CERITA PANJI DAN TARI KETHEK OGLENG

Kethek Ogleng adalah sebuah tarian khas Pacitan yang gerakannya menirukan tingkah laku kethek (kera). Tarian Kethek Ogleng ini berasal dari sebuah cerita Kerajaan Jenggala dan Kediri, yang biasa disebut dengan Cerita Panji.Tarian ini telah ditarikan oleh masyarakat Desa Tokawi, Kecamatan Nawangan selama bertahun-tahun. Biasanya tarian ini dipentaskan pada saat masyarakat setempat menyelenggarakan hajatan.

Diceritakan bahwa Raja Jenggala mempunyai seorang puteri bernama Dewi Sekartaji dan Kerajaan Kediri mempunyai seorang putera bernama Raden Panji Asmorobangun. Kedua insan ini saling mencintai dan bercita-cita ingin membangun kehidupan yang harmonis dalam sebuah keluarga. Hal ini membuat keduanya tidak dapat dipisahkan.

Namun, Raja Jenggala, ayahanda Dewi Sekartaji, mempunyai keinginan untuk menikahkan Dewi Sekartaji dengan pria pilihannya. Ketika Dewi Sekartaji tahu akan dinikahkan dengan laki-laki pilihan ayahandanya-yang tentunya tidak dia cintai, dia diam-diam meninggalkan Kerajaan Jenggala tanpa sepengetahuan sang ayahanda dan seluruh orang di kerajaan. Malam hari, sang putri berangkat bersama beberapa dayang menuju ke arah barat.

Di Kerajaan Kediri, Panji Asmorobangun yang mendengar berita menghilangnya Dewi Sekartaji memutuskan untuk nekad mencari Dewi Sekartaji, sang kekasih. Dalam perjalanan, Panji Asmorobangun singgah di rumah seorang pendeta. Di sana Panji diberi wejangan agar pergi ke arah barat dan dia harus menyamar menjadi kera. Sedangkan di lain pihak, Dewi Sekartaji ternyata telah menyamar menjadi Endang Rara Tompe.

Setelah Endang Rara Tompe naik turun gunung, akhirnya rombongan Endang Rara Tompe, yang sebenarnya Dewi Sekartaji, beristirahat di suatu daerah dan memutuskan untuk menetap di sana. Ternyata kethek penjelmaan Panji Amorobangun juga tinggal tidak jauh dari pondok Endang Rara Tompe. Maka, bersahabatlah mereka berdua. Meski tinggal berdekatan dan bersahabat, Endang Rara Tompe tidak mengetahui jika kethek yang menjadi sahabatnya adalah Panji Asmorobangun, sang kekasih, begitu juga dengan Panji Asmorobangun, dia tidak mengetahui jika Endang Rara Tompe adalah Dewi Sekartaji yang selama ini dia cari. Setelah persahabatan antara Endang Rara Tompe dan kethek terjalin begitu kuatnya, mereka berdua membuka rahasia masing-masing. Endang Rara Tompe merubah bentuknya menjadi Dewi Sekartaji, begitu juga dengan kethek sahabat Endang Rara Tompe. Kethek tersebut merubah dirinya menjadi Raden Panji Asmorobangun. Perjumpaan antara Dewi Sekartaji dan Raden Panji Asmorobangun diliputi perasaan haru sekaligus bahagia. Akhirnya, Dewi Sekartaji dan Raden Panji Asmorobangun sepakat kembali ke Kerajaan Jenggala untuk melangsungkan pernikahan. (MA)

*Libas Edisi Oktober 2019

Bonari Nabonenar

Bonari tergolong pengarang dwibahasa yang cukup produktif. Ia tidak hanya menulis puisi atau cerpen, tetapi juga artikel, esai, anekdot, dan novelet yang ditulis dengan menggunakan media bahasa Jawa dan Indonesia. Karya-karyanya dipublikasikan melalui media, seperti Panjebar Semangat, Jaya Baya, Merdeka, Bernas, Suara Merdeka, Wawasan, Surya, Jawa Pos, dan Surabaya Post. Bonari menganggap bahwa bahasa adalah alat yang dapat digunakan untuk mengekpresikan gagasannya.

Bonari dilahirkan di Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek pada tanggal 1 Januari 1964 dengan nama Bonari. Nabonenar adalah nama tambahan. Ayahnya bernama Sugimin dan ibunya bernama Insiyah. Bonari menikah dengan Sri Winarni, S.Pd. pada tahun 1994 dan dikaruniai seorang putri.

Dalam berkarya, Bonari sering menggunakan nama samaran, seperti Sriningtyastuti dan Nuning Ningtyas. Bonari menempuh pendidikan di SD Cakul I (1970—1976), SMP Berbantuan Panggul (1976—1979), SPG Sore di Trenggalek (1979—1982), dan IKIP Surabaya Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (1982—1987). Setelah lulus, bekal ilmu keguruan itu ia manfaatkan untuk bekerja sebagai guru tidak tetap di SMA Panggul, Trenggalek, pada tahun 1987—1989. Tahun 1992—1994, ia menjadi staf redaksi Tabloid Jawa Anyar. Tahun 1995—2000, ia bergabung dengan JPNN (Jawa Pos News Network) dan tahun 2000 ia menjadi redaktur tabloid X-file. Bersama dengan Leres Budi Santosa dan Arif Santosa, ia memprakarsai berdirinya Lembaga Kajian Budaya Jawa Pos. Ia juga salah seorang penggagas Kongres Sastra Jawa (2001), Pengadilan Sastra Jawa (2002), dan Festival Sastra Buruh. Dalam organisasi ia juga aktif, seperti menjadi pengurus komunitas sastra Jawa Cantrik, ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) tahun (2004—2008), dan komite sastra Dewan Kesenian Jawa Timur (2003—2008). Pada tahun 2003, ia dikirim oleh Dewan Kesenian Jawa Timur mengikuti Pertemuan Sastrawan Nusantara XII di Singapura dan mengunjungi Dewan Bahasa di Malaysia. Tahun 2005, ia diundang untuk memberikan workshop penulisan bagi para pekerja rumah tangga (TKI) di University of Hong Kong di Kowloon dan sejak 2006 Bonari menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Peduli. Majalah ini diterbitkan secara terbatas untuk para pekerja diaspora asal Indonesia di Hong Kong.

Bonari sudah mulai menggemari kegiatan menulis sejak duduk di bangku sekolah dasar melalui pelajaran mengarang yang diberikan oleh gurunya. Sejak kecil ia gemar membaca. Bakatnya di bidang menulis mulai terasah dengan baik ketika duduk di bangku SPG karena mempunyai kesempatan  lebih banyak untuk membaca karya-karya para pengarang Indonesia dan bergaul dengan para pengarang sastra Jawa di Sanggar Sastra Triwida, Tulungagung. Karyanya yang pertama berupa puisi dan dimuat di majalah Taman Siswa Yogyakarta pada tahun 1981. Cerpennya yang berjudul “Klanthung Sastramindring” pernah mendapatkan hadiah sebagai Juara II lomba menulis crita cekak yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta bekerja sama dengan Dewan Kesenian Yogyakarta pada tahun 1991.  Tahun 2010, Bonari mendapatkan anugerah sastra Rancage untuk kategori JasaYang terbaru, pada tahun 2020, karya Bonari yang berjudul Gurit Panglipur mendapat penghargaan Anugerah Sutasoma yang diberikan oleh Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur untuk kategori Buku Sastra Berbahasa Daerah Terbaik.

Sebagai pengarang, Bonari cukup produktif menghasilkan dan memublikasikan karya-karyanya. Beberapa karya Bonari yang pernah dimuat dalam majalah, antara lain “Ombak Kuni”, “Kembang Kang Mekar ing Ketiga Aking” (JB, crita cekak, 1987),  “Pakeliran”, “Omah”, “Lakon” (JB, geguritan, 1987), “Wong Ayu lan Gedhang” (PS, crita cekak, 1990), “Ing Pangkone Sulastri” (MS, crita cekak, 1990), “Rembulan Tatu” (MS, geguritan, 1990),    “Kayu Pating Slekrah”   (DL, crita cekak, 1990), “Lambe” (JB, crita cekak, 1990), “Klantung Sastra-mindring”, “Guru: Kacatur Ngalor-ngidul” (PS, crita cekak, 1991), “Cendhela”, “Angin” (JB, crita cekak, 1991),   “Prahara”  (PS, crita cekak, 1992),  “Dheweke Teka”, “Candhi Wurung” (JB, geguritan, 1992), “Tembang Tangise Sinten” (Surabaya Post, geguritan, 1992), “Jaka Durung Duwe SIM” (JB, crita cekak,1992)., “Maling” (Jawa Anyar, crita cekak, 1994), dan “Ponorogo” (PS, geguritan, 1995).

Karya-karya Bonari juga ada yang diterbitkan dalam bentuk antologi bersama pengarang lain, seperti (1) Byar (1992), yang merupakan kumpulan crita cekak Sanggar Triwida Tulungagung; (2) Mutiara Segegem (Jurusan Bahasa dan Sastra Daerah IKIP Yogyakarta); (3) “Ana Kembang Mekar ing Tatu”, “Ana Kembang Mekar ing Tawang”, “Sukerta”, “Maneh-maneh”, “Pupuh Nguci-reng” dalam Pisungsung: Antologi Guritan Enam Penyair yang diterbitkan oleh Forum Kajian Kebudayaan Surabaya; (4) Suharto dalam Cerpen Indonesia, yang merupakan kumpulan cerpen berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Bentang Yogyakarta tahun 2001; (5) “Aji Tresna”, “Aku Lan Sliramu”,  “Dhuhkitaku”, “Malatrisna” dalam Kabar Saka Bendulmrisi: Kumpulan Guritan  (PPSJS, 2001); (6) “Dakgelah Lakune Rembulan” dalam Drona Gugat (Bukan Panitia Parade Seni WR Supratman, 1995); dan (7) Bermula dari Tambi, yang merupakan kumpulan cerpen berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Panitia Pekan Seni Surabaya tahun 2001. Di samping menggeluti sastra Jawa, Bonari juga memiliki perhatian pada kebudayaan Jawa dan dunia pendidikan. Perhatiannya itu tampak dari tulisannya, seperti (1) “Cangkriman: Biyen lan Saiki” (Panjebar Semangat, 1987), (2) “Murid: Biyen lan Saiki” (Panjebar Semangat, 1989), (3) “Kasusastran lan Bonsai” (Panjebar Semangat, 1989), (4) “Majalah Sastra Jawa, Perlu” (Mekar Sari, 1990), (5)  “Maneh, Sithik Ngenani Gurit” (Panjebar Semangat, 1990), (6) “Pancakaki: Biyen lan Saiki” (Panjebar Semangat, 1991), “Nasibe Lulusan SPG” (Panjebar Semangat, 1991), “Isih Cilik Ngabotohan” (Panjebar Semangat, 1992), “Sastra Jawa: Juru Kritik lan Tesmak” (Panjebar Semangat, 1992), dan “Nangisi Ludruk” (Panjebar Semangat, 1994).

*Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur

Selawat Gembrungan

Selain Reog Ponorogo, terdapat seni tradisi Ponorogo yaitu Selawat Gembrungan. Seni tradisi yang berlabel Islam santri ini dinamakan Selawat Gembrungan karena instrumen utamanya hanya terdiri atas kendang dan gembrung.

Gembrung adalah kendang besar yang pada satu sisinya dipasang kulit untuk ditabuh, sedangkan pada sisi lainnya dibiarkan berlubang dan terbuka kira-kira sebesar 1/5-nya. Dalam perkembangan, musiknya ditambah dengan alunan ketipung dan kencreng untuk melengkapi komposisi suara musik gembrungan. Hingga kini, belum ada yang dapat memastikan awal kemunculannya. Bisa diduga bahwa seni baca selawat bersama-sama itu sudah ada pada masa zaman kewalian sekitar abad ke-14 hingga ke-15.

Para anggota Selawat Gembrungan tidak hanya harus kuat dalam olah suara, tetapi juga harus punya daya tahan tubuh yang kuat karena acara biasanya dimulai pukul 21.00—03.00 dini hari. Pada awalnya, Selawat Gembrungan hanya diadakan pada saat perayaan Maulud Nabi, tiap tanggal 12 Rabiul Awal, tetapi kemudian berkembang dan dilantunkan untuk misi lain.

Terlepas dari misi kegamaan, seni ini juga karib dengan kehidupan masyarakat terkait dengan daur hidup atau siklus peralihan. Selawat Gembrungan biasanya diselenggarakan berdasarkan beberapa momen penting kehidupan anak manusia, misalnya saat peringatan kelahiran bayi atau saat bayi berumur 7 bulan (peringatan 7 bulanan atau mitoni).

Perjalanan seni ini memang timbul dan tenggelam seiring dengan perkembangan zaman. Pada tahun 1970-an, seni ini diduga sudah mulai jarang ditampilkan mungkin karena sudah mulai banyak pilihan lain, seperti seni samroh atau hadrah yang lebih modern.  Hingga pascareformasi, seni gembrungan baru terdengar lagi dan akhirnya ada yang merevitalisasi dan melestarikannya. Pada zaman kejayaan seni gembrungan, setiap orang yang mempunyai anak berusia 7 bulan akan menyelenggarakan pertunjukan seni gembrungan dan pelaku seninya tidak memungut biaya sepeser pun dari si tuan rumah. Tuan rumah hanya berkewajiban menyediakan tempat dan menyajikan makanan sesuai dengan kemampuan. Biasanya, yang menjadi pelaku seni gembrungan adalah kaum laki-laki dewasa.

Seni ini tidak hanya tersebar di Ponorogo, tetapi juga di bekas Kerajaan Wengker, yang dalam masa kolonial di bawah administrasi Karesidenan Madiun dan sekitarnya, termasuk Ponorogo, Madiun, Magetan, Trenggalek, Pacitan, dan Ngawi. Namun, di Ponorogo seni gembrungan berkembang dan populer di desa-desa yang berbeda dengan selawatan yang serupa dengan yang ada di kawasan subkultur Mataraman. Kita bisa mengamati syair-syair atau tembang selawat yang berbeda dengan kawasan sekitarnya dengan etnopuitika khas, yang mengarah pada mantra dengan paduan antara selawatan (Arab) dan siir-siir Jawa dengan bentuk-bentuk pengucapan yang tidak hanya mengarah pada nasehat semata, tetapi dalam bentuk sastra yang unik. Salah satu contohnya adalah larik-larik dalam “Bawanan Shalarabbuna” yang berbeda dengan selawat serupa pada umumnya.

Beberapa grup selawat berdiri dengan mengambil nama berdasarkan judul syair selawatan yang populer, semisal Bawanan Shalarabbuna, Khataman Nabi, atau nama tokoh populer di Ponorogo sendiri, yaitu Ki Ageng Muhammad Besari. Dari data sementara, Selawat Gembrungan di Ponorogo terdapat kurang lebih 40 grup dan tersebar di beberapa desa. (MA)

*Libas 2019

* Foto: Koleksi Tim Visualisasi Kebahasaan dan Kesastraan BBJT Tahun 2015

Sisi Lain Tembang Sigra Milir

“Sigra milir sang gethek sinangga bajul, kawan dasa kang njageni, ing ngarsa miwah ing pungkur, tanapi ing kanan kering, kang gethek lampahnya alon”.

Demikianlah bunyi tembang macapat bermetrum Megatruh yang berkisah tentang Jaka Tingkir naik rakit di sebuah sungai. Ada yang menyebut sungai itu sebagai Kedung Srengege. Ada pula yang menyebutnya Bengawan Solo. Ia dikawal 40 buaya putih, di depan, di belakang, di samping kanan dan samping kiri. Rakitnya pun bergerak perlahan-lahan.

Tembang itu bagi kanak-kanak Jawa tempo doeloe akrab di telinga. Ia dianggap sebagai puisi lisan Jawa karena sering didendangkan. Tembang itu bernama Sigra Milir.

Sigra Milir disebut sebagai puisi lisan itu wajar, karena tembang itu lebih dikenal versi lisannya, baik dalam tradisi mocopatan, seni ketoprak, bersenandung, dan lainnya. Meski demikian, asal-muasalnya dari versi tulis. Versi tulisnya tersebar pada beberapa babad. Salah satunya adalah Babad Mentaram, yang ditemukan almarhum Suripan Sadi Hutomo (1998) di Mojokerto dalam metrum macapat dan digurat dengan abjad Arab Pegon. Dimungkinkan naskah babonnya ditulis dalam aksara Jawa. Babad lainnya adalah Babad Demak, yang di dalamnya juga ada kisah Jaka Tingkir.

Menurut Hutomo (1998), pada saat ia kecil, banyak anak-anak desa di Jawa yang hapal tembang itu, terutama bagi anak-anak gembala. Ternyata itu tidak hanya berlaku di Jawa Tengah, tepatnya Blora, asal Hutomo. Di Jawa Timur, banyak anak-anak yang juga menembangkannya.

Di Lamongan, realitas kulturalnya agak berbeda. Di kawasan pedalaman, terutama Lamongan selatan, dulu tembang itu pun kondang. Banyak kanak-kanak yang mendendangkannya. Pasalnya, Jaka Tingkir adalah hero lokal dan idola masyarakat. Ia sakti mandraguna, ahli politik, dan berujung sebagai raja Jawa pasca-Kerajaan Demak.

Namun, di kawasan Lamongan yang menjadi lintasan Bengawan Solo –dengan beberapa anak sungainya, salah satu di antaranya bernama Bengawan Jero, yang menjadi urat nadi kehidupan mereka, menembangkan Sigra Milir adalah pantangan. Hal itu berlaku sejak dulu. Diyakini, tembang itu merupakan alat komunikasi super canggih pada sekawanan buaya di kawasan perairan Bengawan Solo.

“Bila sedang menyeberang Bengawan Solo, memang dipantangkan nembang Sigra Milir,. Diyakini tembang itu adalah sarana pengundang buaya putih, yang berdiam di Bengawan,” tutur Drs Achmad Hambali, budayawan Lamongan. “Sejak dulu ada keyakinan begitu. Pernah ada yang lupa dengan itu, pada tahun 1990an, dan berakhir kurang baik” lanjutnya. (MA)

Widodo Hs., Tokoh Pegiat BIPA yang Humanis

Pak Wid dalam acara Jejaring BIPA 2017

Pak Wid, begitulah kami memanggil Dr. Widodo H.S., M.Pd. yang lahir di Blitar 16 Agustus 1951. Pria berkumis nan bersahaja ini menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Blitar. Gelar sarjanadalam bidang pendidikan bahasa Indonesia (1976) dan gelar magister pendidikan beliau peroleh dari IKIP Malang (1987). Gelar doktor juga beliau peroleh dari IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang) pada tahun 2004, dengan disertasi berjudul Pembelajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing Model Tutorial: Studi Kasus Pembelajaran BIPA Tingkat Pemula Pada Program Center For Indonesian Studies Universitas Negeri Malang. Suami Indri Suhartini ini dikaruniai dua orang putri, yaitu Rosyida Fajri Rinanti dan Nissa Rahma Nur Aprilia.

Pak Wid menjadi dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, sejak tahun 1980 hingga saat ini. Selama pengabdiannya di UM, ia pernah menjabat Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia FS (1987—1988 dan 1990—1993). Widodo juga menjadi Anggota HISKI (1994—sekarang), wakil ketua MLI (1996—2000), ketua bidang pendidikan APBIPA (2004—2008) Dewan Penasihat APPBIPA Pusat  (20015—2019), dan Dewan Penasihat APPBIPA Jawa Timur (2016—2020). Ia juga pernah menjadi sekretaris DKM (1990—1998) dan pembina IPRI (1997—2002).  Bidang yang diminati dan ditekuninya selama ini adalah Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA), Psikolinguistik, Logika Bahasa, dan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Karya ilmiah yang sudah dihasilkannya antara lain (1) Pengajaran Bahasa Indonesia Untuk Penutur Asing di Malang pada tahun 1996 sampai 1997 (1998), (2) Living Indonesian (1997), (3) Sosok dan Problematik Pengajar dalam Penyetaraan Program BIPA (1995), (4) Meningkatkan Pajanan Pembelajaran BIPA melalui Program Peer Tutor (1995).

Penerima penghargaan Tokoh Pegiat BIPA Tahun 2016 dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa ini adalah salah satu perintis berdirinya Afiliasi Pengajar dan Pegiat BIPA (APPBIPA). Ya, nama Pak Wid sebagai pelopor dan pegiat BIPA di Indonesia sudah sangat kondang. Beliau telah menjadi konsultan BIPA di banyak institusi, termasuk Balai Bahasa Jawa Timur. Bahkan, Pak Wid telah menjadi konsultan BIPA di Balai Bahasa Jawa Timur sejak pertama kali Tim BIPA Balai Bahasa Jawa Timur (waktu itu masih Balai Bahasa Surabaya) berdiri pada tahun 2006. Pak Wid meyakinkan Tim BIPA Balai Bahasa Jawa Timur bahwa BIPA tidak hanya bersangkut paut dengan pembelajaran, tetapi juga faktor akademis. Dengan paradigma yang ditanamkan Pak Wid itulah, program BIPA Balai Bahasa Jawa Timur dinamai “Program Pengkajian dan Pembelajaran BIPA”.

Berbincang dengan Pak Wid seolah masuk dalam perbincangan multilapis. Pak Wid kadang berperan sebagai dosen, kadang sebagai bapak, dan kadang sebagai seorang sahabat. Dengan lancar, Pak Wid berbicara tentang BIPA seperti seorang dosen menguliahi mahasiswanya, tetapi tiba-tiba Pak Wid juga mampu bertutur lembut bak seorang bapak yang sedang menyemangati anaknya supaya tahan banting dan teguh semangat. Pak Wid sering melontarkan kata-kata yang mengobarkan semangat di kala rekan-rekan Tim BIPA Balai Bahasa Jawa Timur hampir kehabisan napas untuk menghidupkan program BIPA di Balai Bahasa Jawa Timur. Pak Wid juga tak segan menjadi teman mengopi, bergurau, dan cangkruk sehingga sekat kadang menjadi sirna dan unek-unek, keluh kesah, maupun prasangka sekalipun akan mengalir tanpa rasa sungkan. Pendek kata, Pak Wid adalah mitra diskusi dan tempat mengadu yang sempurna.

Pak Wid masih menyimpan cita-cita, yakni menjadikan BIPA sebagai sebuah ilmu khusus layaknya bahasa Inggris yang memiliki TEFL atau TESOL. Pak Wid bercita-cita agar BIPA suatu saat tidak hanya kuat dalam ranah pembelajaran, tetapi juga dalam ranah akademis dan riset.  

 Kini beliau telah berpulang ke rahmatullah pada hari Jumat, 6 Juli 2018. Selamat jalan guru kami, penyemangat kami, lentera BIPA kami! Beristirahatlah dengan tenang karena kamilah yang akan meneruskan perjuanganmu tuk meraih cita-cita luhurmu! (HP)

*Libas Edisi Juli 2018

Dibalik Tradisi Ceprotan

Tradisi Ceprotan, yaitu lempar-melempar cengkir sebanyak-banyaknya di Desa Sekar, Pacitan. Tradisi ini digelar setiap bulan Longkang (Dzulhijjah), hari Senin Kliwon atau Minggu Kliwon. Terdapat kisah lisan yang unik di balik tradisi tersebut. Ada yang mengaitkannya dengan cerita Panji, yaitu Dewi Sekartaji, ada pula yang tidak. Berikut ini adalah kisah yang terkait dengan cerita Panji.

Pada jaman dahulu, di utara laut selatan, kurang lebih lima belas kilo meter, terdapat hutan belantara. Di hutan tersebut tidak ada manusia yang berani menempati. Tanpa disangka-sangka ada seorang sakti yang bernama Ki Godhek. Ki godhek , menurut kabar memiliki wajah yang tampan, masih muda, juga sebagai keturunan raja Brawijaya dari kerajaan Majapahit, yang berani membabat hutan belantara itu. Ki Godhek akhirnya berhasil membabat hutan dan dapat ditempati.

Ketika sedang membabat hutan, Ki Godhek menjumpai seorang perempuan cantik, bernama Dewi Sekartaji. Perempuan tadi didekati dan ditanyainya, ternyata perempuan tersebut sedang kehausan. Mengetahui perempuan tersebut sedang kehausan, Ki Godhek mengeluarkan kesaktiannya yaitu mendatangkan kelapa muda yang masih segar. Kelapa muda tersebut kemudian diberikan kepada Dewi Sekartaji dan langsung diminum.

Merasa ditantang kesaktiannya, Dewi Sekartaji juga mengeluarkan kesaktiannya. Sisa air kelapa muda yang sudah diminum tadi, dituang ke tanah. Seketika tanah yang basah terkena air kelapa muda mengeluarkan mata air yang besar. Tempat pertemuan Ki Godhek dengan Dewi Sekartaji tadi saat ini diberi nama dukuh Sekar.

Setelah dukuh Sekar dibuka, banyak calon murid yang bermaksud berguru di sana. Mengetahui hal itu, Ki Godhek membuat syarat untuk calon muridnya. Syarat tersebut yaitu, calon murid diminta membawa sesaji. Maksudnya, sesaji tadi akan digunakan untuk selamatan.

Setelah anak-anak calon muridnya berkumpul, selamatan dimulai. Di tengah selamatan, ada dua anak yang berebut ayam panggang. Perebutan tersebut baru berhenti setelah Ki Godhek menengahi. Ki Godhek mengadakan sayembara, siapa saja yang bersedia membawa ayam panggang namun dilempari kelapa muda, maka ia berhak atas ayam panggang tadi. Oleh karena itu, sampai saat ini, setiap hari Senin Kliwon dan Minggu Kliwon, bulan Longkang diadakan selamatan untuk membersihkan desa dengan tradisi Ceprotan. Biasanya dengan saling melempar cengkir sebanyak-banyaknya. (MA)

*Libas edisi Juli 2019

Nasib Seni Tradisi Agutta

Agutta merupakan permainan khas imigran dari Madura yang bermukim di subkultur Pandalungan, terutama di wilayah bekas Karesidenan Besuki. Permainan ini sangat unik dan bernuansa tradisi lisan, meski kini sudah sangat jarang ditemui. Bahkan, ada yang mengatakan sudah punah. Dari permainan ini dapat diketahui bahwa nenek moyang kita itu demikian karib dengan alam. Mereka memiliki cara tersendiri sekedar istirah dari keseharian dan semakin memperkokoh ikatan sosial.

Pada tahun 1983, tim inventarisasi permainan rakyat Jawa Timur masih dapat menemukannya di Desa Badean, Bondowoso. Karena sudah 37 tahun, keberadaannya kini sulit dilacak. Zaman sudah berganti. Banyak generasi kini melupakannya sebagai permainan jadul dan ditelan zaman. Untunglah, ada pihak yang masih peduli dan melakukan semacam revitalisasi, meskipun kurang kontinu.

Agutta berasal dari bahasa Madura yang berarti kesibukan gerak dan keriuhan. Permainan dilakukan dengan alat penumbuk padi dilakukan para petani sebagai intermesso dari kerja kesehariannya, juga sebagai ritual menyambut datangnya gerhana rembulan. Awalnya, permainan ini berasal, dari kegiatan para pekerja penumbuk padi. Mereka ibu-ibu yang sudah separuh umur atau lebih, yang berfisik kuat.

Alat permainan yang terpenting adalah “ronjangan” atau sejenis dengan lesung. Terbuat dari batang kayu yang keras. Alat penumbuknya berupa kayu setinggi sekitar dua meter atau lebih sedikit dengan garis tengah tujuh cm. Pada bagian yang harus dipegang dibuat agak mengecil sehingga jari-jari tangan cukup untuk melingkarinya. Bahan penumbuk ini pun dari kayu sejenis. Alat penumbuk itu yang disebut “gentong” atau antan. Biasanya tersedia lebih dari lima batang karena adakalanya untuk jenis-jenis lagu tertentu, ada satu pemain yang sekaligus memainkan dua “gentong” itu.

Di sebelah kanan dan kiri “ronjangan” diletakkan masing-masing sebongkah batu. Batu ini akan dipukul-pukul dengan ujung lain dari gentong yang dipegang oleh pemain-pemainnya dan menghasilkan suatu irama musikal tertentu. Bersama dengan pukulan-pukulan pada ronjangan, pukulan di batu akan menghasilkan suatu ensamble yang rancak.

Pemainnya terdiri atas sekitar lima orang wanita yang masing-masing mempunyai tugas tertentu dalam memainkan “gentong”-nya pada “ronjangan”. Mereka juga menyanyi bersama atau kadangkala ada seorang yang khusus sebagai penyanyi tunggal. Namun, yang seorang ini pun kadang-kadang sambil memegang memainkan “gentong”-nya. Adapun orang yang harus memulai suatu permainan, tidaklah tetap, tergantung pada jenis lagu yang akan dibawakan.

Apabila sebuah lagu sudah diulang-ulang dan dianggap sudah cukup dinikmati, seseorang yang dianggap paling berpengaruh di antara mereka akan merubah pola pukulannya sedemikian rupa sehingga yang lain-lain merasakan bahwa tanda itu merupakan ajakan untuk menghentikan permainan atau mengubahnya dengan jenis lagu yang lain. Beberapa lagu rakyat Madura yang dibawakan merupakan lagu-lagu tradisional seperti Walang Kekek, Orkesan, Fajjar Laggu, Lir Saalir, Man Jauma, Cung-cung Kuncung Konce dan sebagainya. Hanya saja, karena alat-alat penumbuk padi semakin modern dan serba mesin, dan “ronjangan” semakin langka, lama-kelamaan permainan Agutta berangsur hilang dari peredaran. Begitu pula dengan gerhana rembulan, kini tak lagi sakral karena pandangan orang telah jauh berubah. Orang semakin tahu bahwa ilmu pengetahuan telah menjawab sebab-sebab gerhana rembulan, dan bukan lagi ulah raksasa yang rakus menelannya. Dulu, bila ada gerhana rembulan, bulu kuduk orang-orang berdiri dan bersama-sama merapal doa suci. Kini, orang-orang tertawa-tawa dan sibuk selfi. (MA)

Akhudiat

Akhudiat dikenal sebagai sastrawan Jawa Timur yang berkarya dalam bidang puisi, cerpen, dan drama. Akhudiat lahir di Rogojampi, Banyuwangi, Jawa Timur, 5 Mei 1946. Ayahnya bernama Akwan dan ibunya Musarapah. Menikah dengan Mulyani pada 4 November 1974 dan dikaruniai tiga orang anak. Laki-laki yang kerap disapa Cak Diat ini tidak hanya dikenal sebagai pekerja seni teater yang tekun dan ulet melainkan juga pendidik yang sabar dan penuh keakraban. Keuletan dan ketekunan Akhudiat dalam berteater dilakukan sejak tahun 60-an ketika usianya masih remaja.

Jenjang pendidikan yang pernah ditempuh adalah Sekolah Rakyat (SR) (tamat tahun 1958), Pendidikan Guru Agama Pertama Negeri (PGAPN) IV Jember (tamat tahun 1962), dan melanjutkan sekolah di PGAA Malang. Tahun 1965 ia mengantongi ijazah dari Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) III Yogyakarta. Selain itu, sekitar 1972—1973, Akhudiat pernah berkuliah di Akademi Wartawan Surabaya (AWS) namun tidak terselesaikan. Gelar kesarjanaan didapatkan tahun 1992 dari Universitas Terbuka (UT), Fakultas Ilmu Sosial.

Sejak tahun 1970 Akhudiat diangkat menjadi pegawai negeri sipil pada Kantor Pusat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya dan pensiun tahun 2002. Setelah pensiun, ia menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Kiprahnya di dunia seni dan budaya, khususnya sastra dan teater, mengantarkan Akhudiat menjadi pengurus Dewan Kesenian Surabaya tahun 1972—1982, Komite Sastra dan Teater. Pada tahun yang sama, Akhudiat menjabat sebagai sutradara dan penulis naskah teater di Komunitas Bengkel Muda Surabaya (BMS). Sejak 1999—sekarang, ia menjabat sebagai anggota pleno di Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT). Tahun 2000—sekarang, ia menjabat sebagai anggota panitia pengarah Festival Seni Surabaya (FSS). Keikutsertaannya bersama Bengkel Muda Surabaya bukan hanya memantapkan eksistensinya sebagai pemain teater, tetapi juga memacu dirinya dalam mengembangkan kreativitasnya sebagai penulis naskah drama. Akhudiat juga pernah mengikuti kursus akting di Teater Muslim pimpinan Mohamad Diponegoro dan teater milik Arifin C. Noer.

Tulisan pertama Akhudiat adalah tentang Markeso, seorang aktor tunggal “Ludruk Garingan” yang dimuat di harian Surabaya Post tahun 1970. Naskah drama “Grafito”adalah karya Akhudiat pada tahun 1972 dan memenangkan hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta. Tahun 1973, puisi “Gerbong-Gerbong Tua Pasar Senen” mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Surabaya sebagai juara II. Naskah drama “Jaka Tarub” (1974), “Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap” (1974), “Bui” (1975), dan “RE”(1977) mendapatkan penghargaan yang sama. Akhudiat juga banyak menerjemahkan karya penulis asing seperti Fred karya Sherwood Anderson yang diindonesiakan menjadi Kematian di dalam Hutan, Buried Child karya Sham Shepard menjadi Anak yang Dikubur, One Flew Over The Cuckoo’s Nest karya Dale Wasserman Ken Kessey menjadi Laboratorium Gila, Tobacco Road karya Erskine Caldwell menjadi Jalan Tembakau, The Chairs karya Eugene Ionesco menjadi Kursi-Kursi, Catastrophe karya Samuell Beckett menjadi Malapetaka, dan The Sandbox karya Edward Albee yang diindonesiakan menjadi Bak Pasir.

Aktivitasnya sebagai penulis naskah drama dilengkapi pula dengan kegemarannya mengikuti lomba penulisan naskah drama yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Lima naskah dramanya memenangi lomba penulisan naskah drama. Naskah yang menang kemudian dipentaskan di Taman Ismail Marzuki. Berkat prestasinya tersebut, Akhudiat mendapat penghargaan belajar di Iowa Univer-sity selama satu tahun (1975), untuk mengikuti International Writing Program, semacam pendidikan khusus untuk memperdalam ilmu sosial dan kaitannya dengan penulisan naskah drama. Selain menulis naskah drama, Akhudiat juga lihai menulis cerpen. Salah satu cerpen Akhudiat berjudul New York Sesudah Tengah Malam (1984) diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Dede Oetomo menjadi New York After Midnight dan tahun 1990—1991, diterbitkan oleh Executive Committee, Festival of Indonesia, USA. Tahun 2002 New York After Midnight diterjemahkan oleh John H. Mc Glynn dan diterbitkan oleh Yaya-san Lontar. Naskah drama Jaka Tarub juga diterbitkan dalam edisi dwibahasa (Indonesia dan Inggris) oleh Yayasan Lontar pada tahun 2004. Kedudukan Akhudiat dalam dunia sastra Indonesia cukup penting. Herman J. Waluyo mengategorikan Akhudiat sebagai tokoh drama mutakhir melalui drama Jaka Tarub. Beberapa penghargaan pernah diperoleh Akhudiat atas jasa dan loyalitasnya di bidang tulis menulis, antara lain sebagai warga kota berprestasi bidang teater modern oleh Walikota Surabaya tahun 1989 dan anugerah budaya dari Gubernur Jawa Timur tahun 2001 sebagai seniman berprestasi. Akhudiat bertempat tinggal di Gayungan PTT 51 E, Surabaya.

*Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur

Beragam Sambutan “Cerita Bangsacara”

“Cerita Bangsacara” atau “Bangsacara-Ragapatmi” adalah kisah kasih legendaris dari Madura. Kisah tersebut mirip dengan kisah cinta lain di Nusantara, semisal Sri Tanjung-Sidopekso (JawaTimur), Roro Mendut—Pronocitro (Jawa Tengah), dan Jayengtilam—Layonsari (Bali). Namun, “Cerita Bangsacara” mengandung sesuatu yang khas Madura, dan tidak ditemui di daerah lain, apalagi makamnya berada di Pulau Mandangin, Kabupaten Sampang.

“Cerita Bangsacara” menempati habitat dalam tradisi lisan, yang dituturkan dari generasi ke generasi lewat mulut ke mulut. “Cerita Bangsacara” menjadi magnet sejak dulu, terutama dalam jagat literasi. Terhitung sejak zaman Hindia Belanda, ia telah menjadi sumber inspirasi bagi para penulis. Pada perkembangannya, cerita cinta itu juga menjadi bahan penulisan sastra kontemporer, bahkan pementasan teater. Tentu saja, dengan pembacaan dan pendekatan baru yang sesuai dengan semangat kekinian.

Tulisan tertua digurat pada tahun 1874 sebagai usaha untuk menghimpun cerita rakyat oleh sarjana Belanda, yaitu dalam Handleding tot de Begefrning der Madoereeschetaal (kumpulan cerita Madura versi Bahasa Belanda) ditulis A.C. Vreede. Buku ini diterbitkan di Leiden, pada tahun 1874. Untuk penulis Indonesia, sudah ada sejak Bale Poestaka berdiri yang bertujuan menyediakan bacaan bermutu kepada masyarakat Hindia, imbas dari Politik Etis yang dicetuskan van Deventer. Tulisan berbentuk prosa berjudul Tjaretana Bangsatjara karya Sumawidjaja, dan diterbitkan Bale Poestaka, Djakarta, pada 1917. Ada pula berbentuk  drama berjudul Bangsatjara-Ragapadmi ditulis Ajirabas pada 1946. Ajirabas adalah nama samaran WJS Poerwodarminto,penyusun kamus bahasa Indonesia yang pertama.

Ada pula yang berbentuk puisi. Judulnya adalah Balada Bangsacara-Ragapadmi, karya Sastradinata ,ditulis pada 1977. Bahkan, sastrawan terkemuka Madura, D. Zawawi Imron juga menulis ulang Cerita Bangsacara dalam bentuk buku cerita rakyat berjudul “Bangsacara-Ragapadmi, Kisah Cinta dari Madura” pada 1980. Cerita tersebut sering pula diangkat sebagai lakon ludruk dan ketoprak. Bahkan, sebuah sumber menyebut bahwa ada naskah kuno yang mengabadikan “Cerita Bangsacara”.

Memang secara sastrawi “Cerita Bangsacara” mirip dengan kisah cinta dari Nusantara dan dunia, tetapi warna lokalnya tetap mengemuka dan menjadi pembeda yang tidak dapat ditemukan pada kisah lain serupa, terutama terkait asal-usul penamaan, karakter tokoh, dan kekhasan sebuah wilayah. Namun, masing-masing cerita itu hidup dan berpijak di ranah sosio-kultural yang berbeda. (MA)

*Libas edisi Januari 2019

Samsuri, Sang Begawan Linguistik

Dari Pak Anton Moeliono, Pak Samsuri –sapaan akrab Prof. Samsuri Ph.D., mendapatkan gelar kehormatan “pendekar bahasa”. Namun, beberapa muridnya, lebih suka menyebut beliau sebagai “begawan linguistik”. Dalam pewayangan, pendekar mengacu pada tokoh perkasa seperti Bima atau anaknya, Gatutkaca. Namun, gambaran tentang Pak Samsuri berbeda dengan tipe pendekar seperti itu. Beliau lebih mirip dengan Resi Abiyasa, seorang begawan di Wukir Retawu. IKIP Malang, kini UM, juga mirip dengan padepokan sang begawan karena dikelilingi enam gunung, yaitu Semeru, Bromo, Welirang, Arjuna, Kawi, dan Kelud. Ini bukan argumentasi tentang gelar mana yang lebih cocok, tetapi sekadar menjelaskan selera pilihan pribadi.

Julukan “pendekar” maupun “begawan” sama-sama menunjukkan kehebatan seorang sosok. Pak Samsuri unggul bukan hanya sebagai ilmuwan, melainkan juga sebagai pemimpin. Beliau pernah menjabat sebagai Dekan FKSS (1965-1970) dan Rektor IKIP Malang (1970-1974). Kedua jabatan penting itu jelas menunjukkan bahwa beliau juga andal sebagai seorang pemimpin. Kepeloporannya juga menonjol dalam membina ilmu bahasa. Beliau adalah salah satu pendiri Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI), yang sekaligus langsung terpilih sebagai ketua yang pertama, dan tugas itu diemban selama enam tahun (1975-1981). Selain itu, Beliau juga pernah menjadi anggota steering committee bagi Regional English Language Center (RELC), SEAMEO di Singapura (1967-1972), sebagai wakil (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) Indonesia. Artinya, kepemimpinan dan keahlian beliau juga diakui di kawasan Asia Tenggara.

Berikut ini adalah sepuluh karya penting Pak Samsuri. Karya pertama adalah The Phonology of Javanese (1958), tesis master beliau di Universitas Indiana, Bloomington. Tujuh tahun kemudian, muncul karya kedua, An Introduction to Rappang Bugenese Grammar (1965) yang merupakan disertasi beliau di universitas yang sama. Setelah mendapatkan gelar Ph.D, beliau kembali ke Indonesia dan bertugas diJurusan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan Sastra dan Seni (FKSS), IKIP Malang. Setahun kemudian, beliau menjabat sebagai Dekan FKSS (1966-1969). Berikutnya, beliau memangku jabatan Rektor IKIP Malang (1970-1974). Dalam periode itu, beliau memperoleh gelar guru besar di bidang linguistik dan menyampaikan pidato pengukuhan pada tahun 1972. Karya ketiga berjudul “Memilih Kerangka Acuan Tata-bahasa Bahasa Indonesia”.

Kesibukannya sebagai pemimpin perguruan tinggi menyisakan sedikit waktu untuk meneliti dan menulis. Baru empat tahun kemudian, setelah lengser dari rektorat, beliau menerbitkan Analisis Bahasa: Memahami Bahasa Secara Ilmiah (1978). Karya keempat ini merupakan buku penting bagi para bahasawan dan mahasiswa Jurusan Linguistik di Indonesia. Buku ini membahas tata bunyi, tata kata, dan tata kalimat dengan latihan yang sangat intensif di bidang fonologi dan morfologi. Tujuh tahun kemudian muncullah Tata Kalimat Bahasa Indonesia (1985) sebagai karya kelima, yang menggunakan kerangka acuan gado-gado dengan aroma transformasi generatif yang kental. Pada “Prawacana” dinyatakan bahwa buku tata kalimat ini adalah buku pertama, yang akan disusul oleh buku kedua dan ketiga, tata kata dan tatabunyi bahasa Indonesia. Tahun 1988 muncul buku selanjutnya yang dijanjikan, Morfologi dan Pembentukan Kata. Pada tahun itu juga, lahir karya berikutnya dengan judul Berbagai Aliran Linguistik Abad XX (1988). Buku kajian teori ini merupakan hasil studi pustaka  mendalam yang dilakukan Pak Samsuri di Universitas Negara Bagian Ohio selama tiga bulan, Juli–Oktober 1986.

Ketiga karya terakhir berupa artikel: “Referensi dan Inferensi di dalam Wacana” (1990), “Kemampuan Pembicara Bahasa Jawa: Suatu Studi Permulaan” (1993), dan “Pengaruh Bahasa Indonesia pada Pemakaian Unggah-ungguh Bahasa Jawa” (1994). Setelah lengser dari rektorat, Pak Samsuri biasa menaiki sepeda jengki warna biru metalik dan disandarkan pada dinding di sebelah timur gedung H1 ketika mengajar di Fakultas Pascasarjana (sekarang Program Pascasarjana). Alangkah sederhananya Profesor Samsuri, Ph.D., sang pakar linguistik yang mantan dekan dan mantan rektor. Tidak ada post-power syndrome, juga tidak berpura-pura bersahaja. Itulah beliau, yang menjalani kehidupan asketik, tak silau pada kemewahan duniawi dan tampil apa adanya. Semua yang terbaik telah beliau berikan kepada IKIP Malang, kepada murid-muridnya, dan kepada semua pencinta bahasa serta ilmu bahasa di tanah air. Kita semua yakin bahwa saat ini “di sana” mendiang juga tidak mengidap post-worldly life syndrome. Semua yang harus ditunaikan telah dikerjakan sebaik-baiknya. (AR)