Nikmatnya Ayam Lodho, Santapan Khas Jawa Timur

Sumber gambar: Pinterest https://pin.it/2cDhfgI

Kalian pernah mencoba kuliner satu ini? Kuliner berbahan utama ayam ini menjadi salah satu santapan primadona bagi wisatawan yang berkunjung ke Jawa Timur, khususnya daerah Tulungagung dan Trenggalek. Masyarakat menyebut lodho yang berarti lembut, hal tersebut disebabkan ayamnya dimasak sampai dagingnya lembut dan terlepas dari tulangnya. Rasanya yang gurih dengan campuran santan yang kental menjadikan cita rasa yang nikmat ketika masuk di lidah. 

Ayam lodho merupakan salah satu hidangan tradisional, tak hanya disajikan ketika tradisi selamatan akan tetapi juga dikonsumsi sehari-hari. Sekilas, ayam ini mirip dengan opor atau kari hanya saja yang membedakan kuah santan kentalnya disertai rasa pedas cabai dengan aroma daging ayam bakar atau panggangnya. Umumnya ayam lodho disajikan dengan nasi gurih sehingga menggugah selera makan penikmatnya. Penasaran bagaimana cara membuatnya? Berikut resep dan bahan-bahan membuat ayam lodho

Bahan:

  1. Satu ekor ayam kampung
  2. Satu buah lengkuas, memarkan
  3. Tiga lembar daun salam dan daun jeruk
  4. Tiga batang serai, memarkan
  5. 90 ml santan
  6. 500 ml air
  7. 100 gr cabai rawit merah, iris
  8. dua sdm minyak, untuk menumis

Bumbu, haluskan:

  1. Depalan butir bawang merah dan bawang putih 
  2. Lima cm kunyit, kencur, dan jahe
  3. Tiga cabai merah keriting
  4. Satu sdm merica putih bubuk dan ketumbar
  5. Satu sdt jintan bubuk

Cara membuat:

  1. Satu ekor ayam dipotong menjadi empat bagian, selanjutnya lumuri daging ayam dengan garam.
  2. Panaskan panggangan dan olesi dengan minyak, panggang ayam hingga permukaan kecokelatan dan setengah matang. Sisihkan.
  3. Panaskan dua sdm minyak, tumis bumbu yang sudah dihaluskan, masukan lengkuas, daun salam, daun jeruk, dan serai hingga harum.
  4. Tuang air dan santan, aduk rata dan masak hingga mendidih.
  5. Masukan daging ayam dan cabai rawit, tambahkan bumbu penyedap, aduk dan masak daging ayam sampai empuk.
  6. Sajikan dengan nasi gurih lebih nikmat.

Sumber: Majalah Panji Balai

Indahnya Bukit Teletubbies

Bukit Teletubbies adalah salah satu destinasi wisata menarik yang masih terletak di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Bukit Teletubbies juga sering disebut dengan nama Padang savana Bromo, karena lokasinya yang bersebelahan dengan Padang Savana Bromo. Bukit Teletubbies ini bentuknya sangat mirip dengan sebuah bukit yang ada dalam film anak-anak yaitu “Teletubbies”. Lokasi Bukit Teletubbies berada di selatan Gunung Bromo dan dekat dengan padang rumput savana, biasanya wisata Bukit Teletubbies ini kunjungi setelah mengunjungi Kawah Bromo.

Sepanjang perjalanan menuju Bukit Teletubbies akan melewati laut pasir yang sangat indah, yakni pasir berbisik, karena Bukit Teletubbies sendiri merupakan tempat wisata yang masih satu jalur dengan Pasir Berbisik Bromo. Di Bukit Teletubbies ini, semua wisatawan akan melihat hamparan padang rumput hijau yang menghampar luas nan indah dengan didominasi tumbuhan rumput jenis pakis, ilalang, tumbuhan lavender serta rerumputan lain. Sepintas pemandangan di Bukit Teletubbies ini seperti dataran tinggi New Zealand atau Skotlandia.

Saat ini Bukit Teletubbies sudah dilengkapi dengan beberapa sarana prasarana yang memungkinkan para pengunjung untuk melakukan berbagai macam aktivitas, seperti menunggang kuda, fotografi, camping ground. Selain itu juga Bukit Teletubbies sudah dilengkapi dengan beberapa fasilitas seperti toilet, warung, dan area parkir yang cukup aman dan luas.

Sumber: https://www.agentwisatabromo.com/bukit-teletubbies-padang-rumput-yang-luas-di-gunung-bromo.html 

Tjahjono Widarmanto

Tjahjono Widarmanto merupakan sastrawan dari Ngawi yang masih eksis di genre cerpen. Ia lahir di Ngawi, 18 April 1969 dari pasangan H. Soeparmo (pensiunan guru SPG Negeri Ngawi) dan Hj. Isdiwati (pensiunan guru SDN Ronggowarsito 2 Ngawi). Tjahjono Widarmanto memiliki saudara kembar bernama Tjahjono Widianto yang berprofesi sama. Selain saudara kembarnya tersebut, Tjahjono Widarmanto mempunyai dua kakak yaitu Isdarmawanto dan Widiastuti, S.H. Tjahjono Widarmanto beristrikan seorang guru bernama Maghfira Wijayanti dan memiliki seorang putra bernama Shirly Shofiya Kamila Rosyda KW (Ngawi, 11 Oktober 2004). Saat ini Tjahjono Widarmanto bersama keluarga bertempat tinggal di Perumahan Chrisan Hikari B-6, Jalan Teuku Umar Timur, Ngawi. Pendidikan formal Tjahjono Widarmanto sejak tingkat SD (lulus 1983), SMP (lulus 1985), dan SMA (lulus 1987), diselesaikan di Ngawi. Setelah lulus dari SMA, Tjahjono Widarmanto melanjutkan pendidikannya dengan berkuliah di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surabaya (sekarang Unesa) dan mendapat gelar sarjana tahun 1992. Pendidikan informal dan kegiatan kebahasaan dan kesastraan yang pernah diikuti antara lain MMAS, Intensif Training Pelatihan Teater, Diklat Jurnalistik, Seminar Kebahasaan Tingkat Nasional di Jakarta, dan Kongres Bahasa Indonesia. Tjahjono Widarmanto bersama saudara kembarnya, Tjahjono Widijanto dan seorang rekannya, Anas Yusuf, membuat “Kelompok Lingkar Sastra Tanah Kapur” di Ngawi, dengan menerbitkan antologi puisi 9 penyair Ngawi bertajuk Surat Dari Ngawi. Mengawali karier saat masih berkuliah, Tjahjono Widarmanto, pernah menjadi redaktur Majalah Kebudayaan Kalimas Surabaya (1990—1994), Majalah Bende (2000—sekarang), dan Majalah Rontal (2000— 2002), sedangkan dalam dunia pendidikan atau menjadi guru, ia mengajar di SMPN 1 Beringin Ngawi (1995), kemudian dimutasi menjadi guru di SMAN 2 Ngawi hingga sekarang. Tjahjono juga menjadi dosen di STKIP PGRI Ngawi, mengajar bahasa dan sastra Indonesia. Selain menjadi guru, ia tetap menulis karya sastra, baik cerita pendek, puisi, dan esai sastra dan budaya di berbagai koran lokal dan ibu kota, serta bermain drama. Tjahjono Widarmanto belajar menulis sejak masih duduk di bangku SMA. Kemampuan menulis tersebut terus dikembangkan pada saat ia berkuliah di IKIP Surabaya. Di kampus, Komunitas Sastra Ketintang Surabaya adalah lembaga yang membuat Tjahjono Widarmanto kian terpacu kreativitasnya dalam dunia tulismenulis. Salah seorang yang dianggapnya sebagai motor pemompa semangatnya untuk terus-menerus berkarya sastra adalah Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo (almarhum). Motivasi menulisnya adalah dapat menyampaikan ide pada orang lain, menambah wawasan hidup dan kehidupan, serta berharap bisa dikenal masyarakat banyak. Masih di kotanya Ngawi, bersama kembaraannya Tjahjono Widijanto dan Anas Yusuf, mendirikan komunitas teater bernama Teater Sampar dan sempat mementaskan naskah Motinggo Busye berjudul “Malam Jahanam”. Kegiatan seni dan budaya yang pernah dilakukan Tjahjono Widarmanto bersama komunitasnya antara lain: Diskusi Sastra dan Temu Penyair Empat Kota (1994), Pementasan naskah ‘Sang Juru Nikah’ (1994), Dialog Ilmiah Sastra Jawa (1995), Pentas Deklamasi Tunggal (1995), Dialog Kebudayaan Islam (1995), Pameran Lukisan dan Fotografi (1996), Pementasan naskah The Boor (1997), Parade Puisi (1998), Malam Sastra Baca Puisi ‘Secangkir Kopi buat Kota Ngawi’ dan Diskusi Kebudayaan (2001). Naskah karya sastranya banyak dimuat di berbagai koran dan majalah, baik lokal Jatim maupun ibu kota, dan luar negeri, antara lain: Jawa Pos, Bali Post, Solo Pos, Surabaya Post, Lampung Pos, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Republika, Suara Karya, Bernas, Kedaulatan Rakyat, Kompas, Suara Pembaruan, dan Majalah sastra Horison, Perisai (Malaysia), Bahana (Brunei Darussalam), Radio Suara Jerman, dan banyak lagi. Hasil karya Tjahjono Widarmanto antara lain: (a) Belukar Baja, kumpulan puisi, 1990, Surabaya, University Press; (b) Malsasa, kumpulan sajak Surabaya, 1994, Surabaya: DKS; (c) Suluk Hitam Perjalanan Hitam di Kota Hitam, 1994, Ngawi: LSTK; (d) Improvisasi Retak, kumpulan puisi, 1995, Surabaya: KSRB; (e) Negeri Bayang-Bayang, kumpulan puisi, 1996, Surabaya, SAF; (f) Akulah Ranting, kumpulan puisi, 1996, Malang: Dioma; (g) Kumpulan Guritan “Drona Gugat” Surabaya: 1995: Bukan Panitia Festival WR Soepratman; (h) Kumpulan Guritan Bersama “Tes”, Surabaya, 1998: Taman Budaya Jatim; (i) Kumpulan Puisi dan Guritan “Omonga Apa Wae”,  Surabaya, 2000: TBJT; (j) Luka Waktu, kumpulan puisi, 1999, Surabaya: Taman Budaya Jatim; (k) Memo Putih, kumpulan puisi, 2000, Surabaya: DKJT; (l) Dalam Pusat Pusaran Angin, kumpulan puisi, 1997, Surabaya, KSRB; (m) Kubur Penyair, kumpulan puisi, 2002, Yogyakarta, Diva Press; (n) Kitab Kelahiran, kumpulan puisi, 2003, Surabaya, DKJT; (o) Birahi Hujan, kumpulan puisi, 2004, DKJ; (p) Purnama di atas Kapuas, kumpulan cerpen, 2002, Jakarta; (q) Tegak Lurus Dengan Kaki Langit, kumpulan esai, 2002, Jakarta; (r) Dari Bumi Lada (antologi temu penyair se-Jawa, Sumatera, Bali); (s) Apa Khabar Sastra? Kumpulan Pemikiran Sastra, antologi esai, 2002: DKJT; dan (t) Seks dan Erotisme dalam Sastra (esai-esai pendek, 1992). Adapun pengalaman dalam dunia pendidikan dan menulis (a) 1990—1994 menjadi staf redaksi Majalah Kebudayaan Kalimas yang terbit di Surabaya; (b) 1992—1994 mengajar di SMUN 1 Ngrambe; (c) 1995—1997 mengajar di SMUN I Ngawi dan SMEA Negeri Ngawi; (d) 1995— sekarang Dosen di STKIP PGRI Ngawi; (e) 1998—2001 mengajar di SLTPN 1 Bringin; (f) Juli 2001—sekarang mengajar di SMUN II Ngawi. Selain mengajar, sejak kuliah (1987) menekuni dunia kepenulisan dengan menulis artikel dan puisi di hampir seluruh media Indonesia. Tulisannya berupa artikel (pendidikan, sosial, sastra, kebudayaan) dan puisi dimuat di Bahana (Brunai Darussalam), Perisai (Malaysia), Horison, Kompas, Republika, Jawa Pos, Deutche Welle (Suara Jerman), Pikiran Rakyat, dan lain-lain. Tjahyono pernah mengikuti Jambore Budaya Nasional di Malimping (Banten, 1996), Surabaya Art Festival (1996), Temu Penyair se-Jawa-SumateraBali (Lampung, 1996), Temu Sastra Nasional (Tasikmalaya, 1998), Peringatan Bulan Bahasa tahun 2000 (sebagai pembicara), Kongres Sastra Jawa (Surakarta, 2001; sebagai pembicara), Forum Sastra Sufistik di (Gresik, 2001; sebagai pemakalah tunggal); Bengkel Penulisan Sastra Siswa se-Surabaya di Balai Bahasa Jatim (2001; sebagai instruktur), Kongres Sastra Cerpen Nasional II (Bali, 2002), Halaqah Kebudayaan yang diadakan Desantara Institute for cultural Studiesdi Ponorogo (2002; sebagai pembicara), Dialog Nasional Refleksi Reformasi di STAIN Surakarta (2002), Festival Kebudayaan di Samarinda (Agustus, 2002; sebagai pembicara dan peserta). Dia juga pernah menjadi Tim Kurator penganugerahan Seniman-Budayawan terbaik Jatim 2001 dan 2002, juri dalam Lomba Penulisan Karya Sastra Festival Seni Mahasiswa Tk. Nasional (Feksiminal) tahun 2002, Juara ke-5 Lomba Mengulas Karya Sastra Tingkat Nasional (LMKS) 2002 yang diadakan Depdiknas dan Majalah Horison, urutan 10 Lomba Menulis Cerpen Tingkat Nasional (LMCP) 2002 yang diselenggarakan oleh Depdiknas Pusat dan Majalah Sastra Horison, pembicara dan peserta dalam lokakarya Pemilihan Buku Bahan Ajar Sastra untuk SLTP dan SMU di Jakarta (15—19 Desember 2002), anggota Dewan Pakar dan Dewan Pertimbangan Taman Budaya Jawa Timur untuk periode 2003—2005.

Jidhor Sentulan: Mitos Jelmaan Harimau di Acara Khitan

Jidhor Sentulan merupakan upacara yang dilaksanakan di beberapa desa di Kabupaten Jombang untuk merayakan khitanan. Upacara Jidhor Sentulan sangat bernuansa Islam meskipun warna lokalnya juga sangat kental. Dalam pelaksanaan upacara Jidhor Sentulan, anak yang dikhitan duduk di atas tandu kemudian diajak berkeliling desa melalui jalan yang telah ditentukan. 

Dalam bahasa orang Jombang, anak yang telah dikhitan (pengantin khitan) tersebut dikatakan sebagai anak yang telah di-selam atau diislamkan (dijadikan Islam). Musik pengiring dalam upacara ini terdiri atas rebana, gendang, dan jidur. Iring-iringan upacara adat Jidhor Sentulan digelar sebagai ungkapan kebahagiaan dan rasa syukur atas anak yang telah dikhitan. Upacara Jidhor Sentulan sangat unik dan mempunyai daya tarik tersendiri karena dikemas dengan unsur-unsur lokal. 


Sumber gambar: Kanal Youtube

Para peserta upacara Jidhor Sentulan melakukan beberapa kegiatan yang merupakan rangkaian dari jalannya upacara. Ketika prosesi tiba di depan rumah yang punya hajat (orang tua pengantin khitan), perlengkapan upacara atau sajian yang disebut sandhingan dan cok bakal diserahkan kepada ayah pengantin khitan sebagai kepala keluarga dan juga kepada pengantin khitan. Selanjutnya, Kiai Kumbang Sumendhung (disimbolkan oleh seorang penari bertopeng) menjemput sesepuh (sosok yang dituakan) yang bertugas sebagai pemimpin upacara untuk membaca doa dan mantra sembari membakar kemenyan. Sesepuh ini berperan sebagai dukun yang dipercaya memiliki kemampuan untuk mengusir roh jahat. Apabila tidak diusir, roh jahat tersebut akan mengganggu warga dusun. Kegiatan selanjutnya adalah selamatan. Selamatan yang dimaksudkan adalah kegiatan melantunkan doa syukur kepada Allah Swt. untuk memohon perlindungan-Nya. Puncak dari kegiatan ini adalah pelaksanaan khitan oleh juru khitan.

Perlengkapan upacara mengusung berbagai makna. Misalnya, angka 2 (dua) mengandung makna yang terkait dengan fenomena alam yang berlawanan, seperti terang dan gelap, siang dan malam, tua dan muda, serta laki-laki dan Perempuan. Penunjukan angka 1 (satu) mengusung makna ke-ekaan (tunggal), seperti bumi yang satu dan Sang Pencipta bumi serta isinya yang dipercaya juga hanya satu (tunggal). Penggunaan angka 5 (lima) mengacu kepada kepercayaan tradisional Jawa, yakni kiblat papat lima pancer (empat kiblat dan satu pusat yang ke-5). 

Pada upacara jidhor sentulan juga terdapat tampilan seekor harimau jadi-jadian yang disebut Kiai Kumbang Semendhung. Kiai Kumbang Semendhung merupakan seorang penari topeng yang juga disebut penthul atau arak-arakan dalam upacara selamatan. Dalam arak-arakan ini, yang menjadi pembuka jalan adalah seorang penari bertopeng (penthul). Selanjutnya, upacara tersebut disusul dengan anak yang dikhitan yang diusung (digotong) dengan tandu oleh empat orang. 

Harimau jadi-jadian yang dipercaya sebagai penjelmaan Kiai Kumbang Sumendhung, dipercaya sebagai danyang dusun (roh halus penjaga dusun), berjalan di belakang pengiring. Pengiring khitan ini terdiri atas muda-mudi yang belum menikah. Mereka dianggap masih dalam keadaan suci dan diberi tugas untuk membawa kembang mayang. Kerabat yang dikhitan juga ikut dalam arak-arakan prosesi tersebut. 

Upacara tradisional ini digelar sebagai wujud ungkapan kebahagiaan dan rasa syukur atas anak yang telah dikhitan. Selain itu, juga merupakan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar memberikan pelindung dan keselamatan kepada anak-anak yang masih suci tersebut. 

Sumber: 

Sutarto, Ayu., Akhmad Sofyan., Sugeng Adipitoyo., Rokmat Djoko., Ikhwan Setiawan. (2013). Modul Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Lokal Jawa Timur. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia. 

Sumber gambar:

  1. https://www.youtube.com/watch?v=PZNIYyRg-go 
  2. https://www.youtube.com/watch?v=p6ebKkrwxuc 

Motif Batik Kembang Waluh Tuban

Batik Gedog merupakan batik kuno yang hanya dibuat di daerah pedalaman kota Tuban, Jawa Timur. Nama gedog tersebut diambil dari proses pembuatannya, di mana kapas akan dipintal menjadi benang, dan dianyam menjadi kain menggunakan alat manual yang mengeluarkan bunyi “dog..dog.” Kain bertesktur ini juga dibatik menggunakan tangan sehingga tercipta suatu karya yang sangat cantik.

Sejarah kota Tuban pada abad ke XII-XVI, berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit, diperintah oleh Raden Wijaya, memunculkan pengaruh terhadap motif yaitu Panji Serong. makna dan perlambang batik tulis Gedog dilukiskan dengan motif dan warna. Memiliki makna nilai pesan harapan berupa kebahagiaan, kehidupan, dan keselamatan didunia. Makna keselamatan terdapat pada motif Lok Can, motif Kolo Rambat, motif Kembang Waluh. Makna kebahagiaan terdapat pada motif Owal-Awil, motif Klopo Sekanthet, motif Ganggeng. Makna kehidupan terdapat pada motif seperti motif Lar Wongo, motif Kembang Jeruk, motif Krompol. Warna batik tulis Gedog tradisional pada awalnya adalah warna biru berasal dari daun tom presi atau dresi (Indigofera Guatemalensis). Warna biru melambangkan kedamaian dan harapan

Kembang Waluh merupakan salah satu motif dari batik Ghedog khas Tuban, Jawa Timur. Motif kembang Waluh tampil dengan tiga macam warna, yaitu: biru tua, merah, putih. Motif utama terdiri dari rangkaian daun, bunga, dan burung phunik. Motif bunga maupun daun dirangkai dalam untaian yang merayap meliuk-liuk. Secara umum memang agak sulit mencari mana daun dan yang bunga. Motif burung phunik muncul di sana sini sebagai pengisi bidang kosong antara cabang-cabang batang.

 

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/jenis/1/ekspresi-budaya-tradisional/30450/motif-batik-kembang-waluh-tuban 

Titah Rahayu

Penulis perempuan yang sering menggunakan nama samaran Ayu, Anggie Melati atau Estri Sekar Pratiwi ini lahir di Mojokerto pada 19 September 1963. Anak pertama dari empat bersaudara ini adalah putra pasangan Soekidjo (Trenggalek) dan Muliah Dwi Purwanti (Mojokerto). Titah menyelesaikan pendidikan SD (1968—1974) di Kediri, SMP (1975—1977), SMA (1978— 1981) di Trenggalek. Kemudian, dia melanjutkan pendidikan di FMIPA Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (1981—1986). Titah Rahayu menikah tahun 1989 dan memiliki dua orang putra. Saat tinggal di Surabaya, ia membantu majalah Jaya Baya mengelola rubrik sastra bersama Yunani. Keseriusannya menggeluti sastra Jawa diwujudkan dengan mendirikan dan mengelola sang-gar sastra Rara Jonggrang dan buletin berbahasa Jawa di Yogyakarta. Sejak tahun 1986 Titah menjadi redaktur majalah Jaya Baya. Titah pertama menulis pada tahun 1972 ketika berumur sembilan tahun. Tulisan Titah Rahayu pertama terbit di majalah Jaya Baya dalam rubrik remaja berjudul ”Karang Taruna”. Bakatnya semakin berkembang ketika bergabung dengan Sanggar Triwida. Karangan Titah banyak dimuat di berbagai media, di antaranya Jaya Baya, Parikesit, Panjebar Semangat, Liberty, Suara Karya, Surabaya Post, Anita Cemerlang, Panasea, Kuncup, dan Taruna sejak 1978—1993. Karya-karyanya yang telah dibukukan, antara lain Kembang Cengkeh (1982), geguritan “Lalu” dan “Wong Lanang Aran Ghafar” dalam antologi Kabar Saka Bendulmrisi: Kumpulan Guritan (2001), Dheweke Layar dalam Drona Gugat (1995), Pakansi, Ing Terminal Jombang, serta Wawan Rembug dalam Negeri Bayang-bayang (1996).

Upacara Larung Saji: Tradisi Tolak Balak oleh Masyarakat Kediri

  Legenda dapat dipahami sebagai cerita magis yang sering dikaitkan dengan tokoh, peristiwa, dan tempat-tempat yang nyata. Berlainan dengan mitos, legenda ditokohi manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa dan seringkali juga dibantu oleh makhluk-makhluk ghaib. Cerita legenda di Jawa Timur sudah banyak, salah satunya adalah legenda Gunung Kelud. Legenda Gunung Kelud sangat erat dengan mitos Lembu Sura. Dalam mitos Gunung Kelud juga digambarkan sistem kepercayaan di masa Prabu Brawijaya dan masyarakat di sekitar Gunung Kelud kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga Prabu Brawijaya memerintahkan kepada rakyatnya untuk mengadakan upacara larung saji agar terhindar dari sumpah Lembu Sura. 

Singkat cerita, tradisi larung saji bermula dari legenda Gunung Kelud dan Lembu Sura. Pada masa Kerajaan Brawijaya, Prabu terlintas dalam benak untuk mengadakan sayembara. Sayembara tersebut dilakukan untuk menikahkan putrinya yang bernama Dewi Kilisuci dengan seorang laki-laki yang mampu melewati dua rintangan yang sudah disediakan olehnya. Apabila laki-laki tersebut berhasil, ia berhak menikah dengan putri. Ketika sayembara dibuka dan akan ditutup karena tidak ada satupun laki-laki yang dapat melakukan tantangan, tiba-tiba datang seorang laki-laki berkepala lembu yang bernama Lembu Sura. Dengan mudahnya Lembu Sura merentangkan busur dan mengangkat gong dengan kekuatan yang dimilikinya. Dewi Kilisuci kecewa dan tidak ingin menikah dengan laki-laki berkepala lembu. Akan tetapi, raja harus bersikap adil. Raja tetap akan menikahkan Lembu Sura dengan Dewi Kilisuci. Melihat putrinya sedih, salah seorang pengawal Dewi Kilisuci memberikan saran agar Lembu Sura membuatkan sumur dipuncak Gunung Kelud dalam waktu satu malam. Dewi Kilisuci pun mengajukan permintaan kepada Lembu Sura dan disetujui olehnya.

Gambar: Ilustrasi Lembu Sura memenangkan sayembara dan dampak pengkhianatan
dari Prabu Brawijaya

Sumber gambar: Kanal Youtube Dongeng Kita (https://www.youtube.com/watch?v=aQu_-41Gu2Q

Sumber gambar: https://ppid.blitarkab.go.id/2022/07/upacara-adat-pemkab-blitar-gelar-larung-saji/#:~:text=BLITAR%20KAB%20%E2%80%93%20Upacara%20Tradisional%20Larung,dan%20masyarakat%20nelayan%20Kabupaten%20Blitar

Sumber gambar: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/larung-sesaji-pantai-tambakrejo-ritual-ini-merupakan-ungkapan-syukur/ 

Ketika Lembu Sura hampir selesai menggali sumur, raja memerintahkan pengawalnya untuk
menimbun sumur tersebut. Tidak ada satu pun pengawal yang berani menolong Lembu Sura ketika ia berteriak minta tolong. Sebelum mati tertimbun, Lembu Sura mengucapkan sumpah serapah. Untuk mengantisipasinya, Raja membuat tanggul yang sekarang menjadi gunung pegat dan mengadakan tolak balak yang disebut dengan larung saji di kawah Gunung Kelud.

Dalam mitos tersebut digambarkan bahwa Prabu Brawijaya dan sebagian masyarakat Kediri, Blitar, dan Tulungagung juga masih percaya terhadap sumpah Lembu Sura, bahwa setiap dua windu sekali, Lembu Sura akan merusak wilayah kekuasan Raja Brawijaya. Sumpah Lembu Sura ketika tahu dikhianati oleh Raja Brawijaya dan Dewi Kilisuci adalah Kediri akan menjadi kali (sungai), Blitar akan menjadi latar (tanah), dan Tulungagung akan menjadi kedung (waduk). Untuk mengatasi sumpah Lembu Sura, Raja Brawijaya menyuruh masyarakat membuat tanggul yang kuat yang bertujuan untuk melindungi pemukiman penduduk dari letusan lahar Gunung Kelud. Terlepas dari hal itu, Prabu Brawijaya juga memerintahkan agar masyarakat melaksanakan upacara larung saji setiap tanggal 1 bulan Muharam. 

Upacara larung saji tersebut sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Kelud. Upacara tersebut dilakukan sebagai bentuk tolak balak agar Lembu Sura tidak marah, sehingga Gunung Kelud tidak meletus. Sebagian masyarakat di Kediri, Blitar, dan Tulungagung juga masih ada yang mempercayai mitos tersebut. Apabila Gunung Kelud meletus, berarti Lembu Sura sedang marah serta melaksanakan sumpahnya untuk merusak wilayah kekuasan Raja Brawijaya. Sumpah tersebut adalah bentuk balas dendam Lembu Sura kepada Prabu Brawijaya dan Dewi Kilisuci yang telah melakukan pengkhianatan terhadap dirinya, yaitu menimbun dirinya dalam sumur yang dibuatnya sendiri sampai meninggal. Hingga saat ini, warga Kediri dan sekitarnya percaya bahwa ketika Gunung Kelud erupsi, itu adalah wujud kemarahan Lembu Sura. 

Sumber: 

  1. Raharjo, Resdianto Permata, Arisni Kholifatun., & Ginanjar Setyo Permadi. (2021). Strukturalisme Sastra Lisan dalam Mitos Dewi Kilisuci dan Mitos Tengger.
    Gresik: Graniti.
  2. Wardani, Intan Kusuma., Rifanda Natasya Wiri Dana., & Encil Puspitoningrum. (2020). “Analisis Nilai Moral Cerita Rakyat Legenda Gunung Kelud dan Lembu Sura Menggunakan Pendekatan Mimetik”. WACANA: Jurnal Bahasa, Seni, dan Pengajaran, 4(2), 70—80. https://ojs.unpkediri.ac.id/index.php/bind/article/view/17655

Tongkos Odheng dari Madura

Tongkos merupakan sejenis oḍheng khas Madura, khususnya bagi kalangan bangsawan di Madura Barat (Bangkalan). Tongkos memiliki mata rantai sejarah yang terputus, utamanya tentang awal mula kemunculannya yang sementara ini hanya didapatkan dari versi tutur. Versi tutur menyebutkan bahwa karya budaya ini muncul sejak abad XVIII (1700-an), yakni tercetus di masa Pangeran Cakraningrat IV (bertahta: 1718-1745),1 dan tercipta pada masa Panembahan Cakradiningrat V (bertahta: 1745-1770).  Menurut sejarah tutur yang peroleh, tongkos ada sejak 1.747. Itu berangkat dari kegelisahan Panembahan Sedo Mukti yang merupakan pemimpin ke-4 Kerajaan Madura Barat. Letaknya di Desa Sambilangan, Kecamatan Kota Bangkalan. Kegelisahan itu berawal saat putra sulung Pangeran Cakraningrat IV bingung mencari ciri khas Bangkalan yang dapat dijadikan simbol. Sehingga, dapat digunakan saat berkunjung ke Keraton Mataram. Dari situlah penguasa Kerajaan Madura Barat mencari inspirasi yang dapat dijadikan simbol dari Bangkalan. Setelah berkelana ke berbagai tempat, Pangeran Sedo Mukti akhirnya menemukan hewan unik di bibir pantai. Yakni, dua mimi yang bertumpang.

Mimi memang dikenal sebagai hewan yang memiliki makna kesetiaan. Sebab, hewan yang dilindungi tersebut hanya memiliki satu pasangan selama hidup. Sehingga, makna kesetiaan dari hewan yang memiliki 10 mata sangat cocok diimplementasikan oleh manusia. Mimi memiliki filosofi, apapun masalah kalau dihadapi bersama (laki-laki dan perempuan) akan terasa ringan. Dulu, tongkos hanya digunakan oleh kaum bangsawan yang telah dewasa. Penutup kepala itu biasa digunakan dengan baju agungan. Bentuk tongkos saat ini ada dua, Pertama menggunakan satu lipatan di bagian depan, dan Ada pula yang menggunakan dua lipatan. Sementara motif batik yang dapat digunakan masih menjadi bahan diskusi.

Sumber: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/jenis/1/ekspresi-budaya-tradisional/31425/tongkos

Tengsoe Tjahjono

Tengsoe Tjahjono tergolong pengarang yang cukup produktif, khususnya dalam penciptaan puisi. Karya-karyanya sudah banyak yang terbit, dalam antologi puisi mandiri maupun antologi bersama penyair lain. Di samping itu, ia juga menulis cerpen dan esai yang dipublikasikan melalui berbagai media massa, seperti Jawa Pos, Surabaya Post, Surya, dan Suara Indonesia. Tengsoe Tjahjono lahir di Jember pada tanggal 3 Oktober 1958 dan lama tinggal di Banyuwangi. Ia adalah anak kedua dari tujuh bersaudara. Ia berasal dari etnis Jawa dan beragama Katolik. Ayahnya bernama Sinidarsono dan ibunya bernama Sri Kasmiati. Pendidikan formal dari SD sampai dengan SPG tahun 1977 diselesaikan di kota Banyuwangi. Tahun 1983, ia menyelesaikan pendidikan dari Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Malang. Program Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra IKIP Malang ia selesaikan tahun 1993. Saat ini, ia masih menempuh program doktoral di Universitas Negeri Malang. Pengalaman bekerja dimulai saat ia masih mahasiswa, yaitu menjadi guru di SMA Corjesu Malang tahun 1980. Tahun 1986, ia pindah ke Surabaya dan menjadi dosen tetap di FPBS IKIP Surabaya hingga sekarang. Ia menikah dengan Sri Mumpuni dan dikaruniai tiga anak, yaitu Dini, Asti, dan Tessa. Kebiasaan menulis sudah tumbuh sejak masih duduk di bangku SMP, tetapi baru berkembang dengan baik setelah kuliah di IKIP Malang dengan melibatkan diri dalam berbagai kegiatan dan forum sastra. Ia pernah menjadi anggota teater Mlarat, memimpin teater Temperamen, dan untuk beberapa periode menjabat ketua Biro Sastra Dewan Kesenian Malang (1984—1988). Setelah hijrah ke Surabaya, ia kembali aktif di dunia sastra dengan memprakarsai terbentuknya Paguyuban Studi Sastra Ketintang bersama Setya Yuwana Sudikan dan Henricus Supriyanto, membentuk Komunitas Sastra Kalimas, dan menjadi Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Surabaya (DKS). Sebagai akademisi sastra, ia juga sering diundang untuk berbicara dalam seminar atau diskusi sastra. Karya-karyanya, baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa Jawa, tersebar di berbagai media. Hasil karyanya telah terbit dalam antologi bersama, antara lain (1) Drona Gugat (Bukan Panitia Parade Seni WR Supratman, 1995), (2) Kabar Saka Bendulmrisi: Kumpulan Guritan (PPSJS, 2001), (3) Omongo Opo Wae: Antologi Puisi dan Guritan (Taman Budaya, 2000), (4) Luka Waktu: Antologi Puisi Penyair Jawa Timur (Taman Budaya, 1998), (5) Sajak-sajak Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (Taman Budaya Surakarta, 1995), (6) Malsasa 1996, dan (7) Festival Puisi XIV (PPIA Surabaya, 1994). Hasil karyanya yang terbit dalam antologi sendiri, antara lain Fenomena (Lembaga Kesenian Indrakila Malang, 1983), Pendopo Taman Siswa Sebuah Episode (Universitas Sarjanawiyata Yogyakarta, 1982), Hom Pim Pah (Temperamen Bengkel Muda Malang, 1984), Mata Kalian (Temperamen Bengkel Muda Malang, 1988), Gelombang (FASS-PPIA Surabaya Post, 1990), Ning (Sanggar Kalimas, 1997), Pertanyaan Daun (Komunitas Kata Kerja Malang, 2003), Terzina Penjarah (Sanggar Kalimas, 1998), dan Sastra Indonesia: Pengantar Teori dan Apresiasi (Nusa Indah Ende, 1988). Penghargaan dan prestasi yang pernah diraih adalah puisinya masuk lima besar dalam Lomba Cipta Puisi Penyair Muda se-Indonesia pada tahun 1982, sepuluh besar Lomba Cipta Puisi di Tabanan pada tahun 1998, sepuluh besar Lomba Cipta Puisi se-Indonesia yang diadakan oleh Sanggar Minum Kopi Denpasar tahun 1992, dan menjadi aktor terbaik se-Kota Malang pada tahun 1997. Tengsoe Tjahjono juga menulis buku-buku yang berkaitan dengan pengajaran dan apresiasi sastra, seperti Sastra Indonesia: dengan Teori dan Apresiasi (1987) dan Membidik Bumi Puisi: Ke Arah Kegiatan Apresiasi(2000).

 

Bathoro Katong: Jejak Legenda yang Abadi di Kota Reog

Kabupaten Ponorogo yang dikenal sebagai Kota Reog memiliki banyak cerita sejarah. Salah satu cerita sejarah yang cukup menarik adalah tentang Raden Bathoro Katong, sang legenda Kota Reog. Raden Bathoro Katong atau Lembu Kanigoro yang merupakan founding father-nya Ponorogo berhasil mengubah kondisi masyarakat Ponorogo yang awalnya primitif menuju peradaban yang lebih baik. Beberapa pendapat menyatakan bahwa kedatangannya ke Ponorogo merupakan konsekuensi dari perubahan politik pada masa itu, yaitu dari kekuasaan Kerajaan Majapahit (Hindu-Budha) menuju pada kekuasaan Kerajaan Islam Demak. 

Selain itu, bukti sejarah yang berupa prasasti baik di candi, makam, masjid, dan tempat-tempat bersejarah lainnya masih relatif lengkap dan terpelihara secara baik. Namun, prasasti tersebut tidak dapat terbaca secara jelas oleh masyarakat Ponorogo maupun para pemerhati sejarah. Sebab, dokumen-dokumen tertulis yang mendukung prasasti tersebut sangat terbatas.

  

Gambar: https://diannurcahyanti.wordpress.com/makam-batoro-katong/ 

Legenda Bathoro Katong merupakan legenda turun-temurun rakyat Ponorogo yang mengandung cerita sejarah asal-usul daerah. Memelihara tradisi adalah perilaku yang telah diwariskan secara turun-temurun. Banyak nilai kehidupan yang terdapat pada Legenda Bathoro Katong. Legenda tersebut mengisahkan kekalahan Bathoro Katong menghadapi serangan Ki Ageng Kutu. 

Konon, pasukan Ki Ageng Kutu menyerang Ponorogo ketika Bathoro Katong dan prajuritnya sedang melaksanakan salat Jumat. Saat itu bertepatan pada hari Jumat Wage. Hingga kini, masyarakat Ponorogo berkeyakinan bahwa hari Jumat Wage merupakan hari nahas atau hari sial oleh masyarakat Ponorogo, terutama kaum abangan (Kumpulan Cerita Rakyat Ponorogo). Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Ponorogo kental dengan tradisi animisme dan dinamisme yang diturunkan dari keyakinan leluhur kemudian diwariskan melalui cerita rakyat. Semenjak itu, hari Jumat Wage menjadi pantangan untuk bepergian, bercocok tanam, mendirikan rumah, menikahkan anak, mengkhitankan anak, dan sebagainya. 

Gambar: https://www.facebook.com/SemuaTentangPonorogo/posts/jumatan-di-masjid-bathoro-katong-ponorogobismilah-semoga-zona-merah-segera-berla/4247549218635393/?locale=id_ID

Gambar: https://beritajatim.com/politik-pemerintahan/pemkab-ponorogo-upayakan-perbaikan-stadion-batoro-katong/ 

Hingga saat ini, nama Bathoro Katong dianggap penting bagi masyarakat Ponorogo. Hal ini terbukti karena beberapa tempat maupun bangunan masih banyak yang menggunakan nama “Bathoro Katong” seperti penamaan stadion, masjid, dan sebagainya. 

Sumber: 

  1. https://surabaya.kompas.com/read/2022/04/05/192000678/dijuluki-kota-reog-ini-sejarah-kabupaten-ponorogo-ada-sejak-tahun-1496?page=all
  2. Pramono, Muhammad Fajar. (2006). Raden Bathoro Katong Bapak e Wong Ponorogo. Ponorogo: Lembaga Penelitian Pemberdayaan Birokrasi dan Masyarakat. http://repo.unida.gontor.ac.id/83/4/Raden%20Bathoro%20Katong%20Fix.pdf
  3. Sari, Fitriana Kartika. (2023). “Legenda Bathoro Katong dan Reog Ponorogo sebagai Materi Penguatan Karakter Berkebhinekaan”. Jurnal Bahasa dan Sastra, 10(2),
    117—123. https://jurnal.stkippgriponorogo.ac.id/index.php/JBS/article/view/326/333