Esmiet, Sastrawan dari Tanah Blambangan

Sastrawan dari Banyuwangi ini memiliki nama asli Sasmito. Esmiet lahir di Kasihan, Dlanggu, Mojokerto, pada 20 Mei 1938. Masa kecil Esmiet dilalui dengan keprihatinan karena pada saat itu merupakan awal Perang Dunia II. Pendidikan SR diselesaikannya di Mojokerto, lulus tahun 1952. Setelah itu, Esmiet melanjutkan ke SGB di Surabaya (1957) dan bekerja sebagai guru SR di Kabupaten Mojokerto. Tidak berapa lama Esmiet pindah ke Banyuwangi sebagai guru SD Sempu, Genteng. Sejak saat itu, Esmiet menetap dan menjadi penduduk Banyuwangi. Ia dan keluarga tinggal di Jalan Merapi 74, Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur.

Tahun 1957, Esmiet menikah dengan Sulistiyana atau So Li Nio, seorang gadis keturunan Tionghoa beragama Islam. Usia perkawinan mereka tidak lama dan tahun 1960 Esmiet menikah dengan Hariwati dan dikaruniai sembilan orang putra. Meskipun sudah berkeluarga, Esmiet melanjutkan pendidikannya ke SPG di Banyuwangi dan lulus tahun 1971. Tahun 1982, Esmiet mencoba kuliah di IKIP Banyuwangi, tetapi gagal. Esmiet banyak diundang sebagai pembicara dalam berbagai pertemuan ilmiah, di antaranya Sarasehan Jati Diri Sastra Daerah (Bojonegoro, 1984), Kongres Bahasa Jawa (1991, 1996, 2001), Temu Budaya Jawa Timur dan Bali (Jember, 1988), Kongres Kebudayaan (1991), Sarasehan Bahasa dan Sastra Jawa (Yogyakarta, 1994), dan Seminar Kritik Sastra dan Temu Pengarang Sastra Jawa (1998). Selain itu, Esmiet beberapa kali memberikan ceramah tentang sastra Jawa di perguruan tinggi luar negeri, misalnya di Leiden, Belanda, bersama Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo dan di ANU, Canberra, Australia.

Karier Esmiet terus menanjak. Ia tidak hanya menjadi guru, tetapi juga Kepala SD Sempu I, Genteng, Banyuwangi. Tahun 1978, Esmiet diangkat menjadi penilik kebudayaan. Tahun 1981 ia diangkat menjadi penilik TK dan SD. Selain itu, ia mengajar kesenian di SMA Negeri 1 Genteng, Banyuwangi. Esmiet pensiun tahun 1992 setelah mengabdi selama 35 tahun.

Selain sebagai pendidik, Esmiet pernah menjadi redaktur majalah Jaya Baya (1964). Esmiet juga aktif di organisasi politik. Awal tahun 1960-an ia menjadi anggota PNI, kemudian tahun 1962 menjadi ketua PNI Ranting Jambewangi, Genteng. Pada tahun 1965 ia dipercaya sebagai ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) Genteng, Banyuwangi. Bahkan, tahun 1966 Esmiet diangkat menjadi anggota DPRD Banyuwangi. Karier Esmiet sebagai anggota dewan memengaruhi proses kreatif karyanya, di antaranya Wong Jompo iku Mati Ping Telu, Geter Desember, dan Sawutuhe ing Birune Langit (ketiga novel ini belum diterbitkan) juga Tunggak-Tunggak Jati (1977). Selepas berkiprah di organisasi politik, Esmiet aktif di bidang kebudayaan dan menjadi ketua Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ) Komda Jatim. Pada 20 Mei 1974 Esmiet mendirikan Sanggar Parikuning.

Kiprah Esmiet dalam sastra Jawa bermula tahun 1956 dan setahun kemudian cerkaknya yang berjudul “Semanding” dimuat dalam Tjrita Tjekak. Bukti bahwa karya Esmiet bermutu tampak dari seringnya mendapat penghargaan dalam berbagai sayembara, yaitu: “Satus Pitung Puluh Lima”, juara I penulisan cerkak majalah Jaya Baya (1971); “Kamar” (1978), penghargaan juara I cerkak majalah Jaya Baya; penghargaan dari PKJT Surakarta untuk cerkak “Diseblakake Ping Pitu” (1976) dan “Angin Puputan Kedhung Srengenge” (1978); novel Nalika Langite Obah (1997) dianugerahi hadiah sastra Rancage tahun 1998; dan tahun 2001 dianugerahi penghargaan Rancage atas jasa-jasanya mengembangkan bahasa dan sastra Jawa. Beberapa karya Esmiet, yakni: Sambung Tuwuh (bacaan anak, 1979); bacaan remaja Nrajang Selane Ampak-Ampak (1967), Pistule Prawan Manis (1981), Lampu Abang (1981), dan Jaring Kuning (1982); novel dewasa Tunggak-Tunggak Jati (1977), Oyot Mimang (1978), Gapura Putih (1979), Jaring Kuning (1979), dan Nalika Langite Obah (1997); dan, novel panglipur wuyung berjudul Randha Teles, Gedhang Kepok Gedhang Ijo, Pistule Prawan Manis (1965), Lampu Abang (1966), dan Notes Kuning (1966).

Esmiet tidak hanya mengarang karya sastra berbahasa Jawa, tetapi juga sastra Indonesia. Beberapa cerpen berbahasa Indonesia dimuat dalam majalah Stop, Senang, Liberty, POP, dan Detektif & Romantika. Konon sampai tahun 1991 ia telah menulis 2.056 cerpen, 138 cerbung, dan 12 novel.

 

Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur

Bagus Putu Parto, Sastrawan dan Dramawan dari Kota Patria

Bagus Putu Parto, sastrawan dan dramawan kelahiran di Blitar, 2 Juni 1967, memiliki nama asli Bagus Prabowo. Motivator geliat sastra di Blitar inilah yang memperkenalkan istilah ‘sastra pedalaman’. Istilah ini dia perkenalkan saat diskusi pada peluncuran Semangat Tanjung Perak sebuah antologi puisi penyair Surabaya dan Jawa Timur pada tahun 1992 di Taman Budaya Jawa Timur. Kesastraan modern (Indonesia) di Blitar mulai eksis pada dekade 90-an adalah “Lingkar Sastra Blitar”. Lingkar Sastra Blitar didirikan oleh Bagus Putu Parto, Dwi Aprianto, dan Iwung Handayani pada tanggal 1 Oktober 1991. Karena merasa ruang geraknya terlalu sempit pada genre sastra, sehingga pada tanggal 14 Februari 1992, Lingkar Sastra Blitar mengubah nama menjadi Barisan Seniman Muda Blitar.

Sastrawan dan dramawan Bagus Putu Parto memiliki nama asli Bagus Prabowo lahir di Blitar, 2 Juni 1967. Ia mendalami dramaturgi di Jurusan Teater Institut Seni Indonesia, Yogyakarta (1991). Tahun 1991 ia mendirikan dan sekaligus memimpin Barisan Seniman Muda Blitar (BSMB). Pada tahun 2000 ia mendapat tambahan jabatan sebagai Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Blitar. Beberapa karya teaternya antara lain “Drama Kolosal Pemberontakan Peta”, “Perang Sunyi”, “Grebeg Pancasila”, dan beberapa lakon teater anak. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media. Cerpen-cerpennya yang telah dibukukan, antara lain Semar (1992), Seusai Baratayuda (1993), Lima Cerpen Pralakon (1995), dan Muktamar Para Jin (2001). Bagus juga menulis biografi Laki-laki Bersarung Melangkah ke Pendapa (2000). Bagus termasuk salah seorang penggerak Revitalisasi Sastra Pedalaman—gerakan yang pernah mewarnai isu sastra nasional di pertengahan tahun 90-an. Gerakan ini pada dasarnya ingin meniadakan Jakarta sebagai sentral sastra di tanah air.

Gaung Revitalisasi Sastra Pedalaman di Jawa Timur tidak dapat dilepaskan dari peranan Bagus Putu Parto. Ia adalah seorang sastrawan sekaligus motivator geliat sastra di Blitar. Istilah ‘sastra pedalaman’ pertama kali dimunculkan oleh Bagus Putu Parto saat diskusi pada peluncuran Semangat Tanjung Perak sebuah antologi puisi penyair Surabaya dan Jawa Timur pada tahun 1992 di Taman Budaya Jawa Timur. Dengan gerakannya itu, Bagus menerbitkan dalam bentuk yang sangat—buku-buku seperti antologi cerita pendek Nyanyian Pedalaman I pada tanggal 14 Februari 1993. Buku ini diterbitkan oleh Barisan Seniman Muda Blitar. Dalam buku tersebut, Suparto Brata memberikan pengantar berjudul “Panorama Sastra di Tangan Tuan”. Ia memberikan apresiasi yang tinggi terhadap semangat spontan pemprakarsa penerbitan buku ini. Antologi yang memuat cerita pendek karya empat sastrawan Jawa Timur, yaitu “Hanya yang Bersih Dapat Menyatu dengan Udara” (Bonari Nabonenar), “Seusai Baratayudha” (Bagus Putu Parto), “Eksekusi” (Kusprihyanto Namma), “Aku Termasuk Kategori Anak Bandelkah Aku?” (W. Yudhie), serta satu cerita pendek “Cahaya” karya seorang cerpenis Yogyakarta, Suwardi Endraswara. Ini dianggap merupakan titik awal semangat geliat penerbitan karya sastra di daerah (pedalaman) yang menafikan peran Surabaya sebagai pusat kesastraan di Jatim.

Dua cerita pendek Bagus Putu Parto berjudul “Semar” dan “Dokterandus Mul Gugat” termuat dalam antologi sastra tiga kota Bias Luka. Tahun 1994, Bagus, melalui Barisan Seniman Muda Blitar, kembali menerbitkan sebuah Antologi Cerita Pendek Nyanyian Pedalaman II. Buku yang diberi kata pengantar oleh Beni Setia (Caruban, Madiun) ini memuat empat cerita pendek karya empat sastrawan Jawa Timur yaitu “Tanding” karya Bagus Putu Parto (Blitar), “Maling” karya Bonari Nabonenar (Trenggalek), “Dracula” oleh Kusprihyanto Namma (Ngawi), dan “Wibawa” karya Tan Tjin Siong (Dampit). Peluncuran buku ini dilakukan pada tanggal 6 Februari 1994 di Blitar. Kesastraan modern (Indonesia) di Blitar dapat dikatakan mulai eksis pada dekade 90-an adalah “Lingkar Sastra Blitar” yang mengawali geliat sastra tersebut. Lingkar Sastra Blitar didirikan oleh Bagus Putu Parto, Dwi Aprianto, dan Iwung Handayani pada tanggal 1 Oktober 1991. Kelompok kesenian ini didirikan sebagai upaya menggali potensi serta menciptakan komunitas sastra dan teater yang selama ini masih terbatas berkutat dalam pengajaran di sekolah maupun kampus. Langkah awal yang dilakukan komunitas ini adalah menerbitkan buletin Lingkar Sastra Blitar. Karena merasa ruang geraknya terlalu sempit terbatas pada genre sastra bersama dengan pementasan drama kolosal Pemberontakan Peta tanggal 14 Februari 1992, Lingkar Sastra Blitar mengubah nama menjadi Barisan Seniman Muda Blitar.

 

Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur.

Aming Aminoedhin, sang “Presiden Penyair Jawa Timur”

Aming Aminoedhin. Penyair dan penggurit kelahiran Ngawi ini memiliki nama asli Mohammad Amir Tohar. Lahir di Ngawi, 22 Desember 1957, Aming merupakan penggagas acara baca puisi peduli “Perang Irak” dan pentas seni kemanusiaan “Duka Atjeh Duka Bersama” di Taman Budaya Jawa Timur. Karya puisinya banyak dimuat di koran dan majalah lokal dan ibu kota, antara lain Surabaya Post, Berita Buana, Republika, Singgalang, dan sebagainya.

Aming adalah anak daripasangan A.H. Aminoedhin (lahirtahun 1918), seorang guru agamaIslam di sebuah SMPN, danSoeparijem (lahir tahun 1925)seorang guru di SDNRonggowarsito 2 Ngawi.Anak kelimadari delapan bersaudara ini lahir dalam keluarga pecinta seni. Bakat menulisAming didapat dari lingkungankeluarganya. Salah seorangpamannya merupakan salah satusastrawan tokoh Angkatan ’66versi HB Jassin, bernama M.Alwan Tafsiri.Duakakak kandungnya juga seorangpenulis cerpen, puisi, dan esai,yaitu M. Har Harijadi (alm) danLia Aminoedhin. Aming Aminoedhin menikahdengan Sulistyani Uran. Pasangan inidikaruniai empat orang anak, tiga laki-laki dan satu perempuan.Amingmenempuh pendidikannya di sekolahdasar di SDN Ronggowarsito 2Ngawi (lulus 1970), sekolahmenengah sekolah menengahpertama di SMPN 1 Ngawi (lulus1973), dan sekolah menengahatas di SMAN Ngawi (lulus 1976).Selepas SMA, ia melanjutkan keFakultas Sastra, Jurusan Bahasadan Sastra Indonesia, UniversitasSebelas Maret Surakarta (1977).Gelar sarjana muda (B.A.)diraihnya tahun 1982. Sebelumsarjana muda diraih, ia sempat kuliah D3 satu tahun pada jurusanyang sama, di fakultas keguruan UNS,dengan mendapatkan ijazahDiploma dan Akta III, pada tahun1981. Aming meraihgelar sarjana sastra (S1), JurusanBahasa dan Sastra Indonesia UNS pada tahun 1987.

Tahun 1984, Aming diangkat menjadi PNS di Kantor Wilayah Departemen Pendidikandan Kebudayaan Propinsi JawaTimur. Ia bekerja di SubbagianPenerangan, Bagian Tata Usaha,pada bidang penerbitan majalahbulanan Media sebagai pemimpinredaksi. Ia pernah juga ikutmembidani dan mengelola keredaksionalan Tabloid Bekal, koranpelajar Jawa Timur yangdiprakarsai Harian Surabaya Postdan Kanwil Depdikbud JawaTimur. Ikut pula menjadi RedaksiMajalah Kebudayaan Kalimas diSurabaya, menjadi Staf RedaksiBuletin DKS (Dewan KesenianSurabaya), dan Majalah MemoridaKanwil Depdikbud Jawa Timur.

Dalam bidang seni dan budaya, Aming Aminoedhin, pernah menjadi koordinator Forum Apresiasi Sastra Surabaya (FASS) di PPIA tahun 1987—1990, koordinator Himpunan Penulis, Pengarang dan Penyair Nusantara (HP3N) Jawa Timur tahun 1985— 1990, dan sebagai koordinator Forum Apresiasi Sastra (Forasamo), pengurus Dewan Kesenian Surabaya, Biro Sastra (1990-an), sekretaris Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto (2004—sekarang). Periode tahun 1995—sekarang Aming masih menjadi pengurus Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS). Dalam PPSJS, ia membidani terbitnya Teplok Dluwangwarta PPSJS sebagaipemimpin redaksi. Ia pernahdikirim mewakili Jawa Timurdalam Pertemuan SastrawanNusantara XII di Singapura padatahun 2003. Sejak tahun 2000,Aming dipindahkan dari KanwilDepdikbud Jawa Timur ke BalaiBahasa Surabaya.Ia pernah menjadi aktorterbaik Lomba Drama se-JawaTimur 1983 di Surabaya. Saat ituia bermain dengan kelompokTeater Persada Ngawi, pimpinanMh. Iskan. Komunitas TeaterPersada inilah yang memberikanbanyak masukan inspirasi dalamberkarya sastra, utamanya menulis puisi dan bermain drama.Aming merupakan penggagas Malam Sastra Surabaya(Malsasa). Ia juga menggagasacara baca puisi peduli “PerangIrak” di Taman Budaya JawaTimur dan pentas seni kemanusiaan “Duka Atjeh Duka Bersama”di Taman Budaya Jawa Timur.

Sebagai penulis puisi, Aming pernah mengikuti Temu Penyair Jawa Tengah di Semarang (1983), Temu Penyair Indonesia di Taman Ismail Marzuki Jakarta (1987), dan ikut memberikan pelatihan baca puisi dan juga menjadi juri berbagai macam kejuaraan dan lomba di berbagai kota di Jawa Timur, antara lain Surabaya, Batu, Lamongan, Lumajang, Blitar, Banyuwangi, Tulungagung, Probolinggo, dan sebagainya. Karya puisinya banyak dimuat di koran dan majalah lokal dan ibu kota, antara lain Surabaya Post, Berita Buana, Republika, Singgalang, Sriwijaya Post, Banjarmasin Post, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Bali Post, dan sebagainya. Sedangkan majalah yang pernah memuat puisinya antara lain Gadis, Putera dan Puteri Indonesia, Pusara, Bende, Media, Zaman, Horison, dan Majalah Kebudayaan Basis. Kumpulan puisinya bersama rekan penyair lain, di antaranya: Tanah Persada (penyunting), Teater Persada Ngawi, 1983), Wajah Bertiga (penyunting), Sintarlistra Surabaya, 1987), Tanah Kapur (penyunting), Komunitas Teater Persada Ngawi, 1990), Kereta Puisi (kumpulan puisi, Dewan Kesenian Surabaya, 1990), Burung-Burung (penyunting), Sintarlistra Surabaya, 1990), Pagelaran, Surabaya Kotaku (penyunting), Dewan Kesenian Surabaya, 1990), Malsasa ’91 (penyunting), Dewan Kesenian Surabaya & Sufo, 1991), Malsasa ’92 (penyunting), Penerbit Sintarlistra, 1992), Semangat Tanjung Perak (penyunting, 1992), Malsasa ‘94 (penyunting, Biro Sastra Dewan Kesenian Surabaya, 1994), Bunga Rampai Bunga Pinggiran (penyunting, antologi puisi, 1995), Malsasa ’96 (penyunting, Dewan Kesenian Surabaya, 1996), Tanah Rengkah (penyunting, Komunitas Teater Persada Ngawi, 1997), Sketsa Malam (kumpulan puisi, dalam proses, 2000), Malsasa 2000 (penyunting, Balai Bahasa Surabaya, 2000), Omongan Apa Wae (penyunting kumpulan puisi, Taman Budaya Jawa Timur, 2000), Berjamaah di Plaza (kumpulan puisi, Mandiri Press Mojokerto, 2000), Mataku Mata Ikan (kumpulan puisi, DKJT, 2004), Embong Malang (kumpulan puisi, proses cetakan, 2005), Memutih Putih Begitu Jernih (Forum Sastra Bersama Surabaya, 2008), Sajak KunangKunang dan Kupu-Kupu (kumpulan sajak anak-anak, Forum Sastra Bersama Surabaya, 2008), Husst, Nyenyet, Reportase Sunyi, Memo Putih, Kabar Saka Bendul Mrisi, Drona Gugat, Tanpa Mripat dan Kutha Surabaya.

Aming Aminoedhin bertempat tinggal di Perumahan Puri Mojobaru AZ-23, Desa Canggu, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. Pos-el amri.mira@gmail.com, atau amingaminoedhien.blogspot.com. (WR)

 

Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi

Abdullah Fauzi, Penyair “Dukun Santet” dari Blambangan

Abdullah Fauzi atau akrab dipanggil Fauzi atau Kang Ujik, lahir di Pengantingan, Banyuwangi 22 Juli 1965. Fauzi merupakan anak kedua dari empat bersaudara pasangan Mohamad Hisyam dan Wadiah. Sejak 1987, Fauzi menjadi guru Madrasah Ibtidaiyah Nurul Islam di Banyuwangi. Tahun 1988, ia menjadi staf tata usaha SMP Sunan Giri 1 Banyuwangi. Selain itu, ia bekerja sebagai pewarta di Radio Khusus Pemerintah Daerah Banyuwangi. Sebagai wartawan, ia pernah bekerja pada surat kabar Bali Post (1992), Banyuwangi Pos (1998), dan Gema Blambangan (1999). Saat ini, Fauzi adalah staf humas dan protokol Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Dalam komunitas sastra di Banyuwangi, Fauzi duduk pada komite teater Dewan Kesenian Blambangan (DKB). Fauzi konsisten dalam berkarya, yakni menggunakan bahasa Using.

Sampai saat ini telah banyak karya sastra yang dihasilkan, di antaranya Undharasa (2000) antologi puisi Using yang diterbitkan DKB, kumpulan puisi Dubang (2002) yang diterbitkan Pusat Studi Budaya Banyuwangi, dan Sastra Campursari (2002) yang diterbitkan Taman Budaya Jawa Timur. Khusus untuk Dubang, puisi ini menjadi bacaan wajib dalam berbagai lomba yang diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Karya Fauzi juga tersebar di berbagai surat kabar; di Surabaya Post antara lain “Cul” (1992), “Dadia Wis” (1992), “Nguber Angin”, Angin Impen” (1995), “Kali Lo, Banyu Susu” (1996), “Cempaka, Cekak” (1996), “Uler Kambang”, “Panjer Kiling”, “Wadal Suket” (1997), “Jejeg”, “Keneng Gerang”, “Wong Tani”, “Undha Sensren”, “Undha Ketepis”, dan “Entekentekan” (1998); terbit pada Banyuwangi Post antara lain, “Jejega”, “Manuk Emprit”, “Anggerangger”, “Isun Mulih”, dan “Kembang Telon” (1999); terbit di Radar Banyuwangi antara lain “Wayah Lingsir” dan “Kancil Pilek” (2001); di harian Jawa Pos antara lain “Dubang”, “Aja Pakis Paria Bain”(2002).

Selain menggunakan bahasa Using, Fauzi juga menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia, misalnya cerpen “Inah Jadi Lakon” (1998), antologi puisi Detak (1997), puisi “Gandrung” (2001), antologi puisi Wirid Muharram (2001), antologi puisi Dzikir (2001), Menara 17 (2002), Gayuh, dan Tilawah (2003). Kang Ujik pernah pula memenangi juara baca puisi Using, lomba dongeng Using, dan juara lomba baca wangsalan pada tahun 2001. Penghargaan yang pernah didapat adalah sebagai pengabdi seni dan budaya daerah dari Pemerintah Kabupaten Banyuwangi (2002). Penyair “substantif” ini menulis puisi, cerpen, esai yang tersebar di berbagai media massa, di antaranya Tabloid Gema Blambangan, Gandrung Post, Banyuwangi Post, koran Banyuwangi (Redaksi), majalah Budaya Seblang (Redaktur), majalah Budaya Jejak, dan lain-lain. Di sela-sela kesibukannya sebagai pegawai negeri sipil (PNS), penyair “Dukun Santet” ini aktif di berbagai lembaga seni dan budaya sekaligus menjadi Pengurus Dewan Kesenian Blambangan (DKB) Komite Teater, Pengawas Yayasan Pusat Dokumentasi Budaya Banyuwangi (PDBB), Wakil Ketua Kelompok Peduli Using (Kepus), Pimpinan Redaksi Buletin Baiturrahman (2000—2001) dan sampai sekarang sebagai tim redaksi sekaligus menjadi Koordinator Humas dan Informasi Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi.

 

Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa TimurBalai Bahasa Provinsi Jawa Timur.

Sirikit Syah, Sang Tokoh Kebebasan Pers

Sirikit Syah tergolong cerpenis koran karena cerpen-cerpennya terbit lebih dulu di koran sebelum diterbitkan menjadi buku dan menunjukkan keterikatannya de-ngan aturan koran, yaitu pendek dan masalah-masalahnya tidak jauh dari masalah yang diberita-kan koran. Kumpulan cerpen pertamanya berjudul Harga Perempuan dan diterbitkan oleh penerbit Gorong-gorong Budaya, Jakarta pada tahun 1997. Kumpulan cerpennya yang ke-2 berjudul Sensasi Selebriti diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, Yogyakarta pada tahun 2007.

Sirikit lahir di Surabaya pada tanggal 28 Juli 1960. Ia anak ke-7 dari dua belas bersaudara. Sirikit berasal dari suku Jawa dan beragama Islam. Pendidikan formalnya sejak SD sampai dengan SMA ia selesaikan di Surabaya. Selepas SMA, ia meneruskan ke Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Negeri Surabaya dan lulus pada tahun 1984 dengan skripsi ”Cerpen-cerpen Ernest Hemingway” di bawah bimbingan Budi Darma.

Sirikit menolak tawaran menjadi dosen di almamaternya dan memilih bergabung dengan Surabaya Post sebagai wartawan. Pada tahun 1988, ia mendapat beasiswa dari Nihon Shimbun Kyokai (NSK) Jepang. Ketika sudah menduduki jabatan redaktur pada tahun 1990, Sirikit beralih ke SCTV dan memulai kariernya dari bawah kembali. Kariernya di SCTV berkembang mulai dari pengkliping pemberi-taan, staf humas, sekretaris, manager produksi, penulis script, reporter, produser hingga koordinator liputan Indonesia Timur. Tahun 1996, Sirikit berhenti dari SCTV dan menjadi koresponden  The Jakarta Post serta konsultan di Centris (Centre for Television Research and Inovations).

Tahun 1994—1995, ia mendapat beasiswa Hubert H. Humphrey dari pemerintah Amerika Serikat untuk kuliah dan magang di bidang jurnalisme televisi di AS. Ia kuliah di Syracuse University, Syracuse, New York kemudian magang di stasiun lokal WHTV-5 yang berafiliasi dengan CBS dan di CNN biro Washington DC. Sirikit adalah wanita karier yang banyak berkecimpung dalam dunia kewartawanan.

Di Jawa Timur namanya tidak dapat dilepaskan dari dunia komunikasi. Tahun 1996, ia mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat Media Watch yang mengamati dan mengkaji liputan-liputan dan tulisan-tulisan yang dimuat di berbagai media. Kajian itu diterbitkan setiap bulan dalam bentuk newsletter. Ia juga menjadi penggerak peace journalism di Jawa Timur. Untuk itu, ia mendapat penghargaan dari lembaga asal Jepang, Ashoka pada tahun 2002. Ia menjadi ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur tahun 2004.

Di samping sebagai warta-wan dan sastrawan, ia juga dikenal sebagai budayawan, seniman, dosen, dan ibu rumah tangga. Ia banyak aktif di bengkel-bengkel kesenian. Ia pernah menjabat Ketua Bengkel Muda Surabaya, Ketua Biro Sastra Dewan Kesenian Surabaya, dan Ketua Presidium Dewan Kesenian Surabaya. Dalam dunia akademik, Sirikit juga tercatat pernah menjadi Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (STIKOSA-AWS) dan menjadi dosen di Universitas Dr. Soetomo. Ia menikah dengan Choirul Anam dan dikaruniai dua putra, Aldila Kirana dan Bintang Choirulputra.

Sirikit sudah menyukai dunia tulis menulis sejak sekolah dasar. Kemampuannya menulis berkembang baik semasa SMA karena banyak membaca dan bergaul dengan para seniman. Ia aktif menulis ketika mahasiswa di FPBS IKIP Surabaya. Ia pernah memenangkan lomba penulisan cerpen antarmahasiswa FPBS se-Indonesia tahun 1979—1980.

Peran ganda Sirikit sebagai wartawan dan sastrawan tergam-barkan dalam cerpen-cerpennya yang juga meramu dua unsur yang tidak selamanya sama, yaitu kontemporer dan kontekstual. Cerpen-cerpen Sirikit memang cocok untuk koran karena memenuhi hakikat koran, yaitu berita. Sirikit mengangkat sisi human interest dari berita-berita di koran, seperti perselingkuhan, pelecehan, dan ketidakadilan.

Sirikit Syah meninggal dunia pada 26 April 2022 karena kanker yang telah lama menggerogoti tubuhnya.

 

Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur

OBITUARI: HASAN SENTOT

Puisi Using tersebut karya almarhum Mas Hansen atau Mas Hasan Sentot, yang memiliki nama pena Sentot Parijata, yang berpulang ke haribaan Sang Khalik, Minggu 4 Juli 2021, di RSUD Genteng Banyuwangi. Gurit tersebut termuat dalam buku kumpulan puisi Using tunggal karyanya, berjudul “Ngeronce Welas”, halaman 9, yang diterbitkan Balai Bahasa Jawa Timur, pada pertengahan tahun 2019. Tersirat, puisi berbahasa daerah itu menyimpan sebuah pesan rahasia. Adapun secara gamblang, puisi itu menerangkan tujuan hidup penulisnya, sebagaimana dalam dua baris terakhir, yang artinya: “memuliakan orang tua dan keluarga, semoga besok diganjar surga”.

Hasan Sentot juga menjadi dosen luar biasa dalam jurnalistik di sebuah universitas. Alasannya ingin menyenangkan anak-anak. Mereka bahagia bila mereka mengaku pada kawan-kawannya bahwa ayahnya bekerja sebagai dosen. Hansen lahir di Banyuwangi, 27 Agustus 1965, tepatnya di Dusun Krajan, Desa Parijatah Kulon, Kecamatan Srono. Beliau juga aktif sebagai pengurus Lesbumi Jawa Timur, tahun 2013—2018 di bagian humas, karena berlatar belakang jurnalistik. Hansen memulai kariernya sebagai wartawan Karya Dharma dan memuncak sebagai salah satu ‘orang penting’ di SCTV untuk wilayah liputan di Jawa Timur.

Hasan Sentot sangat aktif di acara-acara kebudayaan, seperti acara Festival Seni Sastra Pesantren di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Drajat Paciran Lamongan, yang diasuh KH Abdul Ghofur. Juga memperjalankan buku puisi “Tasbih Hijau Bumi” ke beberapa pesantren, madrasah dan sanggar seni-sastra di wilayah Jombang, Mojokerto, dan Kediri, termasuk di Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang dan Pondok Pesantren Darul Falah Mojokerto. Manajer JX Surabaya ini memang tidak sepenuhnya meninggalkan sastra, meskipun lama berkarier di jurnalistik, kemudian menjadi seorang karyawan perusahaan. Dia sangat tertarik dengan hal-ihwal sastra daerah, terutama dalam hal tradisi lisan dan filologi di daerah kelahirannya Banyuwangi dan dalam dunia santri di Jawa Timur.

Ngeronce Welas, 2019

Adapun soal puisi Using, dia memang dikenal menulisnya sudah lama dan memiliki jaringan dengan penyair dan seniman Using. Pada pertengahan tahun 2018, dia diminta bantuannya untuk menghimpun puisi para penyair Using untuk diterbitkan dalam sebuah antologi, sesuai dengan program kerja Balai Bahasa Jawa Timur pada tahun 2019. Namun, sampai tenggat waktu, ternyata belum terhimpun juga. Akhirnya, kumpulan puisi Using “Ngeronce Welas” yang terdiri atas 50-an puisinya pun terbit, meskipun dalam eksemplar yang terbatas, sekitar pertengahan tahun 2019.

Hasan Sentot juga sedang tertarik dengan riset tentang tradisi lisan Using berupa nyanyian rakyat seputar tahun 1955–1965. Dia mengaku punya beberapa narasumber yang masih hidup. Menurutnya, bentuk dan isi tembangnya sangat menarik. Ini adalah keahliannya karena skripsi S1-nya di Jurusan Sastra indonesia, Fakultas Sastra (kini FIB), Universitas Jember termasuk ‘berani’ dan menarik karena berbicara tentang tembang-tembang Using tahun 1965—1975, dari tinjauan semiotik. Apalagi karya itu digarap pada saat Orde Baru sedang berkibar pada tahun 1990-an. Bahkan, karena saking menariknya skripsi itu, hingga ‘paus’ sastra Jawa, almarhum Prof. Suripan Sadi Hutomo, kepincut dengan temuannya dan merekomendasikannya untuk menyajikan karya ilmiahnya dalam sebuah paparan seminar tradisi lisan di TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta pada tahun 1993. (MA)

D. Zawawi Imron

Penyair Madura ini terkenal sebagai penyair yang mencintai budaya leluhur-nya dan masih tetap tinggal di Madura sampai saat ini.  D. Zawawi Imron dilahirkan di Batang-Batang Laok, sebuah kecamatan yang terletak sekitar 20 kilometer dari Kabupaten Sumenep atau di ujung timur Pulau Madura. Seperti kebiasaan masyarakat desa yang menandai kurun waktu dengan peristiwa-peristiwa besar seperti gunung meletus, banjir, dan sebagainya, Zawawi tidak tahu persis kapan hari, tanggal, dan tahun kelahiran-nya. Menurut pengakuannya dan berdasarkan perkiraan, ia dilahir-kan sekitar tahun 1946, bersuku Madura dan beragama Islam.

Sebagai putra Madura asli, pendidikan Zawawi diwarnai nafas keislaman. Setelah tamat Sekolah Rakyat, Zawawi melanjutkan pendidikan di pondok pesantren Salafiyah selama 18 bulan. Selanjutnya, sebagai seorang otodidak dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar dan pondok pesantren, ia berhasil mengikuti ujian persamaan pendidikan guru agama.

Sejak 1967—1983 Zawawi Imron bekerja sebagai guru agama sekolah dasar; tahun 1983—1985 menjadi guru agama sekolah menengah pertama, dan sejak 1985—1993 menjabat Kasubsi Penerangan Agama di Kantor Departemen Agama Kabupaten Sumenep.

Zawawi Imron berbeda dengan penyair-penyair lain yang umumnya tinggal di kota. Sampai saat ini, ia tetap tinggal di Batang-Batang. Menurut Zawawi, tinggal di desa justru mendukung kreativitasnya dalam bersastra. Zawawi mulai menulis sejak 1960 dan baru tahun 1973 ia mengirim sajak-sajaknya ke Minggu Bhirawa, Surabaya.

Beberapa prestasi yang diperoleh Zawawi Imron antara lain hadiah dalam sayembara nasional menulis puisi yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Sahabat Pena Indonesia tahun 1979; hadiah dari Depdikbud dalam lomba menga-rang buku bacaan SD tahun 1981; tahun 1985 buku kumpulan puisinya Nenek Moyangku Air Mata mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama; dan, tahun 1990 kumpulan puisi Nenek Moyangku Air Mata dan Celurit Emas (1986) mendapat hadiah dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) sebagai puisi terbaik.

Penyair ini kali pertama menginjakkan kakinya di Jakarta tahun 1979 karena mendapat undangan menghadiri Pertemuan Sastrawan Nusantara II (PSN).  Zawawi Imron sering diundang untuk membacakan puisi atau menjadi pembicara dalam seminar tentang budaya Madura. Tahun 1982, ia hadir dalam acara “Temu Penyair 10 Kota” di TIM Jakarta. Tahun 2005, Zawawi diundang Balai Bahasa Surabaya (sekarang Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur) sebagai pembicara dalam Seminar Nasional Bahasa Madura.

Kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Semerbak Mayang (1977), kemudian disusul kumpulan Madura Akulah Lautmu (1978). Masih ada kumpulan sajaknya yang telah terbit, antara lain Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996). Kumpulan sajak-nya, Bulan Tertusuk Lalang (1982), mengilhami sutradara Garin Nugroho dalam pembuatan film berjudul “Bulan Tertusuk Ilalang”. Masih ada kumpulan sajaknya yang lain, seperti Derap-Derap Tasbih (1993), kemudian sajak hasil pengembaraannya ke Sulawesi Selatan yang terkumpul dalam Berlayar di Pamor Badik (1994). Tahun 1996 terbit kumpulan sajaknya Laut-Mu Tak Habis Gelombang. Sajaknya “Dialog Bukit Kemboja” keluar sebagai pemenang pertama Lomba Nasional Menulis Puisi 50 Tahun Kemerdekaan RI yang diadakan AN-Teve. Sajak-sajak Zawawi Imron sebagian sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa, antara lain bahasa Inggris, Belanda, dan Bulgaria.

Selain sajak, karya sastra Zawawi Imron berupa cerita rakyat dan cerita anak. Cerita rakyat yang telah diterbitkan antara lain Campaka (1979), Ni Peri Tunjung Wulan (1980), Bangsacara-Ragapadmi (1980), dan Raden Sagoro (1984). Karya cerita anak yang sudah diterbitkan berjudul Melihat Kerapan Sapi di Pulau Madura (1988). Kumpulan puisi terbarunya berjudul Madura Akulah Darahmu (2005) merupakan kumpulan puisi-puisi pilihan karya Zawawi sejak 1976.

* Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur

D. Zawawi Imron

Penyair Madura ini terkenal sebagai penyair yang mencintai budaya leluhurnya dan masih tetap tinggal di Madura sampai saat ini.  D. Zawawi Imron dilahirkan di Batang-Batang Laok, sebuah kecamatan yang terletak sekitar 20 kilometer dari Kabupaten Sumenep atau di ujung timur Pulau Madura. Seperti kebiasaan masyarakat desa yang menandai kurun waktu dengan peristiwa-peristiwa besar seperti gunung meletus, banjir, dan sebagainya, Zawawi tidak tahu persis kapan hari, tanggal, dan tahun kelahirannya. Menurut pengakuannya dan berdasarkan perkiraan, ia dilahirkan sekitar tahun 1946, bersuku Madura dan beragama Islam.

Sebagai putra Madura asli, pendidikan Zawawi diwarnai nafas keislaman. Setelah tamat Sekolah Rakyat, Zawawi melanjutkan pendidikan di pondok pesantren Salafiyah selama 18 bulan. Selanjutnya, sebagai seorang otodidak dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar dan pondok pesantren, ia berhasil mengikuti ujian persa-maan pendidikan guru agama.

Sejak 1967—1983 Zawawi Imron bekerja sebagai guru agama sekolah dasar; tahun 1983—1985 menjadi guru agama sekolah menengah pertama, dan sejak 1985—1993 menjabat Kasubsi Penerangan Agama di Kantor Departemen Agama Kabupaten Sumenep.

Zawawi Imron berbeda dengan penyair-penyair lain yang umumnya tinggal di kota. Sampai saat ini, ia tetap tinggal di Batang-Batang dan menurut Zawawi tinggal di desa justru mendukung kreativitasnya dalam bersastra. Zawawi mulai menulis sejak 1960 dan baru tahun 1973 ia mengirim sajak-sajaknya ke Minggu Bhirawa, Surabaya.

Beberapa prestasi yang diperoleh Zawawi Imron antara lain hadiah dalam sayembara nasional menulis puisi yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Sahabat Pena Indonesia tahun 1979; hadiah dari Depdikbud dalam lomba menga-rang buku bacaan SD tahun 1981; tahun 1985 buku kumpulan puisinya Nenek Moyangku Air Mata mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama; dan, tahun 1990 kumpulan puisi Nenek Moyangku Air Mata dan Celurit Emas (1986) mendapat hadiah dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) sebagai puisi terbaik.

Penyair ini kali pertama menginjakkan kakinya di Jakarta tahun 1979 karena mendapat undangan menghadiri Pertemuan Sastrawan Nusantara II (PSN).  Zawawi Imron sering diundang untuk membacakan puisi atau menjadi pembicara dalam seminar tentang budaya Madura. Tahun 1982, ia hadir dalam acara “Temu Penyair 10 Kota” di TIM Jakarta. Tahun 2005, Zawawi diundang Balai Bahasa Surabaya (sekarang Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur) sebagai pembicara dalam Seminar Nasional Bahasa Madura.

Kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Semerbak Mayang (1977), kemudian disusul kumpulan Madura Akulah Lautmu (1978). Masih ada kumpulan sajaknya yang telah terbit, antara lain Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996). Kumpulan sajaknya, Bulan Tertusuk Lalang (1982), mengilhami sutradara Garin Nugroho dalam pembuatan film berjudul “Bulan Tertusuk Ilalang”. Masih ada kumpulan sajaknya yang lain, seperti Derap-Derap Tasbih (1993), kemudian sajak hasil pengembaraannya ke Sulawesi Selatan yang terkumpul dalam Berlayar di Pamor Badik (1994). Tahun 1996 terbit kumpulan sajaknya Laut-Mu Tak Habis Gelombang. Sajaknya “Dialog Bukit Kemboja” keluar sebagai pemenang pertama Lomba Nasional Menulis Puisi 50 Tahun Kemerdekaan RI yang diadakan AN-Teve. Sajak-sajak Zawawi Imron sebagian sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa, antara lain bahasa Inggris, Belanda, dan Bulgaria.

Selain sajak, karya sastra Zawawi Imron berupa cerita rakyat dan cerita anak. Cerita rakyat yang telah diterbitkan antara lain Campaka (1979), Ni Peri Tunjung Wulan (1980), Bangsacara-Ragapadmi (1980), dan Raden Sagoro (1984). Karya cerita anak yang sudah diterbitkan berjudul Melihat Kerapan Sapi di Pulau Madura (1988). Kumpulan puisi terbarunya berjudul Madura Akulah Darahmu (2005) merupakan kumpulan puisi-puisi pilihan karya Zawawi sejak 1976.

* Sumber: Roesmiati, Dian. 2012. Ensiklopedia Sastra Jawa Timur. Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur

* Sumber Foto: https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Berkas:D._Zawawi_Imron.jpg&filetimestamp=20120710101740&

M. Dradjid

H.M. Dradjid, B.A, bagi masyarakat Madura, khususnya masyarakat Pamekasan, nama tersebut sudah tidak asing lagi didengar. Ia merupakan salah satu sesepuh Madura yang sangat getol dalam menjaga, melestarikan, mengembangkan, serta membina bahasa Madura. Pensiunan guru SMPN 1 Pamekasan ini lahir di Kabupaten Pamekasan, 6 Januari 1940. Diusianya yang sudah tidak lagi muda, ia masih aktif di berbagai kegiatan. Selain menjadi pengajar di Universitas Madura dan kerap menjadi narasumber dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan bahasa Madura, ia juga turut andil dalam pendirian Yayasan Pakem Maddhu, sebuah yayasan dengan semangat yang menggelora dalam menjaga dan mengawal perkembangan bahasa, sastra, dan budaya Madura.

Boleh dikatakan, segudang kegiatan sudah pernah digeluti oleh kakek dari sepuluh orang cucu ini. Misalnya saja, ia pernah menjadi salah satu tim penyusun Ejaan Bahasa Madura yang Disempurnakan terbitan Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur edisi revisi tahun 2012, tim penyunting majalah berbahasa Madura “Jokotole” mulai tahun 2008—2014, tim penyusun Kamus Madura-Indonesia yang disusun oleh Tim Pakem Maddhu dan diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Pamekasan, Tim Redaksi Buletin Pakem Maddhu, tim penyusun Ondhaggha bahasa Madura, tim penerjemah Alquran Arab-Indonesia-Madura, tim penyusun buku pelajaran bahasa Madura “Sare Taman” kelas 1—6 SD, tim penyusun buku Pamekasan dalam Sejarah, tim penyusun buku pelajaran bahasa Madura untuk SMP “Kembang Babur”, tim penyusun GBPP bahasa Madura untuk SD dan SMP, dan tim penyusun bahan ajar bahasa Madura untuk SMA sederajat “Songsong Senom”.

Dalam melakoni segala aktivitasnya sehari-hari, ia selalu ditemani oleh istri tercintanya, Sitti Aminatussuhriyah. Saat ini, ia tinggal di Jalan R.A. Abd. Azis, 68 Pamekasan. Bapak dari empat putra ini mengaku sampai detik ini, ia masih aktif memberikan pembinaan bahasa Madura melalui media elektronik, yaitu radio Ralita FM. Meskipun kesehatannya tidak sekuat waktu ia masih muda, namun ia bertekad untuk terus menjaga dan mengawal bahasa Madura agar pemuda Madura dapat terus menikmati dan melestarikan bahasa Madura sebagai salah satu bahasa daerah yang memilki jumlah penutur cukup banyak agar tidak punah tergerus oleh zaman. (DLS)

Sumber: Ummatin, Khoiru. 2015. Ensiklopedia Bahasa Jawa Timur. Balai Bahasa Jawa Timur

HASAN ALI

Hasan Ali adalah seorang seniman sekaligus penggiat bahasa dan budaya Banyuwangi. Beliau lahir di desa Mangir, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi tanggal 7 Desember 1933. Meski hanya lulusan SMA (alumnus SMAN 1 Malang angkatan 1956), namun kakek berdarah Madura, Using dan Pakistan ini adalah seorang kamus berjalan bahasa dan budaya Banyuwangi. Sempat mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, namun pada tahun 1959 harus terhenti karena keterbatasan biaya. Hal ini tidak menyurutkan semangatnya untuk terus belajar. Hasan Ali kemudia secara otodidak mempelajari dan menekuni kesenian dan kebudayaan Banyuwangi, khususnya bahasa Using.

Kiprahnya dibidang seni juga tidak perlu diragukan lagi. Hasan Ali adalah penemu “Geter Kerep”, gong yang menjadi simbol gamelan musik angklung Banyuwangi. Di usia 15 tahun Hasan Ali telah mendirikan perkumpulan kesenian Damarwulan, sebuah kelompok kesenian teater rakyat tentang cerita kepahlawanan berlatar masa Kerajaan Majapahit yang menaklukkan Kerajaan Blambangan. Hasan Ali pula yang memiliki ide awal untuk memasukkan musik daerah Banyuwangi ke studio rekaman hingga menjadi kaset. Pada tahun 1971, Hasan Ali pernah bermain dalam film besutan Mochtar Lubis yang berjudul Tanah Gersang. Hal itulah yang mengantarkan Hasan Ali menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Banyuwangi mewakili para seniman. Beliau juga pemrakarsa berdirinya Dewan Kesenian Blambangan (DKB) Banyuwangi dan selama 20 tahun berturut-turut (1978—1998) dipercaya menjadi ketuanya. Pengetahuannya tentang kesenian dan budaya daerah, khusunya Blambangan sangat luas.

Hasan Ali adalah orang terdepan yang tidak pernah mengenal lelah dalam membina, mengembangkan, dan mengangkat harkat dan derajat bahasa Using. Telah banyak buku yang sudah disusunnya, antara lain buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Using, Tata Bahasa Baku Bahasa Using, dan yang paling fenomenal adalah pada tahun 2000, Hasan Ali berhasil merampungkan penyusunan Kamus Bahasa Daerah: Using-Indonesia yang berisi 28 ribu kata dan subkata. Edisi perdana kamus yang dicetak oleh PT. Intan Pariwara Klaten ini, sebanyak 1200 eksemplar dibagikan secara gratis ke sekolah-sekolah dan instansi-instansi pemerintah di Kabupaten Banyuwangi. Penyusunan kamus Bahasa Using ini diawali sejak tahun 1978, ketika beliau tengah mengumpulkan data latar belakang dan setting sosial daerahnya untuk bahan membuat novel. Ia mengumpulkan semua kata-kata Using dari kata-kata yang diucapkan oleh rekan sekantornya, pedagang di pasar, hingga percakapan penumpang di angkutan umum dan kemudian mencatatnya. Selain itu, beliau juga membaca banyak literatur tentang bahasa Using. Dari hasil penelusuran tersebut, ternyata banyak sekali kosakata kuno yang sudah tidak dikenal oleh masyarakat Using sendiri, begitu juga dengan dialek yang harus diucapkan. Kosakata yang dimasukkan dalam kamus susunannya adalah kata-kata umum dan telah dimengerti oleh masyarakat Using kebanyakan, bukan kosakata yang hanya diketahui hanya oleh segelintir orang dan yang dialeknya terlalu lokal.

Hasan Ali adalah penggiat bahasa dan budaya Using. Hingga akhir hayatnya, hidupnya didedikasikan untuk Using. Tanggal 14 Juni 2010, pukul 02.30., Hasan Ali menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Islam Fatimah, Banyuwangi setelah tiga minggu dirawat. Ayah penyanyi Emilia Contesa ini meninggalkan seorang istri, empat orang anak, sepuluh orang cucu.

*Sumber: Ummatin, Khoiru. 2015. Ensiklopedia Bahasa Jawa Timur. Balai Bahasa Jawa Timur