Imam Muhtarom, Sastrawan Multitalenta dari Bumi Penataran

Imam Muhtarom adalah sastrawan multitalenta kelahiran Bumi Penataran, Blitar, Jawa Timur pada 12 Mei 1977. Selain penulis karya sastra, ia juga adalah seorang kritikus, peneliti budaya, kurator dan dosen. Namanya dikenal melalui karya novel dan cerita pendek (cerpen) yang dipublikasikan di sejumlah surat kabar. Bersama rohaniwan Mudji Sutrisno, dan jurnalis budaya Seno Joko Suyono, ia menjadi pendiri sekaligus kurator tetap festival tahunan tentang sastra, seni dan religi nusantara, Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) yang diselenggarakan setiap tahun, sejak tahun 2012 di Kawasan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Gelar Sarjana Sastra diraihnya di Fakultas Sastra, Universitas Airlangga (Unair), Surabaya tahun 2001 sedangkan gelar Magister Humaniora direngkuhnya dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (FIB UI). Ia mengawali debutnya sebagai sastrawan dengan menulis fiksi, resensi buku, kritik sastra, menerjemahkan buku, dan menjadi kritikus teater. Dia juga sering dipercaya menjadi kurator seni rupa. Cerpennya dipublikasikan di sejumlah jurnal sastra nasional, surat kabar, dan berbagai antologi. Karyanya juga masuk dalam Sepuluh Besar Cerita Pendek Bali Post, Sepuluh Besar Cerita Pendek Universitas Negeri Padang, dan Universitas Deakin, Australia. 

Pada 2008, Imam terpilih sebagai peserta Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) XII yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di Bogor, Jawa Barat. Berselang dua tahun, Imam terpilih sebagai satu dari 18 penulis Indonesia peserta festival sastra internasional bergengsi, Ubud Writers and Readers Festival 2010. 

Karyanya yang telah terbit antara lain buku kumpulan cerpen Rumah yang Tampak Biru Oleh Cahaya Bulan (2007), Kulminasi: Teks, Konteks, dan Kota: Kumpulan Esai Sastra (2013), Keberlanjutan Reyog Bulkiyo (2018), dan Sesaji Puisi Ratu Adil (2014). Selain itu, Imam juga menjadi editor sejumlah buku tentang sejarah, budaya dan religiusitas 

Di samping aktivitasnya di bidang sastra, seni dan budaya, Imam saat ini juga menjadi dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Singaperbangsa Karawang, Jawa Barat.

 

Sumber : borobudurwriters.id, id.wikipedia.org, imamuhtarom.blogspot.com, diolah
Foto : kompas.id

Novelis dari Bumi Tembakau 

Nurillah Achmad adalah penulis muda kelahiran Jember, Jawa Timur, 31 tahun lalu. Ia  merupakan alumnus Pondok Pesantren Tarbiyatul Mu’allimien al-Islamiyah (TMI) Putri Al Amien Prenduan, Sumenep, Madura. Ia belajar menulis semasa menjadi santri. Saat melanjutkan studi S1 di Fakultas Hukum Universitas Jember, ia mengirimkan tulisannya ke berbagai media. Pada 2019, karya tulisnya membuatnya terpilih sebagai satu dari lima Penulis Emerging pada festival sastra bergengsi internasional, Ubud Writers & Readers Festival 2019 di Ubud, Bali. 

Sejumlah cerpennya dimuat di media cetak nasional sedangkan empat novelnya telah diterbitkan. Novel pertamanya Cara Bodoh Menertawakan Tuhan (2020), disusul novel Lahbako (2021), lalu novel  Berapa Jarak antara Luka dan Rumahmu? (2023) dan novel Hijab For Sisters (2024). Novel  Berapa Jarak antara Luka dan Rumahmu? meraih nominasi sebagai novel remaja Islami terbaik di Islamic Book Fair (IBF) Award 2024 dan juara dua lomba novel Islami yang diadakan oleh Elex Media  dan Gramedia Writing Project. Novelis dan cerpenis dari bumi penghasil tembakau utama di Jawa Timur ini juga aktif di komunitas Puan Menulis.

 

Sumber : gramedia.com, diolah
Foto : gresiksatu.com

Alek Subairi, Penyair dan Seniman Sampul Buku

Alek Subairi adalah penyair kelahiran Sampang, Madura, Jawa Timur pada Maret 1979 dan merupakan alumnus Seni Rupa Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Ia bergiat dalam kajian-kajian sastra, serta beraktivitas di Komunitas Rabo Sore (KRS), dan Komunitas Tikar Merah. Ia pernah mengelola Jurnal Puisi Amper dan Majalah Sastra Kalimas. 

Namanya dikenal melalui karyanya berupa puisi-puisi yang dipublikasikan dalam beberapa buku antologi puisi bersama penyair lainnya, maupun buku puisi karyanya sendiri. Buku puisinya Kembang Pitutur, masuk 10 besar di Khatulistiwa Literary Award 2011. Pada tahun 2013, ia terpilih sebagai satu dari 16 emerging writers festival sastra bergengsi internasional, Ubud Writers & Readers Festival (UWRF). Karyanya dimuat dalam Through Darkness to Light, sebuah antologi dwibahasa penulis Indonesia peserta UWRF. Buku puisi keduanya berjudul  Bisikan terbit pada 2016. Pada 2022, ia terpilih sebagai kolaborator pada festival tahunan tentang sastra, seni dan religi nusantara, Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) di Kawasan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Alek juga menjadi salah satu dari 120 seniman Jawa Timur yang mendapatkan penghargaan dalam acara Jawa Timur Harmoni 2019. 

Sejak tahun 2016, Alek mendirikan penerbitan Tankali yang menerbitkan buku sastra dari penulis Jawa Timur, seperti Jalan Kepiting (karya Umar Fauzi ballah), hingga Kampung Terapung (karya Mahendra).

Alek juga dikenal dengan karya lukisan dan sketsanya pada banyak buku sastra, baik sebagai sampul maupun sebagai ilustrasi. Beberapa buku sastra di Gresik yang dirancangnya adalah Perohong I-XV (karya Bening Siti Aisyah); Pembuangan Phoenix, Tetralogi Kerucut, dan Dari Tukang Kayu Sampai Tarekat Lembu (karya A Muttaqin); Sepatu Kundang (karya Aji Ramadhan); serta Belajar Bersepeda dan Jarum, Musim dan Baskom (karya Mardi Luhung). Selain itu, buku sastra antologi yang memuat penulis Gresik juga pernah menjadi bagian rancangannya, seperti Lelaki Kecil di Terowongan Maling (A Muttaqin, Aji Ramadhan, Mardi Luhung, Muh Ali Sarbini, Ahmad Rofiq, dan Dewi Musdalifah) atau Jurnal Puisi Amper Edisi 01, Mei, 2011 (Lenon Machali).

Sumber : id.wikipedia.org, festival.borobudurwriters.id, gresiksatu.com, diolah

Foto : gresiksatu.com

Dwi Ratih Ramadhany, Menulis Berkat Cerita Nenek Jelang Tidur

Hobi menulis Dwi Ratih Ramadhany, sastrawan asal Sampang, Madura ini bermula dari cerita dongeng yang selalu dibawakan sang nenek jelang tidur sejak TK hingga SD. Saat Ratih duduk di bangku SD, ia menerima pelajaran Bahasa Daerah, lalu mendapat tugas menceritakan kembali sebuah cerita rakyat atau folklor. Pada saat itu, Ratih mengaku tidak kesulitan menceritakan folklor Madura karena kebetulan dirinya suka bercerita, apalagi ayahnya memiliki buku Babad Songenep. buku tentang sejarah Keraton Sumenep yang ditulis Raden Werdisastra, Sekretaris Keraton Sumenep. “Saya memang suka dengan cerita rakyat, jadi saat itu saya semakin suka dengan cerita,” kata Ratih. Lambat laun, ia merasa memiliki latar belakang menulis sehingga saat berkuliah di jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Malang (UM), ia memilih bergabung dengan komunitas dan organisasi menulis. Harapannya agar mampu mengasah kemampuan menulis, menambah relasi dan tema. Dari berbagai aktivitas yang dijalani di komunitas tersebut, motivasi Ratih menulis terus menguat.

Dalam perjalanan menulisnya, Ratih mengaku karyanya tidak jauh dari topik soal tanah kelahirannya di Madura. Baginya, itu menjadi wujud rasa cinta dan bangganya pada Madura sekaligus mengurangi rasa rindu saat berada di tanah rantaunya kini di Kota Bogor. “Untuk tema tulisan yang saya pilih beragam, seperti bentuk eksperimen dengan rekonstruksi ulang pandangan baru dari cerita rakyat dan menggarap mitos-mitos yang ada di masyarakat, hingga sampai isu sosial dan gender,” jelasnya.  Berbagai capaian nasional hingga internasional telah mewarnai perjalanan Ratih sejauh ini. Ia pernah mengikuti Akademi Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2014, lalu terpilih sebagai satu dari 16 penulis emerging pada festival sastra bergengsi internasional Ubud Writers and Readers Festival 2015 di Ubud, Bali dan mengikuti Majelis Sastra Asia Tenggara pada 2016. Prestasinya meliputi juara 3 Lomba Cerpen Peksiminas (2014), juara 2 Lomba Menulis Cerita Rakyat Kemendikbud (2015), dan Beasiswa Peliputan Program Perempuan Berdaya di Media dari Project Multatuli dan We Lead (2022). Karyanya yang telah terbit antara lain Badut Oyen (GPU, 2014), Kata Kota Kita: Kumpulan Cerpen Gramedia Writing Project (GPU, 2015) 17.000 Islands of Imagination, A Bilingual Anthology of Indonesian Writing (UWRF, 2015), Pemilin Kematian (PSM, 2017), Silsilah Duka (Basabasi, 2019), dan Yang Terlupakan dan Dilupakan: Membaca Kembali Sepuluh Penulis Perempuan Indonesia (Marjin Kiri, 2021). Walau kini kerap menjadi editor buku, Ratih mengaku tetap menyempatkan menulis cerpen dan novel. Selain itu,  ibu dua anak yang tinggal di Bogor ini juga aktif di di program Ruang Perempuan dan Tulisan.

Sumber: tribunmadura.com, diolah 

Foto : radarmadura.jawapos.com

Heru Sang Amurwabumi, Cerpenis Pengidola Ken Arok

Heru Sang Amurwabhumi adalah nama pena penulis Heru Widayanto, kelahiran Dusun Sugih Waras, Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur, 14 Oktober 1979. Sang Amurwabhumi adalah gelar dari Ken Arok, pendiri Kerajaan Singasari yang diidolakannya. Ketua Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk (Kopling) ini mulai gemar menulis cerpen dan puisi sejak SMP melalui majalah dinding sekolah. 

Dalam dirinya mengalir darah seni dari ibunya yang seorang sinden dan kedua kakeknya yang menjadi dalang. Seiring waktu dan bertambahnya pengalaman hidup, penggemar wayang kulit ini mulai memberanikan diri mengikuti kontes penulisan cerpen pada tahun 2016. Dua tahun kemudian, , ia menjadi juara dua Lomba Menulis Cerpen Tingkat Nasional 2018 oleh Jejak Publisher. Selanjutnya Juara Harapan I Sayembara Bunga Tunjung Biru 2019, terpilih sebagai salah satu Emerging Writer di Ubud Writers & Readers Festival 2019 serta cerpenis terpilih Platform Indonesia Kemendikbud 2019. Rentetan prestasinya berlanjut saat menjadi Pemenang Kompetisi Menulis GP Ansor-Ditjen PAI Kemenag 2020, Juara 1 Lomba Cipta Puisi Nasional T-Zone Publisher 2020, juara pertama Lomba Cerpen Tingkat Nasional MJS Publisher 2020,  Juara I Kompetisi Cerpen Se-Jawa Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Universitas Ronggolawe Tuban 2020, dan Cerpenis terpilih Kemenparekraf 2020. Selain dimuat di berbagai media cetak dan daring, beberapa cerpennya telah dibukukan. Karya terbaru pendiri Sanggar Omah Sastra ini diluncurkan medio tahun 2024 lalu berupa kumpulan cerpen budaya Maha Pralaya Bubat

Heru begitu terinspirasi dengan Kang Damar Shasangka, Langit Kresna Hariadi, dan Makinuddin Samin karena dinilainya konsisten mengangkat tema sejarah dan sufisme Jawa dalam karyanya. Saat ini, Heru sedang menyelesaikan sebuah novel sejarah, kumpulan cerpen,dan buku kumpulan puisi.

Sumber : menaramadinah.com, diolah
Foto   : https://www.facebook.com/catatansangmahadewa

Fisikawan Cum Penulis 

Azri Zakkiyah, penulis muda kelahiran 19 Maret 1992 asal Malang yang hidup dalam persilangan banyak dunia. Selain sebagai penulis, ia juga ilmuwan, guru, dan santri. Alumnus S1 Fisika Universitas Airlangga, Surabaya dan Master Fisika Medis Universitas Brawijaya, Malang ini menulis tema spiritualitas, fiksi ilmiah dan tentang dunia pesantren. Novel pertamanya Mawar Surga diterbitkan pada tahun 2008 saat ia masih kelas 1 SMA. 

Pada tahun 2016, ia terpilih sebagai salah satu penulis emerging di Ubud Writers and Readers Festival. Ajang sastra internasional itulah yang lantas membawanya tampil di Festival Penulis Internasional, Emerging Writers Festival 2017 di Melbourne, Australia. Azri juga mendapat hadiah dari Kemendikbud dan Komite Buku Nasional (KBN) untuk Program Residensi Penulis 2017 berupa riset kepenulisan di Melbourne, Australia pada Juli-September 2017. 

Sebanyak 21 karyanya telah diterbitkan. Ada novel, antologi cerpen dan antologi bersama. Sejumlah novelnya seperti Alunan Vektor Allah (2009), Twin Ning (2010), And Family Pie (2013), Aif (2016), Gus Faham (2016), I & A (2016), I Bear Witness (2016) dan Khudr (2021). Karya antologinya, Ekipastisi Hidupku (2012), Mahasantri Airlangga (2012), Impian Hebat (2012), Kenapa Sekolah (2015), dan A Bilingual Anthology of Indonesian Writing, Tat Tvam Asi (2016). Novel Alunan Vektor Allah memenangkan Juara 1 Nasional Lomba Penulisan Fiksi Kementerian Agama. Penggalan novelnya, I & A diterbitkan dalam Bahasa Inggris sebagai bahan kuliah di Swinburne University, Australia pada tahun 2017. Selain menulis, Azri juga menjadi guru di Mahad Al Qalam Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 3 Malang, Jawa Timur.

Sumber : tribunnews.com, idwriters.com, diolah
Foto   : facebook.com/dzakeeya

Stebby Julionatan, Penggiat Literasi Bumi Banger 

Stebby Julionatan, dilahirkan di Kota Probolinggo, Jawa Timur, 30 Juli 1983. Sebagai anak dari guru Bahasa Indonesia, Stebby akrab dengan baca tulis sejak kecil. Meski belum mengerti, ia sudah membaca karya sastra. Di usia belia, Stebby mulai membaca novel seperti Burung-Burung Manyar (1981) karya YB. Mangunwijaya dan buku sejarah Indonesia dari tahun 1934 sampai 1978.

Saking seringnya mengonsumsi karya sastra, membaca dan menulis menjadi kebiasaan hingga mengantarnya menjadi juara menulis cerpen di sekolahnya, SMPN 5 Kota Probolinggo. 

Kesungguhannya menekuni sastra baru muncul tahun 2006 saat ia terpilih sebagai Kang Kota Probolinggo. Ketika itu, ia tengah menempuh kuliah S1 di STKIP PGRI Wiranegara atau Uniwara, Pasuruan.

Dalam sesi wawancara penentuan Kang-Yuk, Stebby ditanya apa yang akan dilakukan jika terpilih menjadi Kang Kota Probolinggo dan menjadi duta wisata.

“Muncul rasa tanggung jawab untuk mempromosikan Kota Probolinggo lewat apa yang aku bisa,” ujar Stebby. Ia pun menekuni sastra dan menggerakkan semangat literasi di Bumi Banger, julukan Kota Probolinggo.

Alumnus S2 Kajian Gender UI (2023) ini pernah dinobatkan Kolomkita sebagai Penulis Muda Berbakat 2007 atas karyanya Ku Nanti Hujan di Pucuk Musim Kemarau. Karyanya yang sudah terbit adalah novel bergenre surealis remaja LAN (2011), buku kumpulan cerpen Barang yang Sudah Dibeli Tidak Dapat Ditukar Kembali (2012), dan kumpulan sajak Biru Magenta (2015) yang membawanya masuk dalam daftar Anugerah Pembaca Indonesia (API) 2015. Pada 2016, manuskrip puisinya Rabu dan Biru, menjadi nominator (5 besar) Siwa Nataraja Awards. Berselang setahun, buku puisinya Di Kota Tuhan, Aku Adalah Daging yang Kau Pecah-pecah masuk nominasi Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jawa Timur. 

Pada tahun 2019, Stebby bersama 19 sastrawan lain menerima penghargaan sebagai sastrawan terbaik Jawa Timur dari Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa. Ia juga terpilih sebagai satu dari 15 Penulis Emerging Indonesia pada festival sastra internasional, Ubud Writers and Readers Festival 2021 di Ubud, Bali. Pendiri Rumah Baca Komunitas Menulis (Komunlis), Probolinggo ini sehari-hari bekerja sebagai staf Diskominfo Kota Probolinggo. Selain itu, mantan Kang Kota Probolinggo 2006, dan finalis Raka-Raki Jawa Timur 2007 ini juga aktif sebagai penyiar radio Suara Kota Probolinggo

 

Sumber : timesindonesia.co.id, bonx.wordpress.com, diolah 

Foto : facebook.com/sjulionatan

Dewi R Maulidah, Sastrawan dari Kota Pudak

Dewi R. Maulidah adalah penulis asal Desa Klangonan, Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Alumnus Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang ini menulis puisi, esai, prosa, dan tulisan-tulisan lepasnya di berbagai media dan antologi bersama. Buku antologi puisi tunggalnya, Daun-daun Rasa (Penerbit Bitread Publishing, 2014) dan Pemeluk Angin (Penerbit Pelangi Sastra, 2019). 

Dewi terpilih sebagai peserta Residensi Penulis Indonesia 2019 oleh Komite Buku Nasional di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pada 2022, ia terpilih sebagai kolaborator pada festival tahunan tentang sastra, seni dan religi nusantara, Borobudur Writers & Cultural Festival di Kawasan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Selepas studi magisternya di Universitas Negeri Malang, Dewi diundang sebagai peserta Residensi Seniman-Peneliti oleh Yayasan Tilik Sarira dalam program Nganteuran: Performative Culinary Arts di Sukabumi, Jawa Barat pada Januari-Februari 2023. Pada Program Laku Dalam Ruang yang terhubung dalam Pekan Kebudayaan Nasional 2023, Dewi terpilih sebagai Seniman Residensi di wilayah Museum Ketransmigrasian Nasional, Lampung. Sejak tahun 2011 tinggal di Kota Malang hingga kini dan bergabung dalam komunitas Pelangi Sastra Malang.

 

Sumber : festivalborobudurwriters id, surya.co.id, diolah
Foto   :  x.com/drmaulidah

Lita Lestianti, Penulis dan Planolog 

Planolog dan penulis cerpen, cerita anak, dan novel asal Malang ini menyelesaikan pendidikan S1 Perencanaan Wilayah dan Kota di Universitas Brawijaya, Malang pada tahun 2010. Selanjutnya, ia meraih gelar ganda S2 pada Jurusan Magister Pembangunan Wilayah dan Kota di Universitas Diponegoro, Semarang (2012) dan Master of Social Science Jurusan Géographie et Aménagement di Universite Paris X Nanterre, Prancis (2013). 

Pernah berkarir di bidang perencanaan pada Bappeda Kabupaten Banyumas (2010) dan sebuah perusahaan konsultan arsitektur dan perencanaan (2014) sebelum menjadi penulis lepas. Buku cerita anak karyanya adalah Sahabat Kecil dari Pulau Cincin Api (Badan Bahasa, 2017), Jelajah Pulau Borneo (Badan Bahasa, 2018), Sing Endi Jarite (Let’s Read, 2019), Kopi untuk Bapak (FLP-INOVASI, 2019), Bermain Bersama (FLP-INOVASI, 2019), dan Rumah Terbaik Tungtung, Si Lutung Jawa (WIN, 2023). Cerpennya terhimpun dalam kumpulan cerpen Tot Ziens, Rembang! (FLP, 2020). 

Cerpennya Nyanyian Pilu Meo Oni yang Terdengar dari Hutan Nunsulat membuatnya terpilih sebagai salah satu Penulis Emerging pada festival sastra internasional, Ubud Writers and Readers Festival 2019 di Ubud, Bali. Prestasi lainnya adalah Pemenang Sayembara Gerakan Literasi Nasional Menulis Bahan Bacaan Anak (Badan Bahasa, 2017 & 2018), Penulis Terpilih Bahan Bacaan Anak Yang Inklusif dan Berjenjang (FLP-INOVASI, 2018) Penulis Terpilih Bahan Bacaan Anak Berbahasa Jawa (Litara, 2019), Penulis Terpilih Cerita Anak OHAWE-ADPRC (Airlangga Disease Prevention and Research Center–One Health Collaborating Center (ADPRC-OHCC) 2023), dan Penulis Terpilih Sayembara Bahan Bacaan Literasi (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2024).

Saat ini rutin menulis di blog pribadi, media digital, media sosial berbasis blog, dan platform menulis daring, sembari bekerja di Forum Lingkar Pena (FLP) Malang. 

Sumber : lestelita.com, linkedin.com/lita-lestianti
Foto : lestelita.com

Jamal D Rahman

Jamal D Rahman lahir dan besar di Lenteng Timur, Sumenep, Madura, Jawa Timur, pada 14 Desember 1967. Alumnus Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep (1987) ini menyelesaikan studi S1  Jurusan Aqidah dan Filsafat di Fakultas Ushuluddin, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta pada 1994. Tahun 1999, ia mendapatkan beasiswa Ford Foundation untuk studi S2 Bidang Studi Ilmu Susastra, Program Pascasarjana, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. 

Mulai menulis sajak sejak di pondok pesantren, karyanya berupa puisi, esai, kritik sastra, masalah kesenian, dan kebudayaan telah tersebar di berbagai media massa di dalam dan luar negeri. Seperti Masa Kini, Bernas, Yogya Post, Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Mimbar Pendidikan Agama, Jawa Pos, Surabaya Post, (Surabaya), Pikiran Rakyat (Bandung), Berita Buana, Pelita, Jayakarta, Harian Terbit, Media Indonesia, Kompas, Republika, Ulumul Quran, Amanah, dan Horison. Tulisan esai dan sajaknya pernah merambah majalah Dewan Sastera (Malaysia) dan Bahana (Brunei Darussalam) melalui Lembaran Program Mastera.

Ia kerap diundang mengikuti acara sastra di dalam dan luar negeri. Antara lain Festival Seni Ipoh III, Negeri Perak, Malaysia (1998), Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara bidang Esai di Cisarua, Bogor (1999), Seminar Kritikan Sastra Melayu Serantau, Kualalumpur (2001), dan Pertemuan Penulis Asia Tenggara (South-East Asian Writers Meet) di Kualalumpur (2001), Festival Poetry on the Road di Bremen, Jerman (2004). 

Buku puisinya Airmata Diam (1993), Reruntuhan Cahaya (2003), Garam-garam Hujan (2004), Burn Me with Your Letters (terjemahan Nikmah Sarjono, 2004), dan Rubaiyat Matahari (2015). Puisi-puisinya juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Jerman dan Portugal. Dimuat pula dalam beberapa antologi, seperti Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (2000), Dari Fansuri ke Handayani (2001), Horison Sastra Indonesia 1: Kitab Puisi (2002), Hijau Kelon: Puisi Kompas 2002 (2002), Poetry on the Road (2004), Poetry and Sincerity (2006), dan 60 Puisi Indonesia Terbaik 2009 (2009).

Ia juga menjadi kontributor beberapa buku, di antaranya Islam dan Transformasi Sosial-Budaya (1993), Romo Mangun di Mata Para Sahabat (1997), Tarekat Nurcholishy (2001), Ulama Perempuan Indonesia (2002), Reinventing Indonesia (2008), Gus Mus: Satu Rumah Seribu Pintu (2009), Dermaga Sastra Indonesia (2010), dan 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (2014). 

Jamal pernah menjadi redaktur jurnal pemikiran Islam Islamika (1993-1995), wartawan majalah Ummat (1995-1999), redaktur majalah sastra Horison (1993) dan anggota Dewan Kesenian Jakarta periode 2003 – 2006.

 

Sumber : id.wikipedia.org, pujies-pujies.blogspot.com, diolah
Foto      : mansajululum.ponpes.id