan pendokumentasian bahasa daerah dan penyusunan literatur berbahasa daerah dalam semangat yang digelorakan oleh IDIL ini, tantangan yang dihadapi bahasa daerah sebab mulai terlupakan di tengah perkembangan zaman, dapat diatasi.

Selain bahasa daerah, bahasa Indonesia sebagai katalisator keberagaman bahasa juga memiliki kedudukan esensial untuk menghubungkan kearifan lokal menuju panggung dunia. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia adalah lambang persatuan yang tak tergantikan. Bahasa Indonesia bagai benang merah yang mengikat setiap butir keragaman yang tersebar di penjuru nusantara. Fungsinya sebagai lingua franca, menjadikan bahasa Indonesia sebagai intrumen interaksi antarmasyarakat yang beragam dan sarana untuk menciptakan harmoni dalam kebhinnekaan.  Sebagai bahasa resmi negara yang ditetapkan melalui Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, bahasa Indonesia memiliki akar yang kuat pada bahasa-bahasa daerah yang begitu kaya. Kosakata dari bahasa Jawa, Madura, Sunda, Minangkabau, dan bahasa daerah lain mengalir deras dalam tubuh Bahasa Indonesia, menjadikannya cerminan keanekaragaman linguistik dalam negeri. Hal ini berarti bahwa ketika kita mengusung bahasa Indonesia ke panggung global, kemewahan bahasa daerah yang berperan sebagai pondasi juga akan terangkat. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa diplomasi bahasa bukan hanya upaya untuk mempromosikan bahasa Indonesia, tetapi juga sebuah perayaan atas tersohornya kekayaan budaya daerah di kancah dunia.

Hal ini selaras dengan salah satu dari tiga program prioritas Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yaitu internasionalisasi bahasa Indonesia. Contoh konkritnya melalui program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). Melalui program ini, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa berupaya membangun sebuah jalan bagi bahasa Indonesia menuju hati penutur asing agar tertarik untuk memelajarinya. Dalam upayanya menjadikan bahasa Indonesia sebagai gerbang bagi dunia untuk menyelami kekayaan Indonesia yang tak terhingga, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa berusaha untuk menjadikan nilai-nilai kearifan lokal sebagai riasan yang mempercantik diplomasi bahasa. BIPA tak hanya mengajak pemelajarnya untuk memelajari tata bahasa dan kosakata, tapi juga membawa pemelajarnya menyelam hingga ke lapisan terdalam budaya dan kearifan lokal yang terkandung dalam setiap kata. Setelah mengikuti program ini, pemelajar BIPA akan membawa serta sepotong kecil Indonesia dalam diri mereka, pemahaman dan apresiasi mereka terhadap bahasa Indonesia ke negara asalnya sehingga menciptakan sebuah koneksi global yang begitu sempurna.

Koneksi global yang erat tersebut menambah harum citra Indonesia di mata dunia. Sebab ketika lebih banyak masyarakat dunia mengenal dan memelajari bahasa Indonesia, maka makin banyak pula orang yang akan menghargai kekayaan budaya dan kearifan lokal di dalamnya. Dengan demikian, Indonesia dapat menempati posisi penyebar sekaligus penjaga budaya yang kaya di kancah internasional. Berbagai upaya persuasif kepada penutur asing agar terus memelajari bahasa Indonesia harus senantiasa digencarkan. Salah satu caranya yakni melalui penguatan peran Kelompok Kepakaran dan Layanan Profesional (KKLP) Penerjemahan. Peran mereka dalam menghubungkan kearifan lokal dengan dunia internasional melalui seni menyampaikan pesan dalam nuansa keindahahan budaya, menjadi ujung tombak diplomasi bahasa. Sebagai contoh, dalam penyusunan buku-buku berkualitas dengan tema kearifan lokal Indonesia sebagai rujukan pembelajaran BIPA. KKLP Penerjemahan memegang peran penting untuk menciptakan sudut pandang unik terhadap unsur-unsur sains, teknologi, teknik, seni, dan matematika dalam kearifan lokal yang ditulis dalam bentuk cerita anak dwibahasa sehingga lebih mudah diterima oleh pembaca internasional. Dengan demikian, sumber bacaan yang dihasilkan bukan hanya sekadar wacana hampa, melainkan menjadi sarana menyampaikan esensi kearifan lokal untuk menyentuh hati setiap pembaca di seluruh belahan dunia.

Guna menyebarluaskan produk penerjemahan yang berupa bacaan berkualitas, kolaborasi dengan berbagai platform digital bertaraf internasional dan menciptakan platform penyebarluasan bacaan berkualitas merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menjalin kolaborasi dengan Global Digital Library (GDL), Let’s Read Asia, dan Storyweaver serta menciptakan sebuah platform bernama Penjaring (Penerjemahan Daring) untuk meningkatkan aksesibilitas bacaan berkualitas bagi pembaca internasional. Kolaborasi ini menciptakan sebuah wadah untuk menyalurkan kekayaan literatur dalam bahasa daerah dan bahasa Indonesia pada taraf internasional. Melalui inisiatif ini, karya-karya yang mengandung kearifan lokal dapat didokumentasikan dengan cermat sehingga menjadikan literatur Indonesia tidak lagi terkekang batas geografis. Platform-platform ini membuka peluang bagi karya sastra, cerita rakyat, dan pengetahuan tradisional Indonesia untuk terekam sebagai jejak Indonesia di lanskap literatur dunia. Pada Desember 2023, sebuah tonggak bersejarah terjadi ketika literatur yang memuat dua bahasa dari Jawa Timur yaitu bahasa Madura dan Jawa dialek Suroboyoan berhasil didokumentasikan di Global Digital Library (GDL). Pencapaian ini bukan hanya merupakan kemajuan dalam upaya melestarikan bahasa daerah, tetapi juga menegaskan komitmen Indonesia untuk memperkenalkan kekayaan linguistiknya kepada dunia.

Kolaborasi antara Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dengan berbagai platform digital bertaraf internasional tersebut telah menghasilkan dampak yang signifikan dalam mendokumentasikan dan mempromosikan bahasa Indonesia serta bahasa daerah. Namun, untuk memastikan keberlanjutan dan kesuksesan jangka panjang dari upaya ini, masih banyak langkah yang perlu dilakukan. Dalam rangka mendukung upaya tersebut, kami Duta Bahasa Jawa Timur mempersembahkan peran serta kami untuk menghadirkan sumber bacaan berkualitas yang memuat nilai-nilai kearifan lokal dari Provinsi Jawa Timur. Dalam inisiatif ini, kami telah menyusun sebuah antologi berjudul “Petualangan Dolemi & Citra” yang kaya akan kumpulan dongeng, legenda, mitos, dan cerita rakyat dari 38 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Selain dalam bentuk cetak, antologi ini juga kami adaptasi menjadi bentuk audio visual yang telah kami sebarluaskan melalui platform media sosial Instagram @dolemi.citra dengan tujuan untuk meningkatkan aksesibilitas bacaan bagi setiap pembaca di seluruh dunia. Melalui “Petualangan Dolemi dan Citra”, kami ingin menunjukkan bahwa belajar bahasa Indonesia bukan hanya tentang menguasai kata-kata, tetapi juga tentang memahami dan menghargai budaya yang menyertainya. Kami juga berharap Petualangan Dolemi dan Citra dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa sehingga dapat mudah diterima oleh pembaca di seluruh penjuru dunia.

Dengan terus menciptakan bacaan berkualitas dan memperkuat upaya internasionalisasi bahasa, Indonesia dapat memastikan bahwa kearifan lokal tidak hanya sekadar hidup, tetapi juga dikenal dan dihargai oleh masyarakat global. Bacaan berkualitas sebagai jembatan kata, akan terus menghubungkan kita dengan dunia yang lebih luas, menyebarkan pesan-pesan kearifan lokal ke pentas global, dan membangun jembatan antara tradisi dan inovasi. Dengan demikian, Indonesia akan mampu memperkuat posisi bahasa dan budaya lokal di tataran global.

 

 

 

 

 

 

 

Tradisi Gembyangan Waranggana

Tradisi Gembyangan Waranggana merupakan prosesi wisuda bagi penari tayub yang masih dilaksanakan di Dusun Ngrajek, Desa Sambirejo, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Prosesi pengukuhan dilakukan kepada para penari tayub yang sudah lulus dan mampu menari mengiringi 10 gending Jawa sebelum siap bekerja sebagai penari tayub. Tradisi ini dilakukan setahun sekali pada hari Jumat pahing di bulan besar penanggalan Jawa.

Dalam ritual pengukuhan, pemangku adat memercikkan air suci yang berasal dari air terjun Sedudo dan air sumur Punden Mbah Ageng dari dalam kendi kepada para calon waranggana. Air suci tersebut kemudian juga dituangkan ke selembar daun pisang yang telah dipegang oleh masing-masing calon waranggana untuk diminum. Air suci ini diyakini mengandung berkah bagi para calon waranggana.

Ritual dilanjutkan dengan merobek daun waru yang dipercaya bisa mendatangkan berkah. Lantas pemangku adat memasangkan tusuk konde pada sanggul para calon waranggana yang dilanjutkan dengan menari mengitari sumur Punden Mbah Ageng, karena dipercaya bisa memancarkan cahaya bagi para calon waranggana.

Tradisi yang dilakukan sejak tahun 1934 ini telah dicatat sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) Kemendikbud pada 1 Januari 2013 dalam kategori seni pertunjukan dari Provinsi Jatim.

 

Sumber : bacaini.id, digilib.isi.ac.id, warisanbudaya.kemdikbud.go.id, diolah

Foto : indonesia-tourism.com / inews.co.id 

 

S Yoga

Penyair asal Ngawi, Sumaryoga atau biasa disapa S Yoga merupakan alumnus Sosiologi FISIP Universitas Airlangga (Unair), Surabaya. Puisi, cerpen, dan esainya  tersebar di media massa lokal dan nasional, majalah dan jurnal. Puisi dan cerpennya juga termuat di berbagai antologi bersama. Kumpulan puisinya berjudul Pelancong meraih penghargaan Anugerah Sutasoma Tahun 2022 dari Balai Bahasa Jawa Timur untuk kategori karya sastra berbahasa Indonesia terbaik. Setahun sebelumnya, S Yoga  meraih juara pertama Sayembara Penulisan Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) tahun 2021. Pada tahun 2009, ia menerima Penghargaan Seniman Jawa Timur dan menjadi anggota Komite Sastra DKJT periode tahun 2008-2013. 

Dilahirkan di Purworejo, Jawa Tengah, S Yoga sudah suka pada dunia tulis menulis dan sastra sejak SD. Namun, baru di bangku SMA, ia bersama teman-temannya berani mempublikasikan karyanya dalam antologi Kering-Shanira, kumpulan cerpen dan puisi SMAN I Purworejo tahun 1988. Saat menjadi mahasiswa, ia tetap menekuni penulisan puisi, cerpen, artikel sastra, budaya dan sosial-politik sembari banyak terlibat di dunia teater. Di antaranya, bersama Teater Puska Unair dan Bengkel Muda Surabaya. Kini tinggal dan bekerja di Ngawi, sebagai konsultan pemberdayaan masyarakat.

Sumber : syoga.blogspot.com
Foto : borobudurwriters.id

A. Muttaqin

Dilahirkan di Desa Wotan, Panceng, Gresik, 11 Maret 1983, A. Muttaqin mulai mengibarkan karyanya di kancah nasional sejak tahun 2007. Kemampuannya meramu dengan lincah dan renyah atas segala anasir alam, flora, fauna, dan mitologi menjadi kelebihannya.

Sejak menjadi penyair, karya alumnus Universitas Negeri Surabaya ini telah dimuat berbagai media massa. Selain di majalah sastra Horison, puisinya juga dimuat di harian Kompas, Surya, Suara Merdeka, Suara Indonesia, Surabaya Post dan Koran Tempo.

Puisinya juga masuk ke dalam antologi Album Tanah Logam 2006, Pelayaran Bunga (Festival Cak Durasim 2007), 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008 (Anugerah Sastra Pena Kencana), Rumah Pasir (Festival Seni Surabaya 2008), 60 Puisi Indonesia Terbaik 2009, Traversing/Merandai (2009), dan Forum Sastra Indonesia Hari Ini (2010).

Tahun 2009, dia mengikuti “International Literary Biennale” dan “Ubud Writers and Readers Festival”.

Ia telah menerbitkan tiga buku kumpulan puisi. Antara lain, Pembuangan Phoenix (Amper Media & Buku Bianglala, 2010), Tetralogi Kerucut (Quntum, 2014), dan Dari Tukang Kayu Sampai Tarekat Lembu (2016). Pada tahun 2016, cerpennya “Di Bawah Naungan Nur, Dalam Selingkar Telur” memenangkan penulisan Hari Santri Nasional yang diadakan Kementerian Agama. Selain menulis, ia juga tekun merawat bonsai, perkutut dan kura-kura.

sumber : basabasi.co foto: gresiksatu.com

Adat Adu Tumper, Adat Perkawinan Masyarakat Osing, Banyuwangi

Di kalangan masyarakat Osing, Banyuwangi, ada larangan melakukan perkawinan antara pengantin yang sama-sama berstatus sebagai anak sulung. Jika larangan ini diabaikan, maka pasangan pengantin baru itu diyakini akan mengalami banyak halangan dan rintangan dalam mengarungi kehidupan. Namun, jika karena sesuatu hal, perkawinan oleh sepasang pengantin sesama anak sulung tetap harus dilakukan, maka ritual Adu Tumper harus dilakukan dalam adat perkawinan. Tujuannya untuk mencegah kesialan serta membawa berkah pada kehidupan rumah tangga pengantin baru.

Ritual ini dilaksanakan dengan cara ditemukannya dua batang kayu bakar berbara api yang lantas disiram dengan air suci berisi kembang setaman atau kembang tujuh rupa untuk mematikan apinya. Adat ini melambangkan suatu harapan semua keluarga untuk menghilangkan atau mendinginkan suasana yang sama kerasnya di antara mempelai agar selalu mengalami ketenangan, kebahagiaan dan keselamatan dalam mengarungi hidup barunya kelak. (*)

 

Ujub-Ujub: Tradisi Lisan Perpaduan Budaya dan Religiusitas di Malang 

Di Desa Karangrejo, tradisi Islam-Kejawen tidak hanya mewarnai perayaan keagamaan, tetapi juga meresap dalam setiap momen penting kehidupan, mulai dari kelahiran, pernikahan, hingga kematian. Dalam setiap tahap siklus hidup ini, terjalin perpaduan harmonis antara mantra-mantra Jawa yang sarat makna dan doa-doa Islam yang penuh pengharapan.

Ketika menyambut sang buah hati, lantunan mantra ujub-ujub menggema diiringi doa keselamatan dan keberkahan. Sesepuh desa, dengan kebijaksanaan dan keilmuannya, melantunkan mantra ini sebagai ungkapan rasa syukur dan permohonan perlindungan bagi sang bayi. Mantra ini bukan hanya tradisi, tetapi juga warisan budaya yang sarat makna, mengandung harapan agar sang anak tumbuh sehat, cerdas, dan berakhlak mulia.

Tradisi pernikahan di Desa Karangrejo tidak hanya dimeriahkan dengan pesta, tetapi juga diwarnai dengan doa dan ritual adat yang sakral. Doa-doa dipanjatkan untuk memohon kelancaran pernikahan dan kebahagiaan bagi pasangan pengantin. Ritual adat seperti siraman dan sungkeman pun dilangsungkan sebagai wujud penghormatan kepada orang tua dan leluhur. Perpaduan ritual Islam dan adat Jawa ini menjadi simbol harmoni dan keseimbangan dalam kehidupan berumah tangga.

Ketika meninggal, tradisi Islam-Kejawen kembali mengantarkan sang individu menuju peristirahatan terakhir. Doa-doa dipanjatkan untuk mengantarkan arwah menuju alam baka, diiringi dengan tradisi adat seperti memandikan jenazah dan memakamkannya dengan tata cara yang sesuai. Tradisi ini menjadi pengingat bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan, dan setiap individu harus mempersiapkan diri untuk menghadapinya dengan penuh keimanan dan ketawakalan.

Sumber: Kanal Youtube Jelajah Kampung Indonesia (https://www.youtube.com/watch?v=fnFujBxKjzA

Keunikan tradisi Islam-Kejawen di Desa Karangrejo ini bukan hanya tentang ritual dan mantra, tetapi juga tentang nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Tradisi ini adalah cerminan dari rasa syukur, penghormatan, dan keyakinan masyarakat terhadap Tuhan dan leluhur. Di tengah gempuran modernisasi, tradisi ini menjadi pengingat penting bagi generasi muda untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya dan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur.

Tradisi Islam-Kejawen di Desa Karangrejo bukan sekadar kebiasaan, tetapi juga identitas dan spiritualitas yang dihayati oleh masyarakat. Tradisi ini menjadi perekat rasa persaudaraan dan gotong royong, serta pengingat akan akar budaya dan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur.

Setiap ritual dan tradisi, terdapat dua figur penting yang memimpin jalannya acara. Imam tahlilan bertugas memimpin doa dan pembacaan Al-Quran, sedangkan tetua desa bertugas memimpin ritual adat dan melantunkan mantra-mantra Jawa. Kolaborasi ini menunjukkan perpaduan harmonis antara nilai-nilai Islam dan tradisi Jawa yang dipegang teguh oleh masyarakat Desa Karangrejo.

Tradisi Islam-Kejawen di Desa Karangrejo bukan hanya warisan budaya, tetapi juga pedoman hidup yang dihayati oleh masyarakat. Tradisi ini menjadi perekat identitas dan spiritualitas yang memperkuat rasa persaudaraan dan gotong royong antar warga. Di tengah gempuran modernisasi, tradisi ini menjadi pengingat akan akar budaya dan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur. (Mon)

Sumber: Qori’ah Alfi, Wafi Azhar., & Rifqi Muhammad Zidni Arsyada. (2018). “Sastra Lisan Mantra Ujub-Ujub: Makna dan Fungsinya dalam Masyarakat Desa Karangrejo Kabupaten Malang Jawa Timur”. WACANA: Jurnal Bahasa, Seni, dan Pengajaran, 2(2), 1—15. https://ojs.unpkediri.ac.id/index.php/bind/article/view/12133.

Sariban

Sariban adalah salah satu penerima penghargaan Sutasoma dengan kategori Guru Berdedikasi. Kepala Balai Bahasa Jawa Timur Umi Kulsum menyampaikan, Sariban layak mendapat Anugerah Sutasoma karena kiprahnya menyatukan dan memperkuat jaringan komunitas literasi di Tuban, bahkan hingga Bojonegoro dan Lamongan. Dengan ilmu dan profesinya sebagai guru, beliau sudah berbuat banyak dalam merawat bahasa, ucapnya ketika ditemui di kantornya di Sidoarjo pekan lalu.

Guru bahasa dan sastra Indonesia SMP Negeri 2 Tuban itu mendapat penghargaan prestisius tersebut bersama enam orang lain yang merupakan sastrawan dan guru bahasa. Sariban dinilai sebagai guru yang telah memajukan literasi di daerahnya, Tuban.

Tumbuh suburnya kultur kehidupan literasi di Tuban hingga saat ini tidak bisa dilepaskan dari jaringan ekosistem jamaah literasi yang dibangun Sariban. Ketika masih menjadi guru di SMPN 1 Widang, Tuban (sejak 1997), bapak tiga anak tersebut mengajak guru dan siswa aktif menulis. Para siswa diwajibkan mengikuti kegiatan rutin membaca di perpustakaan. Setiap siswa lantas diminta menulis rangkuman hasil membaca. Rangkuman terbaik dibacakan pada upacara bendera hari Senin.

Demikian pula ketika Sariban berpindah tugas mengajar di SMPN 2 Tuban sejak awal 2020. Mantan copyeditor koran Karya Darma itu juga mendorong kegiatan literasi siswa dan guru. Hasilnya, lahir buku kumpulan puisi siswa dan buku kumpulan esai guru. Bahkan, karya siswa diterbitkan secara periodik.

Di tempat mengajar baru tersebut pula, alumnus Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu bertemu dengan guru muda Hadi Wibowo. Dia pun menularkan virus menulis kepada temannya tersebut. Alhamdulillah, dari kerja keras Pak Hadi, SMPN 2 Tuban dinobatkan sebagai Sekolah Literasi Nasional 2020 dan 2021 oleh lembaga Nyalanesia Surakarta yang bekerja sama dengan Perpustakaan Nasional, ungkapnya.

Kiprah Sariban tidak terbatas pada tugasnya sebagai guru. Dia juga aktif menghidupkan kegiatan di sejumlah komunitas bahasa dan sastra. Pria yang juga pernah menjadi editor di penerbit Bina Ilmu, Surabaya, itu tercatat sebagai Dewan Pakar Ikatan Guru Indonesia (IGI) Cabang Tuban, pembina organisasi sosial Ikatan Guru Penulis Tuban (IGPT), koordinator Jamaah Literasi Tuban (JLT), serta pembina Yayasan Pemuda Plumpang Bergerak Foundation.

IGI Tuban telah menghasilkan buku kumpulan esai yang berisi pikiran-pikiran besar untuk kemajuan pendidikan. Adapun melalui IGPT, Sariban rutin memberikan motivasi dan materi penulisan kepada lebih dari 100 anggota.

Guru yang rutin menulis artikel di Jawa Pos Radar Bromo dan Jawa Pos Radar Tuban tersebut mengungkapkan, denyut nadi bahasa dan sastra mengalir beriringan dengan kesenian dan budaya. Karena itu, dirinya juga dekat dengan organisasi kesenian dan kebudayaan seperti Lembaga Kebudayaan Tuban serta Dewan Kesenian Tuban.

 

Tari Ghambhu

Tari Ghambhu merupakan tarian dari Kabupaten Sumenep dan merupakan tari berpasangan yang bertemakan keprajuritan. Secara koreografi, tari Ghambhu termasuk dalam tari putra berpasangan yang dapat dibawakan dalam bentuk duet (2 penari) atau kelompok dengan komposisi penari berjumlah genap: 4 penari-6 penari, dan seterusnya.  Tari Ghambhu secara historis belum ada data tertulis, namun berdasarkan bentuk dan tema tari secara visual diduga merupakan “tranformasi dari tradisi olah keprajuritan para prajurit-prajurit kraton pada masa lampau” Menurut beberapa sumber di antaranya pelaku seni tari Ghambhu sudah generasi kelima atau sekitar 200-an tahun yang lalu sudah ada tari Ghambhu. Pada waktu itu ditampilkan tari Ghambhu Taming yang diundang ke keraton sebelum prajurit berangkat perang dan setelah pulang perang.

Tari Ghambhu di wilayah Sumenep ada tiga versi atau gaya, yaitu:

1.   Tari Ghambhu Rangsang dari Batuputih

Tari Ghambhu Rangsang menggambarkan kebangkitan kembali rasa keberanian seorang satria (lelaki), yang diekspresikan melalui gerak bersolek

2.   Tari Ghambhu Taming dari komunitas Rukun Perawas Desa Slopeng.

Kemunculan tari Ghambhu Taming tidak lepas dari perkembangan Topeng Dhalang di Sumenep. Bila dilihat dari perkembangan tari Ghambhu yang kemudian ditarik ke belakang dengan perhitungan yang dimulai dari proses perkembangan Topeng Dhalang yaitu sejak Moncari kemudian Mistahab, Lubanjir (Juserep) hingga Supakra maka tari Ghambhu Taming diperkirakan berkembang sejak abad ke XVII (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990/ 1991: 8).

3.   Tari Ghambhu Keris versi keraton.

Tari Ghambhu Kêrres merupakan tari Ghambhu versi keraton yang digubah oleh Taufiqurachman (Almarhum). Tari Ghambhu Kêrres    diprakarsai oleh seniman tari Sumenep Taufiqurachman pada tahun 1990-an. Taufiqurachman merupakan salah seorang seniman tari dari Kabupaten Sumenep yang pernah menempuh pendidikan seni di ASRI dan di PLT Bagong Kussudiarjo Yogyakarta.

Kemudian dalam perkembangannya ada Tari Ghambhu Pamungkas sebuah tarian pembuka dalam pertunjukan Topeng Dhalang yang secara koreografi merupakan tari kelompok putra berpasangan dengan tema prajurit berlatih perang. Tari Ghambhu Pamungkas yang sekarang sering tampil dalam acara pembuka pertunjukan Topeng Dhalang adalah hasil gubahan atau kreativitas pelaku seni dari Komunitas atau Grup Rukun Pewaras Desa Slopeng Kecamatan Dasuk.

Tari Ghambhu Sumenep, selain memiliki nilai historis, fungsi ritual dan hiburan juga memiliki makna filosofis dan nilai budaya. Makna filosofis pada tari Ghambhu yang menggambarkan adegan perang yang  41  diawali sembah untuk mempersiapkan diri dan mohon doa kepada Tuhan agar memperoleh kesuksesan. Properti menggunakan keris bukan sebagai senjata tetapi sebagai pusaka sehingga dikeluarkan bilamana perlu atau terpaksa sebagai senjata. Kemudian busana atau kostum yang digunakan menggambarkan tokoh pewayangan, seperti gerak alus karakter Arjuna, sedangkan gerak kasar tokoh-tokoh jahat. Dalam kostum terdapat ukiran pada masa Majapahit berupa daun/ tumbuhan bahwa menggambarkan tumbuh itu hidup.

Tari Ghambhu memiliki nilai budaya, di antaranya nilai estetis, heroik dan spiritual. Nilai estetis atau keindahan dapat dilihat dari pola gerak yang memadukan gerak alus dan gagahan sehingga menjadi gerak dinamis yang mengandung makna simbolis. Keindahan ini dapat dilihat gerak tari yang halus sampai gerak yang dinamis. Nilai heroik, karena tema tari Ghambhu menggambarkan keprajuritan yang menampilkan nilai-nilai keberanian dan ketangkasan sebagai seorang prajurit keraton. Tari Gambhu sebagai sarana pembentuk karakter jiwa kesatria. Pembentukan karakter ini bisa melalui kedisiplinan, beolah fisik dan berolah batin dan ini akan membentuk karakter penarinya. sedangkan nilai spiritual dapat dilihat pada pola gerak prinsip keblat papat lima pancer yang merupakan arah mata angin yang diidentikan dengan sedulur (saudara) di empat wilayah ikut menjaga diri manusia, arah timur dilambangkan warna putih artinya suci, arah selatan warna merah artinya membimbing diri manusia melakukan perbuatan, arah barat warna kuning artinya cahaya manusia, dan arah utara warna hitam artinya sifat kegelapan. Keempat zat tersebut senantiasa ikut mendampingi diri manusia dalam mengalami kehidupan, sedangkan lima pancer, pusatnya (pancer) ada di dalam diri masing-masing penari.

sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/home/explore/cultural/29947

Jejak Spiritual Upacara Hodo di Dukuh Pariopo

Di Dukuh Pariopo, Desa Bantal, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo, tersimpan sebuah tradisi leluhur yang sarat makna. Tradisi tersebut adalah Ritual Hodo, yang dilakukan setiap tahun sekitar bulan September hingga Oktober. Upacara Hodo merupakan sebuah ritual kesuburan yang diyakini mampu mendatangkan hujan dan memberi berkah bagi tanah mereka.

Bagi masyarakat Dukuh Pariopo yang mayoritas berprofesi sebagai petani, kekeringan adalah momok yang tidak terelakkan. Hujan bagaikan napas kehidupan bagi tanaman dan kelangsungan hidup mereka. Upacara Hodo menjadi sebuah manifestasi rasa syukur dan permohonan kepada Sang Pencipta agar tanah mereka kembali subur dan panen melimpah.

Lebih dari sekadar ritual meminta hujan, Upacara Hodo menyimpan nilai-nilai luhur yang diwariskan turun-temurun. Nilai spiritualnya terpancar dari keyakinan masyarakat terhadap kekuatan ritual ini sebagai sarana memohon kesuburan kepada Tuhan. Diiringi alunan musik tradisional, lantunan doa dan tarian suci, mereka memanjatkan harapan dan kerendahan hati di hadapan Sang Pencipta.

 

Sumber gambar: Kanal Youtube Titik Terang (https://www.youtube.com/watch?v=mBmaIHQjaok

Keindahan tradisi ini tidak hanya terletak pada makna spiritualnya, tetapi juga pada kekayaan budayanya. Upacara Hodo merupakan perpaduan berbagai seni tradisional, mulai dari seni musik, tari, resitasi, hingga seni rupa. Perpaduan ini mencerminkan kekayaan budaya masyarakat Dukuh Pariopo yang patut dilestarikan.

Nilai historis pun melekat erat dalam Upacara Hodo. Ritual ini telah dijalankan secara turun-temurun selama berabad-abad, menjadi bukti nyata ketahanan tradisi di tengah gempuran modernisasi. Kegigihan masyarakat Dukuh Pariopo dalam menjaga kelestarian budayanya patut diacungi jempol.

Rangkaian Upacara Hodo diawali dengan prosesi ‘pesucen’, yaitu tahap penyucian diri untuk mensucikan hati dan jiwa para peserta ritual. Kemudian, rangkaian upacara dilanjutkan dengan ‘bersemedi’, momen khusyuk untuk memohon petunjuk dan kekuatan dari Tuhan. Tahap selanjutnya adalah ‘berkurban’, sebagai wujud rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan. Puncak ritual Hodo diwarnai dengan lantunan doa, tarian, dan musik tradisional yang diiringi dengan penuh penghayatan.

Upacara Hodo bukan sekadar ritual tolak hujan, tetapi juga sebuah cerminan budaya, rasa syukur, dan permohonan masyarakat Dukuh Pariopo kepada Sang Pencipta. Tradisi ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga kelestarian budaya dan warisan leluhur di tengah arus modernisasi. Keindahan dan makna Upacara Hodo menjadi daya tarik tersendiri, mengundang wisatawan untuk datang dan merasakan atmosfer sakral serta keunikan tradisi masyarakat Dukuh Pariopo.

Upacara Hodo adalah warisan budaya yang tidak ternilai harganya. Melestarikannya bukan hanya tanggung jawab masyarakat Dukuh Pariopo, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia. Dengan mengenali dan menghargai tradisi ini, kita turut menjaga kekayaan budaya bangsa dan melestarikan kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun.

Sumber: Hidayatullah, Panakajaya. (2015). “Upacara Seni Hodo sebagai Ritual Kesuburan Masyarakat Dukuh Pariopo Situbondo”. International Conference on Nusantara (ICNP), 459—471. https://osf.io/preprints/inarxiv/e9nk6 

Kearifan Lokal dan Tradisi Lisan Jumat Legi di Desa Kemlagi

Di Desa Kemlagi, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, masih lestari tradisi Malam Jumat Legi yang sarat makna spiritual dan kearifan lokal. Tradisi ini diwarnai dengan berbagai amalan ibadah yang dipadukan dengan nilai-nilai Islam Nahdlatul Ulama (NU), mencerminkan akulturasi budaya dan agama yang unik.

Bagi masyarakat Kemlagi, Jumat Legi dianggap sebagai waktu istimewa untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Di malam ini, mereka melakukan berbagai ritual dan amalan ibadah dengan harapan mendapatkan berkah, menolak bala, dan mencapai hajat yang diinginkan. Tradisi ini diwarnai dengan perpaduan tradisi Jawa dan Islam NU, menghasilkan ritual yang khas dan sarat makna.

Sumber gambar: Kanal Youtube Senandika (https://www.youtube.com/watch?v=qBv4DdoPlxQ

Sejarah dan Makna Tradisi Malam Jumat Legi

Akar tradisi Malam Jumat Legi di Kemlagi dapat ditelusuri hingga masa Kerajaan Majapahit. Pengaruh Hindu masih terasa dalam tradisi ini, seperti ritual Wasilah (mengirim doa kepada leluhur) dan Kenduri Sajen Sandingan (memberikan sajian makanan kepada arwah leluhur di perempatan jalan).

Namun, seiring masuknya Islam, tradisi ini mengalami transformasi. Para ulama NU mengadopsi tradisi lama dan memadukannya dengan nilai-nilai Islam. Wasilah diubah menjadi doa kepada para ulama dan leluhur yang telah meninggal, dan Kenduri Sajen Sandingan diubah menjadi sedekah kepada fakir miskin. Pembacaan mantra diganti dengan tausiyah dan pengajian.

Perpaduan Tradisi dan Islam Nahdlatul Ulama di Kemlagi

Tradisi Malam Jumat Legi di Kemlagi menjadi contoh akulturasi budaya dan agama yang harmonis. Tradisi Jawa yang sarat kearifan lokal dipadukan dengan nilai-nilai Islam NU, menghasilkan ritual yang bermakna dan sesuai dengan syariat Islam. Perpaduan ini terlihat jelas dalam beberapa ritual utama, yaitu:

  1. Wasilah: Doa dipanjatkan kepada para ulama dan leluhur yang telah meninggal, bukan lagi kepada arwah leluhur secara langsung.
  2. Kenduri Sajen Sandingan: Makanan yang disajikan dibagikan kepada fakir miskin dan warga yang hadir, bukan lagi sebagai sesaji untuk arwah leluhur.
  3. Pembacaan Mantra: Diganti dengan tausiyah dan pengajian yang berisi nilai-nilai Islam dan ajaran moral.

Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Jumat legi di antaranya ada ketaqwaan kepada Tuhan; memanjatkan doa kepada leluhur; kebersamaan dan solidaritas; serta pelestarian budaya.

Sumber: Shofiyuddin & Martinus Legowo. (2016). “Fenomenologi Ritual Malam Jumat Legi Warga Nahdlatul Ulama Desa Kemlagi, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto”. Paradigma, 4(3), 1—11. https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/paradigma/article/view/16904

Gambar: Kanal Youtube Senandika (https://www.youtube.com/watch?v=qBv4DdoPlxQ)