Zoya Herawati, lahir di kota Gresik, 21 Agustus 1956. Ayahnya seorang mantan militer dan direktur sebuah perusahaan swasta di Surabaya, bernama M. Gesang Ide Santosa dan ibunya bernama Dewi Djulaikah. Zoya merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Dia menikah dengan Mardani seorang pekerja swasta pada tanggal 14 Februari 1980. Bersama Mardani ia mempunyai dua anak, yakni Lantip Anjar Wiguna (1981) dan Qur’aini Yuniar Rahmadani (1985). Pendidikan Zoya Herawati, sejak SD, SMP dan SMA diselesaikan di kota Surabaya. Selesai SMA ia melanjutkan kuliah di Fakultas Sastra Inggris, Universitas Ukraina, USSR (Rusia), dengan gelar Sarjana Sastra Inggris. Pendidikan informal yang pernah ditempuh tentang Marxisme dan Leninisme di Rusia. Dalam perjalanan hidupnya, Zoya Herawati mengaku pernah menjadi reporter/wartawan di Yogyakarta, pada tahun 1976 hingga 1979. Selain itu, Zoya lebih banyak menulis lepas di berbagai koran dan majalah, baik esai, cerpen, novel, dan puisi. Tahun 1989, Zoya Herawati, menjadi guru bidang studi bahasa Inggris, di sekolah swasta di kota Surabaya. Pekerjaan guru ini ditekuninya hingga sekarang ini. Zoya mulai gemar menulis karya sastra sejak di SMA, naskah pertama-nya dimuat di majalah Tribune Jakarta, tahun 1972. Dalam perjalanan menulis karya sastra, Zoya telah banyak mendapatkan penghargaan, antara lain Juara I Lomba Penulisan Esai SLTA (1972), Juara I Lomba Cerpen Dewan Kesenian Surabaya (DKS) dan Majalah Liberty (1982), Juara IV Lomba Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1998, dan juara I Buku Terbaik versi IKAPI (2000). Karya-karya perempuan yang sekarang tinggal di Wisma Tengger XIV/12 Surabaya ini di antaranya adalah The Black September 1965 (Shopisticated— Grecee Yunani, 1985), Jamaloke, novel (Jawa Pos, 1993), Rumah di Jantung Kota (novel, Surabaya, 1994), Malcom X, (sebuah otobiografi, Risalah Gusti Surabaya, 1995), Prosesi (Balai Pustaka, 1998), Rabiah AlAdawiyah (Risalah Gusti Surabaya, 1999), Dunia Perempuan, (kumpulan cerpen, Grasindo Jakarta, 2000), Kembang Setaman (kumpulan cerpen, Titie Said Jakarta, 2001), Warisan, (novel, Grasindo Jakarta, 2005), dan Derak-derak, (novel, Ombak Yogya, 2005).
Kategori: Artikel
Artikel
Istana Gebang atau Ndalem Gebang
Istana Gebang atau Ndalem Gebang dulunya merupakan rumah kedua orang tua Bung Karno Sang tokoh Proklamator sekaligus presiden RI pertama Republik Indonesia. Terletak di Jalan Sultan Agung No.59 Kelurahan Sananwetan, sekitar 1 kilometer dari PIPP dan 2 kilometer dari stasiun Kota Blitar.Kondisi Istana Gebang masih dalam keadaan seperti aslinya.
Wisatawan dapat melihat interior dan furniture asli, lukisan dan foto sejarah Bung Karno. Istana Gebang juga mempunyai area parkir yang aman dan cukup luas, gedung kesenian, toilet umum serta depot makan dan minum disekitarnya. Baru-baru ini Istana Gebang mendapatkan hadiah patung Bung Karno ukuran besar kisaran 2 meter dari seniman Jakarta.
Sumber: https://pariwisata.visitblitar.com/destinasi-pariwisata/detail/istana-gebang-atau-ndalem-gebang
Yunani
Yunani tergolong perempuan pengarang sastra Jawa yang produktif. Cerita bersambungnya telah dimuat di berbagai media massa berbahasa Jawa dan tidak sedikit yang sudah terbit dalam bentuk buku. Yunani lahir di Tuban tanggal 2 Februari 1946 dengan nama Sri Wahyuni. Ia adalah anak kelima yang lahir dari pasangan R. Ajeng Soewarni dan R. Soediyono yang berasal dari Solo. Pendidikan formalnya adalah SR (1952— 1958), SMP (1958—1961), SMA (1961—1964) yang ditempuh di kota kelahirannya, Tuban. Setelah lulus dari SMA, ia melanjutkan ke pendidikan tinggi (keguruan) di kota Bojonegoro. Ia mengajar di SMP Nusantara Cepu tahun 1965— 1966. Tahun 1966, ia hijrah ke Surabaya dan menggeluti dunia swasta selama setahun. Sejak tahun 1980, ia bekerja tetap sebagai wartawan dan redaktur mingguan bahasa Jawa, Jaya Baya, hingga sekarang. Ia menikah dengan Ismail Hadi Nugraha dan dikarunia tiga orang anak. Media yang pertama kali memuat tulisannya adalah Jaya Baya. Kemampuannya di bidang menulis diakuinya sebagai karunia Allah dan bakat alam. Kedua faktor itu dikembangkan dengan baik dan dalam perjalanan proses kreatifnya, ia mengaku mendapat bantuan dari Balai Bahasa Yogyakarta dan media berbahasa Jawa yang telah menerbitkan karya-karyanya. Pada umumnya, karyakaryanya berupa novel, antara lain Dokter Wulandari (1998, Balai Pustaka), Katresnan Lingsir Sore (2000, Citra Jaya Murti Surabaya), Rumpile Ati Wanita, Ayu Sri Rahayu, Sedhulur Lanang, Sumilaking Pedhut Klawu, Prahara I, Prahara II, Pengarep-Arep Sacuwil ing Tlatah Mencil, Emas Putih, Mega Klawu Ing Wulan Penganten, Cemara-Cemara Puskesma, Sumiliring Angin Padesan, Kadho Kagem Ibu, Rengat-Rengat Ing Kaca Bening, Bebanten, Ibu, Kadurakan ing Sekar Putih, Rembulan ing Dhuwur Kutha, Putu, dan Angin Saka Paran. Adapun karyanya yang ditulis dalam bahasa Indonesia, antara lain berupa cerita bersambung adalah “Menggapai Cinta yang Tertinggal” (Surabaya Post, 1992). Selain itu, ada juga karya berbahasa Indonesia berupa cerita untuk anak-anak seperti Panji Kelaras, Perjalanan ke Timur, Kartini Kecil yang diterbitkan oleh Citra Jaya Murti Surabaya. Adapun karyanya yang berupa geguritan dan terbit dalam antologi bersama, antara lain: (1) “Iki Tresnaku”, “Jiarah”, “Paceklik”, dalam Negeri BayangBayang (Festival Seni Surabaya, 1996); (2) “Bedugul”, “Ubud”, “Jojogan”, “Tuban”, “Kanggo Daddy”, “Kanggo Priya Kang Nyundhukake Kembang Mlati ing Rambutku”, “Wis Ora Ana Maneh Kanggo Kowe”, “Chrysant”, “Bougenville”, dan “Amarillys” dalam Kalung Barleyan (LPPM IKIP Surabaya); dan, (3) “Memori” dalam Drona Gugat (Bukan Panitia Parade Seni WR Supratman, 1995).
Mamaca, Perpaduan Seni Pertunjukan dan Tradisi Lisan di Pamekasan
Seni pertunjukaan tradisi lisan yang sehat pada hakikatnya ditandai oleh hubungan yang saling memerlukan antara seniman, pengamat seni, dan masyarakat penikmat. Namun, dalam kenyataannya, selain tidak mampu mempertahankan pelaku dan penikmatnya, seni tradisi kurang memiliki peluang untuk memberikan peningkatan yang bernilai ekonomi. Akibatnya perkembangan yang diharapkan menjadi terbatas, baik dalam hal perkembangan wujud dan wilayah persebaran. Tradisi sastra lisan Mamaca merupakan kesenian tradisional Madura yang memiliki keunikan dalam pertunjukannya. Dalam penyajiannya, sastra lisan Mamaca diiringi oleh seperangkat gamelan dan suling. Selain itu, keunikan dalam kesenian Mamaca ini terdapat pada bahasa yang digunakan, yakni bahasa Jawa arab yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Madura. Dalam kepercayaan masyarakat Madura, tradisi sastra lisan Mamaca berfungsi sebagai sarana ritual sebagai penghilang sial dalam menjalani kehidupan. Di samping itu, kesenian Mamaca juga dijadikan sebagai sarana hiburan.
Sumber gambar: Kanal Youtube Langit Biru Production (https://www.youtube.com/watch?v=mIaNpufg1ig)
Kabupaten Pamekasan merupakan kabupaten yang terletak di tengah Pulau Madura. Kabupaten ini berbatasan dengan laut Jawa di utara, Selat Madura di selatan, Kabupaten Sampang di barat, dan Kabupaten Sumenep di timur. Kabupaten Pamekasan terdiri atas 13 Kecamatan, yang dibagi lagi atas 178 Desa dan 11 Kelurahan. Pusat Pemerintahannya berada di Kecamatan Pamekasan. Pamekasan memiliki banyak kesenian tradisional, diantaranya adalah Karapan sape, Topeng Getak, Sape Sono’, Saronen, Tari Rondhing dan beberapa kesenian lainnya. Karakteristik kesenian Madura cenderung bertemakan ceria serta bernuansa rancak sesuai dengan watak masyarakatnya sendiri yang tegas. Kesenian merupakan bagian dari kebudayaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat, baik masyarakat kota maupun desa. Kebudayaan masyarakat selalu berkembang seiring dengan berjalannya waktu.
Berlawanan dengan fenomena penyusutan wujud, pelaku, maupun penonton, masih dijumpai pendukung seni tradisi yang tampak tegar dan mampu bergerak lebih leluasa, seperti halnya seni tradisi lisan Mamaca yang ada di Kabupaten Pamekasan, Madura. Seni tradisi menjadi sarana hiburan, penopang ekonomi, dan bermuatan norma serta nilai pendidikan. Kesenian Mamaca dapat dikategorikan sebagai seni pertunjukan tradisional yang berbentuk sastra lisan, karena pada pertunjukannya menggunakan tutur kata yang dilagukan.
Di Kabupaten Pamekasan, kesenian ini sudah jarang terlihat dan hampir punah, hal tersebut dikarenakan kurangnya minat para generasi muda terhadap kesenian tradisional sehingga tidak ada reorganisasi dalam upaya melestarikan kesenian Mamaca ini. Disamping itu kesenian Mamaca dalam upacara ritual Rokat Pandhâbâ sudah jarang dilakukan, hal ini dikarenakan semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat di Pamekasan terhadap mitos-mitos yang berkembang pada jaman dulu.
Tradisi sastra lisan Mamaca masyarakat Madura khususnya di Pamekasan memiliki garis genealogis dengan tradisi Macapat masyarakat Jawa, yang sama-sama berupa tembang berbahasa Jawa, meskipun dengan nuansa yang berbeda, sesuai pengaruh kultur daerah masing-masing. Meskipun berbentuk tembang berbahasa Jawa tingkat tinggi (krama inggil), tradisi Mamaca tetap tumbuh subur dalam masyarakat Madura yang berbasis pesantren dan pedesaan, karena disamping masyarakat Madura memiliki jiwa estetika yang tinggi, nilai-nilai yang tersirat dalam aneka tembang Mamaca, sejalan dengan nilai-nilai yang menjadi basis kultur setempat. Baik di pesantren, di pedesaan dan di tembang-tembang Mamaca, yang berperan sebagai juru dakwah dan kreator kesenian adalah orang-orang yang sama yakni para wali dan kiai.
Para Mubaligh terdahulu menciptakan tembang-tembang kreatif dan inovatif yang berisi doktrin agama, puji-pujian kepada Allah, anjuran dan ajakan untuk mencintai ilmu pengetahuan. Melalui tembang Mamaca tersebut, setiap manusia diketuk hatinya untuk lebih memahami dan mendalami makna hidup. Seni Mamaca memiliki dua unsur penting, yakni seni sastra dan seni suara (vokal).
Berbagai jenis tembang Mamaca mengandung makna yang mendalam, seperti Artate (Dangdanggula) yang bermakna pengharapan yang manis, atau dedaunan untuk pajangan (perhiasan/dekorasi), Maskumambang yang artinya prihatin, sangat susah, Senom yang artinya tumbuhnya daun pohon Asam (daun pohon asam yang masih muda), sangat bagus digunakan untuk menyampaikan nasehat dan berbagai hal kebatinan yang butuh banyak peribahasa, Kinanti (Salanget) yang artinya sangat dekat, digunakan untuk nasehat, kerukunan, Mejil yang artinya keluar, digunakan untuk menghadapi pertikaian atau perselisihan, Durma yang maknanya macan, digunakan ketika kita begitu bernafsu beringas, sedih, dan lain-lain. Pucung yang artinya perumpamaan, bagus digunakan ketika tebak-tebakan, dan Kasmaran bermakna heran.***
Sumber: Rifqi, Faizur. (2018). “Tradisi Sastra Lisan Mamaca di Kabupaten Pamekasan”. GÊTÊR: Jurnal Seni Drama, Tari, dan Musik, 1(1), 39—45.
https://journal.unesa.ac.id/index.php/geter/article/view/3924.
Jaranan Jowo
Jaranan Jowo Kediri merupakan khasanah seni budaya lokal yang penuh pelajaran dan kesederhanaan, Kesenian Jaranan Jowo wujud kesenian yang ditampilkan oleh kaum sudra (petani) pada kala itu untuk bersyukur kepada Gusti Allah (Tuhan Yang Maha Esa) di dalamnya pertunjukan Jaranan Jowo didapat alur cerita “Bathari Sri dan Sedana’’ sedangkan menunggangi kuda sebagai perlambang bahwa kaum petani harus sabar dan bisa mengendalikan hawa nafsu (Kuda sebagai lambang hewan mitologi nafsu).
Kesenian Jaranan Jowo biasanya ditampilkan pada saat panen raya padi, jagung dan palawija, serta di awal panen hingga proses penggilingan tebu (buka giling) pabrik gula. Selain itu juga digunakan untuk ritual pemenuhan nadzar/ ujar dan merti desa atau bersih desa.
Jaranan Jowo diawali dengan acara ritual kirim do’a kepada leluhur dalam hal ini merupakan kita menghormati dan berterimakasih atas peninggalan dari leluhur yang berupa ilmu dan harta benda, serta berterimakasih kepada Gusti Allah ( Tuhan Yang Maha Esa ) dan diakhiri dengan makan bersama.
Adegan awal adalah Tayuhan / Tayuman dalam adegan ini penari dengan mengenakan kostum sederhana dan menaiki kuda kepang mengelilingi beberapa peralatan yang disakralkan dan sesaji serta Bopo yang duduk di tengah seraya berdo’a untuk keselamatan dan kesuksesan pertunjukan.
Adegan kedua adalah pola tari berjajar mengisahkan para petani yang berjajar menanam dan menggarap lahan yang teratur, berlanjut dengan adegan berhadapan dan saling beradu kekuatan, di adegan ini menunjukkan betapa usaha yang keras akan membuahkan hasil yang maksimal yang mana juga di lambangkan perjuangan Bhatari Sri Sedana dalam mempertahankan benih untuk di tanam dan menghasilkan bahan pangan.
Adegan ketiga adalah adegan Sadranan Naga Basuki yang mana dilambangkan sebagai mitologi pelindung, penjaga kesuburan dan kecukupan air, dalam adegan ini di akhiri dengan kesurupan yang mana sebagai sarana jembatan untuk berkomunikasi dengan leluhur. Dalam adegan ini pula seringkali para penonton yang percaya akan kehadiran leluhur biasanya juga meminta petunjuk atas kegundahan, biasanya pemain caplokan ( Naga ) kerasukan leluhur atau Danhyang, pemain inilah yang menjadi sarana komunikasi leluhur.
Adegan keempat yaitu adegan rampokan celeng srenggi yang diwujudkan munculnya penari dengan membawa gambar atau wayang berwujud celeng atau babi hutan yang dipercaya sebagai hama atau hewan pengganggu tanaman petani yang mana akan diserang oleh para petani yang diperankan oleh pasukan berkuda dan tetek melek yang di perankan dengan sosok laki – laki dan perempuan sebagai perwujudan Bhatari Sri dan Sedana. Setelah adegan keempat ini, maka diadakan selamatan sebagai puncak pertunjukan sebagai ucapan syukur kepada Gusti Allah ( Tuhan Yang Maha Esa ) atas hasil panen yang berlimpah.
Peralatan yang digunakan dalam pertunjukan Jaranan Jowo :
- Barong Caplokan ( Naga )
- Tetek Melek ( Bhatari Sri dan Sedana )
- Kuda Lumping
- Celengan ( Kala Srenggi )
- Pecut
Peralatan Gamelan
– 2 Kendang ( Sabet dan Bem )
– 1 Bonang Laras 1 slendro
– 1 Kempul Laras 1 Slendro
– Selompret laras Pelog Barang
– 3 Angklung Bambu Laras 1,3, dan 5 Pelog
Sesaji Jaranan Jowo
Sesaji Dalam :
- 1 ingkung
- 1 Sego golong
- 1 Takir Kulupan
- 1 Takir Srundeng
- 1 Takir Sayur padamara
- 1 Butir Telur
- 1 Takir Cok Bakal
- 1 Gelas Kopi
- 1 Gelas air Putih
- 1 Bungkus kembang telon
- 1 Lampu Ublik / damar Kambang
- 1 Sundukan atau sate Jerohan Ayam
- 1 Sego brok / nasi putih yang di letakan di Loyang
- 1 Bungkus Kinangan
Sesaji Luar :
- 1 Takir Cok Bakal
- 1 Bungkus Kinangan
- 1 Tumpeng lengkap
- 5 Bungkus Jajan pasar
- 5 Piring jenang sengkolo
- 1 Bungkus karak
- 1 Panggang Ingkung
- 5 Bungkus kembang telon
- 1 Takir Kemenyan
- 1 Botol badek ketan hitam dan putih
- 1 Wadah rujak legi
- 1 bungkus kembang kenanga
- 1 Biji Kelapa
- 1 Biji segogolong
- 1 Takir jenang katul
- 2 Sisir pisang raja
- 1 Ekor Ayam Ulung ulung
- 1 Sundukan atau sate jerohan ayam
- 1 tikar andong
- 1 gula jawa setangkep
- 1 biji ketela
- 5 Botol minyak wangi
- 1 Kaca
- 1 Kendi Berisi air
- 1 Rokok Klobot
Catatan Khusus
- Ukuran tinggi kepang 90 Cm di hitung dari mulut sampai kepala
- Ukuran Panjang kepang 1,25 m
- Warna kepang hitam berambut ijuk
- Tetek melek berupa topeng Wanita dan laki-laki
- Barong Cepaplok warna merah, kelambu kain goni, dan bertali
- Ikat kepala warna coklat
- Celana yang digunakan penari kuda lumping warna hitam berseleret merah
- Jarik bermotif sido mukti, sidoluhur berdasar warna putih
- Jarik untuk Barong Cepaplok bermotif parang
- Pakaian untuk Bopo warna hitam, celana hitam, berikat kepala hitam.
Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/home/explore/cultural/30023
Wina Bojonegoro
Perempuan bernama asli Endang Winarti ini biasa memakai nama pena Wina Bojonegoro dalam tulisannya. Ia lahir di Bojonegoro 10 Agustus 1962 dan bekerja sebagai sekretaris di PT. Telkom Surabaya yang beralamat di Jalan Ketintang 156 Surabaya 60231. Karya-karya Wina yang pernah dimuat, antara lain “Orang-orang Tersayang” (majalah Pertiwi, 1988), “Takdir” (Surabaya Post, 1988), “Surat” (Jawa Pos, 1999), “Namaku Giri” (Surabaya Post, 2001), “Miss Markonah” (Jawa Pos, 2003), “Arimbi Vs Basuki” (Jawa Pos, 2002), “Musim Semi di Yunani” (Jawa Pos, 2002), “Perempuan Yang Menanti” (Jawa Pos, 2001), “Perjalanan Terakhir” (Jawa Pos, 2004). Selain itu, dia juga membuat buku kumpulan cerpen Episode Surat Kejantanan (Logung Pustaka, 2005 ). Wina juga pernah menjadi penyunting laman internal Telkom, aktris terbaik dalam Lomba Drama Lima Kota (LDLK) 1988, dan pendiri sekolah keterampilan “Putri Kinasih”.
Monumen Kapal Selam
Monumen Kapal Selam, atau disingkat Monkasel, adalah sebuah museum kapal selam yang terdapat di Embong Kaliasin, Genteng, Surabaya. Terletak di pusat kota yaitu di Jalan Pemuda, tepat di sebelah Plaza Surabaya, dan terdapat pintu akses untuk mengakses mal dari dalam monumen.
Indonesia dikenal dengan negara maritim yang begitu luas. Monumen Kapal Selam (Monkasel) Surabaya, yaitu sebuah kapal yang berada di darat yang difungsikan sebagai bangunan museum sekaligus wisata. Monumen ini sebenarnya peninggalan yang masih ada dan dinikmati sampai sekarang yakni kapal selam KRI Pasopati 410, salah satu armada Angkatan Laut Republik Indonesia buatan Uni Soviet tahun 1952. Kapal selam ini pernah dilibatkan dalam Pertempuran Laut Aru untuk membebaskan Irian Barat dari pendudukan Belanda.
Kapal selam ini kemudian dibawa ke darat dan dijadikan monumen untuk memperingati keberanian pahlawan Indonesia. Monkasel ini dijadikan salah satu tempat wisata di surabaya yang unik juga edukatif[1], karena selain interior kapal selam, di sini juga diadakan pemutaran film tentang proses peperangan yang terjadi di Laut Aru. Jika ingin mengunjungi tempat wisata ini maka akan ditemani oleh seorang pemandu lokal yang terdapat di sana.
Ada cerita unik di balik hadirnya monumen Kapal Selam ini. Pada suatu malam Pak Drajat Budiyanto yang merupakan mantan KKM KRI Pasopati 410 (buatan Rusia) ini dan juga mantan KKM KRI Cakra 401 (buatan Jerman Barat), bermimpi diperintahkan oleh KSAL pada waktu itu untuk membawa kapal selam ini melayari Kali Mas. Ternyata mimpi itu menjadi kenyataan. Dia ditugaskan untuk memajang kapal selam di samping Surabaya Plaza. Caranya dengan memotong kapal selam ini menjadi beberapa bagian, kemudian diangkut ke darat, dan dirangkai dan disambung kembali menjadi kapal selam yang utuh.
Widodo Basuki
Widodo Basuki tergolong pengarang sastra Jawa yang produktif. Karya-karyanya telah terbit di berbagai media berbahasa Jawa, seperti Penjebar Semangat dan Jaya Baya. Meskipun lebih dikenal sebagai penyair, Widodo Basuki juga menulis cerpen, esai, drama, cerita bersambung, dan cerita rakyat untuk anak-anak. Ia sering diundang untuk membacakan puisi-puisinya, terlibat dalam pementasan drama, dan menjadi pembicara dalam berbagai seminar dan sarasehan. Dalam tulisannya, kadang-kadang ia menggunakan nama Liesty W, W. Basuki, dan Widodo B. Widodo Basuki lahir di Trenggalek tanggal 18 Juli 1967. Ia anak ke-5 dari delapan bersaudara. Ibunya bernama Asilah dan ayahnya bernama S. Muchtarom. Ia berasal dari etnis Jawa dan beragama Islam. Widodo Basuki menempuh pendidikan di SD Tawing I (1974—1980), SMP Munungan (1980—1983), dan SMAN I Trenggalek (1983—1986). Setelah lulus dari SMAN I Trenggalek, ia meneruskan ke STK “Wilwatikta” Surabaya (1986—1990) dan lulus dari IKIP PGRI Surabaya (1994—1997) jurusan seni rupa. Ia menikah tahun 1995 dengan Dra. Sri Sulistiani, M.Pd. dosen Bahasa dan Sastra Jawa di Universitas Negeri Surabaya. Ia mempunyai dua anak, yaitu Abhimata Zuhra Pramudita (1997) dan Gupita Zahra Laksmi Mahardhika (1999). Sebelum menjadi wartawan dan redaktur majalah Jayabaya dari tahun 1993 sampai sekarang, Widodo Basuki pernah bekerja sebagai desainer taman PT. Moer Sociates (1991—1992), guru menggambar SD (1987—1991), dan penulis lepas (1987—1993). Karyanya yang telah diterbitkan dalam bentuk buku, baik sebagai antologi sendiri maupun bersama, antara lain: (1) Gurit Panantang (Bengkel Muda Surabaya, 1993, pernah dibaca di DKS dan aula Deppen Blitar tahun 1993); (2) “Layang Saka Tlatah Wetan”, “Manjing Djroning Dhisket”, “Rembulane Dahpaser” “Tembang ing Sungapan”, “Pitakon” dalam Pisungsung: Antologi Guntan 6 Penyair (1995); (3) “Episode Sawise Iku” dalam Drona Gugat (Bukan Panitia Parade Seni WR Supratman, 1995); (4) Layang Saka Paran; (5) “Jagir Wonokromo Surup Surya” “Layang Saka Tlatah Sumbreng” “Pithakon ing Pethit Ombak” dalam Kabar Saka Bendulmrisi: Kumpulan Guritan (PPSJS, 2001); (5) “Nyuwun Praune Anakku”, “Kadurakan ing Kidul Srengenge” dalam Omonga Apa Wae: Kumpulan Puisi dan Guritan (Festival Cak Durasim, 2000); (6) “Tembang Lemah Ngare”, “Bebanteng Majapahit”, “Kadurakan ing Kidung Srengenge”, dalam Negeri Bayang-Bayang (Festival Seni Surabaya, 1996); (7) “Megatruh ing Tengah Wengi”, “Nalika Bende Tinabuh” dalam Prosesi Kolaborasi Ruwatan Balai Pemuda (Seni Multimedia Komunitas Seniman Surabaya, 1998); (8) “Mbatik”, “Kadurakan ing Kedhung Srengenge”, “Medhitasi Godhong Gedhang: Pelukis Agus Koching” dalam Gerimis Lembayung: Puisi, Essay, dan Geguritan; (9) Kitir Tengah Wengi (terbitan sendiri dan dibaca pada acara Semaan Sastra di Galeri DKS); (10) Layang Saka Tlatah Wetan: Antologi Guritan (terbitan sendiri dan dibaca pada Malam Pagelaran dan Diskusi Sastra Daerah di DKJ TIM Jakarta); (11) “Megatruh Tengah Wengi”, “Ublik ing Trotoar” “O, Jogrok”, “Bambar Bunelan” dalam Tes….: Antologi Puisi Penyair Jawa Timur (Taman Budaya Jawa Timur, 1987); (12) Liong, Tembang Prapatan (Taman Budaya Yogyakarta, 1999); (13) Wulan Sandhuwuring Geni (Yayasan Obor Jakarta, 1996); (14) Bandha Warisan, Antologi Dongeng Jawa (SSJY-LKBS, 2001), Bandha Pusaka: Antologi Crita Cekak (SSJY-LKBS, 2001), dan Ayang-Ayang Wewayangan (PPSJS, 1992). Selain itu ada tulisantulisannya yang lain, seperti (1) Menak Sopal dan Buaya Putih (berupa cerita untuk anak, PT Citra Jaya Murni, 1997), (2) Orang-orang Berpeci (berupa naskah drama untuk Bengkel Muda Surabaya tahun 1996), (3) Geger Kali Rungkut (berupa naskah wayang kentrung bersama-sama dengan Bengkel Muda Surabaya tahun 1998) dan tulisan-tulisannya yang berupa cerpen, cerita bersambung, cerita anak-anak, cerita wayang, artikel sastra tersebar di berbagai media, seperti Jaya Baya, Panjebar Semangat, Surabaya Post, Jawa Pos, Surya. Karya-karyanya sering mendapat penghargaan. Penghargaan paling bergengsi yang pernah diterima adalah dari Yayasan Rancage untuk kumpulan puisinya yang berjudul Layang Saka Paran pada tahun 2000. Puisinya yang berjudul “Guritan Pari Sawali” pernah terpilih sebagai juara I versi Kanwil Depdikbud Jawa Timur tahun 1996. Cerpen berjudul “Cak Dul lan Maimanah” adalah karya cerpennya yang memenangkan juara harapan II dari Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) tahun 1998. Cerpennya yang berjudul “Supinah” terpilih sebagai sepuluh besar dalam lomba penulisan cerpen berbahasa Jawa Taman Budaya Yogyakarta tahun 1998 dan dimasukkan dalam antologi Liong: Tembang Prapatan (1999). “Njaga Banyune Sendang” juara I Naskah Dongeng, Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta dan Lembaga Kajian Budaya Surakarta tahun 2002. “Kudhi Bujel” juara harapan I lomba menulis cerpen Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta dan Lembaga Kajian Budaya Surakarta 2002). “Lumantar Koperasi, Ndadekake Wong Cilik Bisa Gumuyu” juara I Jurnalistik Perkope-rasian, Depkop-Deppen Jawa Timur tahun 1993. Pada tanggal 24 Juni 1999, ia diundang untuk membacakan puisinya dalam acara gelar sastra daerah oleh Dewan Kesenian Jakarta bertempat di Taman Ismail Marzuki. Tahun 2001, ia menjadi pemakalah dalam Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta dan diundang pada Kongres Internasional Budaya Sunda di Bandung serta terlibat dalam penerjemahan teks klasik dan pesisiran naskah Jawa Lama, Serat Babad Madura. Widodo juga aktif di seni teater Bengkel Muda Surabaya, Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, Kelompok Seni Rupa Bermain, mengisi fragmen bahasa Jawa di TVRI, siaran pembinaan bahasa dan sastra Jawa di RRI Surabaya bersama Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, dan mengikuti pameran lukisan dan keramikIa pernah menduduki posisi sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Surabaya periode tahun 1998—2003. Di samping itu, ia berusaha memasukkan sastra Jawa dalam kentrung atau naskah drama yang dipentaskan bersama temantemannya di Bengkel Muda Surabaya. Untuk berbagai aktivitas dan perhatiannya pada sastra Jawa modern di Jawa Timur, Widodo Basuki mendapat perhatian dan apresiasi dari Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur berupa Penghargaan Seniman Jawa Timur pada tahun 2004.
Mitos dan Tradisi Larangan Pernikahan Etan-Kulon Kali Brantas di Kediri
Mitos telah menjadi bagian integral dari budaya manusia sejak zaman dahulu, dengan banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah keinginan untuk mengatur perilaku manusia, yang seringkali dilakukan melalui cerita-cerita yang memiliki daya tarik emosional dan pengaruh yang kuat. Di samping itu, kecenderungan masyarakat untuk menyukai tutur tinular dan kesulitan untuk menyampaikan pesan secara langsung juga turut berperan dalam pembentukan mitos. Salah satu contoh yang menarik adalah mitos yang berkembang di Jawa, terutama di sekitar Kediri pada masa Kerajaan Kadiri dan sekitarnya.
Sejak zaman dahulu, masyarakat lokal di wilayah tersebut mempercayai mitos tentang larangan pernikahan antara individu yang berasal dari wilayah barat dan timur Sungai Brantas. Meskipun zaman telah berubah dan hidup modern telah mengubah banyak aspek kehidupan, masih banyak masyarakat di Kediri dan sekitarnya yang tetap mempercayai mitos tersebut. Namun, kepercayaan pada mitos ini tidaklah homogen di masyarakat, melainkan menimbulkan konflik antara orang-orang yang percaya dan yang tidak percaya pada keberadaan mitos tersebut.
Sumber gambar: Kanal Youtube Polresta Kediri (https://www.youtube.com/watch?v=ScJq1l1BSww)
Selain itu, kesalahan dalam berpikir juga dapat memperdalam perpecahan dalam masyarakat, karena pandangan yang berbeda dalam melihat dan menginterpretasikan mitos. Beberapa masyarakat mungkin menganggap bahwa mempercayai mitos tersebut dianggap tabu atau tidak sesuai dengan keyakinan agama mereka, sementara yang lain tetap teguh pada kepercayaan tersebut dengan alasan turun-temurun dan nilai-nilai yang diwariskan dari nenek moyang mereka.
Kisah tentang Raden Panji Asmara Bangun dan Dewi Sekartaji menjadi salah satu kisah yang sangat memengaruhi pandangan masyarakat di wilayah tersebut, terutama terkait dengan tradisi pernikahan. Populernya cerita ini diambil dari cerita Panji, yaitu kisah cinta Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji yang diibaratkan dengan Tarian Kethek Ogleng.
Tradisi larangan menikah antara orang dari wilayah timur dan barat Sungai Brantas diyakini memiliki kaitan erat dengan kisah cinta mereka yang dipisahkan oleh status kerajaan yang berselisih. Untuk menyelesaikan gejolak yang timbul akibat pernikahan mereka, masyarakat setempat mengembangkan berbagai ritual, seperti penyembelihan ayam dan melemparkannya ke Sungai Brantas saat rombongan pengantin melewati jembatan.
Meskipun zaman terus berubah dan pola pikir manusia semakin modern, kepercayaan pada mitos dan tradisi tetap bertahan kuat di masyarakat. Sebagian masyarakat masih melakukan ritual-ritual yang diwariskan dari generasi sebelumnya untuk menghilangkan hal-hal yang dianggap tidak diinginkan. Namun demikian, pemahaman mengenai mitos ini semakin tercampur dengan nilai-nilai religius, dengan pandangan yang beragam tergantung pada sudut pandang agama masing-masing.
Melalui penelusuran terhadap mitos dan tradisi yang berkembang di seputar Sungai Brantas, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan dan tradisi ini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya dan sejarah masyarakat lokal di wilayah Kediri. Meskipun terkadang dianggap sebagai mitos belaka, keberadaan mitos ini tetap membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat, serta menjadi bagian penting dari identitas dan warisan budaya mereka.***
Sumber: Ulum, Syahrul & Umi Colbyatul Khasanah. (2022). “Mitos Larangan Menikah Etan-Kulon Kali Brantas Kediri: Tinjauan Strukturalisme Lévi-Strauss”. Realita: Jurnal Penelitian dan Kebudayaan Islam, 20(02), 235—252.
http://jurnallppm.iainkediri.ac.id/index.php/realita/article/view/130
Tari Singo Ulung
Tari Singo Ulung adalah kesenian tradisional khas dari Bondowoso yang para penarinya menggunakan kostum dan menari layaknya seekor singa. Tari ini sekilas mirip dengan kesenian barongsai, tetapi yang membedakan ialah kostum yang digunakan lebih sederhana dan tema yang dibawakan juga jauh berbeda. Tari Singo Ulung ini bercerita tentang asal mula bedirinya Desa Blimbing, sebuah desa di daerah Bondowoso, Jawa Timur. Diiringi dengan alat musik gamelan, tari Singo Ulung
Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/home/explore/cultural/441